Wednesday, March 31, 2010

I.S.S.I. – SELAMAT BERKIPRAH !

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Rabu, 31 Maret 2010
------------------------------------------

I.S.S.I. – SELAMAT BERKIPRAH !
(Terima kasih kepada HILMAR FARID yang mensosialisasikannya)

Pagi ini kubuka computer-ku. Biasalah, berbagai macam e-mail yang masuk. Berjejejer puluhan news-items yang reguler dan wajar. Lalu, macam-macam info, artikel-artikel analitis, pamflet-pamflet dari pelbagai organisasi kampanye, seperti dari Presiden Barack Obama, Michael Moore, dll. Tidak ketinggalan pula dari lawannya, yaitu GOPUSA, dari Partai Republik. Ada juga komentar-komentar 'jeplakan' tanpa isi. Tanggapan-tanggapan yang 'asbun' (asal bunyi). Pelbaga iklan dan promosi seribu-satu-macam komoditi juga bertebaran. Sampai-sampai muncul pecobaan 'maling-maling' untuk merampok creditcard orang-orang yang tidak waspada. Isi internet pokoknya: Serba-ada!

Ramainya dunia internet! Sungguh tidak kalah dengan 'pasar' ataupun 'supermark'. Namun, jangan ragukan: Satu hal jelas. Kemajuan ilmu dan teknologi bersangkutan dengan internet amat bermanfaat bagi umat manusia: Siapa saja bisa menerima begitu banyak informasi dan berhargai dokumentasi. Internet juga merupakan alat berkomunikasi tanpa ongkos.

Bagiku yang suka menulis dan juga menjadi sebagai suatu 'hobi', internet itu amat sangat membantu.

* * *

Namun, pagi ini mataku terpancang pada nama HILMAR FARID.

Ia sejarawan Indonesia, penulis dan aktivis muda pro-demokrasi dan HAM. Kuterima dari Hilmar Farid sebuah news-item penting. Segera kubuka: Ternyata isinya memang informasi penting: Sekitar kegiatan sebuah lembaga masyarakat, bernama:

INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI).

HILMAR! – SELAMAT ATAS KEHADIRAN SITUS ISSI:

* * *

Komentarku belakangan saja!
Di bawah ini disiarkan kembali bahan informasi dari Hilmar Farid, sbb:



INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI) dibentuk pada 2003 bertujuan memajukan penelitian dalam sejarah sosial di Indonesia, khususnya melalui metode sejarah lisan. Para penelitinya aktif mengikuti berbagai seminar tentang sejarah lisan di berbagai tempat, juga melakukan riset sejarah lisan antara lain mengenai organisasi perempuan, masyarakat Tionghoa, komunitas buruh industrial dan jagoan. Selain itu, mereka juga menyampaikan penelitiannya di berbagai konferensi ilmiah dan menerbitkan hasil-hasil penelitiannya di berbagai jurnal. Sebagai bagian dari program kegiatannya, ISSI mengurus arsip-arsip suara yang berasal dari riset sejarah lisan. ISSI juga mempunyai perpustakaan yang menyimpan 2.500 judul buku, makalah dan majalah yang sebagian besar di antaranya berasal dari koleksi pribadi sejumlah individu. Secara umum, ISSI memiliki tiga program besar, yaitu:

1.Riset dan publikasi

ISSI memiliki perhatian besar pada pengembangan metode sejarah lisan. Berawal dari penelitian sejarah lisan tentang peristiwa 1965 yang dimulai sejak tahun 2000, saat ini ISSI sedang melakukan berbagai penelitian sejarah lisan dengan tema-tema lainnya, seperti sejarah gerakan perempuan, sejarah buruh, sejarah seniman LEKRA, sejarah pendidikan Tionghoa, sejarah seni Ketoprak. ISSI juga melakukan beragam riset yang dilakukan bersama lembaga-lembaga jaringan, seperti peristiwa Mei 1998 dan Semanggi (bekerja sama dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan), Solo dan peristiwa 1965 (kerjasama dengan ELSAM), dan riset bangunan-bangunan yang pernah digunakan oleh organisasi kiri (bekerjasama dengan Lembaga Kreativitas untuk Kemanusiaan). Riset yang terakhir ini menjadi bagian dari sebuah proyek pembuatan film Tjidurian 19 (2009). Sedangkan untuk publikasi, hingga tahun 2009, ISSI telah menerbitkan buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir (2004, kumpulan esai) dan Dalih Pembunuhan Massal (2008, John Roosa).

2.Dokumentasi
Sebagai sebuah lembaga riset sejarah, ISSI memiliki koleksi arsip suara sejumlah 390 wawancara, literatur sejumlah lebih dari 4000 judul dan audiovisual (foto dan rekaman audiovisual wawancara sejarah lisan).
3.Pendidikan
Sejak 2006, ISSI telah memulai program bersama guru-guru sejarah. Program ini dirasa penting, megingat pentingnya sejarah sebagai alat analisa dan pembangun karakter bangsa, bukan hanya sekedar rentetan fakta untuk dihafal. Dalam rangka reformasi pendidikan sejarah tersebut, ISSI bersama dengan kelompok guru yaitu Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah (MGMP Sejarah) telah mengadakan berbagai workshop dan seminar. Saat ini ISSI bersama AGSI telah memulai untuk merumuskan materi esensial pelajaran sejarah tingkat SMA.
Dengan semangatnya untuk menjadikan sejarah sebagai bagian penting dalam gerakan – bukan saja ilmu pengetahuan, ISSI membangun jaringan dengan berbagai lembaga kemanusiaan, terutama dengan Komnas perempuan dan ELSAM.
* * *

Friday, March 26, 2010

DULU KAMI DIKIBULIN (Bg 5, selesai)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Jum'at, 26 Maret 2010
-----------------------------------------

DULU KAMI DIKIBULIN (Bg 5, selesai)


Kuteruskan cerita yang lalu. Yang ini adalah sambungan dari tulisan lalu, bagian 4.
Sampailah pada bagian yang 'terakhir' kita cakap-cakap. Mengenangkan dan memikirkan kembali peristiwa sejarah krusial di waktu lalu seiktar hubungan Indonesia-Belanda. Khususnya berkisar sekitar periode sesudah Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia MEMPROKLAMASIKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. Dengan mengambil tema: buku yang ditulis oleh seorang eks-marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders., berjudul DULU KAMI DIKIBULIN.
Terkadang tanpa disadari orang yang membaca buku Rien Snjiders, terpancing, tertegun sejenak. Lalu BER-SOLILOQUIZE. Berbicara dengan diri sendiri: “Memang benarlah – menngenai banyak hal, berkaitan dengan situasi dan gejala, kebanyakan orang menjadi mengerti dan sadar, bertambah pengenalan dan pengetahuannya – melalui pengalamannya sendiri. Tentu ada syarat mutlak -- Orang tiba pada pengertian dan kesadaran baru, bila ia punya sikap bersedia mengakui, bahwa apa yang menjadi pemahaman dan keyakinan semula, ternyata tidak benar adanya. Dikoreksi oleh pengenalan dan pemahaman yang baru.
Di sinilah Rien Snijders, melihat, menyaksikan dengan mata dan kepala sendiri, 'melakoninya' sendiri, bahwa -- TERNYATA TIDAK BENARLAH apa yang diktakan dulu. Ketika itu, beberapa saat sebelum mereka dikirim ke Indonesia, mereka diindoktrinasi bahwa tujuan ke 'onze Indië ', ke 'Hindia Belanda kita', itu adalah untuk menciptakan ketenangan, ketertiban dan perdamaian. Menciptakan 'rust en orde'. Karena, 'rust en orde' di Hindia Belanda telah dihancurlan oleh aksi-aksi kegiatan yang mereka katakan periode 'bersiap' pemuda-pemuda eksteremis di bawah komando Sukarno, si 'kolaborator' Jepang.
Rien Snijders, menjadi sedar dan berbalik pandangan politiknya mengenai peranan tentara Belanda di Indonesia ketika itu. Hal itu terjadi sesudah ia sendiri 'melakoninya' di Indonesia apa yang dinamakan 'menciptakan ketenangan, ketertiban dan perdamaian'.
Tentulah, ada syarat penting lainnya pada Rien Snijders, bisanya dia tiba pada kesimpulan baru: Rien Snijders beresdia untuk mengubah pandangan dan keyakinannya, ketika ternyata bahwa pandangan dan keyakinannya itu, -- bertolak belakang, bertentangan dengan kenyataan hidup di Indonesia. KESEDIAAN untuk MENERIMA KEBENARAN BARU, kerendahan hati untuk mengkoreksi pandangan sendiri yang keliru, --- itulah syarat penting yang ada pada Rien Snijders, untuk melihat kebenaran yang sesuai dengan kenyataan di Indonesia.
* * *
Tulis Snijders mengenai Prof. Willem Schermerhorn (mantan perdana menteri Belanda kemudian anggota Komisi Jendral Kerajaan Belanda dikirim ke Indonesia untuk berunding dengan Republik Indonesia):
“Barangkali golongan 'Indië Veteranen' masih bisa ingat dan sepenuhnya membenarkan apa yang dikatakan oleh Prof Schermerhorn yang menyatakan penyesalannya berkenaan dengan meninggalnya Sutan Sjahrir,(mantan perdana menteri Republik Indonesia, I.I.). Seperti diketahui Prof Schermerhorn adalah ketua Komisi Jendral yang ditugaskan pemerintah Den Haag, untuk melakukan perundingan untuk suatu Indonesia yang merdeka. Ia menamakan Sutan Sjahrir adalah 'jembatan' antara timur dan barat. Dengan suara yang tertegun dan tersedu-sedan Shermerhorn menyimpulkan bahwa Sjahrir ada di fihak yang benar dengan sikapnya yang berimbang berkenaan dengan masalah kemerdekaan, tetapi dengan kerugian besar Nederland telah gagal.

“Diantara mereka-mereka yang menyatakan penyesalannya ialah politikus Bruins Slot yang dalam tahun 1972 terbuka dimuka umum menyesali mengapa matanya begitu terlambat terbuka. Menteri Jan Pronk lebih jauh lagi ketika ia mengatakan bahwa bagi dirinya adalah dengan sendirinya, bahwa semua yang pernah menolak dinas militer (ke Indonesia ketika itu) direhabilitasi. Dan rekannya menteri pertahanan Relus ter Beek, dimuka monumen Roermond mengakui bahwa baginya matanya menjadi terbuka dan bahwa ia menyadari apa yang oleh semua pemerintah yang lalu disia-siakan.
PONCKE PRINCEN
“Banyak pejuang-pejuang tua menolak pandangan Jan Pronk, mereka tak mau tau tentang rehabilitasi kaum penentang dinas militer (ke Indonesia). Ketika diketahui bahwa menteri Perkembangan dan Kerjasama Pronk dalam kunjungannya ke Indonesia dalam tahun 1991, melakukan kontak dengan desertir Poncke Princen, hal itu seakan-akan bom yang dilontarkan kepada mereka (kaum pejuang tua, bekas KNIL dan KL yang pernah 'dinas' di Indonesia, I.I).
“Tak ada bencana yang lebih besar yang bisa dibayangkan yang lebih dari itu. Pada banyak veteran pejuang Hindia Belanda mendengar saja nama Poncke Princen sudah menimbulkan reaksi luarbiasa kerasnya. Mereka sedikitpun tak melihat yang baik mengenai apa yang dilakukan oleh serdadu Poncke Princen dalam tahun 1948 ketika ia nyeberang ke fihak Indonesia.

