Sunday, March 16, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - SEABAD Profesor Wim WERTHEIM - (1)

Kolom IBRAHIM ISA
----------------------
Minggu, 16 Maret 2008



SEABAD Profesor Wim WERTHEIM - (1)
<>



Mengapa ada keperluan untuk memperingati 100 tahun lahirnya seorang Belanda, Prof. Dr Willem Frederik Wertheim? Siapa Profesor Willem Frederik Wertheim? Apa arti penting nama Wertheim – seorang sarjana hukum dan ilmu sosial Belanda -- bagi kita, orang Indonesia, dan bagi Indonesia sebagai bangsa? Apa penyebabnya tokoh cendekiawan Belanda itu ultah ke-100-nya punya arti penting untuk diperingati?

Bagiku, sebagai orang Indonesia, jawabnya tidak sulit:

Punya! Punya arti penting untuk memperingat seabad Wim Wertheim! Dimaksudkan untuk lebih memahami latar belakang sejarah hubungan Belanda – Indonesia, dalam berbagai segi dan manifestasinya. Lebih khusus lagi bagi generasi muda Belanda maupun Indonesia, dalam rangka mempromosi hubungan baik dua nasion dan dua negeri: Belanda dan Indonesia. Bagi kita orang Indonesia, mengenal dan memperingati Wim Wertheim, punya arti dan segi lainnya lagi. Yaitu untuk lebih mengenal bahwa suatu bangsa, seperti bangsa Belanda, yang kita kenal sebagai bangsa yang menguasai dan menjajah negeri kita ratusan tahun lamanya. Perlu perlahan-lahan ditegakkan pandangan sejarah yang konprehensif . Yaitu, dengan menggunakan cara memandang seperti yang pernah diutarakan oleh salah seorang negarawan Tiongkok terkenal, yaitu pandangan 'satu pecah jadi dua'.



* * *



Prof. Dr Willem Frederik WERTHEIM, adalah SAHABAT SEJATI rakyat Indonesia. Sejak awal berdirinya Republik Indonesia beliau berdiri di fihak nasion Indonesia yang sedang membela negara yang baru diproklamasikan, terhadap ancaman dan serangan imperialisme dan kolonialisme, khususnya kolonialisme Belanda.



Sikap dan pendirian Wim Wertheim terhadap Indnesia, rakyat dan perjuangannya, paling jelas dicerminkan a.l pada bagian penting dari 'Proloog' buku yang beliau tulis dalam tahun 1992, berjudul 'Terug In Azië' -- Kembali Di Asia --



'Di masa Hindia Belanda sebelum perang, ketika itu kami, istri saya Hetty dan saya, meskipun pada diri kami telah muncul pengertian yang tumbuh terhadap perjuangan nasional Indonesia, -- tokh kami masih tetap merupakan bagian dari bagian atas (kekuasaan) kolonial. Tetapi sejak kami kembali ke Holland (dekat sesudah Jepang menyerah dalam Perang Pasifik; dan keluarga Wim Wertheim bisa kumpul lagi sesudah dibebaskan dari tahanan kamp interniran Jepang - I. Isa), 'kami secara tegas sekali mengambil posisi menentang kebijakan pemerintah Nederland, yang dengan cara politik maupun militer dan ekonomi berusaha untuk menghancurkan Republik Indonesia'.



Lanjut Wim Wertheim,

'Pada pertengahan tahun 1947, sesudah kami pindah ke Amsterdam, saya menjadi ketua Perhimpunan Nederland-Indonesia, yang mengambil posisi, bahwa perbedaan antara dua nasion harus diselesaikan melalui cara damai. Perhimpunan secara tegas bersikap kritis terhadap pemerintah Nederland waktu itu, dimana Partai Buruh (PvDA) ikut ambil bagian. Kritik ini bertambah tajam, ketika dalam bulan Juli tahun itu, tentara Belanda melakukan aksi militer, yang diusahakan memulasnya dengan menggambarkanhya sebagai suatu 'Aksi Polisionil'.



'Sikap dan pendirian ini bagi kami berarti, pada satu segi, kami diterima di lingkungan-sahabat yang baru; tapi pada segi lainnya hal itu juga berarti persahabatan lama dan hubungan keluarga menjadi rusak, berulang setiap kali pada saat mengenai 'masalah Indonesia', juga mengenai masalah-masalah dunia lainnya, terdapat fikiran yang berbeda antara kami dengan mereka itu.

'Lebih-lebih lagi menjadi tambah sulit untuk mempertahankan pesahabatan (lama)tsb, ketika pada bulan Agustus 1948 , dengan tajam /di luar negeri /saya mengecam politik Nederland terhadap Indonesia, dan sebagian dari pers Belanda menghantam saya'.

Mengenai sikap tegas Wertheim yang mengecam keras politik kolonial Belanda terhadap Indonesia, bahwa pernyataan itu diucapkan Wertheim di luar negeri (Belanda), sementara kalangan dan sebagian pers Belanda mencap Wertheim sebagai 'anti-Nederlands'.



* * *



Wim Wertheim, begitu sapaan akrab terhadap beliau, adalah seorang sahabat bangsa Indonesia dan Republik Indonesia sejak R.I. diproklamasikan. Beliau konsisten sampai akhir umurnya membela perjuangan rakyat Indonesia, untuk demokrasi, keadilan dan emansipasi nasion Indonesia. Tampak semakin gamblang dan jelas sikap beliau ketika Indonesia merana di bawah penindasan rezim Orba. Melalui kegiatan beliau di Komite INDONESIA, dan melalui pernyataan pers, tulisan, ceramah, serta buku-buku beliau, Wertheim mengutuk persekusi rezim Orba terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah atas tuduhan terlibat dalam G30S. Dengan jernih sekali Wertheim menyatakan kepedulian dan kesetiakawanannya terhadap rakyat Indonesia.



Wim Wertheim adalah salah seorang cendekiawan Belanda p e r t a m a yang tampil membela perjuangan bangsa kita untuk kemerdekaan nasional, salah seorang Belanda yang sejak masa awal berdirnya negara ini, membela Republik Indonesia, dari agresi militer Belanda.



Di negeri Belanda, peringatan '100 tahun Wertheim' dielenggarakan atas prakarsa 'Wertheim Stichting' atau WERTHEIM FOUNDATION. Ultah ke-100 Prof Dr Willem Frederik Wertheim, yang lahir di St Petersburg, Rusia, pada tanggal 16 November 1907, jatuh pada tahun lalu (2007). Berhubung satu dan lain hal peringatan dilangsungkan pada tanggal 04, 05 dan 06 Juni 2008, di Amsterdam. Bertepatan pula dengan akan diserahkannya 'Wertheim Award 2008' kepada Benny G. Setiono, sebagai penghargaan atas buku hasil penelitian dan studinyaya berjudul 'TIONG HOA DALAM PUSARAN POLITIK' .



Sebelum penyerahan Wertheim Award kepada Benny. G Stiono, Asia Platform Universitas Amsterdam akan menyelenggarakan yang dikenal dengan nama 'The Annual Wertheim Lecture' pada tanggal 05 Juni di ruangan Fakultas Psikologi Universitas Amsterdam. Akan ambil bagian dalam kegiatan peringatan seabad Wertheim ini, a.l. Prof. Dr Ruth MacVey (Amerika), Dr Saskia Wirenga (Belanda), Dr Ben White (Inggris), dan Ieng Ang(Belanda). Sedangkan pada tanggal 04 Juni akan diselenggarakan seminar dan pameran di IISG, Internationaal Instituut voor Sociaal Geschiedenis, sekitar karya dan kehidupan Wim Wertheim.



* * *



Sedikit mengenai Stichting Wertheim. Stichting ini didirikan 20 tahun yang lalu, yaitu pada tanggal 04 Maret,1988 oleh para mantan siswa dan kawan-kawan Wim Wertheim, pada kesempatan ultah ke-80 Wim Wertheim. Sebagai penghormatan dan penghargaan atas ide-ide, visi dan kegiatan beliau demi usaha kebebasan intelektual, kemajuan, demokrasi dan emansipasi.



Atas nama para pemerkasa didirikannya 'Wertheim Stichting', Dr Go Gien Tjwan, dosen pada Universitas Amterdam, mengunjungi kantor notaris E.J Smith di Amstelveen, untuk memperoleh status hukum bagi Wertheim Stichting. Pada hari yang boleh dikatakan mengandung arti sejarah dalam hubungan antara rakyat Belanda dan rakyat Indonesia, Dr Go Gien Tjwan meresmikan berdirinya Wertheim Stichting di hadapan Notaris E.J. Smith. Dengan demikian pada tanggal 04 Maret 1988 itu, berdirilah resmi 'Wertheim Stichting' lengkap dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya, terdaftar pada Kamer van Koophandel Rijnland, Dosir nomor 41167622.



Apa dasar dan tujuan serta visi dan misi 'Wertheim Stichting?

Seperti tercantum pada Statuten 'Wertheim Stichting', dirumuskan a.l. sebagai berikut: Bertujuan memajukan segala bentuk kegiatan rokhaniah (geestelijke) Indonesia, baik warganegara secara individual maupun kelompok-kelompok penduduk dan pelbagai katagori, yang merupakan sumbangan pada dan memberikan gambaran dalam proses perjuangan yang dilakukan di Indonesia demi emansipasi bangsa. Dinamakan 'Stichting Wertheim', sesuai nama Profesor Doktor W.F. Wertheim, gurubesar emeritus Universitas Amsterdam. Beliau memberikan kuliah sosiologi dan sejarah mutakhir Bangsa-bangsa 'bukan-barat', teristimewa Asia Selatan dan Asia Tenggara.



Dukungan yang terpenting yang diberikan untuk tujuan tsb adalah pemberian WERTHEIM AWARD kepada orang-orang Indonesia yang dibidang perjuangan untuk emansipasi telah memberikan sumbangsihnya, teristimewa di bidang ilmu, sastra dan jurnalistik.


Pada waktu didirikan (1988) Wertheim Stichting dikelola oleh pengurus yang terdiri dari 7 orang, sbb:Prof. dr. G.J. Huizer (Ketua); dr. Go Gien Tjwan (Wakil Ketua);dr. C.J.G. Holtzappel, (Sekretaris), drs. E. Ensering (Bendahari), dan anggota-anggotanya, Prof. dr. F.A.M. Hüsken, Prof. dr. J.M. Pluvier, dan dr. F. Tichelman. Dewasa ini ketua dijabat oleh Dr Coen Holtzappel; wakil ketua: dr Go Gien Tjwan, sekretaris/bendahara: Ibrahim Isa, dan anggota-anggotanya, Prof Dr Hüskan, drs Jaap Erkelens, drs Farida Ishaya dan drs Batara Simatupang.


(Akhir bagian 1 dari tulisan)

Kolom IBRAHIM ISA - “SUPERSEMAR” Di Satu Tangan, B E D I L Di Tangan Satunya.

Kolom IBRAHIM ISA
-------------------------
Jum'at 07 MARET 2008



“SUPERSEMAR” Di Satu Tangan,

B E D I L Di Tangan Satunya.


KUDETA Paling CANGGIH

Paling GANAS &

Paling BERDARAH


Tergulingnya rezim Orde Baru dan dimulainya era Reformasi sudah berlangsung hampir 10 tahun. Mantan Presiden rezim Orba, Jendral Suharto, penerima, pemegang dan pelaksana 'Supersemar' sudah meninggal dunia dua bulan yang lalu. Dengan melaksanakan 'Supersemar', Jendral Suharto telah dengan sukses melikwidasi pemerintahan Presiden Sukarno. Sebagai penggantinya beliau menegakkan rezim Orde Baru. Rezim ini sempat berjaya di negeri kita sejak periode antara 1967 s/d medio 1998.


Melalui pelacakan fakta-fakta, literatur nasional dan internasional serta dokumentasi, penekunan penelitian lapangan (a.l lewat cara oral history), rekonstruksi dan deduksi, bisa disimpulkan bahwa 'keberhasilan Jendral Suharto' merebut kekuasaan pemerintah dan negara, terutama disebabkan canggihnya cara yang ditempuh. Yaitu, dengan bersandar pada pokoknya pada kekerasan, pada kekuatan militer. Sebagai pelengkap, diregisir suatu cara manipulasi canggih (kup kontitusionil . . ? ) untuk membenarkan, mensahkan dan melegitimasi tindakan kekerasan militer. Cara ini ialah dengan menciptakan dan memanipulasi 'Supersemar'. Suatu surat perintah yang dikeluarkan oleh Presiden Pangti ABRI Sukarno tertuju kepada Jendral Suharto. Melalui cara-cara yang unik dalam sejarah perebutan kekuasan, 'Supersemar' telah secara efektif 'mempasifkan serta membelenggu' kekuatan politik dan militer yang ketika itu masih setia mendukung Presiden Sukarno.