“Poncke (Jan) Princen seharusnya dihukum gantung, begitulah yang bisa didengar di kalangan mereka yang pernah berdinas di Hindia Belanda ketika itu. Namun, kasus Poncke Princen tak pernah sampai ke meja pengadilan. Sebabnya, tak lain tak bukan, karena Pincen tidak pernah ada yang mengajukannya ke pendadilan. Rupanya penyebabnya ialah karena situasi politik yang berlangsung ketika itu. Dalam waktu panjang tidak begitu jelas, apakah para pemimpin Republik harus dilihat sebagai musuh, ataukah mereka itu sekelompok orang yang bikin kacau dan harus ditertibkan.
Terhadap dunia, kita ini kan tidak melakukan perang (di Indonesia) sekadar memberlakukan 'aksi kepolisian'. Memang tentara Belanda melakukan percobaan untuk menangkap Poncke Princen. Begitulah terjadi sehari setelah 'ceasefire' (antara Belanda dan Republik Indonesia) dalam tahun 1949 dilakukan serbuan terhadap rumah Poncke Princen. Poncke Princen berhasil lolos. Tetapi istrinya yang orang Indonesia itu, tdibunuh dan jenazahnya dijumpainya diantara teman-teman seperjuangannya yang jadi korban serbuan Belanda. Tetapi dalam tahun 1994 orang melihat Ponche Princen dengan pandangan lain lagi. Permintaannya untuk memperoleh visum untuk berkunjung ke keluarganya ( dalam pada itu ia telah menjadi warganegera Indonesia) ketika itu diberikan oleh menteri luarnegeri Han van Mierlo. Dalam kunjungan itu Poncke Princen mengakui sejujur-jujurnya, bahwa ia menyeberang ke Republik Indonesia dan bahwa ia ambil bagian dalam pertempuran melawan tentara Belanda.
“Disebabkan oleh kunjungan Poncke Princen berkobar lagi diskusi di kalangan kaum veteran, tetapi juga di luar kalangan itu. Demikian sengitnya diskusi tsb sampai dibicarakan di kalangan para mantan tentara Belanda dan KL, untuk 'membereskan' penyeberang itu (maksudnya membunuh Poncke Princen, I.I.).
Tetapi apakah dewasa ini kita masih harus memandang Poncke Princen sebagai pengkhianat? Hanya dengan mengajukan pertanyaan itu, di telinga banyak veteran tua, terdengar sebagai suatu kutukan. Tokh, kita ini sudah lain sekarang, sudah agak lain melihatnya. Andai kata Poncke sampai tertangkap tidak diragukan ia akan diganjar hukuman berat. Jadi kita bisa menyatakan bahwa ketentuan pengadilan itu bertautan dengan waktu dan tempat dan bahwa, pandangan masyarakat dapat dengan cepat berubah.
. . . . .
“Pertanyaan apakah Poncke Princen harus dipandang sebagai pengkhianat, paling sedikitnya telah menjadi hal yang diperdebatkan. Tidak jarang pertanyaan tsb dikaitkan dengan pertanyaan lain, yaitu, apa yang mendorong Nederland begitu cepat sesudah Perang Dunia II, mengarahkan laras senapannya ke Indonesia. Lima tahun yang cukup lama selama pendudukan Jerman, rupanya tidak memberikan pelajaran pada kita, bahwa bangsa lain juga menginginkan kemerdekaan dan menentukan nasibnya di tangannya sendiri. Yang telah menjadi yakin bahwa, Nederland seharusnya tidak boleh melakukan perang terhadap Indonesia, akan memandang Poncke Princen dengan mata yang lain. Dengan sendirinya akan memandang dan menghukumnya. Dalam pada itu akan memandang Poncke Princen sebagai pejuang berprinsip untuk kemerdekaan. Juga akan menunjukkan bahwa sesudah melalui naturalisasi menjadi warganegara Indonesia, ia menceburkan diri berjuang untuk kepentingan para tahanan politik dan bahwa dia meneruskan perjuangannya demi hak-hak manusia dan melawan penindasan. Mula-mula perjuangannya itu dilakukannya sebagai anggota DPR, kemudian sebagai pendiri lembaga hak-hak manusia. Perjuangan yang dilakukannya menyebabkan ia dipenjarakan selama 8 tahun di penjara Indonesia (maksudnya dipenjarakan oleh Orba, I.I.). Dipenjarakan sekian lama tampaknya juga membawa akibat buruk bagi kesehatannya.
“Bagaimanapun orang memandang Poncke Princen, ia adalah orang yang berprinsip, dan dewasa ini mengenai masalah prinsip sering disepelekan saja. Tidak boleh ditutup samasekali kemungkinan, bahwa banyak yang sependapat dengan Poncke Princen, tetapi tidak berani untuk menanggung konsekwensinya. Princen berani menanggung konsekwensinya. Barangkali di dalam buku-buku sejarah kelak ia akan disebut sebagai pahlawan.
TEMPORA MUTANTUR ET NOS MUTAMUR dalam segala hal – waktu mengalami perubahan dan kita juga demikian.
Lagipula bukan hanya Ponce Princen yang telah melakukan desersi. Tetapi memang dia adalah desertur penting. Tetapi dia memang dianggap sebagai desertur yang paling penting, yang memang nyatanya juga demikian. Sebelumnya sudah terdapat puluhan desertir di Nederland. Semuanya militer yang sesudah masa liburnya tidak kembali lagi ke asrama. Diantara kira-kira empat ribu yang menolak dinas militer, ada 2600 yang diadili. Mereka diganjar hukuman sampai lima tahun. Mereka yang segera tertangkap, tokh dikirim lagi ke Indonesia. Demikian cerita Rien Snijders di dalam bukunya. Cerita Sijders tsb bukan nerupakan terjemahan kalimat per kalimat. Tetapi suatu saduran dari tulisannya.
* * *
Dari buku yang ditulis oleh eks-marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders, pembaca bisa menyaksikan bahwa ia dengan sangat mendalam memeriksa kembali fikiran dan pandangannya mengenai Indonesia. Khususnya pandangannya mengenai peranan tetnara Kerajaan Belanda di Indonesia sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
Rien Snijders juga mengadakan analisis mendalam mengenai peranan Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang menyeberang ke fihak Indonesia, berfihak pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Snijders bukan saja menganalisa MANUSIA PONCkE PRINCEN, serta peranannya sebagai disertir kemudian mengambil kewargengaraan Indonesia, lalu menjadi pejuang hak-hak manusia yang oleh Orba diganjar delapan tahun penjara. Dengan berani dan blak-balakan, Snijders malah meramalkan, bahwa MUNGKIN BUKU SEJARAH nantinya akan menganggap Poncke Princen sebagai PAHLAWAN.
Kita menarik pelajran dari sikap penulis eks-marinier Kerajaan Belanda yang berpegang pada prinsip:
TEMPORA MUTANTUR ET NOS MUTAMUR dalam segala hal – waktu mengalami perubahan dan kita juga demikian.

* * *

Wednesday, March 24, 2010

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 24 Maret 2010

--------------------------------------

SEKITAR KUNJUNGAN OBAMA KE INDONESIA (3)
< Dengan Obama Ada Syarat Hubungan Setara Saling Menguntungkan>


Catatan Penulis:

Tulusan ini seperti tertera dalam artikel di bawah, asal mulanya dibuat atas permintaam Tina Manihuruk, wartawan s.k. “Pikiran Rakyat” Bandung. Wartawan tsb ditugaskan oleh Redaksinya untuk mengusahakan tulisan dari 'luar' sekitar rencana kunjungan kenegaraan Obama ke Indonesia.

Sang Wartawan, Tina Manihuruk yang lugu dan 'awam' itu, mencari dan menemukan nama dan artikel-artikel saya di Blogger internet . Ia segera menulis e-mail kepada saya. Tina lalu m i n t a kepada saya untuk menulis artikel yg dimaksud. Saya sanggupi.

Sesudah Redaksi meminta dan mambaca BIODATA saya, mereka putuskan untuk tidak memuat artikel yang telah saya tulis atas usul wartawan mereka sendiri.

Rupanya setelah membaca biodata saya, Redaksi menjadi 'sadar' (mungkin juga terkejut mengetahui) bahwa orang yang mereka mintai untuk menulis artikel tentang kunjungan Obama ke Indonesia, adalah seorang disiden politik. Seorang publisis yang (dari ujung rambut sampai ke telapak kakinya>, adalah sangat ANTI-ORBA. Keruan saja mereka putar haluan. Menjadi 'takut' memuat tulisan saya. Takut 'ambil risiko'. Kemudian Redaksi mencari-cari dalih yang tak masuk akal untuk menolak artikel saya itu.

Saya tulisi wartawan Tina Manihuruk yang jujur itu, bahwa s.k. “Pikiran Rakyat” Bandung ternyata masih hidup dalam kultur Orba. Di zaman Orba tidak ada kebebasan pers. Kultur pers Orba adalah pengawasan, pengontrolan dan kemudian pemberangusan. Orba tidak membolehkan penulis dan tulisan yang berpendirian dan berpandangan politik lain, apalagi yang bertentangan dengan pandangan dan politik penguasa dan pendana.

Dengan penolakannya terhadap artikel saya yang diminta oleh wartawan mereka sendiri itu, “Pikiran Rakyat” Bandung menunjukkan bahwa, Redaksi s.k “Pikiran Rakyat” masih bertindak menurut 'his master voice', yaitu patuh menurut kehendak pendana dan penguasa pers Indonesia.

* * *


SEKITAR HUBUNGAN INDONESIA-AMERIKA

< Dengan Obama Ada Syarat Hubungan Setara Saling Menguntungkan>


Tulisan ini dibuat atas permintaan Tina Manuhuruk, wartawan s.k. “FIKIRAN RAKYAT”, Bandung, berkenaan dengan rencana kunjungan kenegaraan Presiden Barack Obama ke Indonesia. Tina menyarankan agar rencana kunjungan tsb ditinjau dari segi 'hubungan AS-Indonesia. Apa kepentingannya untuk kedua belah fihak. Bagaimana prospek hubungan Indonesia-Amerika setelah kepemimpinan AS dipegang Presiden Baracl Obama'.


* * *


Empat tahun yang lalu, Presiden G.W. Bush, mengadakan kunjungan singkat ke Indonesia, yang berlangsung selama enam jam.


Dalam keterangan-pers bersama dua Presiden, G.W. Bush dan S.B. Yudhoyono (November 2006), dinyatakan bahwa kedua fihak sepakat mendorong jalan damai untuk menyelesaikan berbagai krisis dan konflik di dunia. Sesungguhnya tak jelas apakah pandangan mereka, Bush dan SBY, sama mengenai apa yang dinamakan 'krisis dunia'. Bagi pemerintah George Bush ketika itu, jelas apa yang dinamakan 'krisis' itu. Bush menyebut Korea Utara dan Iran sebagai sumber 'krisis nuklir', karena kedua negara tsb berambisi membuat senjata nuklir.


Lagipula jelas bagi siapapun, bahwa pemerintahan Bush ketika itu menganggap usaha mengatasi dan melawan terorisme, sebagai 'perang melawan teror', 'war against terror'. Terorisme, terutama terorisme gerakan Bin Laden, dinyatakan AS dan sementara sekutunya, sebagai 'bahaya bagi dunia'. Padahal kita tau berbagai negeri lain punya pendapat sendiri. Sebagai contoh: Prof Marten Rossem, seorang pakar Belanda gurubesar di Universitas Utrecht, akhli tentang Amerika, menganalisis bahwa di satu segi, terorisme adalah bahaya riil yang merupakan pelanggaran HAM dan telah menimbulkan ribuan korban warga sipil yang tewas dan luka-luka. Namun, terorisme bukanlah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai 'bahaya terhadap perdamaian dunia'. Dan di dunia ini, nyatanya tidak ada yang bisa dinamakan 'perang-peperangan melawan teror'.


Di segi lain, pendudukan militer Israel yang berkepanjangan atas Gaza dan Tepian Barat Sungai Jordan, blokade ekonomi yang dilakukan Israel di Gaza, karena pemilu di situ dimenangi oleh gerakan Islam Hammas, --- justru hal itu yang merupakan sumber rill berkembangnya konflik menjadi lebih besar di Timur Tengah, yang benar-benar akan membahayakan kestabilan Timur Tengah dan sekitarnya serta ancaman terhadap perdamaian dunia.


Jelas, dua masalah besar yang mempunyai potensi berkembang menjadi konflik yang lebih berbahaya bagi perdamaian dunia, ialah masalah berkepanjangannya pendudukan Israel terhadap Palestina, dan penanganan kasus sekitar tuduhan Barat bahwa Iran sedang membuat senjata nuklir.


* * *


Begitulah situasi politik luarnegeri Amerika Serikat di bawah pemerintahan George Bush, sejalan dengan diberlakukannya konsep strategis 'unilateralisme' dan melakukan 'tindakan prefentif' militer demi yang mereka nyatakan sebagai tindakan 'membela keselamatan dan keamanan' Amerika Serikat, dunia Barat dan perdamaian dunia. Contoh yang gamblang mengenai 'unilateralisme' dan 'tindakan prefentif' militer, adalah serangan yang dilakukan oleh AS dan sekutunya, terutama Inggris, terhadap Irak.


Politik 'unilateralisme' dan 'tindakan prefentif militer', ternyata didasarkan atas informasi palsu. Samasekali tidak ditemukan 'smoking gun' ataupun ' weapons of mass destruction' yang dikatakan dimiliki Sadam Husein. Halmana dijadikan alasan utama sebagai legitimitasi penyerbuan militer dan penggulingan rezim Sadam Husein.


* * *


Dengan kekalahan Partai Republik dan naiknya Barack Obhama dari Partai Demokrat, sistuasi politik luarnegeri AS jelas tidak sama dengan politik luarnegeri pemerintahan Bush.


Dalam pidato keperesidenan dan dalam pelbagai kesempatan, Presiden Obama menyatakan meninggalkan politik luarnegeri Bush. Pidatonya di Universitas Al Azhar, Cairo, juga menunjukkan pandangan strategis Obama yang berbeda mengenai Islam dan dunia Muslim. Obama jelas mengajukan pandangan strategis positif, yang memberikan syarat menuju normalisasi hubungan setara antara AS dengan negeri-negeri Islam dan Dunia Ketiga.


Dengan latar belakang ini kita bisa mengharapkan adanya hubungan yang lebih baik antara Indonesia -- sebagai negara penduduk Muslim terbesar di dunia, dan menganut pandangan 'sekular' dan 'pluralis' antar pelbagai agama ---- dengan Amerika Serikat.

Congress dan Senat AS, secara formal berpegang pada prinsip pemberian bantuan luarnegeri terhadap negeri-negeri lain, khususnya negeri-negeri sedang berkembang, yang dikaitkan dengan situasi di negeri-negeri tsb mengenai hak-hak demokrasi dan HAM. Kongkritnya apakah 'pembelakuan' ataukah pelanggaran hak-hak azasi manusia' yang berlangsung di situ.


Hal tsb bisa disaksikan ketika Presiden Carter mengirimkan utusan pribadinya ke Indonesia yang masih di bawah Presiden Suharto, --- untuk secara khusus mengadakan kontak dengan korban pelanggaran HAM di Indonesia. Maksudnya untuk memperoleh informasi langsung mengenai situasi para tahanan politik di Indonesia. Ketika itu yang dihubungi oleh utusan pribadi Presiden Carter adalah Joesoef Isak, eks-tapol mantan Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, yang kemudian memimpin penerbit buku bermutu HASTA MITRA. Presiden Carter menggunakan informasi tsb utuk memperbesar tekanan kepada rezim Orba, untuk memperbaiki situasi HAM di Indonesia, sebagai syarat diteruskannya bantuan AS kepada Indonesia. Kongkritnya AS mendesak Suharto untuk melepaskan puluhan ribu tapol yang masih meringkuk di pelbagai penjara yang tersebar di seluruh Indonesia, khususnya di pulau Buru.


Apalagi dewasa ini, dengan Barack Obama sebagai Presiden, AS akan lebih menekankan masalah pemberlakuan hak-hak demokrasi dan hak-hak azassi manusia, sebagai syarat untuk dijalinnya hubungan kenegaraan yang wajar. Serta pemberian bantuan.


* * *


Hubungan antara Indonesia dan Amerika, telah mengalami perkembangan dan gejolak sejak Proklamasi Republik Indonesia, 1945. Sejak semula AS punya perhatian khusus terhadap Indonesia. Ketika itu AS sedang garang-garangnya mencengkam dan memberlakukan strategi 'Perang Dingin' terhadap blok Timur. Seluruh politik luarngeri AS diabdikan pada strategi Perang Dingin tsb. Dalam waktu panjang AS berpegang pada pandangan: “Yang tidak berfihak pada saya, adalah musuh saya!” Di segenap penjuru dunia AS membangun pangkalan-pangkalan militer dan persekutuan-persekutuan militer, seperti NATO, CENTO, SEATO, Perjanjian Militer AS-Jepang, dsb dalam rangka strategi Perang Dingin.


Republik Indonesia di bawah Presiden Sukarno, berpegang pada politik luar negeri yang 'bebas aktif' membela perdamaian dunia bersamaan dengan itu memberikan dukungan kuat pada perjuangan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk kemerdekaan nasional. Untuk itu bersama dengan pemimpin-pemimpin Asia dan Afrika lainnya, seperti Jawaharal Nehru dan Gamal Abdul Nasser, U Nu, dll menyelenggarakan Konferensi Asia-Adrika di Bandung (1955). Koferensi Bandung adalah manifestasi aspirasi dan tekad bangsa-bangsa yang baru

merdeka untuk menempuh jalannya sendiri, bebas dari pertarungan negara-negara besar, bebas dari strategi Perang Dingin Barat menghadapi yang mereka anggap bahaya Komunisme; bebas dari strategi blok Timur yang menghadapi dunia Barat.


AS tidak mentolerir, bahkan jelas menganggap politik 'bebas aktif' Indonesia sebagai duri dalam daging, sebagai bahaya terhadap kepentingan politik luarnegerinya. Seperti diakui Obama dalam bukunya menyinggung hubungan AS dengan pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Sukarno. Obama menulis bahwa demi strategi Perang Dingginnya, CIA membina hubungan khusus dengan perwira-perwira TNI, memberikan dukungan terhadap pemberontakan separatis di Indonesia, yang selanjutnya berakhir dengan disingkirkannya Presiden Sukarno dan naiknya Suharto menjadi presiden Orba. Amerika Serikat adalah pendukung utama rezim Orba, baik politik, finansil maupun militer. Juga invasi militer Indonesia, pendudukan militer serta aneksasi Timor Timur, mendapat dukungan AS.


* * *


Hubungan Indonesia-Amerika mengalami perkembangan ketika AS menunjukkan perhatian terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia setelah Proklamasi Republik Indonesia. Hal ini ditandai dengan keterlibatan AS dalam Komisi Tiga Negara, KTN (yang terdiri dari Belgia, Australia dan Amerika Serikat). KTN berusaha mencari 'jalan keluar' dari konflik Republik Indonesia-Kerajaan Belanda sejak 1945. Namun, hubungan Indonesia-Amerika mengalami gejolak, kemunduran, memburuk dan bisa dikatakan antagonistik, ketika AS demi strategi Perang Dinginnya, berusaha memaksakan konsep politik luarnegerinya terhadap Indonesia. Lebih-lebih ketika AS jelas-jelas memberikan bantuan riil pada pemberontakan separatis PRRI dan Permesta.


* * *


Dewasa ini Presiden Barack Obama, berkomit meninggalkan politik luarneegeri yang dijalankan oleh pemerintahan Bush, berjanji akan mengadakan hubungan setara dengan negeri-negeri lainnya. Maka terdapat syarat riil untuk suatu hubungan yang lebih wajar dan lebih baik antara Indonesia dan Amerika Serikat.


Amerika Serikat punya kepentingan besar di Indonesia. Pelbagai perusahaan miyak dan tambang penting di Indonesia adalah milik Amerika. Menghadapi konstelasi politik sejagat dan Asia yang baru, AS memerlukan mitra seperti Indonesia yang harus diperlakukannya sebagai negara baru yang berdaulat penuh atas kesatuan tanah airnya. Demikian pula Indonesia punya kepentingan riil untuk berhubungan normal dan baik dengan AS. Indonesia seyogianya bisa dan perlu memanfaatkan potensi AS di bidang ilmu dan teknologi, bisnis dan permodalan. Dengan demikian Indonesia juga berkepntingan untuk memperbaiki dan mensetarakan hubungan dua negeri, yang saling menghargai, saling menghormati, dan saling menguntungkan.


Kunjungan Obama ke Indonesia adalah kesempatan baik bagi kedua negeri untuk merealisasi maksud baik tsb.


* * *


Kapanpun dalam menelaah hubungan Indonesia-Amerika: Yang terpenting ialah, Indonesia harus selalu mengedepankan, mempreoritaskan, mencengkam prinsip yang dasar-dsarnya sudah diletakkan oleh para founding fathers dari Republik Indonesia. Yaitu, dalam melaksanakan politik luarnegeri SELALU MEMPERTAHANKAN KEBEBASAN.


Artinya berdikari dalam menjalankan politik luarnegeri. Sepanjang sejarah Republik Indonesia, sebelum politik luarnegeri Indonesia mengalami perubahan menjadi politik luarnegeri yang pro-Barat dan anti-blok Timur, semasa Orba, --- yang menjadi pegangan dan prinsip utama politik luarnegeri Indonesia, adalah POLITIK LUAR NEGERI YANG BEBAS DAN AKTIF, serta BERINISIATIF. Disejalankan dengan pelaksanaan prinsip POLITIK BERTETANGGA BAIK.



* * *



To unsubscribe from this group, send email to jaringan-kerja-indonesia+unsubscribegooglegroups.com or reply to this email with the words "REMOVE ME" as the subject.




No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.437 / Virus Database: 271.1.1/2765 - Release Date: 03/23/10 07:33:00

Tuesday, March 23, 2010

Menjelang Kunjungan Presiden BARACK OBAMA (2)

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 15 Maret 2010
--------------------


MENJELANG KUNJUNGAN PRESIDEN BARACK OBAMA (2)
< Surat Terbuka Amnesty International A.S. Kepada Obama>


Sikap dan pendirian seorang pemimpin politik golongan apapun, di negeri manapun, apalagi bila ia seorang kepala negara dan kepala pemerintah sekaligus, seperti Presiden Barack Obama, maka, prioritas utamanya, alasan dasar tindakannya – – Adalah kepentingan politik nasional negerinya sendiri. Politik luarnegerinya, itupun, diabdikan pada kepentingan dalam negerinya.


Kepedulian Obama di dalam negerinya dewasa ini ialah berusaha sekuat-kuatnya menggolkan rencana reformasi perawatan kesehatan bagi seluruh rakyat Amerika. Janji reformasi perawatan kesehatan rakyat adalah salah satu tema besar kampanye pilpres Barack Obama pada pilpres 2008 yl. Oleh karena itu, tak heran, bahwa Gedung Putih sampai mengundurkan beberapa hari kunjungan Obama ke Asia/Pasifik. Itu demi menangani masalah reformasi perawatan kesehatan umum negeri.


Menurut berita pers kunjungan Barack Obama di Indonesia berlangsung dari 20 s.d 22 Maret.


Masyarakat Indonesia masih ada waktu beberapa hari mempersiapkan diri bagaimana 'memanfaatkan' kunjungan Presiden Barack Obama tsb demi kepentingan usaha kegiatan sendiri. Dimaksudkan di sini adalah: Para aktivis peduli prodem (pro-demokrasi) dan HAM. Memanfaatkan celah-celah dan kesempatan yang ada demi mendorong maju usaha dan kegiatan HAM dan demokrasi di Indonesia, bukan hal baru bagi aktivis prodem dan HAM Indonesia.


Seperti dikemukakan di bagian (1) Kolom ini, sekitar kunjungan Presiden Obama ke Indonesia, – – – sebuah organisasi HAM di Amerika Serikat, yaitu Amnesty International USA, telah mengirimkan sepucuk surat terbuka kepada Presiden Barack Obama.


Di dalam surat terbuka tsb Presiden Obama diingatkan agar di Indonesia nanti, beliau memerlukan untuk menemui para aktivis HAM serta korban Peristiwa Pelanggaran HAM 1965, dll. Maksudnya untuk membikin jelas kepada fihak Indonesia, bahwa Amerika Serikat mengkaitkan pengembangan hubungan dua negeri dengan masalah pemberlakuan HAM di Indonesia.


Bisa diperkirakan para aktivis prodem dan HAM beserta para eks-tapol dan keluarga korban pelanggaran HAM sekitar Peristiwa 1965, mengambil insiatif. Merebut waktu untuk menghubungi Kedutaan Besar Amerika Serikat. Nyatakan keinginan agar Presiden Obama memerlukan diri bertemu muka dan mendengar suara mereka-mereka, para aktivis prodem dan HAM, dan yang penting, para (wakil-wakil) eks-tapol dan para keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Ini sesuai dengan saran dan anjuran organisasi HAM di AS, Amnesty Internatioanal USA. Maksud ini bukan tidak mungkin terlaksana.


Nyatanya, pada masa rezim Orba sekalipun, Presiden Carter (dari Partai Demokrat AS, teman separtai Presiden Obama) ketika itu, khusus mengirimkan seorang utusan pribadinya ke Indonesia, untuk menemui korban pelanggaran HAM 1965. Eks Tapol yang dihubungi oleh utusan Presiden Carter tsb tak lain tak bukan, adalah JOESOEF ISAK, yag kemudian menjadi Pemimpin Penerbit Hasta Mitra.


Informasi yang disampaikan oleh Joesoef Isak kepada utusan pribadi Presiden Carter, digunakan oleh Presiden Carter, dalam memperbesar tekanan pada Presiden Suharto. Supaya Suharto bisa menyadari posisi AS, bahwa Amerika Serikat (dalam hal ini sebuah resolusi Congres) mengkaitkan masalah bantuan AS kepada Indonesia dengan masalah tahanan politik di Indonesia, masalah pelanggaran HAM. Kongkritnya AS memperbesar tekanannya kepada Orba agar melepaskan tahanan politik.


Kelanjutannya ialah rezim Orba terpaksa memperhatikan tekanan AS, dan mulai melepaskan para tapol, terutama para tapol yang di pulau Buru. Ini adalah pengalaman nyata yang perlu dipertimbangkan baik-baik. Tentu, penyebab dilepaskannya sebagian besar tapol ketika itu yang menyangkut Peristiwa 1965, penyebabnya bukan semata-mata karena adanya tekanan dari AS. Masih ada faktor-faktor penting lainnya. Antara lain tekanan dunia internasional kepada Orba bersangkutan dengan pelanggaran HAM di Indonesia.



* * *


Bagaimana orang menyikapi kedatangan Presiden Barack Obama ke negeri kita, bisa disaksikan dari pelbagai reaksi yang sudah bisa dibaca di media. Salah seorang politikus yang dianggap salah seorang tokoh Reformasi, yaitu Amien Rais – dan juga menganggap dirinya seperti Gus Dur, Megawati Sukarnoputeri, dan Sultan Hamengkubuwono X, –-- keras 'menentang' kedatangan Obama. Presiden Obama hanya membawa 'masalah' ke Indonesia. Karena ia mengirimkan 30.000 tentara ke Afghanistan. Demikian Amien Rais.