Tibalah orang pada kesimpulan, bahwa bisanya Jendral Suharto menggulingkan Presiden Sukarno, melikwidasi apa yang disebut 'Orde Lama' Presiden Sukarno, kemudian menaikkan dirinya sendiri menjadi Presiden Ke-2 Republik Indnesia, --- penyebab utamanya ialah strategi dan taktik : di 'Satu Tangan Memegang Bedil –

Di Tangan lainnya 'SUPERSEMAR'.


* * *


'S U P E R S E M A R' - suatu akronim dari 'Surat Perintah Sebelas Maret '.

Dokumen apa itu? Begitu besar 'mukjizatnya' sehingga kuasa menggulingkan dan menggantikan Presiden Sukarno. Suatu 'dokumen' yang bisa secara 'sah' membubarkan dan melarang PKI, melarang marxisme. 'Supersemar' juga membenarkan tindakan persekusi, pembunuhan masal terhadap sejuta lebih warganegara tak bersalah, pemenjaraan dan pembuangan ratusan ribu lainnya. Membikin siapa saja yang berani menentang atau beroposisi, disingkirkan dan menjadi 'orang yang bermasalah'. Dengan kekuatan 'Supersemar' telah direvisi DPR dan MPR, dibentuk pemerintahan dan dinaikkan Jendral Suharto menjadi Presiden ke-2 Republik Indonesia.


Demikianlah 'mukjizatnya' dokumen Supersemar itu. Di satu fihak ia 'bisa segala'. Tetapi di lain fihak ia dibikin seperti suatu barang 'misterius'.


Sesungguhnya bukan misterius!

Dengan mata kepalaku sendiri telah aku lihat dokumen 'Supersmar' tsb. Ini dimungkinkan karena salah seorang pejabat lembaga negara ARSIP NASIONAL, yang bersahabat, atas inisiatifnya sendiri menunjukkan dokumen tsb padaku. Pejabat penting tsb menjelaskan bahwa yang tersimpan di ARSIP NASIONAL adalah kopinya. Tetapi ditandaskannya bahwa kopi tsb sesuai dengan aslinya.


Penguasa Orba sengaja membikin 'Supersemar' menjadi misterius. Tambah lagi diisukan pula, bahwa dokumen 'Supersemar' yang sempat menjadi buah bibir di masyarakat, dikatakan bukanlah yang asli. Bahwa yang asli, siapa tau apa isinya. Dari suatu misteri ke misteri lainnya.


* * *


Belakangan orang menjadi sadar. Semua 'kemisteriusan' Supersemar itu, memang sengaja diregisir demikian rupa. Sehingga orang menjadi bingung dan tidak mengerti lagi apa sebenarnya Supersemar itu. Dalam keadaan orang bertanya-tanya apa Supersemar itu, muncullah berita bahwa Supersemar itu, adalah suatu 'surat pelimpahan kekuasaan' dari Presiden Sukarno kepada Jendral Suharto.


Kemudian terungkap bahwa Presiden Sukarno yang formalnya masih Presiden, berkali-kali menjelaskan bahwa Supersemar bukan 'pelimpahan kekuasaan' , tetapi suatu 'perintah kepada Jendral Suharto bersangkutan dengan masalah penertiban keamanan. Tetapi penjelasan Presiden Sukarno itu di 'black-0ut' , 'dibungkam' oleh pers yang ketika itu sudah ada di bawah kekuasaan dan kontrol tentara.


Bisanya kemudian diterbitkan pidato-pidato penting Presiden Sukarno sekitar soal tsb; adalah berkat inisiatif dan usaha cermat sejarawan muda Bonie Triyana dan aktivis Budi Setiono. Atas usaha merekalah pidato-pidato penting Presiden Sukarno (yang diblackout itu) bisa terbit dalam bentuk buku berjudul “REVOLUSI BELUM SELESAI”.


Orang tidak mungkin tidak mengerti kata-kata Presiden Sukarno, yang diucapkannya pada waktu pelantikan Kabinet Ampera, pada tanggal 28 Juli 1966, sbb: /Pers asing mengatakan bahwa perintah ini adalah 'a transfer of authority to General Suharto'. Tidak. 'Its not a transfer of authority to General Suharto. I repeat again, its not a transfer of authority'. /


/Didalam buku itu juga 'Revolusi Belum Selesai', terdapat penegasan Presiden Sukarno (Nov 1965) bahwa: "Saya yang ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Subandrio. Bukan Leimena…. Bukan engkau Soeharto, bukan engkau Soeharto, dan seterusnya . . . . /


/Mengapa begitu tegas ucapan Presiden tsb? Penyebabnya ialah karena Jendral Suharto sedang sibuk melakukan 'kup merangkak'-nya. /



Sampai kini belum ada yang bisa memastikan, dimana dokumen aslinya disimpan. Pasti tidak ikut dikubur pada waktu pemakaman mantan Presiden Suharto Januari y.l. Ketika Jendral Jusuf masih ada, ada cerita bahwa dokumen asli 'Supersmar' ada pada beliau. Paling tidak beliau tau apa dan dimananya barang itu. Didesas-desuskan bahwa pada akhir umurnya Jendral Jusuf akan mengungkap misteri sekitar SUPERSEMAR. Tetapi sampai akhir numurnya tidak ada wasiat Jendral Jusuf yang mengungkap misteri sekitar SUPERSEMAR. Orang masih ingat bahwa Jendral Jusuf adalah salah seorang dari tiga jendral TNI AD yang mengitari Presiden Sukarno di Bogor yang kemudian menghasilkan 'keluarnya' Surat Perintah Sebelas Maret 1967 untuk . . . . . . Jendral Suharto.


* * *


Orang yang tak pernah tau apa itu 'kup merangkak', pasti akan terheran-heran, mengikuti jalannya perkembangan peristiwa sesudah gagalnya G30S. Hal-hal itu betul seperti 'pat-pat gulipat' dan 'abra-kedabra'.


Bagaimana hal tsb bisa terjadi: 'Kabinet 100 Menteri' yang sedang bersidang di bawah pimpinan Presiden Sukarno di Istana Merdeka, akhirnya ter(di)paksa bubar karena ada 'pasukan tak dikenal' menerjang masuk dan mengepung Istana tempat sidang kabinet. Presiden Sukarno di dampingi Waperdam Subandrio cepat-cepat mengungsi ke Bogor. Selanjutnya datang menyusul 3 jendral TNI AD, antaranya Jendral Jusuf.


Walhasil keluarlah SUPERSEMAR, Surat Perintah Sebelas Maret Presiden, untuk Jendral Suharto. Jendral Suharto, yang anggota kebinet 100 menteri itu, ternyata tidak hadir sidang kabinet tsb karena alasan 'sakit'. Menjadi jelas pula bahwa sidang kabinet yang bubar karena ancaman pasukan tak dikenal itu, kemudian diketahui bahwa pasukan 'tak dikenal itu' adalah pasukan Kostrad di bawah Jendral Sarwo Edhi.


Perhatikan berikut ini: -- Ketika pada 3 Maret 2007 di Jakarta diadakan seminar mengenai Supersemar, arahnya menunjukkan ketidak jelasan apa yang hendak dicapai dengan seminar tsb. Apalagi ketika salah seorang pimpinan seminar menyatakan bahwa tidak dimaksudkan untuk mempesoalkan sah tidaknya Supersemar.


Surat Perintah Sebelas Maret 1967 ? Surat Perintah dari siapa itu? Dan siapa pula yang diberi perintah? Tertera hitam di atas putih pada secarik kertas itu: Perintah Panglima Tertinggi Presiden Republik Indonesia, Sukarno. Siapa yang diberi surat perintah itu? Jendral Suharto!


Diskusi dalam seminar tsb samasekali tidak mempersoalkan, bagaimana bisa suatu surat perintah, --- notabene yang di dalamnya tertera hitam di atas putih, bahwa si penerima perintah, dalam hal ini Jendral Suharto, harus melapor kepada Presidan, tambahan lagi mendapat tugas untuk memelihara/membela kewibawaan Presiden Sukarno serta ajaran-ajarannya, ---- akhirnya melalui suatu 'pat-pat gulipat', yang seolah-olah 'konstitusionil' , --- 'Supersemar' tsb menjadi 'senjata ampuh' untuk menggulingkan Presiden Sukarno, fihak yang memberikan perintah.


Maka di sini menjadi jelas, bila hendak bicara hal 'SUPERSEMAR', tak bisa tidak harus bicara tentang adanya SUATU PENGKIANATAN yang tidak ada duanya dalam sejarah Republik Indonesia. Suatu pengkhianatan Suharto, Jendral TNI AD, terhadap Sukarno, Presiden RI, Panglima Tertinggi ABRI.


Dewasa ini kita tetap prihatin, mengikuti dan juga menyaksikan perkembangan di masa yang belum lama, menyaksikan keadaan kini kaum cendekiawan 'kita' -- para akhli ilmu kenegaraan, para akhli hukumnya, akhli undang-undang dsb --- , kaum politisi 'kita', perwira-perwira angkatan bersendjata RI -- yang tidak sedikit dari mereka-mereka itu telah benar-benar TERLIBAT DALAM PENGKHIANATAN tsb. Lebih memprihatinkan lagi, ialah bahwa masih cukup banyak dari mereka-mereka itu, masih belum sadar dan tobat akan kesalahan dan pengkhianatannya.


Keprihatin ini bukan tanpa alasan.


Bukankah kebesaran, kebijakan dan hati nurani suatu bangsa a.l tercermin pada kenuranian, keberanian membela keadilan dan kebenaran, serta kesadaran dan kemampuan berfikir bebas kaum cendekiawannya?

* * *

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita - INTERMEZO - <19> - 'Multatuli Genootschap' di Doelenzaal

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-----------------------------------
Senin, 03 Maret 2008*

INTERMEZO - <19>


'Multatuli Genootschap' di Doelenzaal

Bibliotheek Universiteit van Amsterdam

Kebiasaan dalam masyarakat Belanda :

Orang-orang yang ada kegiatan dalam salah satu perkumpulan, perhimpunan, yayasan atau organisasi non-pemrintah lainnya, biasanya, menggunakan hari-hari weekend untuk mengadakan rapat-rapat pengurus atau rapat anggota mereka. Bila masalahnya mendesak, tidak jarang rapat-rapat itu diadakan pada malam hari. Seusai jam kerja.


Ambillah sebagai contoh, perkumpupan rumah tangga di tempat tinggal kami: Haag en Veld, Bijlmer, Amsterdam Zuidoost. Penduduk flat Haag en Veld, yang berkapasitas 300 apartemen, punya organisasinya sendiri: 'Het Buurthuis Haag en Veld' namanya. Rapat-rapat kami selalu diadakan pada malam hari. Organisasi rumah tangga kami ini, hampir selalu menggunakan hari-hari weekend untuk rapat-rapat atau kegiaatan lainnya. Sebabnya, pada hari-hari weekend itulah ada waktu senggang untuk kegiatan di luar kerja sehari-hari.


* * *


Demikian halnya dengan 'Multatuli Genootschap ', bahasa Indonesianya, 'Perserikatan Multatuli'. Suatu perkumpulan yang berkepedulian dengan segala sesuatu yang bersangkutan dengan Multatuli alias Douwes Dekker. Di kalangan budaya Belanda, Multatuli dinilai sebagai novelis terbesar yang setara dengan penulis-penulis kaliber dunia.


Untuk keperluan rapat-rapatnya, perhimpunan memilih hari-hari weekend. Maka Sabtu kemarin, selaku anggota, aku memerlukan hadir pada rapat umum anggota 'Mutatuli Genootschap' . Rapat berlangsung di di Doelenzaal Bibliotheek Universiteit van Amsterdam, di Singel no 425 Amsterdam Centraal.


Ada sesuatu yang aku anggap 'lain dari yang lainnya' rapat kali ini. Sesuatu yang istimewa. Ini lainnya: Pengurus juga menyambut hadir siapa saja yang menaruh perhatian, yang peduli Multatuli dan karya-karyanya. Aku lupa tanya kepada Sekretaris Perhimpunan, Tom Phijffer, seorang pengacara dari sebuah kantor advokat yang besar di Amsterdam, apakah untuk kali ini saja yang non-anggota diundang hadir, ataukah selalu begitu.


Cerita singkatku hari ini, ialah mengenai kesanku tentang rapat tahunan anggota Perkumpulan Multatuli tsb. Isi pokok rapat anggota hari itu ialah, memilih ketua baru, menggantikan ketua selama ini, Prof. Dr. Fraser, seorang historikus Belanda, yang merasa sudah cukup lama sebagai ketua, dan akan melakukan kegiatan lainnya di bidangya sebagai cendekiawan. Selain itu mendengarkan laporan pengurus selama setahun, dan laporan keuangan.