Padahal masih segar dalam ingatan orang, bahwa menjelang pilpres beberapa tahun yang lalu, ketika Amien Rais berambisi menjadi calpres, ia bersikap 'lain' terhadap AS. Ketika ia berkunjung ke Amerika Serikat sekitar waktu itu. pers dalam dan luarnegeri mengomentari bahwa Amien Rais ke AS terkait dengan maksudnya untuk minta 'restu' Gedung Putih. Sehubungan dengan ambisinya untuk menjadi presiden RI mendatang.


Di Jawa Timur dan Kalimantan diorganissir demo menentang kunjungan Obama ke Indonesia. Mereka itu dari kelompok Hisbut Tahrir. Juga ada demo di Senayan yang diorganiir oleh Lembaga Dakwah Kampus (Jakarta). Sikap kaum demontran tsb sama seperti pernyataan Amien Rais. Mereka menentang kedatangan Obama ke Indonesia.


Namun, ada suara lain. Mereka tidak apriori menentang kedatangan Obama ke Indonesia. Hendardi dari 'Institut Setara', yang dikenal adalah salah seorang aktivis prodem dan HAM di Indonesia menyatakan sbb: Meskipun kunjun Obama dapat digunakan oleh sementara pejabat untuk membenarkan kemajuan negeri ini berkenaan dengan demokrasi, hak-hak manusia dan pluralisme, ia (Hendardi) dan para aktivis lainnya akan menyuarakan keadaan sesungguhnya di negeri ini. Untuk mendesak AS agar membantu memecahkan masalah-masalah yang bersumber dari intoleransi. Diharapkan kunjungan Obama akan mendorong pluralisme. Demikian Hendardi. Apa yang diutarakan Hendardi ini terkait dengan masalah intolernasi terhadap kaum minoritas, seperti sikap terhadap gereja-gereja Kristen, dan persekusi terhadap pengikut aliran Islam Ahmadiyah.


Lanjut Hendardi: “Terpilihnya seorang Hitam Amerika sebagai presiden AS, yang di waktu lampau tak bisa dibayangkan, hal ini dapat memberikan inspirasi orang-orang Indonesia. Kisah Obama sendiri merupakan contoh hidup bagaimana kita dapat berjuang melawan intoleransi dan diskriminasi. “Kami tidak percaya bahwa AS akan tinggal diam mengenai pelanggaran-pelangagaran HAM di negeri ini, semata-mata karena AS punya kepentingan ekonomi di Indonesia.”


Di sisi lain, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishag berucap, bahwa, pihaknya mendukung kehadiran Presiden Barack Obama di Indonesia. "Kehadirannya sebagai tamu negara, kita `welcome`. Kitapun mendukung saling kesepahaman antara Indonesia dan AS, untuk menuju Indonesia yang lebih baik," katanya. (Bersambung)


* * *

Lampiran: SEPUCUK SURAT TERBUKA AMNESTY INTERNATIONAL U.S.A.

tertuju kepada Presiden Barack Obama, menjelang kunjungan kenegaraan ke Indoensia, yang direncanakan akhir Maret ini. 03/05/10 13:26:00


Amnesty International U.S.A.

Letter to President Obama on Indonesia


March 2, 2010


The Honorable Barack Obama

President of the United States

The White House

1600 Pennsylvania Avenue NW

Washington, DC 20500


Dear Mr. President:

As you prepare to travel to launch the US–Indonnesia Comprehensive Partnership, Amnesty International would like to bring to your attention the human rights situation in Indonesia and urge you to press President Susilo Bangbang Yudhoyono for meaningful human rights improvements.

Failure to do so would send the wrong signal: that the United States is not concerned about human rights in Indonesia.


While in Indonesia, we strongly urge you to meet with human rights defenders and the families of victims of state abuse, especially those civilians who were killed during the 1965 political turmoil. We also urge you to publicly state what role human rights will play in the US–Indonesia Comprehensive partnership and emphasize that human rights will play as important a role as trade and security. Please commend Indonesia's leadership role in creating the human rights body in ASEAN. Encourage President Yudhoyono to continue Indonesia's active role in this body and offer to assist their work.


Even though Indonesia has come a long way over the years in its respect for human rights, much needs to be done to protect the basic rights of Indonesian citizens. We would like to highlight our human rights concerns.


Address the Problem of Impunity

Major human rights abusers go unpunished in Indonesia. One clear example is the failure of successive Indonesian governments to bring the late military dictator Suharto to trial for the roughly half-a-million to a million people who were killed in 1965. He was also never held to account for the death of around 100,000 East Timor people. This is one of the main reasons why impunity is a serious problem in Indonesia to this date.


Make Reform a Centerpiece of US–Indonesia military cooperation

US – Indonesia military cooperation should ensure the development of a professional security force in Indonesia and should be linked to bringing those involved in human rights abuses to face trial. Of special concern are recent attempts to engage the Special Forces group "Kopassus."


Request: Any US–Indonesia military cooperation should be linked to genuine security sector reform, including bringing a"Kopassus" officers involved in human rights abuses to trial.


Stoning to death for adultery

A new Indonesian bylaw endorses stoning to death for adultery and canning of up to 100 lashes for homosexuality. This local Islamic Criminal Code was passed by the Aceh Provincial House of Representatives in September 2009.


Request: Urge the Indonesian authorities to repeal this law.


Release Political Prisoners

Indonesian authorities continue to use repressive legislation to criminalize peaceful political activities. Violations of this right are particularly severe in areas where there has been a history of pro-independence movements such as Maluku and Papua.


* Former civil servant Filep Karma and student Yusak Pakage are serving prison sentences of 15 and 10 years respectively for peacefully raising the Papua flag.


* In June 2007, 22 men were arrested in Maluku province for unfurling the "Benang Raja" flag, a symbol of South Maluku identity, after performing a traditional dance in front of President Yudhoyono. All have now been sentenced to jail terms between seven and 20 years.


Amnesty International considers the above "Prisoners of Conscience" and demands their immediate and unconditional release.


Request: We urge you to demand their immediate release before you arrive in Indonesia as a mark of good will. We are confident that President Yudhoyono will take your request seriously.


Protect Human Rights Defenders

We appreciate your recent meeting with Human Rights Defenders at the White House and urge you to highlight the protection of human rights defenders in Indonesia. We are concerned that the Indonesian legal system is being used to intimidate human rights defenders rather than to ensure that they are able to carry out their important work.


For example, human rights defender Usman Hamid is the subject of criminal defamation proceedings due to his involvement in the campaign for justice for the late Munir Said Thalib, who was murdered by poisoning in September 2004. In addition to Mr. Hamid, at least six other human rights defenders faced criminal defamation charges in 2009 for their work: Emerson Yuntho, Illian Deta Arta Sari, Gatot, Suryani, Dadang Iskandar, and Itce Julinar.


Request:

1) We urge you to press President Yudhoyono to ensure that human rights defenders are not targeted through criminal defamation suits or by any other means.


2) We also urge you to call upon the Indonesian government to identify those at the highest level responsible for Munir’s murder and publish the report of the fact-finding team.


Establish Complaint Mechanism for Police Abuse

Despite the current reform process to make Indonesian National Police more professional and respectful of human rights, criminal suspects living in poor and marginalized communities, in particular women and repeat offenders, are disproportionately targeted for a range of human rights violations.


Request: Urge President Yudhoyono to initiate steps to set up an independent complaints mechanism that can receive and deal with complaints from the public.


Prosecute Those Responsible for Disappearances

In September 2009, the Special Committee on Disappearances 1997–1998 of Indonesia's House of Representatives urged the government to create an ad-hoc human rights court to try those responsible for enforced disappearances.


Request: Urge the Authorities to take immediate steps to create an ad-hoc human rights court.


Allow Freedom of Religion

Blasphemy law: Several laws and regulations continue to be discriminatory towards freedom of thought, conscience and religion. Article 156(a) of Indonesian Criminal Code, enacted under a 1965 Presidential Decree, makes "blasphemy" a crime punishable by up to 5 years of imprisonment. Amnesty International is aware of at least eight people who are currently in prison under this law.


The Ahmadiyya community continues to face intimidation and attacks. In June 2008, a joint ministerial decree instructed the Ahmadiya community to either declare that they are not Muslims or discontinue declaring their faith.


Christian groups also face restrictions on worship and evictions. In one case, at least 1,400 Christian students were evacuated from their Setia college campus in July 2008 when it was attacked by villagers allegedly linked to the Islamic Defenders Front. There have been no arrests in relation to the attack.


Request: Urge the Indonesian authorities to allow freedom of religion.


Mr. President, Amnesty International urges you to take this opportunity to ensure that steps are taken to improve human rights in Indonesia. While in Indonesia, we strongly urge you to speak publicly and meet with human rights defenders and families of victims, especially those civilians who were killed during the 1965 political turmoil. Thank you.

Sincerely,

Larry Cox – Executive Director


(Bersambung)


* * *

Thursday, March 11, 2010

Menjelang Kunjungan Presiden BARACK OBAMA (1)

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 11 Maret 2010
------------------------------

Menjelang Kunjungan Presiden BARACK OBAMA (1)
< Apa Pesan Amnesty International A.S. Kepada Obama>

Diberitakan dari Indonesia, bahwa sekitar akhir Maret ini, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama akan mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Ini adalah kunjungan pertama kalinya ia lakukan ke Indonesia, sesudah menjadi Presiden Amerika Serikat.

Sejak berumur 6 tahun, dari th 1967 s/d 1971 keluarga Obama berdomisili di Jakarta, di Jalan Taman Amir Hamzah, No 22 (Pav). Setelah cerai dengan suaminya yang pertama, seorang mahasiswa Kenya yang sedang menempuh studinya di Universitas Hawaii, ibu Obama kawin lagi dengan seorang Indonesia, Lolo Soetoro, seorang mahasiwa Indonesia yang ketika itu bersekolah di Unversitas Hawaii. Dari perkawinan dengan Lolo Soetoro, Barack Obama memperoleh seorang adik perempuan bernama Maya. Sekarang tinggal di Hawai (USA).

Barac Obama dengan Indonesia memang dekat. Ia bersekolah (dasar) di sekolah Indonesia di Menteng. Teman-teman sepermainamya adalah anak-anak Indonesia. Mereka bermian bersama di sekolah, berenang di sungai sama-sama, atau menunggang kerbau kaum tani di sawah.

* * *

Yang terpenting ialah bahwa Barack Obama MENULIS buku, dimana ia berkish tentang masa kecilnya di Indonesia. Di buku berikutnya, Obama menulis tentang politik Indonesia. Ini dilakukannya setelah ia menjadi Senator USA. Sesudah ia menjadi politkus. Tulisannya di dalam bukunya “THE AUDICITY OF HOPE – Thoughts On Reclaiming The American Dream”, Obama memerlukan kurang lebih 10 halaman mengisahkan kenangan dan PENDANGANNYA tentang Indonesia. Sebelum dan semasa Orba.

Bagaimana persisnya pandangan/sikap Barack Obama megenai rezim Orba di bawah Presiden Suharto? Berani kukatakan: Obyektif; di lihat dari pandangan politisi Amerika dewasa ini. Dalam bukunya Obama jelas menilai bahwa yang terjadi di Indonesia dalam tahun 1965 adalah perebutan kekuasaan oleh Jendral Suharto. Ia juga jelas menggambarkan jumlah luar biasa orang Indonsia yang tak bersalah yang jadi korban kampanye pembersihan golongan militer; pada masa-masa Suharto mulai berkuasa. Presiden SBY mutlak harus membaca baik-baik, sedikitnya bagian tentang Indonesia. Yang ditulis Obama dalam bukunya itu, adalah pandangan kritis, tajam dan pasti tidak disukai oleh elite dewasa ini yang masih belum lepas dari pandangan verdi Orba mengenai Peristiwa 1965. Termausk “penasihat-penasihat politik” SBY benar-benar harus tau isi politik buku-buku Obama itu.

* * *

Sebagai ilustrasi mari kita jenguk sebagian (kecil) pandangn Obama mengenai Indonesia menjelang dan ketika kekuasaan negara 'bergésér' dari Presiden Sukarno ke Jendral Suharto.

“Sukarno proved to be a major disappointment to Washington. Along with Nehru of India and Nasser of Egypt, he helped found the nonaligned movement, an effort by nations newly liberated from colonial rule to navigate an independent path between
the West anf the Soviet bloc. Indonesia's Cmmunist Party, although never formally in power, grew in size and influence. Sukarno himself ramped up the anti-Western rhetoric, nationalizing key industries, rejecting U.S. aid, and strengthening ties with the Soviets and China. With U.S. Forces knee-deep in Vietnam and the domino theory still a central tenet of U.S. Foreign policy, the CIA began providing covert
support to various insurgencies inside Indonesia, and cultivated close links with Indonesia's military officers, many of whom had been trained in the Unite States. In 1965, under the leadership of General Suharto, the military moved against Sukanro, and under emergency powers began a massive purge of communists and their symphathizers. According to estimates, between 500.ooo and one million people were slaughtered during the purge, with 750.000 others imprisoned or forced to exile”.
(Barack Obama – THE AUDICITY OF HOPE. Thoughts on Reclaiming The American Dream, First published (2006) in New York, the U.S. by The Crown Publishers; Chapter 8, The World Beyond Our Borders, page 272-273. Paperback edition, by Canongates Book, 2008.)

Jelas, dikemukakan mengapa Washington 'tak suka' kepada Sukarno. Penyebabnya: -- Sukarno bersama Nehru dan Nasser membangun kekuatan baru Gerakan Non-Blok, yang dikatakan Obama sebagai, suatu usaha untuk menempuh politik yang bebas dari Barat maupun blok-Soviet. Juga terang dijelaskan, bahwa di bawah 'teori domino' yang menjadi pendirian politik laurnegeri AS, CIA mendukung pemberontakan di daerah, (maksudnya PRRI, Permesta dan GAM, Gerakan Aceh Merdeka), meskipun tidak ditulis hitam di atas putih. Juga gamblang sekali dijealskan bahwa CIA membangun jaringannya dengan perwira-perwira tentara. Hasilnya, pada tahun 1965 di bawah Jendral Suharto dilakukan perebutan kekuasaan negara.

Selanjutnya Obama mengungkapkan bahwa pada 'pembersihan' yang dilakukan Suharto terhadap kaum Komunis dan simpatisannya, telah jatuh korban sekitar 500.000 sampai 1 juta orang. Tambah lagi 750.000 orang yang dipenjarakan atau terpaksa eksil. Sepanang ingatan, belum pernah ada politisi Amerika Serikat, yang anggota Senat, bicara begitu jelas mengenai Peristiwa 1965 dan korban yang jatuh.
Jelas sekali Obama samasekali tidak menganggap Peristiwa Pembantaian 1965 itu sebagai suatu KONFLIK HORIZONTAL, suatu konflik di antara kekuatan-kekuatan DIDALAM masyarakat. Dari pengemukaannya mengenai Peristiwa 1965, ia berpendapat bahwa Peristiwa 1965 dan korban yang jatuh, adalah suatu KONFLIK VERTIKAL. Antara yang punya kekuasaan dengan rakyat biasa. Bukan sutu konflik di kalangan masyrakat.

* * *


Di atas dikemukakan bahwa pandangan Obama (ketika itu masih belum Presiden AS) mengenai Indonesia periode itu, adalah 'obyektif'. Ia menulis setelah beberapa tahun menjadi politikus. Dari 1996 s/d 2004 ia terpilih dan aktif di Senat negara bagian. Dari 2005 s/d 2008 ia terpilih di Senat Amerika Serikat (pusat). Mari ikuti lagi bagian berikutnya dari bukunya mengenai Indonesia ketika itu.

“It was two years after the purge began, in 1967, the same year that Suharto assumed the presidency, that my mother and I learned in Jakarta, a consequence of her remarriage to an Indonesian student (Lolo Soetoro) whom she'd met at the University of Hawaii. I was six at the time, my mother twenty-four. In later years my mother would insist that had she known what had transpired in the preceeding months, we never whould have made the trip. But she didn't – the full story of the coup and the purge was slow to appeara in American newspapers. (Ibid)

Dari uraian Obama diatas, juga jelas bahwa ibunda Obama, Ann Dunhm, tidak akan mau ke Indonesia, andaikata ia tau apa yang terjadi sebelumnya di Indoneisa. Maksdnya, G30S dam Peristiwa Pembantaian1965, serta perebutan kekuasan negara oleh Jendral Suharto.


* * *

Menjelang kunjungan Presiden Barack Obama ke Indonesia, sebuah organisasi hak-hak azasi manusia (HAM) di Amerika, yaitu AMNESTY INTERNATIONAL USA, menulis sepucuk surat terbuka kepada Presiden Obama. Sebagai lampiran di bawah disiarkan lengkap surat Amnesty International USA tsb dalam bahasa aslinya. Yaitu bahasa Inggris.

Arti penting surat AI-USA tsb ialah bahwa saran atau pesan yang disampaikannya kepada Presiden Obama ketika berkunjung ke Indonesia nanti, begitu gamblang dan begitu jelas.

TERAMAT PENTING, ialah bahwa Amnesty International – USA mengingatkan kepada Presiden Obama, a.l. sbb:

“ Ketika berkunjung di Indonesia nanti, kami mendesak dengan kuat untuk mengadakan pertemuan dengan mereka-mereka yang membela hak-hak azasi manusia dan para keluarga korban kesewenang-wenangan negara, teristimewa para warganegara sipil yang dibunuh pada periode kekacauan politik 1965. Kami juga mendesak Anda untuk memberikan pernyataan terbuka peranan apa yang dimainkan dalam Kemintraan Komprehensif AS-Indonesia dan tekankan bahwa hak-hak azasi manusia akan memainkan peranan penting sama pentingnya dengan peranan perdagangan dan keamanan. . . . .”
(Bersambung)

Lampiran: SEPUCUK SURAT TERBUKA AMNESTY INTERNATIONAL U.S.A.
tertuju kepada Presiden Barack Obama, menjelang kunjungan kenegaraan ke Indoensia, yang direncanakan akhir Maret ini.

LAMPIRAN:
Release Date: 03/05/10 13:26:00

Amnesty International U.S.A.
Letter to President Obama on Indonesia

March 2, 2010

The Honorable Barack Obama
President of the United States
The White House
1600 Pennsylvania Avenue NW
Washington, DC 20500

Dear Mr. President:
As you prepare to travel to launch the US–Indonnesia Comprehensive Partnership, Amnesty International would like to bring to your attention the human rights situation in Indonesia and urge you to press President Susilo Bangbang Yudhoyono for meaningful human rights improvements.
Failure to do so would send the wrong signal: that the United States is not concerned about human rights in Indonesia. 

While in Indonesia, we strongly urge you to meet with human rights defenders and the families of victims of state abuse, especially those civilians who were killed during the 1965 political turmoil. We also urge you to publicly state what role human rights will play in the US–Indonesia Comprehensive partnership and emphasize that human rights will play as important a role as trade and security. Please commend Indonesia's leadership role in creating the human rights body in ASEAN. Encourage President Yudhoyono to continue Indonesia's active role in this body and offer to assist their work.

Even though Indonesia has come a long way over the years in its respect for human rights, much needs to be done to protect the basic rights of Indonesian citizens. We would like to highlight our human rights concerns.

Address the Problem of Impunity
Major human rights abusers go unpunished in Indonesia. One clear example is the failure of successive Indonesian governments to bring the late military dictator Suharto to trial for the roughly half-a-million to a million people who were killed in 1965. He was also never held to account for the death of around 100,000 East Timor people. This is one of the main reasons why impunity is a serious problem in Indonesia to this date.

Make Reform a Centerpiece of US–Indonesia military cooperation
US – Indonesia military cooperation should ensure the development of a professional security force in Indonesia and should be linked to bringing those involved in human rights abuses to face trial. Of special concern are recent attempts to engage the Special Forces group "Kopassus."

Request: Any US–Indonesia military cooperation should be linked to genuine security sector reform, including bringing a"Kopassus" officers involved in human rights abuses to trial. 

Stoning to death for adultery
A new Indonesian bylaw endorses stoning to death for adultery and canning of up to 100 lashes for homosexuality. This local Islamic Criminal Code was passed by the Aceh Provincial House of Representatives in September 2009.

Request: Urge the Indonesian authorities to repeal this law.

Release Political Prisoners
Indonesian authorities continue to use repressive legislation to criminalize peaceful political activities. Violations of this right are particularly severe in areas where there has been a history of pro-independence movements such as Maluku and Papua.

* Former civil servant Filep Karma and student Yusak Pakage are serving prison sentences of 15 and 10 years respectively for peacefully raising the Papua flag.

* In June 2007, 22 men were arrested in Maluku province for unfurling the "Benang Raja" flag, a symbol of South Maluku identity, after performing a traditional dance in front of President Yudhoyono. All have now been sentenced to jail terms between seven and 20 years.

Amnesty International considers the above "Prisoners of Conscience" and demands their immediate and unconditional release.

Request: We urge you to demand their immediate release before you arrive in Indonesia as a mark of good will. We are confident that President Yudhoyono will take your request seriously.

Protect Human Rights Defenders
We appreciate your recent meeting with Human Rights Defenders at the White House and urge you to highlight the protection of human rights defenders in Indonesia. We are concerned that the Indonesian legal system is being used to intimidate human rights defenders rather than to ensure that they are able to carry out their important work.

For example, human rights defender Usman Hamid is the subject of criminal defamation proceedings due to his involvement in the campaign for justice for the late Munir Said Thalib, who was murdered by poisoning in September 2004. In addition to Mr. Hamid, at least six other human rights defenders faced criminal defamation charges in 2009 for their work: Emerson Yuntho, Illian Deta Arta Sari, Gatot, Suryani, Dadang Iskandar, and Itce Julinar.

Request:
1) We urge you to press President Yudhoyono to ensure that human rights defenders are not targeted through criminal defamation suits or by any other means.

2) We also urge you to call upon the Indonesian government to identify those at the highest level responsible for Munir’s murder and publish the report of the fact-finding team.

Establish Complaint Mechanism for Police Abuse
Despite the current reform process to make Indonesian National Police more professional and respectful of human rights, criminal suspects living in poor and marginalized communities, in particular women and repeat offenders, are disproportionately targeted for a range of human rights violations.

Request: Urge President Yudhoyono to initiate steps to set up an independent complaints mechanism that can receive and deal with complaints from the public.

Prosecute Those Responsible for Disappearances
In September 2009, the Special Committee on Disappearances 1997–1998 of Indonesia's House of Representatives urged the government to create an ad-hoc human rights court to try those responsible for enforced disappearances.

Request: Urge the Authorities to take immediate steps to create an ad-hoc human rights court.

Allow Freedom of Religion
Blasphemy law: Several laws and regulations continue to be discriminatory towards freedom of thought, conscience and religion. Article 156(a) of Indonesian Criminal Code, enacted under a 1965 Presidential Decree, makes "blasphemy" a crime punishable by up to 5 years of imprisonment. Amnesty International is aware of at least eight people who are currently in prison under this law.

The Ahmadiyya community continues to face intimidation and attacks. In June 2008, a joint ministerial decree instructed the Ahmadiyya community to either declare that they are not Muslims or discontinue declaring their faith.

Christian groups also face restrictions on worship and evictions. In one case, at least 1,400 Christian students were evacuated from their Setia college campus in July 2008 when it was attacked by villagers allegedly linked to the Islamic Defenders Front. There have been no arrests in relation to the attack.

Request: Urge the Indonesian authorities to allow freedom of religion.

Mr. President, Amnesty International urges you to take this opportunity to ensure that steps are taken to improve human rights in Indonesia. While in Indonesia, we strongly urge you to speak publicly and meet with human rights defenders and families of victims, especially those civilians who were killed during the 1965 political turmoil. Thank you.
Sincerely,
Larry Cox – Executive Director

(Bersambung)

* * *

PERJUANGAN EMANSIPASI WANITA BELUM SELESAI

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 08 Maret 2010
--------------------


PERJUANGAN WANITA INTERNASIONAL Untuk Emansipasi Masih Belum Selesai !!



Peringatan Seabad Hari Wanita Internasional, International Women's Day (IWD), tujuan terutamanya ialah agar kaum wanita khususnya dan masyarakat umumnya, jangan sampai lupa, bahwa hak-sama wanita dengan kaum priya yang diperjuangkan oleh wanita sedunia sejak seabad yang lalu, realisasinnya masih jauh dari tuntuan. Di banyak negeri mancanegara, termasuk dinegeri-negeri yang maju dan memproklamasikan diri sebagai pembela HAM, termasuk hak-sama kaum wanita dengan kaum priya, seperti di Amerika Serikat dan negeri-negeri Barat lainnya, hak-sama kaum wanita dengan kaum priya masih jauh dari terpenuhi.


* * *


Dimana kedudukan, tempat kaum wanita Indonesia dalam keluarga, masyarakat dan negara, menurut pandangan bangsa kita umumnya? Mengenai hal tsb pasti ada berbagai pandangan, jawaban dan tanggapan. Ambil satu contoh. Mengenai UU Pornografi. Jelas ada dua pendapat yang saling bertolak belakang. Satu pandangan menjadikan kaum wanita sebagai obyek yang menjadi 'masalah'. Satu pendangan linnya melihatnya dari ketidak setaraan hukum terhadap hak-sama antara wanita dan priya. Kita masih ingat, bagaimana perlawanan sementara tokoh golongan yang me(nyalah)gunakan agama untuk menjegal Megawati Sukarnoputri menjadi perempuan pertama yang menjabat kepala negara dan pemerintahan. Kita kesampingan dulu 'masalah' itu untuk kali ini.


Agak lain dengan tema utama memperingati IWD – International Women's Day, yaitu mengedepankan masalah perjuangan kaum wanita utuk hak-sama dengan kaum priya dalam rangka pelaksanaan HAM, kali ini ingin dikemukakan bagaimana pandangan tokoh pejuang kemerdekaan yang memberikan seluruh jiwa raganya untuk 'nation-building', BUNG KARNO.