Yang menjadi tema utama pertemuan selain masalah-masalah organisasi, ialah:

Diskusi forum, dengan tema: --- MULTATULI In CANON. Maksudnya Multatuli dalam Kumpulan Karya Sastra Nederland. Pada tahun 2006 di Belanda diumumkan 'CANON van NEDERLAND', maksudnya Kumpulan Karya Sastra Nederland. Dimulai dengan jauh pada tahun 3000 SM dan berakhir dengan Eropa.


Bagi orang Belanda CANON itu punya berbagai arti. Umumnya dimaksudkan sebagai keseluruhan orang-orang penting, teks, karyaseni, benda-benda, gejala dan proses yang ksesemuanya menunjukkan bagaimana Belanda berkembang menjadi suatu negeri seperti yang sekarang ini.


Di situ pula dijelaskan bahwa tak diragukan lagi, bahwa MULTATULI (Artinya 'Saya Yang Banyak Menderita') adalah sastrawan Belanda yang terbesar di abad ke-XIX. Bahkan mungkin, demikian dikatakan, Multatuli adalah penulis Belanda terbesar di sepanjang masa. Siapa saja yang membaca roman Multatuli 'Max Havelaar', akan berhadapan dengan jiwa kritis Multatuli. Justru ini pulalah yang membuatnya masyhur di seluruh dunia. Di salah satu bagian karya Multatuli itu, terdapat drama tentang 'SAIJAH Dan ADINDA' yang sangat menyentuh. Di negeri kita bagian ini sering dikutip dan dipentaskan di panggung.


* * *


Multatuli juga memperoleh tempat terhormat dalam CANON dalam sejarah Belanda. 'Max Havelaar' oleh banyak orang dinilai sebagai karya-maestro dalam literatur Belanda.


Sedangkan maksud penyusunan CANON, pertama-tama ialah untuk kepentingan PENDIDIKAN. Dimaksudkan sebagai suatu (pegangan) pengarahan dalam memberikan pelajaran di sekolah-sekolah dasar dan bagian pertama dari sekolah-sekolah lanjutan (menengah - menenngah atas).Caranya? Yaitu dengan penyusunan suatu PETA dengan limapuluh jendela. di situ dijelaskan apa arti yang patut diberikan pada bagian yang dimaksudkan dalam canon tsb. Peta itu juga merupakan daftar dari peristiwa-peristiwa dan orang-orang penting dalam sejarah Belanda.


Dalam hal ini bisa ditarik pelajaran dari metode pendidikan di Belanda, yang memberikan arti penting pada pengenalan dan pemahaman generasi muda, terhadap leteratur bangsa dari zaman ke zaman. Betapa mereka a.l. memberikan arti penting bagi seorang sastrawan Belanda dan karyanya yang terkenal 'MAX HAVELAAR'. Dalam sekolah-sekolah Belanda, buku roman 'Max Havelaar' dijadikan bacaan wajib.


Mengapa hal ini penting dan menarik? Karena menggugah menggugah kita orang-orang Indonesia. Karena yang dianggap penting oleh * Belanda * itu, berkenaan dengan suatu karya seni yang menyangkut NASIB RAKYAT KITA pada zaman Hindia Belanda dulu. Yaitu Multatuli dan karyanya 'Max Havelaar'.


* * *


Maka mengenai soal-soal kongkrit yang sesungghynya merupakan masalah intern-organisasi, namun, orang-orang non anggota disambut juga jika mau hadir. Memang lain dari yang lain!


Mutatuli menjadi amat terkenal di negerinya sampai ke mancanegara dengan bukunya 'Max Havelaar', nama lengkap buku Multatuli adalah 'Max Havelaar, Of De Koffieveilingen der Nederlandse Handelmaatschppij'. Siapa Multatuli, yaitu nama-pena Eduard Douwes Dekker, kiranya pembaca Indonesia cukup mengenalnya. Buku Multauli 'Max Havelaar' sudah pernah diterbitkan edisi bahasa Indonesia, dan telah dua, tiga kali dicetak ulang.


Untuk menyegarkan kembali ingatan kita mengenai siapa Multatuli baik juga dikemukakan kaitan Multatuli dengan bukunya yang paling terkenal, yaitu ' Max Havelaar', sbb:


Buku Multatuli, 'Max Havelaar', terbit 1860, ditulisnya dalam jangka waktu sebulan (1859), di kamar sebuah hotel kecil di Brussel. Oleh kalangan luas budaya di Belanda, karya Multatuli dinilai sebagai literatur Belanda yang terpenting. Multatuli telah memelopori suatu gaya penulisan yang merupakan gaya penulisan baru. Ia juga dikatakan sebagi romantikus terbesar dalam literatur Belanda.


Di negeri kita, Multatuli dinilai sebagai seorang sastrawan Belanda yang progresif. Beliau dihargai dan dikagumi, karena sebagai orang Belanda , bahkan pejabat kolonial Hindia Belanda, ia punya hati nurani. Dengan jernih Multatuli mengisahkan nasib buruk rakyat Indonesia di bawah kekuasaan kolonial/feodal, dalam hal ini kaum tani di Lebak, dimana Multatuli pernah menjadi asisten residen.


Pada periode Orba penguasa melarang dipertunjukkannya film 'Max Havelaar' produksi Belanda. Alasannya ? Sungguh memalukan. Betul-betul mengungkap kepicikan jiwa penguasa Orba ketika itu. Sebagai alasan penolakan atas film tsb, dikatakan bahwa film tsb menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia (tuan-tuan feodal yang berkuasa ketika itu) diceriterakan sebagai 'lebih kejam' dari penguasa kolonial Hindia Belanda.


* * *


Menarik untuk diketahui bahwa sebagai penerus ketua 'Multatuli Genootschap' telah dipilih Ny. Winnie Zorgdrager, mantan Menteri Kehakiman Belanda pada Kabinet PM Wim Kok, yang sudah

meninggalkan kegiatan aktif politik. Kini W Sorgdrager, mencurahkan perhatiannya pada kegiatan masyarakat, a.l. dengan menerima pilihan rapat umum anggota untuk menjadi ketua 'Multatuli Genootschap'.


Dalam kesempatan menyatakan selamat kepada Ny Winnie Sorgdrager sebagai ketua baru 'Multatuli Genootschap', tidak lupa aku manfaatkan kesempatan ini, untuk minta perhatian beliau terhadap kegiatan STICHTING WERTHEIM. Menurut rencana pada tanggal 04 Juni s/d 06 Juni 2008, Stichting Wertheim akan mengadakan kegiatan sekitar PERINGATAN 100 Th WERTHEIM. Diisi dengan suatu seminar dan pameran di gedung IISG (International Instituut voor Sociale Geschiedenis) dan PENYERAHAN WERTHEIM AWARD 2008 kepada BENNY G SETIONO. Yang akan dilakukan ada tanggal 06 Juni 2008 di ruangan Fakultas Psikologi Universiteit van Amsterdam. Untuk keperluan tsb Stichting Wertheim telah mengundang Benny Setiono datang ke Amsterdam. Ini telah kusampaikan juga kepada sekretaris 'Multatuli Genootschap', Tom Phijffer.


* * *


Diharapkan perkumpulan Multatuli ini, dengan perhatian masyarakat , dan subsidi dari Kotapraja Amsterdam, akan lebih nyata dan lebih banyak lagi kegiatannya. Bagi Indonesia ada arti khusus, karena, Multatuli dan karyanya 'Max Havelaar' adalah salah satu tali penghubung dan pengikat bagi saling mengenal dan saling merespek berkenaan dengan usaha untuk memperbaiki lebih lanjut hubungan dua negeri dan bangsa, Indonesia dan Nederland.


NB

----


Untuk peminat besangkutan dengan Musium Multatuli, ada artikel yang pernah kutulis berjudul: Sudahkan Anda Berkunjung ke Musium Multatuli?


Untuk itu, silakan klik :

--- http://ibrahimisa.blogspot.com/2007_04_01_archive.html

---RumahDunia.Net - Diary (http://www.rumahdunia.net).


* * *

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita - INTERMEZO - (18) - MERASA LEGA DENGAN KEPERGIAN SUHARTO

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-----------------------------------
Jum'at, 29 Februari 2008*

INTERMEZO - (18)

MERASA LEGA DENGAN KEPERGIAN SUHARTO

Beberapa waktu yang lalu Mrs Marjolein Stoop, jurnalis dari Radio Nederland Wereldomroep (RNW) datang ke rumahku untuk mengambil wawancara sekitar Meninggalnya Mantan Presiden Suharto. Hari ini kuterima kiriman Radio Nederland (RNW) sebuah artikel yang ditulis oleh wartawan RNW, René Thijsse, sekitar reaksiku berkenaan dengan meninggalnya mantan Presiden Suharto.

Dikirimkannya pula rekaman wawancara yang diambil oleh jurnalis Marjolein Stoop.

Sebuah situs di internet bernama 'INDISCH 4EVER' Nieuws Weblog telah juga memuat artikel yang serupa. http://indisch4ever.weblog.nl/indisch4ever/2008/01/ibrahim_isa_en_.html>

Dua-dua bahan tsb untuk pengeetahuan pembaca disertakan bersama ini.

Maaf bagi yang tak mengerti bahasa Belanda, kiranya tak akan bisa mengetahui isi dua bahan tsb.

Di bawah ini kedua bahan tsb.

Nederlands NIEUWS

Nederlands > NIEUWS

* * *


IBRAHIM ISA BLIJ DAT SOEHARTO DOOD IS
Door René Thijsse
29-01-2008

MARJOLIEN STOOP in gesprek met Ibrahim Isa (8'41").

Voor Ibrahim Isa is de dood van de voormalige Indonesische president Soeharto een opluchting. Isa leefde decennialang in ballingschap. Hij stond sinds 1965 op een zwarte lijst nadat hij Soeharto een massamoordenaar genoemd had.

isa350.jpg

Ibrahim Isa:

"SOEHARTO WAS CORRUPT. HIJ WAS EEN DIEF, EEN KLEPTOMAN

Foto: Marjolein Stoop/RNW.*


* * *

"Ook na de dood van Soeharto is de politieke situatie in Indonesië niet stabiel. Ik kan nog steeds niet onder mijn eigen naam terug naar mijn vaderland. Het zou namelijk zo maar kunnen gebeuren dat de inlichtingendienst mij meeneemt en dat ik dan verdwijn. Dat kan vandaag de dag nog gebeuren in Indonesië."

Voor de 77-jarige oud-verzetsstrijder Ibrahim Isa is de dood van de zondag overleden ex-dictator Soeharto een opluchting. "Ik heb een last minder, ik zal hem missen als kiespijn." Isa streed jarenlang tegen generaal Soeharto vanuit het buitenland. Sinds hij op een zwarte lijst van ongewenste personen belandde is hij slechts zeven keer terug geweest in zijn geboorteland. Dat deed hij onder een valse identiteit, die hij kreeg van de Nederlandse regering.

* * *
Suharto.jpg
Oud-president Soeharto overleed zondag 27 januari

POSTUUM BERECHTEN
Nu de oud-dictator dood is kan er volgens Isa eindelijk worden geleerd van de fouten uit het verleden. Isa: "Het is goed om postuum Soeharto en zijn generaals te berechten. Dat is ook gebeurd in Spanje na het overlijden van generaal Franco. Soeharto was een massamoordenaar, onder zijn regime hebben grote schendingen van de mensenrechten plaatsgevonden. Hij heeft in Indonesië vele politieke tegenstanders uit de weg laten ruimen. In 1975 lijfde hij Oost-Timor in bij Indonesië. Dat heeft 300.000 Timorezen het leven gekost!"

"Soeharto was corrupt, hij was een dief, een kleptomaan. Dat geldt trouwens voor een groot deel van zijn familie. Zijn familie is de rijkste familie in Indonesië. Voorstanders van Soeharto vinden dat hij Indonesië economisch vooruit heeft geholpen, terwijl hij Indonesië heeft opgezadeld met een schuld van bijna 150 miljard dollar!"

*BALLICHGSCHAP*
Isa begon zijn strijd tegen Soeharto toen deze aan de macht kwam in 1965. Hij werkte ten tijde van de regering Soekarno voor een niet-gouvernementele organisatie. Isa: "De regering Soekarno werd voornamelijk gesteund door communisten en sociaal-democraten. Soeharto vermoordde deze politieke tegenstanders en pleegde in het najaar een staatsgreep. Ik was eind '65 in Havana op een conferentie als voorzitter van een Indonesische delegatie. Daar heb ik verteld wat er gaande was in mijn land, over de staatsgreep en de genocide. Vanaf dat moment was ik een doelwit van Soeharto. Er werd een team gestuurd naar Caïro, waar mijn familie verbleef. Dit met het doel hen naar Indonesië te laten komen zodat ik ook gedwongen werd terug te gaan. Maar ik werd door de Indonesische ambassade ingelicht over de plannen van dat team. Vrienden haalde mij toen over naar China te emigreren om te werken voor een Afro-Aziatisch instituut. Ik heb daar veel geschreven en gepubliceerd."

China en Indonesië
Na twintig jaar Peking moest Isa zijn koffers weer pakken. China en Indonesië haalden de banden aan, waardoor kritiek op de regering Soeharto de Chinezen niet meer zo goed uitkwam. Hij vertrok met zijn gezin naar Nederland. Daar zette hij zijn publicaties tegen het Soeharto-bewind voort.

Nu is Soeharto dood. Toch wil Isa niet meer voorgoed terug naar Indonesië: "Ik ben oud. Mijn familie en vrienden wonen hier. Voor de strijd kan ik beter hier blijven en af en toe naar Indonesië reizen."

Trefwoorden: ibrahim isa , indonesische politiek , soeharto

* * *

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita - INTERMEZO - <17> - < Buku Sekitar Zaman 'BERSIAP' (1) > -

IBRAHIM ISA - Berbagi Cerita
-------------------------------
Senin, 25 Februari 2008


INTERMEZO - <17> -

Mengunjungi Perpustakaan Amsterdam Lagi

<>


Belakangan, aku berkunjung lagi ke 'Openbare Bibliotheek Amsterdam' (Bangunan baru). Ada kawanku yang bilang: 'Kamu, tiap hari di sana, ya?' Tidak, aku bilang. Tetapi memang, aku secara teratur berkunjung ke Openbare Bibliotheek Amsterdam. Yang baru-baru ini ialah pada akhir Januari y.l.


* * *


Subjudul diatas tertulis: -- 'Sekitar Zaman 'Bersiap'. Maksudnya adalah tanggapanku sendiri secara umum mengenai buku yang baru saja kupinjam dari Openbare Bibliotheek Amsterdam. Judul lengkapnya ialah -- ' BE RS I A P ! - Opstand in Het Paradijs -- De Bersiap Periode op Java en Sumatra 1945-1946' -- Dalam bahasa Indonesia, kira-kira: ' BERSIAP, Pemberontakan di Surga - Periode Bersiap di Jawa dan Sumatra 1945-1946'. Penerbitnya Uitgveverij Walburg Pers, Zutphen, Holland (2005). Ditulis oleh seorang historikus bangsa Belanda turunan Indonesia. Historikus Belanda yang juga dikenal sebagai orang 'INDO' itu bernama Dr H.J. Bussemaker.


Kubilang saja sekarang-sekarang ini -- bila Anda sempat membaca buku Bussemaker tsb, jangan harap akan membaca kisah perjuangan dan kepahlawan para pemuda Indonesia melawan tentara Inggris, Jepang dan Belanda pada periode perang kemerdekaan kita. Bukan hal itu yang menjadi isi pokok bukunya. Nanti akan kujelaskan belakangan.


Bagi kita, terutama bagi yang pernah ikut ambil bagian langsung dalam periode awal perang kemerdekaan, teriakan 'BERSIAP' di sekitar periode itu, a.l. di Jakarta, terang masih jelas dalam ingatan. Teriakan 'Bersiap' atau 'Siaaaaaaap!' . . . . bagi para pejuang kemerdekaan ketika itu adalah seruan dan teriakan perjuangan, teriakan keberanian melawan musuh kemerdekaan bangsa.: Tentara Inggris, Gurka, Jepang, Nica dan antek-anteknya.


Bagi kita periode 'Bersiap' itu kemudian tidak begitu dibicarakan lagi. Juga tidak terlalu luas dikenal. Yang terutama dikenal adalah berita dan kisah sekitar kepahlawanan pemuda dan rakyat umumnya, pada saat-saat berlangsungnya 'Pertempuran melawan Inggris di Surabaya'. Juga pertempuran sekitar Bandung yang telah menjadi 'lautan api', karena dibakar musuh, dan pertempuran sekitar Magelang- Ambarawa.


Bicara masalah seruan dan teriakan perjuangan, yang menonjol ialah seruan dan teriakan sambil mengepalkan tangan kanan keatas, 'MERDEKA, Sekali Merdeka Tetap Merdeka'. Merdeka Bung! 'Maju Terus Pantang Mundur! Maju ke Front!


Namun, lain kesan dan ingatan nyantol pada golongan dan kaum yang berbeda. Bagi segolongan bangsa Belanda, yang jumlahnya hampir setengah juta orang, khususnya bagi orang-orang Belanda yang pada zaman pendudukan militer Jepang dimasukkan ke kamp-kamp interniran Jepang (kira-kira 130.000 orang dengan segala penderitaan yang mereka alami), dan bagi mereka, umumnya golongan 'Belanda Indo' yang oleh Jepang tidak dijebloskan dalam kamp interniran (sekitar 300.000-an); --- 'Periode Bersiap' itu merupakan saat-saat m e n g e r i k a n dan menakutkan. Periode 'Bersiap' tsb akhirnya merupakan semacam 'trauma' . Mungkin sampai saat ini masih demikian adanya. Mereka-mereka itu, khususnya golongan Belanda- Indo adalah orang-orang yang tergolong menjadi korban akibat konflik dan kekerasan pada periode tsb.


Buku yang ditulis oleh Dr. H.J. Bussemaker tsb terutama mengenai orang-orang Belanda Indo tsb.


* * *


Pada kunjunganku ke Openbare Bibliotheek Amsterdam kali ini , aku dihadapkan pada surprise baru lagi.


BUKU OTOBIOBRAFI BUNG KARNO

Surprise pertama dulu, ialah ketika mula-awal aku berkunjung ke perpustakaan Openbare Bibliotheek Amsterdam yang baru dibangun ketika itu. Ketika itu aku menemukan buku Bung Karno di situ. Dengan sendirinya aku gembira. Sekaligus angkat topi pada penulis-penulis Belanda, baik yang jurnalis, pakar maupun historikus. Di negeri Belanda ini, seperti juga halnya di pelbagai perpustakaan perguruan tinggi dan nasional lainnya, termasuk di Amerika Serikat, London, Australia dll. terdapat literatur tentang tokoh Proklamator Republik Indonesia, Ir Sukarno, yang boleh dikatakan berimbang. Ada yang mati-matian anti-Sukarno, ada yang berusaha obyektif. Tapi ada juga yang atas dasar penelitian sendiri, kemudian menjadi kagum terhadap tokoh Sukarno dan menyimpulkan bahwa Bung Karno adalah BAPAK NASION INDONESIA. Pendirian orang asing seperti ini, a.l. adalah pendirian Prof. Dr Bob Hering, historikus terkenal berbangsa Belanda.


Tidak ketinggalan pula adanya orang-orang yang mengidap dendam kesumat terhadap Bung Karno. Mereka itu bukan saja terdiri dari orang-orang asing, dan orang-orang Belanda yang pandangan kolonialnya belum berubah, tetapi . . . diantaranya ada orang-orang Indonesia. Mereka berargumentasi, bahwa Sukarno adalah 'kolaborator Jepang', Sukarno 'pembunuh demokrasi di Indonesia dan, yang memimpin Indonesia secara 'otoriter'. Bahwa 'Sukarno tukang kawin' dsb. Tuduhan dan cacian mereka itu, tidak beda dengan propaganda NICA, pada periode perjuangan kemerdekaan rakyat kita melawan Jepang, Inggris dan Belanda. Banyak diantaranya adalah pengikut-pengikut Dr H.J. Van Mook. Tidak sedikit dari mereka itu adalah orang-orang bayaran NICA, yaitu Netherlands Indies Civil Adminstration. Suatu pemerintah Hindia Belanda sesudah Perang Dunia II, yang berusha menegakkan kembali kolonialisme Belanda di Indonesia.


Orang-orang bayaran NICA tsb kerjanya mencari 'bahan bukti' tentang kekurangan-kekurangan Bung Karno. Orang-orang anti-Sukarno seperti itu tampaknya sudah 'tak tertolong lagi'. Karena, jalan fikiran dan logika mereka sudah kadung diracuni oleh cara memandang, cara berfikir dan kultur seperti yang berlangsung di Indonesia pada periode rezim Orba. Mereka-mereka itu tidak bisa berfikir bebas, tak mampu melihat hal-ihwal secara keseluruhan, dalam segala seginya. Kalau dengar nama Bung Karno, kontan berdiri bulu tengkuknya. Bisa karena timbul nafsunya yang berkobar-kobar untuk mencaci-maki dan memburukkan nama Bung Karno. Bisa juga karena khawatir, jangan-jangan 'Sukarnoisme' tambah populer di Indonesia.


Orang-orang seperti itu tidak suka bahkan tidak pernah dengan teliti membaca karya-karya politik Bung Karno, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Bisa diduga bahwa mereka tidak pernah membaca Otobiografinya Bung Karno sendiri, seperti yang dikisahkannya kepada seorang penulis Amerika, Cindy Adams. Sayang yang ada di Openbare Bibliotheek Amsterdam, bukan buku yang orisinil. Tapi edisi bahasa Belanda. Berita mengenai buku otobiografi Bung Karno edisi Belanda ini kusampaikan kepada Jusuf Isak. Jusuf Isak adalah salah seorang wartawan Indonesia, pejuang demokrasi yang menguasai riwayat dan ajaran-ajaran Bung Karno, terbanding banyak orang yang mengaku dirinya Sukarnois atau Marhaenis.


Jusuf Isak cepat saja minta supaya dicarikan satu kopi edisi bahasa Belanda itu. Memang, Jusuf Isak fasih bahasa Belanda. Dan dalam percakapan sehari-hari dengan kawan yang mengerti bahasa Belanda, Jusuf Isak lebih banyak menggunakan bahasa Belanda.


Dalam cakap-cakap kami, -- sering Jusuf Isak menyatakan bahwa tidak sedikit orang termasuk penulis asing, yang 'sok tau' dan 'sok paling kenal' , 'sok pinter' tentang siapa dan apa peranan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk kemerdekaan. Dari tulisan dan ucapan mereka tentang Bung Karno, kata Jusuf Isak, jelas bisa dilihat bahwa mereka-mereka itu samasekali tidak mau tau dan tidak mau mengerti peranan Bung Karno dalam sejarah Indonesia. Jusuf beberapa kali mengatakan bahwa novelis Pramudya A. Tur pernah mengatakan, siapa yang tidak mengerti Bung Karno, tidak mungkin kenal bangsa Indomesia.


* * *


Kujumpai di Openbare Bibliotheek Amsterdam kali ini, d u a buah buku karangan dua orang Belanda mengenai, atau, yang berkaitan dengan REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA. Bagiku buku-buku itu baru, meskipun sudah dua tahun terbitnya. Masih ada orang-orang Belanda, baik yang historikus maupun lainnya, yang tertarik, berusaha memahami apa yang terjadi ketika terjadi perjuangan kemerdekaan oleh bangsa Indonesia. Apa pengaruh dan akibatnya terhadap mereka-mereka, orang-orang Belanda maupun Indo, yang pada zaman pendudukan Jepang masuk kamp-kamp tahanan Jepang.


Aku kira selanjutnya tetap masih akan ada bahkan mungkin bertambah orang-orang Belanda yang tertarik bahkan terpesona. Selain berusaha memahami apa itu Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Suatu gejala yang menunjukkan perhatian terhadap hubungan Indonesia Belanda, baik sebagai partner bisnis maupun dalam kaitannya dengan masa lampau, katakanlah masa 'tempo doeloe', maupun dalam rangka memperbaiki dan memajukan hubungan saling mengerti dan bersahabat antara dua negeri dan dua bangsa kita.


Aku tak tau sudah berapa banyak buku mengenai, atau, yang bersangkutan dengan Revolusi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh orang Belanda. Terakhir kita tau, yang menyangkut periode revolusioner tsb dan bersangkutan dengan kekuatan bersenjata Republik Indonesia, adalah buku yang ditulis oleh Dr. B. Bouman, purnawirawan Brigjen Artileri Tentara Kerajaan Belanda,. Buku tsb berjudul -- 'De Logistiek Achter de Indonesische Revolutie, 1945-1950'. (Latar Belakang Logistik Revolusi Indonesia').



* * *


Ada dua buah buku yang kupinjam.

Buku yang pertama yang ditulis oleh Dr H.J. Bussemaker (sudah kusinggung dimuka tadi) pada sampul buku dimuat sebuah lukisan sketsa truk-truk penuh pemuda-pejuang. Kiranya iring-iringan truk pemuda tsb sedang menuju ke Front. Sang Saka Merah Putih berkibar-kibar di atas truk-truk yang penuh dengan para pemuda. Pada truk paling depan tertulis besar-besar REPOEBLIK INDONESIA.