Sejarah bangsa ini mencatat, mendokumentasi nama Bung Karno terkait erat dengan buku berjudul – “SARINAH”. Buku Bung Karno itu berisi kuliah beliau mengenai kedudukan wanita Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. “Sarinah-lah yang mengajarkan Sukarno untuk cinta kepada rakyat, sehingga rakyat pun akan mencintainya. . . . . .Sarinah adalah perempuan desa yang mengajari Sukarno mengenal cinta-kasih. Sarinah mengajari Sukarno untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Ajaran-ajaran itu bergulir setiap pagi, bersamaan Sarinah memasak di gubuk kecil yang berfungsi sebagai dapur, di dekat rumah. Sukarno selalu duduk di samping Sarinah. Pada saat-saat seperti itulah Sarinah berpidato, "Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Kemudian, kamu harus mencintai rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya." (Goenadi, 17/7-2009).


Pada saat memperingati “SEABAD 08 MARET”, Hari (perjuangan ) Wanita Sedunia untuk sama-hak, ada baiknya mengingat kembali perhatian Bung Karno terhadap kedudukan wanita dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Ada baiknya membaca (kembali) buku beliau: * “Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia”*


Siapakah Sarinah? Kalau dilihat di buku “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, BK menceritakan tentang Sarinah berikut kutipannya:


”Sarinah adalah bagian dari rumah-tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapat gaji sepeser pun. Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta-kasih. Aku tidak menyinggung pengertian jasmaniahnya bila aku menyebut itu. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata. Selagi ia memasak di gubuk kecil dekat rumah, aku duduk di sampingnya dan kemudian ia berpidato, ” Karno, pertama engkau harus mencintai ibumu. Akan tetapi kemudian kau harus mencintai pula rakyat jelata. Engkau harus mencintai manusia umumnya.” Sarinah adalah nama yang biasa. Akan tetapi Sarinah yang ini bukanlah wanita yang biasa. Ia adalah satu kekuasaan yang paling besar dalam hidupku. “ (Roso Daras). Dsini Bung Karno mengangkat Sarinah, seorang wanita yang mengasuhnya sejak kecil, sebagai seorang wanita yang memberikan pendidikan moral bangsa kepadanya.


“Saya namakan (buku tsb) Sarinah, sebagai tanda terima kasih. Ketika masih kanak-kanak, pengasuh saya bernama Sarinah. Ia mbok saya. Ia membantu Ibu saya, dan dari dia saya telah menerima rasa cinta dan rasa kasih. Dari dia saya menerima pelajaran untuk mencintai orang kecil. Dia sendiri orang kecil, tetapi budinya besar. Semoga Tuhan membalas kebaikannya.” (Roso Daras).


Dari uraian kecil diatas bisa disaksikan bagaimana sikap dan pandangan Bung Karno mengenai kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat. Sebagai sumber rasa cinta. Cinta kepada orangtua dan cinta kepada rakyat dan bangsa.


Memperingati Hari 8 Maret seperti ini juga merupakan salah satu cara mengenangkan HARI WANITA INTERNASIONAL.*



* * *


Begitu pula nama R.A. Kartini, dalam sejarah bangsa, erat terkait dengan peranan beliau dalam mengangkat kaum wanita Indonesia, merebut hak untuk memperoleh pendidikan pengetahuan dan ilmu sama dengan kaum priya. Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, Kumpulan surat-surat kepada Mrs. Abendanon dan suaminya. Karya Kartini ini , patut menjadi perhatian generasi muda. Jadikan Kartini, suri teladan. Khayati semangat dan api perjuangan Kartini untuk pembaruan, untuk meningkatkan pengetahuan dan derajat kaum wanita Indonesia.


Pandangan 'mainstream' dalam masyarakat Indonesia, ialah, bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia. Kartini adalah tokoh nasional. Dalam usia semuda itu (25^th ) beliau tampil dan memperjuagkan ide dan gagasan pembaruan. Kartini telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional. (Roso Daras)


Mengangkat tokoh nasional KARTINI, dalam rangka memperingati hari IWD (International Women's Day), juga adalah cara edukatif untuk meningkatkan kesadaran dan mengenal identitas bangsa sendiri.


* * *


Juga dalam rangka IWD, dipublikasikan di bawah ini sebuah puisi penyair muda

DINI SETYOWATI:


100 TAHUN 8 MARET
Oleh: Dini S.Setyowati


Seratus tahun yang lalu
Ibu-ibu turun ke jalan
Karena hanya mereka yang tahu
Dan merasa tak tega
Melihat anak-anak mereka
Menahan sakit dan lapar
Melihat kawan-kawan tanpa kerja
Mati perlahan menjadi mayat terkapar
Ditengah “Sky scraper's” dinginnya udara New York

8 Maret adalah tanggal
Dimana buruh tekstil perempuan
Telah sepakat untuk turun berprotes ke jalan
Dengan spanduk-spanduk galak teriak
Bahan pangan untuk rakyat !
Hak pilih yang sederajat !
Hidup tanpa melarat !
Ganyang para fabrikant laknat !

Dan ketika bumi bangsa-bangsa
Dikoyak oleh perang dunia pertama
Dimana interes kapital
Mulai membugil maksudnya
Maka para isteri dan ibu bangkit lagi
Dalam memanggil para suami agar kembali
Keluar dari ancaman jadi korban perang absurd

Klara Zetkin dan Rosa Luxemburg
Menjadi pelopor dalam aksi menyulut
Obor kemerdekaan wanita seluruh dunia.
Akan tetapi jalan perjuangan
Masih jauh dari tujuan...
Sampai kini seolah berupa tradisi
Masih terus berlangsung penghisapan
Atas buruh perempuan di industri tekstil
Dan mereka dari dunia ke III dijerat

Jaringan dagang wanita dan pembantu migran
Sister's ! Mother's ! Wive's !
Perjuangan kita sudah nyata
Tak mungkin punkir keadaan fakta
Dalam sehari-hari diskriminasi gender
Tak habis-habisnya hak kita diperkosa
Di pekerjaan, masyarakat dan rumahtangga
Rantai belenggu tetap menjerat leher !

Sistem kapitalis yang macho
Adalah malapetaka bagi kita semua:
Yang mencita-citakan sistem adil dan makmur
Tanpa penghisapan manusia atas manusia !


Amsterdam, 8 maret 2010*
(Puisi ini dibacakan di Dam pada manifestatie wanita sedunia)



* * *


Kita beralih ke tokoh internasional yang merupakan STANDARD BEARER, pemegang panji perjuangan emansipasi kaum wanita, yaitu CLARA ZETKIN.

Siapa Clara Zetkin?

Ia lahir di Ezner, Jerman, tanggal 5 Juli 1857 (meninggal 20 Juni 1933). Sejak melakukan kegiatan masyarakat, Clara Zetkin adalah seorang politikus aktif dan berpengaruh yang berfaham Sosialis yang memperjuangkan hak-hak wanita. Beliau aktif di Partai Sosial Demokrat Jerman (USPD). Kemudian menjadi anggota Liga Spartakis dan tak lama kemudian masuk Partai Komunis Jerman (KPD). Ia mewakili Partai Komunis Jerman di Reichstag (1920-1933). Dalam kegiatannya ia punya hubungan luas dengan gerakan wanita dan gerakan buruh Jerman. Karena larangan gerakan dan kegiatan sosialis di Jerman oleh rezim Bismarck (1878), ia menjadi orang eksil, yang kemudian bermukim di Paris. Di sana ia aktif ikut membentuk Sosialis Internasional.



* * *



Bersama dengan Rosa Luxemburg, teman seperjuangannya, Zetkin merupakan salah seorang tokoh utama sayap kiri dalam SDP. Dalam perdebatan mengenai masalah Revisionisme pada permulaan abad ke-20, Zetkin melakukan serangan kritik tajam terhadap revisionisme Bernstein. Zetkin dengan teguh dan tegas berjuang melawan NAZI, Sosialisme-Nasionalnya kaum fasis Jerman.



Clara Zetkin adalah seorang pejuang WANITA BERPOLITIK. Di sini ia memperjuangkan kesempatan-sama dan hak pilih bagi kaum wanita. Dalam kaitan inilah Zetkin mengembangkan dan membangun gerakan sosial-demokrasi wanita Jerman. Dalam tahun 1907 Clara Zetkin menjadi pemimpin “Women's Office” dalam SPD. Adalah Clara Zetkin yang memulai menegakkan ide HARI WANITA INTERNASIONAL pada tanggal 08 Maret 1911. Ide tsb diluncurkannya di Kopenhagen, Denmark.



Selain sebagai anggota comite central Partai Komunis Jerman, dari 1927 s/d 1933 Clara Zetkin menjabat sebagai anggota dari ( Jangan kagét, ya ) – COMINTERN – Komunis Internasional.



Seratus tahun yang lalu 99 orang tokoh gerakan wanita internasional dari 17 negeri, menghadiri Konferensi Wanita Sosialis di Kopenhagen. Pada saat itulah dicetuskan ide HARI WANITA INTERNSIONALoleh Clara Zetkin.



Pertanda dimulai dengan lebih mantap gerakan wanita internasional untuk emansipasi, bebas dari penindasan dan pemerasan, untuk hak-sama dengan kaum priya, khususnya hak-pilih dalam pemilihan umum.



* * *

DULU KAMI DIKIBULIN (3-)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Sabtu, 06 Maret 2010
----------------------------

DULU KAMI DIKIBULIN (3-)


Membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa, berbagai dokumentasi di internet, saling hubungannya dengan bangsa lain, merenungkan, memikirkannya kembali, adalah suatu kegiatan berguna sekali. Sering ditemukan di situ butir-butir baru obyektivitas. Yang dulu pernah dibaca, belum tampak. Bahkan, akan menjumpai sesuatu yang mendekati 'kebenaran'. Maka kegiatan tsb, menyegarkan fikiran, dorongan untuk lebih lanjut memeriksa kembali fikiran semula, memperluas cakrawala pandangan.

Dengan sendirinya, yang dimaksudkan di sini dengan membalik-balik kembali kasus sejarah, adalah membaca (kembali) buku-buku sejarah dan dokumentasi yang 'beneran'. Yang ditulis atas dasar fakta-fakta, sumbernya transparan dan bisa diakses kembali. Yang terhadapnya bisa dilakukan 'check and recheck', yang bisa diusut keabsahan sumbernya, yang bukan rekayasa. Yang bukan atas dasar cerita yang 'entah benar entah tidak', fiksi apalagi angan-angan kibulan perorangan semata. Atau yang sumbernya dibilang sendiri sebagai 'menurut berita burung'.



Ruangan ini adalah kolom 'Berbagi-Cerita' . . .. Tetap ada kebebasan dalam menulis. Bolehlah ada tema kecil. Sedikit 'beralih' ke kasus lain: Yaitu, sekitar 'PERISTIWA MADIUN'. Tidak terlalu menyimpang dari tema besar, karena soalnya juga masalah sejarah. Untuk menujukkan bahwa, mengenai kasus 'Peristiwa Madiun', PKI pernah menantang pengadilan dengan fakta-fakta bukti dan saksi-saksi hidup , bukan 'berita burung' ataupun 'berita yang entah benar entah tidak'. Dan samasekali bukan 'kibulan' sang penulis.

Tadi malam aku mengakses 'search machine' – Google.Com. Mencari bahan dan dokumentasi sekitar 'Peristiwa Madiun'. 'Wonder boven wonder', kata orang Belanda, (yang artinya kira-kira: samasekali tak terduga), kujumpai dokumen 'DN AIDIT MENGGUGAT PERISTIWA MADIUN'. Dokumen tsb adalah pidato DN Aidit, Ketua PKI, di DPR-RI, Februari 1957. Isi utamanya membantah dengan fakta dan saksi, fitnah dan tuduhan bahwa Peristiwa Madiun adalah suatu 'pemberontakan PKI' melawan pemerintah yang sah, pemerintah Republik Indonesia. Diungkap dan dibeberkan oleh Aidit, bahwa peristiwa Madiun itu adalah hasil provokasi pemerintah Hatta ketika itu. DN Aidit lalu menantang penguasa (ketika itu kabinet parlementer Ali Sastroamidjojo(PNI) dan Idham Chalid (NU). Aidit minta agar kasus Peristiwa Madiun diajukan ke Pengadilan. Sekaligus minta Moh. Hatta yang sudah meletakkan jabatan Wakil Presiden RI, ditampilkan sebagai saksi. Aidit berjanji akan menampilkan barang bukti berupa dokumen otentik dan saksi-saksi hidup. Sayang pemerintah dan pengadilan tidak merespons TANTANGAN AIDIT tsb. Juga mereka-mereka, parpol-parpol, golongan-golongan yang anti-komunis, yang dengan seenaknya menuduh bahwa Peristiwa Madiun adalah pemberontakan PKI, tidak merespons tantangan Adit tsb. Aneh, ya? Tidak berani? Atau apa? Ada kesempatan baik untuk mentuntaskan penyimpulan sekitar Peristiwa Madiun, tetapi kok tidak dimanfaatkan. Bukankah seharusnya bisa kasus Peristiwa Madsiun diajukan ke pengadilan, demi persatuan nasional dan memperkokoh kesatuan dan persatuan tanah air dan bangsa.