Buku kedua yang kupinjam berjudul: 'REVOLUTIE IN SOERABAJA' -- 17 augustus - 1 december 1945'. Seremnya , pada kulit luar buku ini terpampang besar-besar gambar yang populer kita kenal pada periode permulaan revolusi kita, yaitu foto Bung Tomo yang sedang pidato berapi-api dengan mata membelalak, sambil mengacungkan tangan kanannya dengan tulunjuk jari diarahkan ke atas. Bung Tomo berrambut gondrong, mengenakan pakaian seragam tentara berpici tentara (tidak jelas lencana apa yang disematkan di picinya). Mengenai buku ini baru kemudian akan ku bicarakan.



Sedikit menyela :

Sebutan kata 'INDO' tadi itu, jangan dikisruhkan dengan penyebutan kata 'Indon' yang belakangan ini digunakan oleh orang-orang di Malaysia bila yang dimaksudkan ialah orang Indonesia. Bagi orang-orang Indonesia, sebutan itu tidak énak kedengarannya. Maka sekali tempo pernah diajukan kritik dan protes keras terhadap penamaan tsb oleh orang-orang Malaysia. Juga, dirasakan bahwa, penamaan itu, oleh orang-orang Malaysia bersangkutan, memang sengaja dimaksudkan untuk sedikit-banyak, merendahkan orang-orang Indonesia, 'ngenyék', kata orang Jawa. Maka siapapun, pertimbangkanlah masak-masak, janganlah menggunakan penamaan ' I n d o n ' , bila yang dimaksudkan itu adalah orang-orang Indonesia. Bila maksudnya orang Indonesia, sebut saja, ya, INDONESIA. Kan gampang saja. Jangan mengada-ada. Bukankah lebih baik mencegah timbulnya soal yang tidak dikehendaki dan tidak perlu terjadi. OK?!


* * *


Buku Dr. H.J. Bussemaker, yang dibangun secara kronologis serta membicarakan pelbagai fase periode 'BERSIAP', mencakup peranan Jepang dan Inggris. Bertolak dari sumber bahan luas dipersoalkan dan dikemukakan kritik mengenai ke-efektifan Inggris. Juga diajukan pendapat/kritik terhadap kebijakan Nederland.


Dikatakan bahwa sekitar periode 'BERSIAP' tsb dalam banyak hal telah menentukan pembentukan identitas orang-orang Belanda Indo. Hal itu juga yang telah mendorong mereka a.l. secara masal meninggalkan Indonesia, negeri tempat kelahiran dan hidup mereka puluhan tahun, dan kembali ke negeri Belanda pada tahun 50-an (sesudah diberlakukannya Persetujuan Konferensi Meja Bundar, (KMB) disaat Belanda 'menyerahkan kedaulatan' Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat). Mereka-mereka itu (helaas!) tidak mendapatkan sambutan hangat di Nederland.


Pembicaraan mengenai buku H.J. Bussemaker ini akan kulanjutkan dalam tulisan berikutnya. (Bagian ke-2 dari tulisan ini)


* * *

IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 23 FEB 2008

----------------------------------------------------------------

IBRAHIM ISA'S -- SELECTED INDONESIAN NEWS & VIEWS, 23 FEB 2008*

----------------------------------------------------------------

Indonesia in dilemma over Kosovo independence
House knocks back new mudflow report
Question the judges, KPK told
House of Representatives adopts parliamentary threshold
Sharia controversy
Kalimantan town comes together for Cap Go Meh
Press bodies to request judicial reviews

================================================================


RI in dilemma over Kosovo independence

Abdul Khalik and Desy Nurhayati, The Jakarta Post,
JakartaIndonesia has delayed its decision on whether to recognize or reject Kosovo's independence until it can settle differences at home and be sure of the international voicePresident Susilo Bambang Yudhoyono said Monday Indonesia was closely following developments in Kosovo and monitoring views at the national level and at the United Nations before issuing the right decision on Kosovo.

"In time we will convey our best position for Kosovo. If Kosovo's independence is the best for Kosovo and other nations in the world then we will be in the position to support it. "In accordance with our traditions, we will consult our parliament to be able to have a position on certain world issues," Yudhoyono told reporters during a joint press conference with visiting Finnish President Tarja Halonen at the State Palace. Indonesia's indecisiveness has been apparently caused by dissenting opinions among domestic stakeholders, with the country's largest party, Golkar, and several Islamic-related parties, notably the Prosperous Justice Party (PKS), the United Development Party (PPP) and the National Mandate Party (PAN) supporting Kosovo's independence while the second largest party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) and several minor parties rejecting it.

Golkar's senior lawmaker Theo Sambuaga urged the government to quickly recognize and support Kosovo's independence, underlining the fact that Indonesia is a pro-independence nation and all Kosovo people support the declaration. "Our recognition to Kosovo doesn't mean that we encourage separatism movements within our territory because we have a different history from Kosovo, which is part of the former Yugoslavia. If other former Yugoslavian territories can separate, why can't Kosovo?" he told /The Jakarta Post/. Like Kosovo, Indonesia is a predominantly Muslim territory. The PKS said Indonesia's recognition of Kosovo's independence should be made through the UN. "Indonesia should push for international recognition through the UN General Assembly to put more weight on the recognition," Mutammimul Ula of the PKS told the Post. Indonesia is a non-permanent member of the UN Security Council.

But fear of flourishing separatist movements, including Papua and Aceh, as a result of Indonesia's recognition of Kosovo's independence haunt the nationalist-oriented PDI-P. "We should be very careful. Territorial integrity is guaranteed by the UN Charter and our Constitution. Kosovo's independence will set a bad precedent that a territory can just secede even without the UN's consent," senior lawmaker Sidharto Danubroto of PDI-P told the /Post/. Several analysts have expressed concerns that the Kosovo issue would provide some parties with ammunition to petition for another move to question the President in the House of Representatives to win the public's hearts ahead of the 2009 elections.


House knocks back new mudflow report

The Jakarta Post*, Jakarta, Sidoarjo - 20 .02 .08The House of Representatives unanimously dismissed Tuesday a report from its own special team concluding that the devastating mudflow in East Java was a natural phenomenon.The report apparently sided with Lapindo Brantas Inc., widely blamed for the disaster that began on May 29, 2006, lawmakers told a plenary meeting on the mudflow. "The report seems to have been written by Lapindo's public affairs division," legislator Permadi of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) said. He said the report clearly defended Lapindo, linked to the family of chief welfare minister Aburizal Bakrie, since it failed to cite the role of Lapindo in causing the mudflow in Sidoarjo regency. The plenary session created confusion over whether it had also decided to continue with the House's plan to question senior officials, including President Susilo Bambang Yudhoyono, about the government's commitment to victims of the disaster. House Deputy Speaker Soetardjo Soerjogoeritno, who presided over the session, confirmed the plan.

However, some members of the special team held a press conference shortly after the plenary session to say the meeting concluded that the team had to continue its investigation. "We have already clarified this with /Mbah/ Tardjo (Soetardjo) and what he decided was to prolong this team's work," said Priyo Budi Santoso, a Golkar Party legislator with the team. Permadi said if the special team failed to complete its task to the satisfaction of the House, it would be followed with a plan to summons the government. "The team must be disbanded and the House will continue with the interpellation plan," Permadi added. Last September a number of lawmakers proposed the House use its right to summon President Susilo Bambang Yudhoyono to explain the matter.

But the House could not reach an agreement on the issue and instead decided to establish a special team to examine the government's effort to handle the mudflow and its impacts. Team member Tjahjo Kumulo, who read out the report during Tuesday's plenary meeting, said the House had no authority to determine whether the mudflow was natural or man-made. "That is the expert's authority," said Tjahjo, who is also from the PDI-P faction. Despite this statement however, the report repeatedly cited information supporting the theory that the mudflow was an "uncontrollable natural disaster".

It quoted geologists as saying the mudflow was caused by an underground mud volcano that had nothing to do with human activities. The report also cited the South Jakarta District Court's verdict that ruled the mudflow was a purely natural phenomenon. Dradjad Wibowo of the National Mandate Party (PAN) said such a report might have budget implications for the state. "If the disaster is perceived as a natural phenomenon, PT Lapindo may use that to sue the government to return all Rp 1.3 trillion they have disbursed for the victims," he said. In Sidoarjo, some 3,000 victims of the mudflow were angered by the team's conclusion and took to the streets to protest. They barricaded the Porong highway and railway tracks next to the mud volcano site, triggering heavy traffic. The protesters, from five badly affected hamlets, demanded that Lapindo Brantas pay them compensation as soon as possible.




Question the judges, KPK told

Abdul Khalik, The Jakarta Post, Jakarta - 18 feb 2008The Corruption Eradication Commission (KPK) should not stop at questioning officials and lawmakers, but must summon prosecutors and judges implicated in the alleged swindle of Rp 100 billion (US$10.81 million) of Bank Indonesia funds, activists said."KPK must investigate all people implicated in the graft case, including prosecutors and judges -- if there is enough preliminary evidence, and we will support them," Ganjar Pranowo of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) told /The Jakarta Post/ on Sunday.

A letter from the Supreme Audit Agency (BPK) to the KPK in November 2006, a copy of which was sent to /The Jakarta Post/, named lawyers, prosecutors and judges handling cases of BI officials implicated in billions of dollars of the Bank Indonesia Liquidity Assistance (BLBI) graft cases. The BPK's letter said misappropriation of the Rp 100 billion fund saw money disbursed from the Indonesian Banking Development Foundation between 2003 and 2004.

Out of the fund, Rp 68.5 billion was used to help resolve BLBI cases and Rp 31.5 billion was allegedly distributed to House members with the financial affairs commission during the amendment of the BI law. The letter alleged Rp 68.5 billion of the funds was submitted to law enforcement officials at the Attorney General's Office in bribes to stop cases that had implicated former BI governors and directors, including J. Soedrajad Djiwandono, Iwan R. Prawiranata, Heru Supraptomo, Hendrobudianto and Paul Sutopo.

"It was found later that investigations into Soedrajat and Iwan were dropped by the Attorney General's Office," the letter read. The letter said Heru, Hendrobudiyanto and Paul were only given 1.5 years in prison after going through the district court, high court and Supreme Court with Court Justice Bagir Manan presiding all of the supreme court trials.

KPK has announced BI Governor Burhanudin Abdullah, along with BI legal affairs director Oey Hoey Tiong and former head of BI's communication bureau Rusli Simanjuntak, as suspects in the case. The anti-graft body has detained Oey and Rusli and questioned more than 12 other BI officials as witnesses, including former deputy governor Aulia Pohan, father-in-law to President Susilo Bambang Yudhoyono's son. Last week, all named BI officials were banned from traveling abroad. Lawmaker Hamka Yamdhu and former House member Anthony Zeidar Abidin were also interrogated by KPK. "The case shows a full circle of corruption that involves executives, legislative and judicial personnel," Golkar Party lawmaker Hari Azhar Azis said. "But KPK should continue probing law enforcement officials to avoid discrimination."

Ibrahim Fahmi of the Indonesian Corruption Watch also urged KPK to investigate all those mentioned in the BPK's report to prove case investigations were not politically-motivated to prevent Burhanudin from re-running for BI governor. "In fact, we suggest that KPK stop investigating other cases for several months to be able to put all its resources to this crucial case," he told the /Post/.



House of Representatives adopts parliamentary threshold
The Jakarta Post, Jakarta

The House of Representatives has agreed to adopt a parliamentary threshold system for political parties to obtain seats in the legislature following the 2009 elections. However, lawmakers are still debating the percentage of the threshold for parties to be eligible to have representatives at the House. "We are still discussing the percentage of the threshold, but right now it looks like it will be either 1.5 percent or 2 percent (of the House seats) for the 2009 elections," said legislator Andi Yuliani Paris with the House special committee deliberating the draft election law.

Under the current election law, a party that wins even one seat at the House is allowed to have a representative at the House, but it must merge with a major party or other small parties to establish a legislative faction. The current law also applies an electoral threshold system, barring parties that won less than 3 percent of House seats in the 2004 elections from contesting the 2009 polls, unless they establish a new party. For the 2014 general elections, Andi said the House would adopt a parliamentary threshold system. "The House has agreed to make 2 percent of House seats the parliamentary threshold for the 2014 elections," she said. This system could have an impact on the total number of seats in the House, as some seats might be lost when parties fail to reach the threshold.

"We are still discussing what to do with the remaining seats," said Andi. She said the House could simply annul those seats or distribute them to other parties that met the threshold. "If we decide to distribute the remaining seats, we need to figure out how to do that," she said. Andi said the House special committee was also discussing other electoral issues including the number of seats to be contested in each electoral area. The committee said the new legislation would make it tougher for violators of election regulations.

Ignatius Mulyono of the committee said the new election law would allow police or prosecutors to summon lawmakers accused of election crimes without presidential permission. "Law enforcers will not need the president's consent to question lawmakers committing election-related crimes," he said. Currently, state officials including lawmakers cannot be summoned for criminal questioning without presidential approval.

The bill also requires law enforcers to resolve all election-related criminal complaints five days before the General Elections Commission releases poll results. The House committee is also divided over the issue of legislative candidates who have been implicated in criminal acts. "The Golkar Party wants the new legislation to stipulate that candidates must not be criminal suspects only when running for legislative seats. "But the nine other factions in the House demand that candidates must never have been charged or jailed for crimes," said Andi. Ferry Mursyidan Baldan, head of the special committee, said the team has finished deliberating 95 percent of the election bill. "All the factions are still lobbying each other over several issues and the House leaders will have a final lobbying with the government on Sunday night," he said.

The House is scheduled to pass the bill into law during a plenary session next Tuesday. *(alf)*

--------------------------------------------------------------------------------------

Sharia controvers

The government has decided not to revoke the much-criticized sharia-inspired bylaws. What do you have to say about the decision not to revoke the bylaws? Do you agree or disagree with the government's position? Send your thoughts via SMS to +62 811 187 2772. Please include your name and city.


Kalimantan town comes together for Cap Go Meh

Abdul Khalik, The Jakarta Post, Sungai Pinyuh, West Kalimantan

Thousands of people hit the streets of Sungai Piyuh, about 60 kilometers north of Pontianak, West Kalimantan, on Thursday evening to see the longest /barongsai/ (dragon dance) ever performed in the area.Old and young people from all ethnic groups living in the area, including Chinese, Dayak, Malay, Bugis, Madurese and Javanese, gathered along the roads. When the dragon dancers emerged from Tri Dharma Temple, the largest Buddhist temple in town, a roar of excitement erupted. Two smaller dragons and a huge phoenix appeared among the crowd to join the celebration, as firecrackers were shot into the evening sky, a sign that the celebration of Cap Go Meh had begun.

Cap Go Meh is the closing of 15 days of activities to celebrate the Chinese New Year. "It is my third year. I love to be part of the show every year, and people love us," 17-year-old /barongsai/ dancer Syamsul Hadi, a Muslim from a Malay-Bugis family, said as he wiped the sweat from his face during a break. His friend, Akiu, a 16-year-old Catholic-Chinese, nodded and smiled in agreement. Both looked confused when asked whether their parents objected to them taking part in the show. "Of course not, what's wrong with it? In fact, they are very proud of me," Syamsul said, adding that while the majority of the performers were ethnic Chinese, the /barongsai/ troupes included Dayaks, Javanese, Bugis and Maduranese.

Sungai Piyuh is located at the crossroads of most of the large towns in Pontianak, including Singkawang, Sambas and Entekong, which has a border gate with the Malaysian city Kuching. "As a result, you can find almost all the country's ethnic groups here. They have been living here peacefully for a long time and we embrace each other's cultures and customs as our own," one of the town's leading figures, Hartono "Ahang" Salim, said. He said all of the ethnic groups in the area performed their special songs and dances during the Cap Go Meh celebrations. "It's just like when we have Idul Fitri, all the Chinese people in town help us make a huge celebration. And when Christmas and New Year arrive, we are also busy preparing the festivities for our Christian friends," Edi Ahmad, a Malay Muslim, said.

West Kalimantan was in the news several years ago when a series of ethnic conflicts between the Dayak, helped by Malays, and the Maduranese claimed thousands of life. Pictures of Dayaks carrying the severed heads of Maduranese were broadcast around the world, raising questions about ethnic harmony in the archipelago. Minor ethnic tensions continue to plaque the province until today. "Our town stayed out of the conflict. We were the last oasis of ethnic peace during the conflict. All ethnic groups guard the town against outside violence, but we accept any refugees seeking protection on the condition that they obey our rules and do not make any problems," Edi said.

Edi and Ahang said the willingness of residents to embrace differences and respect other cultures and customs was the key to the continued peace. "Celebrating Cap Go Meh together like this will strengthen our realization that living in peace will benefit all of us," Ahang said.

----

Press bodies to request judicial reviews

The Jakarta Post, Jakarta, 22.02.08

Press organizations will request the Constitutional Court to review defamation articles in the Criminal Code, following the district court's conviction of senior journalist Bersihar Lubis.

The Depok District Court sentenced Bersihar to one month in prison Wednesday, before suspending his sentence and requiring three month's probation. Bersihar was put on trial for insulting the Attorney General's Office (AGO) with his opinion article in Koran Tempo daily newspaper, titled /Kisah Interogator yang Dungu/ (The Story of Stupid Interrogators).

The court found him guilty, saying he violated article 207 of the Criminal Code on insulting public institutions. Presiding judge Suwidya said while Bersihar was an opinion writer, he should be accountable for the content of his work. Press Legal Aid executive director Hendrayana said the organization would ask for judicial reviews of the Criminal Code articles, including article 207, which had violated the freedom of the press.

"We will appeal for the review of some articles, including 207, 310 and 316 in mid March," he told /The Jakarta Post/ on Thursday. Hendrayana said the organization would coordinate the appeal for Bersihar and journalist Risang Bima Wijaya, the former general manager of /Radar Yogyakarta/ daily, who was sentenced to six months in prison. Sleman District Court, Yogyakarta, found Risang guilty of insulting /Kedaulatan Rakyat/ daily owner Soemadi M. Wonohito. Risang has been in prison since January this year. Indonesian Press Council head Ichlasul Amal said the organization had long planned to request judicial reviews of several articles.

"The problem is that appeals must be requested by those who are directly affected by the articles, not us," Amal told the /Post/. He said the council would discuss the matters at a plenary session Feb. 29. "We will call on those who have been 'victimized' by the articles to request the reviews with us."

Alliance of Independent Journalists head Heru Hendratmoko said the organization would support Bersihar in the judicial review. "The articles are no longer relevant for a democratic country like Indonesia," he said. Heru said he was hopeful the court would void those articles. "There is a high possibility the articles will be annulled, because the Constitutional Court has already scrapped three other articles of defamation on the President and Vice President," he said.

In December 2006, the Constitutional Court made history by scrapping articles 134, 136 and 137 of the Criminal Code, which ruled that burning pictures of the President and Vice President and mocking them in public were insults.

The court reviewed the code as requested by lawyer Eggi Sudjana and activist Pandapotan Lubis. Pandapotan was arrested after insulting the President at a rally, while Eggi was charged with defaming President Susilo Yudhoyono with his statement that Yudhoyono and his son had received Jaguar sedans from businessman Hary Tanoesudibjo. The report turned out to be fabricated. The three articles made it difficult for people to criticize the President and his deputy, Court chief Jimly Asshiddiqie said during the hearing.

The articles undermined the country's process toward democracy by causing confusion as they were open to subjective interpretation, he said.







IBRAHIM ISA - Winternachten’ in Den Haag

IBRAHIM ISA
------------------
21 Februari 2008


Geachte hr Ton van de Langkruis,



Hierbij een vertaling van mijn esay i.v.m. het Cultureel Programma WINTERNACHTEN Den Haag van 18 Januari 2008.


De artikel in het Indonesisch is reeds gepubliceerd in de internet, een maand geleden



Hoogachtend,


Ibrahim Isa


--------------------





Winternachten’ in Den Haag

Seminar dat eindigt in . . . Tot Zover en niet verder!





* * *


Vrijdagmiddag, gisteren op 18 januari, toen ik een krantje las in de trein richting Den Haag CS, begon mijn mobieltje te zingen, een deuntje gaf een binnenkomende oproep aan. ‘Ja, ik ben het bung (de oudere broer – Ind.) ’, klonk de stem van AS Munandar. ‘Ik ben nu al op Den Haag CS.’ Gisteravond werd ik gebeld door AS Munandar. Wij hadden afgesproken om elkaar te ontmoeten op Den Haag Centraal, vóór het loket om 13.00. Om daarna verder te voet te gaan naar het ‘Theater aan het Spui’, en deel te nemen aan één van de activiteiten van ‘De Winternachten’ in Den Haag.


U kent het toch? ‘Winternachten’ is één van de programma’s van het ‘Festival voor Nationale Literatuur’ dat elke winter gehouden wordt in Den Haag. Een teken dat het culturele leven in Nederland doorgaat ondanks de gure kou, de onophoudende regen en de snijdende wind.


AS Munandar, is voormalig leider van het Academie Aliarcham te Jakarta, tevens voorzitter SAS, Stichting Azië Studies, Onderzoek en Informatie. Samen werden wij elk jaar uitgenodigd door de organisator van de ‘Winternachten” directeur Ton van de Langkruis. Een heel aardige en sympatieke man.

Waarom wij elke keer? Wat was de reden?


De reden was, dat wij jaren geleden ooit deel hebben genomen aan een discussie over de kwestie Indonesië, die gericht was op ‘DE GEBEURTENISSEN VAN 1965’. De tijd dat er vele onschuldige Indonesische slachtoffers vielen. Tijdens de discussie was ook voormalig DPR lid (het Parlement van de Republiek van Indonesië) Ciska Fanggidaej, een ervaren journaliste, en Gunawan Mohammad, journalist en dichter, aanwezig. Verder was onder andere aanwezig de Nederlandse journalist Ad van der Heuvel, die in de tijd van G30S (de actie van 30 september) en de tijd daarna in Jakarta verbleef.


Ik denk bij mezelf dat het vast een soort gebaar van dank en vriendschap is van de organisatie van ‘Winternachten’ Den Haag, dat ze ons ieder keer uitnodigen. Want voor alle andere bezoekers worden wel entreekosten gerekend.


In de middag, hadden wij deel genomen aan het disscusie programma van de ‘Winternachten’ met als thema ‘In a state of fear’. Er waren nog vele andere programma’s van de literaire festiviteit die 4 dagen en 4 avonden duurde, van 17 januari t/m 20 januari. Er was veel publiek. Ik schatte dat er ongeveer 100 aanwezigen waren.

Ik zei tegen Munandar, moet je kijken, de vrouwen zijn in de meerderheid. Ja, zei Munandar, de mannen zijn aan het werk. Dan zei ik weer, maar die vrouwen zijn ook werkende mensen. Dus heeft het niks met hun werk te maken dat er meer vrouwelijke dan mannelijke bezoekers aanwezig zijn.




Anyway, de grote zaal van het gebouw ‘Theater aan het Spui’ van Den Haag was tjokvol.

Er waren vier intelectuelen die in het discussiepanel zaten. De Engelse socioloog en schrijver, professor Frank Furedi (60 jr); de Nederlandse schrijfster en filosofe dr. Marjolijn Februari; de Nederlandse schrijver Adriaan van Dis, en de ervaren politicus en voormalig burgermeester van Rotterdam, Bram Peper. Zij kwamen elk met een eigen ‘stelling’. De discussie werd geleid door novelleschrijver en docent economie van de Vrije Universiteit van Amsterdam, Fouad Laroui (49 jr), een Nederlander van Marokaanse afkomst.


Het gekozen thema was behoorlijk zwaar, ‘In a state to fear’. De panelleden waren evenmin gewone leken. De één was intellectueel, de andere letterkundige en er was ook een ervaren politicus. Als u derhalve een discussie verwacht met veel diepgang of een discussie die veel voldoening zou geven, dan zult u alleen maar teleurgesteld worden.

Als je een kreet gebruikt volgens de laatste mode uit Jakarta zou je zeggen: een dergelijke discussie is wel goed en aantrekkelijk, maar eindigt… ‘tot zover en niet verder’. Overigens vind ik dat elk seminar hoe klein dan ook en dat slechts een paar uur duurt, ongeacht het thema, en ongeacht de samenstelling van de panel - zelfs wanneer het thema zwaar en actueel genoeg is - altijd hetzelfde resultaat zal geven: tot zover en niet verder. Wat je meeneemt naar huis zijn niet meer dan indrukken. Dat wil natuurlijk niet zeggen dat het nutteloos is. Het heeft wel degelijk een functie. Het moge duidelijk zijn dat de discussies en debatten de deelnemers er toch toe aanzetten om zich in het thema te verdiepen.


Zoals ik AS Munandar vertelde houd ik ervan om deel te nemen aan kleine seminars zoals deze. Het voordeel is dat ik er altijd nieuwe kennissen bijkrijg. Zo heb ik deze keer kennis gemaakt met een Indonesische vrouw van Chinese afkomst, dr. Maya Suteja-Liem, een vertaalster voor de Indonesisch-Nederlands letteren. En haar man Suteja Liem.





De stelling van professor Frank Furedi was:


“As Kant said, dare to know instead of fearing the unknown”. Society should embrace it and encourage the attitude of experimentation.


En dan de stelling van Marjolijn Februari,


“Don’t be afraid to be afraid, says John Lennon; fear is the essence of citizenship and the beginning of courage – what we should fight is not so much fear, but cowardice.


Bij het lezen van de stelling van Marjolijn moest ik om onbekende reden denken aan Jusuf Isak, een ervaren journalist en leider van Hasta Mitra. Jusuf Isak heeft verscheidene Awards gekregen, en waarderingen van verschillende landen, vanwege zijn moed in zijn streven naar vrijheid van meningsuiting en demokratie.