Karena masalah Peristiwa Madiun, dibuat sengaja menjadi masalah yang 'menggntung' , maka bebaslah beredar tuduhan bahwa Peristiwa Madiun adalah 'Pemberotakan PKI' . Dan ini berlangsung terus sampai kini. Dan kesimpang-siuran mengenai Peristiwa Madiun berlangsung terus. Masing-masing dengan cerita dan kesimpulan sendiri.

* * *
Buku eks-Marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders, 'WIJ WERDEN MISLEID'. -- DULU KAMI DIKIBULIN-- adalah salah satu karya penulis untuk mengungkap kasus sejarah, guna menarik pelajaran untuk masa depan bagi generasi berikutnya.

Penulis Singapore, sahabat baikku * May Swan*, sampai selesai membaca tulisan “Berbagi Cerita”-- sekitar eks-Marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders. Lalu May Swan memberikan kesan/tanggapan sbb:

“Tulisan mengenai bukun Rien Snijders seorang eks-Marinier Kerajaan Belanda saya baca sampai selesai.

“Banyak membantu pengetahuan tentang keadaan sebenarnya dalam masyarakat Belanda mengenai pandangan mereka terhadap era-kolonialisasi dan perjoangan kemerdekaan Indonesia. Seperti yang tercatat, "Dalam uraiannya itu juga bisa disaksikan bahwa pandangan orang orang Belanda mengenai Tempo Doeloe beragam adanya. Mulai dari yang konsevatif dan ortodoks smpai pada yang maju dan progresif. Setelah lebih dari enampuluh tahun, kemunafikan dan hipokrisi yang bertolak dari kepentingan politik ini, di kalangan politisi dan gereja Belanda masih sulit dibicarakan dengan terus terang dan terbuka."


“Terkilas dalam benak, mempolitisir agama demi kepentingan gereja dan sekelompok manusia, sudah terjadi sepanjang masa dan masih bersambungan hingga hari ini, tidak hanya di negeri Belanda. Sekalipun dengan perbedaan nama dan julukan. Maka bolehkah saya katakan, yang perlu ditantang adalah jalan pikiran, kelakuan dan sistim penghisapan yang pernah terjadi dan tetap berlangsung, bukan orangnya. Karena secara individu, melalui pengalaman, pengetahuan dan kesadaran, demi kepentingan, orang bisa saja berubah. (May Swan).


* * *

Berikut itu disampaikan lanjut beberapa lagi ungkapan Rien Snijders mengenai situasi konflik Belanda-Indonesia pada periode yang dibicarakan dalam bukunya.

Rien Snijders:

“Segera seusai Perang Dunia II, pemerintah Belanda menganggap sebagai kewajibannya untuk secepat mungkin membangun sebuah tentara. Kewibawaan harus segera dipulihkan di Hindia-Belanda. Munculllah dimana-mana seruan dalam bahasa Belanda rombengan: Adalah keinginan pemerintah Belanda, menantikan pemanggilan kembali personil sesuai dengan undang-ndang wajib dinas, untuk secepat mungkin memiliki tentara yang terlatih. Oleh karena itu diberikan kesempatan kepada semua laki-laki Belanda dan yang di bawah kekuasaan Belanda, yang lahir sebelum 1 Januari 1927 dan yang belum mencapai 37 tahun, untuk melapor sebagai sukarelawan perang dan dimana perlu melakukan Dinas Militer dimana-mana'.

“Mengenai apa yang diartiken dengan 'dimana perlu', tidak disinggung oleh seruan itu, tetapi kita taulah. Prof. ir. W. Schermerhorn, Perdana Menteri ketika itu, memberikan penjelasan tegas di parlemen (Tweede Kamer) ketika ia menyatakan: ' bahwa milik kita yang tesisa hanya mrupakan tidak lebih dari sepotong 'droge boterham' (roti kering) bilama Indië (maksudnya Indonesia, I.I.) akan diserahkan kepada orang-orang Indonesia' .

“Banyak yang setuju dengan dia, INDIË VERLOREN, RAMPSPOED GEBOREN, <”Hindia lepas, datanglah bencana”, I.I.>.

“Menteri Jongkman, Merteri Daerah Seberang Lautan, menggugah perasaan nasional ketika ia berkata bahwa Nederland mampu melakukan hal-hal besar dan harus tetap menjadi suatu kerajaan kaliber dunia. Ketika baru menjabat sebagai menteri ia menyatakan kepada rakyat Belanda, 'bahwa negeri kita telah membuktikan punya hak atas kewajiban di seberang lautan'.

“Djurubicara Katholieke Volkspartij dan pimpinan redaksi de Volkskrant, prof C.P.M. Romme, lagi berucap nasionalistik ketika ia bicara mengenai suatu imperium Nederland.

“Dan Menteri Koloni (Protestan), A.W.F. Idenburg, disambut dengan tepuk tangan di Parlemen ketika ia mempertanyakan di jejeran ke berapa tempat Nederland di masyarakat bangsa-bangsa tanpa memiliki jajahan-jajahannya. Belum pernah terjadi di masa lalu, golongan Katolik dan Protestan begitu mendasar kebersamaan mereka seperti halnya kebersamaan mereka mengenai apa yang dinamakan masalah Hindia.



“Di dalam bukunya Kerajaan Belanda Semasa Perang Dunia II, jilid XII, Prof. dr L. de Jong menulis, bahwa harus dilakukan lagi penyebaran ajaran Kristen. Lalu: Di kalangan Rooms Katoliek dan Hervormde Kerk keinginan agar seluruh Hindia (maksudnya Indonesia, I.I.) menjadi Kristen, memainkan peranan penting.

“Uskup Roermond berkeyakinan bahwa kaum 'Indiëgangers” (orang-orang Belanda dan lainnya yang di Indonesia yang mendukung kekuasaan jajahan Hindia Belanda, I.I.), adalah: Prajurit-prajurit Kristus dan tanah-air, pada siapa ia menharapkan mereka-mereka itu akan menerima apa saja, karena itu adalah Kehendak Tuhan.

“Komisari Ratu di Limburg tidak mau ketinggalan ketika ia menunjukkan kepada tentara yang berangkat, bahwa mereka mengemban tugas sebagai wakil-wakil dari kebudayaan Kristen.

Sementara diakhiri sampai di sini dulu ungkapan-ungkapan yang dikemukakan oleh eks-Marinier Kerajaan Belanda, Rien Snijders, di dalam bukunya 'KITA DULU DIKIBULIN'.

.



* * *

Tuesday, March 2, 2010

DULU KAMI DIKIBULIN (2)

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Minggu, 28 Februari 2010
----------------------------

DULU KAMI DIKIBULIN, Rien SNIJDERS
-- (2) --

Baik dilanjutkan cerita sekitar eks-Marinier Tentara Kerajaan Belanda Rien Snijders. Berikut ini, sedikit pengenalan tentang dirinya. Rien Snijders berasal di sebuah desa terpencil, provinsi Brabant. Ketika Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945, dan lahir Republik Indoneisa, pemerintah Belanda cepat-cepat merekrut tentara untuk dikirim sebagai ''vrijwilliger”, 'sukarelawan' ke 'Hindia Belanda'. Rien Snijders, yang lebih banyak terdorong oleh keinginan 'avontur' dan mau segera keluar dari lingkungan desa yang sempit, ikut mendaftarkan diri. Tanggal 25 November 1945 ia berangkat bersama beberapa batalyon Tentara Kerajaan Belanda (KL) ke Indonesia. Dari pasukan infantri ia kemudian bergabung ke Korps Polisi Militer Belanda (1947).



Tak lama setibanya di Indonesia Rien menyaksikan bahwa situasi di Indonesia samasekali berbeda dengan apa yang digambarkan oleh pemerintah Belanda. Rien mulai berfikir. Timbullah pertanyaan dalam dirinya: Apakah pemerintah Belanda punya hak mengirimkan tentara dan melakukan tindakan militer di Indonesia? Setelah ambil bagian dalam 'Aksi polisionil' ke-1, ia kembali ke Belanda. Selanjutnya menjadi wartawan/penulis. Merealisasi idam-idamannya sejak kecil.



Buku Rien Snijders “DULU KAMI DIKIBULIN”, adalah hasil dari suatu pemikiran kembali, suatu renungan mawas diri dan kemudian bersikap kritis terhadap politik kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda di Indonesia setelah Perang Dunia II. Rien Snijders terutama menyasar para pemimpin politik dan gereja Belanda waktu itu. Mereka-mereka itu memobilisasi dan 'menyemangati' ribuan tentara Belanda yang berangkat ke Indonesia. Kemudian menemui ajalnya di medan pertempuran melawan pejuang-pejuang kemerdekaan Indonesia. Para pemimpin itu tidak pernah dimintai pertanggungan-jawabnya! Mereka-mereka itu bertolak dari fikiran 'mainstream' di Belanda, bahwa di 'onze Indië' ('Hindia Kita'). 'kita bisa berbuat sesuatu yang besar'. Di Belanda fikiran kolot ini masih tersisa sampai dewasa ini.

Lebih enampuluh tahun kemudian, kemunafikan dan hipokrisi yang bertolak dari kepentingan politik ini, di kalangan politisi dan gereja Belanda, masih tetap sulit dibicarakan dengan terus terang dan terbuka, demikian komentar penerbit buku Rien Snijders, 'Uigevery Kontrast'.

Kita ikuti beberapa ungkapan Rien Snijders di dalam bukunya:

* * *



RENUNGAN DI SEBUAH MONUMEN
< Oleh Rien Snijders, 2005>

“Di Roermond aku berdiri di monumen yang didirikan untuk anggota-anggota militer Belanda yang tewas di Hindia Belanda. Para pendiri pekuburan monumen ini memerlukan delapanbelas pilar untuk menatah nama-nama anggota tentara yang tewas. Ketika aku berjalan berkeliling monumen fikiranku dipenuhi oleh samudra kenangan yang membikin persaan menjadi tak enak. Pada waktu berangkat dulu, mereka telah melakukan perpisahan seperti yang diatur oleh para pejabat pemerintah dan kalangan gererja”.

. . . . “Berangkatlah melaksaakan tugas pemerintah kalian yang sah yang dengan tak cuma-cuma menggengam kelewangnya. Berangkatlah dengan kesadaran seruan yang lebih tinggi untuk memulihkankan hukum dan ketertiban. Semoga Tuhan yang ada di Surga memberkahi kalian. DIA menguatkan kalian. DIA membimbing kalian. Dia akan membawa kalian kembali ke keluarga dan ke kota kalian, dan yang dalam fikiran mengikuti kalian dan berdoa mengenangkan kalian. Tuhan akan selalu melihat kalian agar kalian ketika dalam keadaan bahaya menyelamatkan roh kalian”.


“Di berbagai tempat di negeri kita, pidato-pidato seperti tsb itu diucapkan. Boleh dibilang, serdadu-serdadu yang berangkat selalu dipuji semangat cinta-tanah airnya. Setelah lima tahun pendudukan Jerman di Hindia-Belanda, harus dipulihkan ketertiban dan ketenangan, demikian kilah para menteri dan anggota Tweede Kamer (Parlemen). Lebih-lebih di sana ribuan warga-setanah air yang selamat dari kamp-kamp, sedang terancam jiwanya. Di banyak gereja dipanjatkan doa ke hadirat Tuhan bagi serdadu-serdadu Belanda. Sepucuk surat yang ditulis Jan Pieters-zoon Coen dalam tahun 1617 kepada Heeren XVII (Pengurus VOC, I.I.), yang berbunyi a.l sbb: “ /daer can in Indiën wat groots verricht worden” -- (Nun di //Hindia sana bisa dilakukan sesuatu yang besar , I.I.). /Mana ada anak muda bernyali yang tidak akan ikut serta dalam usaha baik tsb. Juga seruan pemerintah untuk ambil bagian dalam dinas militer telah direspons oleh ribuan anak muda. Juga oleh saya. Mula-mula para sukarelawan tsb – begitu cepatnya penamaan sukarelawan itu dipakai – akan digunakan untuk melakukan pertempuran akhir melawan Jepang, tetapi setelah menyerahnya Jepang, mereka dikirim ke Hindia-Belanda. Pertimbangan saya bersedia dikirimkan ke Hindia-Belanda sebagai sukarelawan, sesungguhnya sedikit sekali sangkut pautnya dengan masalah cinta-tanah air. Dan samasekali tak ada kaitannya dengan keberanian. Keberangkatan saya itu bertolak dari keinginan untuk avontur, bertualang. Dan dari keinginan yang sudah lama didam-idamkan untuk lepas dari masyarakat yang ketat dikontrol secara ortodoks dimana saya dibesarkan.