Jusuf zei: “Veel mensen beweren dat ik nooit heb geleerd om te stoppen te knokken voor de vrijheid en bang te zijn ondanks de vele opsluitingen in de gevangenissen van de Orba (afkorting van Orde Baru = de nieuwe orde onder het Suharto bewind)’ Toen zei Jusuf oprecht ‘Het is niet zo dat ik geen vrees ken. Als een gewone burger ben ik ook bang om weer in de gevangenis gestopt te worden. Het punt is dat we tegenover de vijand geen angst mogen tonen. Tegenover de vijand moeten wij moed tonen en blijven doorvechten tot het einde.


Nu de stelling van Bram Peper voormalig burgermeester van Rotterdam:


A society can’t function with fear, that’s when authorities have to avoid even action which stimulates a feeling of fear among the general public.


Aldus Bram Peper. Menige bezoeker was het niet eens met de stelling van Bram Peper dat een gemeenschap of samenleving met angst niet zou kunnen functioneren. AS Munandar zei tegen mij: Kijk maar naar het Orba. Het is een feit, dat de Indonesische samenleving 32 jaar lang (juist) is blijven functioneren door de angsten die iedereen uit de gemeenschap had voor Orba; het regime kwam dus juist voort uit de angsten van het volk. Ik beaamde de mening van AS Munandar. Kijk maar, het klopt, want zodra het volk moed kreeg, werd Suharto omver gegooid. Het is jammer dat de mening van AS Munandar geen ruimte heeft gekregen om geopperd te worden, daar de al zo korte tijd voor de discusie in beslag genomen werd door andere deelnemers. Het is maar een voorbeeld, maar door de krappe tijd die voor de discussie beschikbaar is, heeft AS Munandar, iemand die veel weet over het bestaan van de zogenaamde ‘state of fear’ in ons land onder de regime van Orba, zijn mening niet kunnen uiten.



Zoals ik hierboven heb aangeven kunnen discussies of seminars van deze omvang, met zoveel deelnemers, vanzelfsprekend geen voldoening verschaffen. Desondanks wil ik toch mee doen. Gewoon nieuwsgierig naar de reactie van panel en publiek voor de onderstaande vraag.


Toen ik aangaf mijn mening te willen geven vroeg de moderator Fouad Laroui naar mijn identiteit. Daarop zei ik: “Ik ben een Indonesiër met een Nederlands paspoort”. Gelach…., het publiek moest lachen! Wat het betekent? Weet ik niet. Of mijn antwoord grappig was? Of omdat nu iedereen weet dat ik een banneling ben en zij hebben sympathie voor verbannelingen.


Ik stelde twee vragen die ik erg relevant en actueel achtte.

Zo luidde mijn vragen:

1.

Geert Wilders, een Nederlands parlementslid, voorzitter van de
politieke partij PVV, is bezig met een anti Al Qur’an getinte
film. Wilders maakte bekend, dat het niet lang zou duren voordat
hij zijn film aan het publiek kon tonen.

Mijn vraag: putte Geert Wilders zijn daad uit angst voor de Islam? Of, wilde Wilders opzettelijk met zijn film de ‘state of fear’ creëren in de Nederlandse samenleving?

2. De Nederlandse regering is nu druk bezig met voorbereidingen, overleg plegen met

burgermeesters, om te anticiperen op de felle reacties die men kan verwachten na het vertonen van de film, die dus invloed zal hebben op de rust en de

veiligheid van de samenleving. Mijn vraag was: Is deze wijsheid van de Nederlandse

autoriteit gebaseerd op het feit dat de regering zelf in ‘a state of fear’ verkeerde? Of zal deze wijsheid niet juist ‘a state of fear’ gaan veroorzaken in de samenleving.


Toen ik die twee vragen stelde, viel er stilte. Het publiek werd stil! Niemand gaf commentaar. Ik vraag steeds bij mezelf af: waarom? Waren mijn vragen niet relevant en sloten deze niet aan op het thema van de discussie? Waren mijn vragen niet aansluitend op de concrete situatie in Nederland?


Wat ik het meest betreurde was het feit dat moderator Fouad Laroui die mijn vragen handig ontweek ook de juryleden niet de kans gegeven had om te antwoorden. Hij liet alleen maar weten dat mijn vragen very interesting waren. En hij voegde hieraan later wel toe dat het misschien beter was om dit te bespreken in de pauze in het cafetaria van het theater Spui. Later volgde nog: “Misschien reageert Bram Peper wel hierop”. Maar Bram Peper reageerde niet eens op de moderator. Mijn god! Doen wij het zo? Dacht ik bij mezelf. Laat ook maar!


Ik wilde geen ‘herrie’ schoppen. Eigenlijk had ik de moderator kunnen dwingen om de juryleden en publiek te laten reageren op mijn vraag. Ik heb me ingehouden en geen harde protestgeluiden gemaakt om de discussie niet te ‘verstoren’. Hoe dan ook, de avonddiscussie die door ‘Winternachten’ georganiseerd werd met als thema ‘In state of fear’ heeft toch een functie gehad en daarvoor ben ik dankbaar. Geachte lezers, het zal u toch niet verbazen, dat ik er volgend jaar weer zou zijn als ik weer uitgenodigd zou worden. Ondanks de wetenschap dat de disussies op dezelfde manier zullen eindigen als gisteren middag: tot zover en niet verder! * * *

Kolom IBRAHIM ISA - Mulai Dulu Dengan 'Bedah Diri Sendiri'

Kolom IBRAHIM ISA
----------------------
Selasa, 19 Februari 2008


Mulai Dulu Dengan 'Bedah Diri Sendiri'


Jurus Pertama, Kiprahnya SUSNO DUADJI:

Apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh Kapolda Jabar *Drs SUSNO DUADJI,* memang merupakan tabuhan 'genderang perang' terhadap korupsi. Juga suatu 'breaking news'. Beberapa reaksi maupun tanggapan sudah bisa dibaca di media. Ada yang positif, ada yang negatif. Ada yang mengambil sikap 'wait and see'. Tanggapan-tanggapan tsb wajar-wajar saja. Masuk akal!


Dibilang 'breaking news', karena, menurut berita dari Indonesia, Kapolda Jabar Susno Duadji, pada tanggal 31 Januari 2008 y.l., telah mengumumkan suatu langkah yang sudah lama sering diomongkan dan dijanjikan oleh pejabat-pejabat negara mulai dari Presiden sampai ke menteri-menteri, dan bawahan mereka. Kalimat yang sering diucapkan itu adalah : -- Akan MENANGANI Masalah KORUPSI.


Gebrakan Kapolda Jabar Susno Duadji, bisa diperkirakan, akan menimbulkan kerutan kening pada mereka-mereka yang selama puluhan tahun belakangan ini, hidup bermewah-mewah, asyik bergelimang dalam kultur korupsi, kolusi dan nepotisme Orba. Siapa mereka itu, kalau bukan para petinggi pejabat dan elite Orba serta kroni-kroni mereka, para pengusaha yang berkubang bersama dalam lumpur KKN dinasti penguasa Orba. Mereka itu berada di tingkat paling atas, terus menjalar ke bawah. Mereka itulah yang sedikit banyak tersentak. Bisa diduga tersirat dalam fikiran mereka-mereka itu: Mau apa Kapolda Jabar ini?


* * *


Mengikuti gebrakan Kapolda Jabar Irjen Drs Susno Duadji langsung aku teringat pada pembicaraanku dengan mendiang Ruslan Abdulgani ketika berkunjung ke kantor beliau di Pejambon, Jakarta beberapa tahun yang lalu. Begitu kami bertemu dan bersalaman, Cak Ruslan dengan wajah puas, membanggakan gedung kantornya. Dulunya bekas gedung 'Volksraad' zaman Hindia Belanda, kata Cak Rus. 'Ini adalah pemberian Gus Dur yang amat berharga ', katanya memuji Abdurrahman Wahid, yang ketika itu menjabat Presiden RI. Aku bertanya pada Cak Rus, apa saja hal-hal baik dan penting yang dilakukan oleh Gus Dur sejak beliau jadi presiden. Dalam suasana santai tapi serius, Cak Ruslan menyatakan bahwa: 'Salah satu kebijakan Gus Dur yang teramat penting ialah bahwa Gus Dur secara nyata melepaskan Kepolisian dari TNI. Kepolisian tidak lagi merupakan bagian ari TNI. Sekarang ini, polisilah yang bertanggungjawab atas keamanan dalam negeri. Mereka bisa bertindak tanpa harus tanya dulu kepada TNI. Ini punya arti penting sekali', demikian Cak Ruslan menekankan lagi. Pernyataan Cak Ruslan itu memang benar! Rupanya baru beberapa tahun kemudian, -- sayang sesudah Gus Dur tidak presiden lagi, tampil Kapolda Jabar, dengan 'gebrakan anti-korupsi kedalam'. Suatu tindakan berani tapi tidak mudah!


* * *


Bagiku yang menarik perhatian dan menimbulkan rasa simpati ialah, cara yang ditempuh oleh Susno Duadji. Cara yang tidak gampang, kalau tidak hendak dikatakan yang paling sulit. Yaitu dengan operasi penanganan korupsi -- Dengan memulainya di KALANGAN SENDIRI. Kapolda Jabar mulai dengan melakukan 'Bedah Diri'. Halmana berarti melakukan 'Pembersihan' di 'Kalangan Sendiri' terlebih dulu..


Sebelum menjabat Kapolda Jabar, Susno Duadji, memang tugasnya a.l. dalam rangka pemberantasan korupsi. Dalam kata-katanya sendiri: ' . . . Terpatri di benak saya, ada yang tidak benar di negara ini dengan kemakmuran yang dimiliki oleh para pejabat. Maka, saya sangat bersyukur bisa berperan memberantas korupsi saat mengabdi di PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan). Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan uang rakyat. Ada kepuasan batin'.


Perhatikan kata-kata Susno Duadji: 'Itulah tugas saya yang paling berkesan selama ini karena bisa menjebloskan menteri, mantan menteri, dan direktur BUMN, yang memakan uang rakyat. Ada kepuasan batin'. Coba lihat, -- suatu kepuasan batin bagi seorang Kapolda Jabar, bisa menjebloskan menteri, atau pejabat tinggi lainnya yang korup tentunya, dan menjebloskannya ke dalam penjara dengan sendirinya sesudah melalui proses pengadilan yang wajar. Semoga tokoh generasi muda ini, bicara dengan segala kesungguhan dan akan benar-benar melakukannya dalam tindakan nyata apa yang dijanjikan dan dinyatakan dalam tekad untuk MEMBERANTAS KORUPSI.


Perhatikan pula sesuatu yang lebih penting lagi yang dijelaskan oleh Susno Duadji. Yaitu suatu cara berfikir, suatu logika yang benar dan praktis. Juga merupakan suatu cara kerja dalam suatu kampanye, dalam hal ini melakukan pemberantasan korupsi. Susno menjelaskan 'pungli' itu apa, yang sering dilakukan oleh anggota kepolisian yang bertugas di jalan maupun yang dikantor, seperti menerima uang ketika mengurus SIM, surat ini atau surat itu, atau, berbagai 'setoran' lainnya. Lagi dalam kata-kata Kapolda Jabar itu sendiri:


'Pungli adalah korupsi. Mengapa korupsi yang saya usung? Karena sejak zaman Majapahit dulu, korupsi itu salah. Apalagi, jika aparat hukum yang korup'. 'Bagaimana kita, sebagai aparat hukum, bisa memberantas korupsi kalau kitanya sendiri korupsi.Oleh karena itu, sebagai tahap awal, saya "bersihkan" dulu di dalam, baru membersihkan yang di luar. Bagaimana saya mau menangkap bupati, direktur, dan lain-lain kalau di dalamnya belum bersih dari korupsi. Kalau aparatnya korupsi, tamatlah republik ini.'


'BERSIHKANLAH' dulu di dalam, baru membersihkan yang di luar. Aku ingat kata-kata yang pernah diucapkan oleh mantan Presiden Megawati Sukarnoputri, tapi lupa apakah ketika mengucapkan itu, beliau masih menjabat atau tidak. Ketika itu pernah Megawati menyatakan bahwa, Kejaksaan Agung harus 'membenahi diri' terlebih dulu. Karena di situlah berlangsung praktek korupsi. Pernyataan Mega sedikit ada samanya dengan logika Susno Duadji. Bersihkan dulu aparat sendiri, baru bertindak terhadap yang diluar.


Sayang, rupanya Kejaksaan Agung belum sampai ke situ. Mungkin 'ciutnya semangat' serta 'macetnya' rancana Kejagung untuk ikut melakukan pemberantsan korupsi, disebabkan kadung menjadi kecut, hilang semangatnya, oleh peristiwa ditembak matinya pada tg 26 Juli 2001, di tengah jalan, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Kartasasmita juga menjabat Ketua Muda Bidang Mahkamah Agung RI. Pembunuhnya adalah empat orang asasin berkendaraan sepeda motor.


Tanggapan umum ialah bahwa Hakim Agung Kartasasmita dibunuh karena berani menjatuhkan vonis hukuman 18 bulan penjara terhadap Tommy Suharto yang tersangkut kasus tukar guling tanah milik Bulog dng PT Goro Batara Sakti. Kemudian ternyata memang Tommy Suharto yang terlibat (dalang) kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Karena Hakim Agung Kartasasmita berani bertindak tarhadap kasus korupsi keluarga Cendana. Untuk pembunuhan terhadap seorang Hakim Agung RI itu Tommy dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Sungguh ajaib, empat tahun kemudian Tommy Suharto bebas.


* * *


Maksudku di sini sekadar mengingatkan Kapolda Jabar Irjen Susno Duadji, agar berhati-hati dan waspada. Karena apa yang ia sedang lakukan itu adalah seperti memasuki 'sarang harimau'. Namun, seperti juga yang diyakininya sendiri, suatu tindakan yang dilakukan demi kepentingan rakyat, pasti akan dapat dukungan rakyat.


Jadi, jangan takut, jangan kecil hati, MAJU TERUS PANTANG MUNDUR.


Bagaimana seyogianya sikap yang harus diambil oleh pemerintah pusat di JAKARTA. Apa yang harus dilakukan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla? Pasti masyrakat dan semua orang yang peduli dengan pemberantasan korupsi yang sudah membudaya di negeri kita, berharap agar SBY dan JK memberikan sambutan positif terhadap inisiatif Kapolda Jabar dalam usahanya membersihkan barisan sendiri terlebih dahulu, dan kemudian bertindak keluar.


Tidak ada jalan lain yang lebih baik, selain, memberikan dukungan, dan bantuan sepenuhnya di segala bidang kepada Kapolda Jabar. Agar usaha mereka, yang sejalan dengan semangat Reformasi, yaitu dimulai pemberantasan korupsi dengan pembersihan 'kedalam', kemudian melakukan 'operasi keluar'. Selain itu mensosialisasikan cara Kapolda Jabar, yaitu 'memberishkan diri terlebih dulu', kepada lembaga-lembaga kenegaraan lainnya.


Di segi lain, patut diingat dan diperhatikan, nasib para anggota kepolisian, terutama di lapisan bawahan, yang hidup pas-pasan. Gaji mereka di lapisan bawah umumnya masih belum mencukupi untuk menghidupi keluarga sendiri. Maka terjadilah praktek anggota-anggota kepolisian selama ini. yang demi bisa menyalanya api di dapur masing-masing, yah, terlibatlah mereka dengan berbagai praktek 'pungli' dan tindakan korupsi lainnya.


* * *

.


* * *

Kolom IBRAHIM ISA -- SBY Seyogianya Belajar dari PM Australia Kevin Rudd !

Kolom IBRAHIM ISA
-------------------------
Jum'at, 15 Februari 2008



SBY Seyogianya Belajar dari PM Australia Kevin Rudd !

Mintalah Maaf Atas Pelanggaran HAM Penguasa RI Sebelumnya!

Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrat, seyogianya bisa dan harus belajar dari Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, dari Partai Buruh Australia. Kedua negarawan Indonesia dan Australia itu, bukankah masing-masing sering menyatakan komitmen dan kepedulian masing-masing terhadap prinsip-prinsip HAM dan demokrasi?

Sehubungan dengan komitmen dan kepedulian tsb, Kevin Rudd, Perdana Menteri Austalia yang baru saja menjabat PM, telah mengubah janji dan komitmen-oralnya, menjadi tindakan nyata. Melalui suatu gebrakan terbuka dan transparan di muka rakyat, dalam suatu sidang pembukaan Parlemen Federal Australia di Canberra, 13 Februari 2008 y.l., atas nama pemerintah yang baru dan seluruh warganegara Australia, Perdana Menteri Kevin Rudd menyatakan penyesalannya dan MINTA MAAF kepada suku bangsa Aborigine yang menjadi korban dari tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah Australia terdahulu (1910-1970).

Kevin Rudd, pimpinan Partai Buruh Ausralia, yang baru terpilih November 2007 yang lalu, melalui mosi yang diajukan pada sidang Parlemen Australia bulan ini, telah MINTA MAAF kepada suku-bangsa Aborigine . Penyebabnya maka Kevin Rudd, sebagai kepala pemerintah Australia yang baru, menyatakan penyesalannya dan MINTA MAAF kepada suku-bangsa Abrogine, ialah kesalahan serius, bahkan suatu tindakan kriminil, yang dilakukan oleh pemerintah Australia pada pertengahan abad yang lalu, terhadap suku bangsa Aborigine.

Pada periode itu -- 1910 s/d 1970 -- ribuan anak-anak dari keluarga Aborigine dirampas, diculik oleh penguasa Australia. Anak-anak Aborigine itu, sesuai rencana pemerintah, kemudian diserahkan kepada keluarga Australia (Kulit Putih). Sejak itu keluarga-keluarga Aborigine itu, tidak pernah menemukan anak-anak mereka lagi yang jumlahnya meliputi puluhan ribu . Begitu juga anak-anak Aborigine tsb yang dibesarkan oleh keluarga-keluarga Australia (Kulit Putih) tidak pernah tau akan asal-usul mereka. Tidak tau lagi siapa orangtua mereka sesungguhnya. Apapun maksud dan tujuan yang tersembunyi di balik kebijakan pemerintah Australia, politik tsb adalah kebijakan 'integrasi' yang sungguh kejam dan biadab. Suatu politik integrasi yang telah menghancurkan ribuan keluarga Aborigine. Kebijakan tsb sebenarnya ditujukan untuk memusnahkan samasekali identitas dan kultur salah satu bagian dari warganegara Australia, yaitu sukubangsa Aborigine.

Kesalahan serius, pelanggaran HAM berat terhadap suku-bangsa Aborigine, pelakunya, bukanlah pemerintah Autralia yang sekarang ini. Bukan pula suatu kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah dari Partai Buruh Australia. Itu dilakukan oleh suatu pemerintah yang bertindak atas nama n e g a r a Australia. Sebagai seorang yang merasa punya komitmen dan kepedulian terhadap cita-cita dan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi, Kevin Rudd, atas nama kepala pemerintah Australia yang baru, mengambil inisiatif. Ia faham betul urusan ketatanegaraan dari suatu negara hukum, sehubungan dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya. Dengan tegas Kevin Rudd telah mengoper tannggungjawab atas kesalahan pemerintah di masa lalu. Melalui suatu mosi di Parlemen, PM Austalia yang baru ini menyatakan PENYESALAN dan MINTA MAAF kepada para korban dari suku-bangsa Aborigine. Suatu tindakan terpuji. Dan yang memang sudah seharusnya mereka lakukan jauh sebelumnya.

Pemerintah-pemerintah sebelum PM Kevin Rudd dari Partai Buruh Australia, yaitu mantan PM John Winston Howard yang berkuasa selama 11 tahun <11>, dan mantan PM Robert Menzies yang berkuasa selama 16 tahun <1980>, kedua-duanya dari Partai Liberal Australia, selalu menolak untuk menyatakan penyesalan dan minta maaf kepada suku-bangsa Aborigine Australia. Berbagai dalih dan alasan dikemukakan untuk tidak mengakui bahwa di masa lampau pemerintah Australia telah melakukan kesalahan memporak-porandakan keluarga-keluarga Aborigine dan diciptakannya suatu 'stolen-generation' of Australians. Yaitu suatu 'generasi yang dirampok' dari satu golongan dari bangsa Australia. Yaitu suku bangsa Aborigine yang notabene adalah suku-bangsa asli penduduk Australia.

Di sini otomatis kita teringat pada dalih-dalih yang berulang-kali dikemukakan oleh para pejabat negara RI sekarang maupun pejabat warisan Orba yang lalu. Beliau-beliau itu berkali-kali dan berulangkali mengemukakan, bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi masa lalu, khususnya yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran HAM serius Orba dan mantan Presiden Suharto, itu semua adalah peristiwa-peristiwa, kasus-kasus, soal-soal yang sudah termasuk 'masa lampau' . Dan bahwa kita 'harus menatap ke depan'. Maksudnya supaya kita melupakan masa lampau yang gelap, korban dan penderitaan rakyat tak bersalah yang ditimbulkan oleh politik dan kebijakan Orba di masa lampau. Padahal semua tau bahwa pelanggaran HAM, apalagi yang berat tidak pernah bisa dijadikan suatu kasus yang 'daluwarsa'.

Maafkanlah kesalahan Orba dan mantan Presiden Suharto! Demikian dinyatakan berulang kali. Kita harus bersikap 'manusiawi' dan 'dewasa', demikian terucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehubungan dengan masa lampau mantan Presiden Suharto. Maksudnya, janganlah di kaji-kaji ulang masa lampau gelap semasa Orba itu. Janganlah mengajukan tuntutan hukum apapaun terhadap mantan Presiden Suharto. Bukankah mantan Presiden Suharto dan Orba yang dipimpinnya juga telah memberikan 'jasa-jasanya' pada negara dan bangsa?

Begitu argumentasi dan logika para pejabat warisan Orba dan para elite yang duduk di pemerintahan SBY dan pelbagai lembaga legeslatif dan judikatif sekarang ini. Argumentasi dan logika para elite dan penguasa itu menunjukkan bahwa mereka itu, perasaan dan fikirannya, terlepas dari, bahkan berlawanan dengan perasaan dan logika rakyat yang tak bersalah yang selama lebih dari 32 tahun berkuasanya rezim Orba telah mengalami pengorbanan dan penderitaan.

* * *

'Kami minta maaf atas dibuatnya undang-undang dan politik oleh parlemen demi parlemen dan pemerintah demi pemerintah, yang telah menimbulkan kepedihan teramat sangat, penderitaan dan kehilangan pada sewarganegara kita bangsa Australia'. Sungguh suatu pernyataan yang historis dari seorang perdana menteri negara Australia.

'Kepada para ibu dan bapak-bapak, pada saudara-saudara lelaki dan perempuan, karena telah dipecah-belahnya keluarga-keluarga dan masyarakat (Aborigine), kami nyatakan minta maaf. Kami katakan ini terhadap kesalahan (pemerintah) menginjak-injak kehormatan suatu rakyat yang bangga atas identitas dan budayanya. Kami katakan S O R R Y ' , demikian PM Kevin Rudd.

Dikalangan luas masyarakat Australia tindakan berani dan tulus PM Australia ini telah mengakhiri perdebatan yang memecah-mecah pendapat umum Australia selama bertahun-tahun disebabkan oleh sikap menolak oleh pemerintah konservatif PM Howard dan pemerintah sebelumnya pada masa lampau.

Harus diakui terus terang dan terbuka, bahwa, apa yang dilakukan oleh PM Kevin Rudd itu, adalah suatu tindakan yang terpuji dan berani demi HAM, demokrasi dan kebenaran serta keadilan.. Suatu tindakan historis dan patut dijadikan teladan oleh para negarawan lainnya, termasuk negarawan Indonesia. Kongkritnya dijadikan contoh positif oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kebijakan dan politik baru PM Kevin Rudd, pertama-tama adalah hasil perjuangan puluhan tahun suku-bangsa Aborigine dan semua kekuatan demokratis dan prograsif di Australia - termasuk yang berkulit Putih - dan di mancanegara.

Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 dan kepala pemerintah negara Republik Indonesia, juga bisa dan seyogianya h a r u s m i n t a m a a f kepada korban-korban pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pemerintah Indonesia sebelumnya. Dalam hal ini kongkritnya, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Jendral mantan Presiden Suharto.

Lebih terpusat lagi, ----- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menyatakan penyesalan atas tindakan Orba yang melakukan pelanggaran HAM besar-besaran dalam Peristiwa 1965 - '67, '67, '68 dst. Peristiwa Tanjung Priok, Malari, Petrus, yang menyangkut DOM Aceh, Papua, Peristiwa Mei 1998 dll. Halmana telah menyebabkan penderitaan, sampai saat ini, tidak kurang lebih 20 juta anggota keluarga Indonesia.

Kalau bicara soal Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, sesungguhnya inilah masalah inti, masalah pokok dari Kebenaran dan Rekonsiliasasi Nasional.

Yang terpenting yaitu pernyataan penyesalan dan minta maaf oleh pemerintah SBY yang sekarang ini, atas pelanggaran rezim Orba di masa lampau.

Selanjutnya pemerintah segera melakukan REHABILITASI TOTAL atas PARA KORBAN Pelanggaran HAM dan Hukum rezim ORBA

* * *

.