Saya kira, banyak sukarelawan juga mengalami seperti saya. Juga mereka dipancing dengan avontur. Mereka yang dari dinas wajib-militer kiranya punya fikiran lain. Namun, kaum veteran Hindia Belanda itu juga tidak bisa dianggap sebagai satu golongan yang homogin. Antara militer sukarelawan tua dan mereka yang dikirim sebagai dinas wajib militer – sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang kita lakukan di sana. Yang belakangan ini lebih banyak pertama-tama merasa jadi korban dari politik (pemerintah) setelah perang (Perang Dunia II) terbanding mereka yang ke sana sebagai sukarelawan. Tetapi, juga di kalangan sukarelawan tua terdapat perbedaan pendapat. Pernah mereka dipuji keberanian dan semangat cinta tanah air-nya. Dewasa ini pujian demikian itu hampir samasekali tidak disebut lagi.

“Untuk didirikannya monumen di Roermond kaum militer tua sampai harus mengadakan aksi-aksi dan mengumpulkan dana sejumlah seratus ribu gul. Kemudian akhirnya pemerintah memberikan dana yang diperlukan. Tetapi hanya sesudah ada tekanan golongan pejuang-tua. Mengenai militer yang tewas di Hindia Belanda, di Belanda bertahun-tahun lamanya hampir samasekali tidak disebut lagi.

Tampaknya Belanda mulai merasa sedikit malu mengenai perang (di Indonesia) dan orang ingin secepat mungkin melupakannya. Dekolonisasi tampaknya bukan merupakan segi yang kuat pada kita. Kaum politisi dari peiode segera sesudah berakhirnya Perang Dunia II, terbukti tidak mampu untuk dengan cara sopan mengucapkan selamat tinggal pada milik kita di daerah seberang lautan.

Mereka tidak mau melihat perubahan-perubahan yang terjadi di dunia sesudah Perang Dunia II. Maka itulah juga dekolonisasi Papua telah berakhir dengan suatu drama. Rasa malu itulah yang sebagian besar merupakan penyebab mengapa monumen di Roermond baru pada tahun 1988 selesai didirikan. Hampir empatpuluh tahun setelah militer kita meninggalkan Hindia Belanda. Baru sesudah itu terdapat kalimat-kalimat “demi menghormat dan mengenangkan para militer yang sejak 1945 telah gugur di Hindia-Belanda”. Dalam tahun 1999 monumen tsb diperluas dengan delapanbelas pilar.”

* * *

Demikianlah bagian pertama dari buku Rien Snijders yang dikutip hampir lengkap untuk menunjukkan bagaimana seorang mantan-Marinier Belanda, melihat sejarah mereka mengenai konflik dengan Indonesia.

Dalam uraiannya itu juga bisa disaksikan, bahwa pandangan orang-orang Belanda, mengenai 'tempo doeloe' berragam adanya. Mulai dari yang paling konservatif dan ortodoks sampai pada yang maju dan progresif. Bagian-bagian berikutnya akan dikutip juga sebagian, nantinya, untuk menunjukkan, bahwa, meskipun secara militer Belanda telah meninggalkan Indonesia, tetapi fikiran kolot mengenai peranan kolonialisme Belanda di Indonesia masih tetap ada.

Dari buku Rien Snijders tampak bagaimana pemerintah Den Haag setelah Perang Dunia, kaum politisi dan kalangan gereja, menggunakan surat dan roh Jan Pieters zoon Coen – Gubernur VOC yang teramat kejam dan biadab menindas rakyat Indonesia pada zaman permulaan Hindia Belanda, sampai pada Kitab Injil guna memobilisasi tentara untuk menindas dan menghancurkan Republik Indonesia.

* * *

Dengan membaca buku Rien Sijders, sekaligus bisa dikatakan bahwa pandangan yang main-pukul-rata mengenai masyrakat Belanda tentang Indonesia dewasa ini, --- ADALAH TIDAK NYAMBUNG dengan kenyataan, dan KELIRU. Sejak zaman kolonial di Belanda terdapat sejumlah besar golongan Kiri dan progresif, termasuk kaum demokrat dan religius, yang mendukung perjuangan bangsa kita untuk kemerdekaan. Pada periode Orde Baru Suharto, kaum buruh dan sejumlah besar kaum Kiri demokrat dan religius, yang a.l tergabung dalam Komite Indonesia di Belanda, dengan konsisten menyokong dipulihkannya demokrasi dan HAM di Indonesia.

Rien Snijders, seperti banyak lainnya di kalangan orang Belanda, adalah orang-orang Belanda yang jujur dan berani melihat kenyataan dan perubahan maju di dunia ini. Ia berani mengkoreksi pandangan dan tindakannya yang keliru di masa lalu mengenai Indonesia dan melakukan kritik yang tajam terhadap politisi dan kalangan gereja yang ngotot masih mempertahankan pandangan lama mereka terhadap Indonesia. Serta tidak mau mempertanggungjawabkan tindakan mereka di masa lalu.

(Bersambung)



* *

DULU KAMI DIKIBULIN , kata Rien Snjiders

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Jum'at, 26 Februari 2010

---------------------------------------


DULU KAMI DIKIBULIN -- Kata

Rien Snjiders, Eks Marinier Belanda <1>


Pada paragraf di bawah ini kutulis sedikit 'pendahulu cerita'. Semacam 'warmimg-up´. Untuk ceritaku mengenai sikap dan pandangan seorang wartawan/penulis Belanda. Ia mantan polisi militer tentara kerajaan Belanda (KL). Pernah bertugas di 'Nederlands Indië' tahun-tahun 1945-1947. Namamya Rien Snijders. Sama seperti lebih seribu serdadu Belanda lainnya yang dikenal dengan nama 'dienstweigeraars' atau ´pembangkang dinas militer´. Setelah memikirkan kembali, suatu ketika mereka punya pendapat lain dengan pemerintah Belanda. Mereka menentang politik anti-Republik Indonesia pemerintah Belanda. Mereka-meraka itu adalah orang yang ´berbalik´ . Pandangan Rien Snijders kemudian bertolak belakang dengan 'Oud Indiërs´atau ´Indische veteranen´. Yaitu mereka-mereka yang mantan anggota KNIL atau KL lainnya.


Kata-kata ´DULU KAMI DIPERDAYAKAN´, adalah kalimat yang ditulis oleh Rien Snijders dalam bukunya berjudul ´WIJ WERDEN MISLEID´. Bisa juga kata-kata tsb ditulis dengan kata-kata populer yang lebih dimengerti seperti ini: DULU KAMI DITIPU. Atau DULU KAMI DIKIBULIN (oleh pemerintah).


Jadi, ceritaku kali ini mengenai eks-marinier Belanda Rien Snijders. Ceritaku ini berarti membalik-balik halaman sejarah. Khususnya bersngkutan dengan hubungan Indonesia-Belanda. Ini perlu dan harus. Maksudnya untuk merenung dan mengenangkan. Berfikir ulang mengenai hal bagaimana sejarah itu ditulis orang dan di-interpretasikan oleh berbagai fihak. Di sinilah tidak 'nyambungnya' ucapan wartawan-senior Rosihan Anwar dengan kehidupan nyata. Dalam diskusi ketika memperingati peristiwa sejarah enampuluh tahun Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Beladna (KMB, 1949). Rosihan Anwar berucap: Sejarah itu adalah yang sudah lalu. Jangan diungkit lagi. Lebih penting melihat kedepan! Mengikuti nasihat Rosihan orang bisa ´kesandung dua kali'. Karena tidak mau susah-susah belajar dari masa lampau, dari sejarah.


* * *


Selasa pagi lalu, sebagaimana biasa bersama temannya, tetangga kami, Will van de Nadort, -- Murti berangkat memenuhi acara tetapnya tiap Selasa. Mereka melukis bersama di ruangan Haagse Huis – Ruangan pertemuan bagi penghuni Haag en Veld, Zuidoost Amsterdam – semacam 'clubhuis'. Antara delapan / sembilan orang wanita senior seminggu sekali melakukan kegiatan melukis, di bawah bimbingan seorang pelukis profesional, Toos Bakker. Biasanya sebelumnya mereka ada kegiatan senam. Selasa ini senamnya libur.


Aku sendirian di rumah. Apa yang kukerjakan sebaiknya? Apakah duduk berjam-jam di depan computer. Membaca begitu banyak e-mail yang masuk (terkadang sampai 250 sehari). Dan berbagai berita hangat dari dan mengenai Indonesia. Yang semuanya itu bisa diakses di sk-sk Indonesia. Antara lain melalui Website-nya Umar Said, Paris. Sesudah membaca bahan-bahan biasanya aku menulis 'kolom', 'berbagi cerita' atau 'catatan partikeliran'. Juga menjawab teman atau relasi yang berkomunikasi bilateral lewat e-mail. Ini harus segera dilakukan. Kalau tidak segera direspons, biasanya lupa. Dan kelupaan merespons/menjawab e-mail yang ditujukan langsung, ini tidak baik. Menjengkelkan bagi yang besangkutan. Bisa juga terjadi salah faham, dsb. Maka kujadikan kebiasaan untuk secepatnya menjawab (lewat japri) e-mail yang perlu dijawab.


Atau bisa juga menggunakan waktu cukup untuk membaca berita e-mail yang kuterima langsung dari BBC. BBC di internet amat luas dan konprehensif. Itu dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia. Bisa juga membaca s.k. 'The Washington Post' online, yang juga kuterima gratis.


Jadi, bagaimana? Aku bisa pilih: Berkomunikasi dengan dunia luar, terutama dengan Indonesia, lewat internet. Atau pergi keluar. Teringat, hendak ke Openbare Bibliotheek Amsterdam. Perlu mengembalikan buku 'MAX HAVELAAR' of De Koffiveilingen Der Nederlandsche Handelmaatscahppy”, karangan MULTATULI, alias Eduard Douwes Dekker, mantan asisten-residen Lebak, Banten 4-1-1856. Meminjam buku di Openbare Bibliotheek Amsterdam, boleh sampai 3 minggu. Bisa diperpanjang tiga minggu lagi. Tetapi kalau terlambat mengembalikan atau lupa memperpanjangnya, didenda 30 sen euro, untuk setiap buku. Tapi mau ke perpustakaan Winkelcentrum Amasterdamse Poort, juga tak bisa. Setiap Selasa, ditutup untuk umum.


Jadi, berangkatlah aku dengan metro ke Amsterdam Centraal. Centrale Bibliotheek Amsterdam, memang tak tanggung-tanggung dalam melayani masyarakat. Mereka buka 7 hari seminggu. Dari jam 09 pagi sampai jam 09 malam. Di tingkat paling atas ada café. Bisa minum dan bisa makan di situ.

Jadi berangkatlah aku menuju Centrale Bibliotheek Amsterdam.


* * *


Tiba di tingkat tiga, wah, cerah rasanya fikiran. Karena di rak-rak buku bagian Indonesia, tersedia lebih banyak buku dibanding beberapa waktu yang lalu. Kali ini mungkin terdapat paling tidak seratus buku menyangkut Indonesia. Buku biografi Sukarno saja yang tiga jilid itu, ada dua set. Buku tentang Suharto jauh berkurang. Buku tentang Bung Karno bertambah. Aku senyum gembira melihatnya.


Lebih menggembirakan lagi, tersedianya banyak buku-buku (yang bagiku buku-buku baru), yang bisa dibilang, lebih obyektif mengenai Indonesia. Khususnya mengenai peranan dan dampak kolonialisme Belanda terhadap Indonesia. Beberapa buku malah amat tegas mengungkap kejahatan kolonialisme Belanda di Indonesia.


Empat buah buku segera kupinjam: 1). “Wij Werden Misleid”, penulis Rien Snijders (2005); 2). “Java, het laatste front”, oleh W. Rinzema, Admiraal (2000).

Buku berjudul “Java, het laatste front” ini agak unik. Kata pengantarnya ditulis oleh Prof dr. M.K. Tajudin. Antara lain Tajudin menulis dalam pengantar tsb, sbb: Harapan terbesar saya, ialah, bahwa buku ini, meskipun ditulis dalam bahasa Belanda (terdapat semacam kesimpulan dalam bahasa Belanda, Indonesia, Inggris dan bahasa Friesland) juga* dibaca oleh orang-orang Indonesia* dan dengan itu mereka bisa memperoleh pandangan yang lebih baik mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia dan mengenai prolognya, dipandang dari fihak lainnya. 3). “Het angstzweet der kolonialen” (2003). Penulis: Nico Dros. Intinya mengenai konfrontasi antara kaum kolonialis Belanda dengan grup-grup etnik Tionghoa, Jawa dll. 4). “Rebellion To Integration. West Sumatra and The Indonesia Polity” (1999). Penulis: Audrey Kahin. Buku ini menelaah/mempelajari sejarah politik Sumatra Barat sejak periode akhir kolonial sampai masa kini.


* * *


Coba kita masuki sedikit buku penulis/wartawan mantan marinir Belanda, Rien Snijders. Mengapa kupilih buku ini untuk sedikit dibicarakan. Satu sebab utama: Masalah yang ditulisnya hingga kini masih aktuil, dalam rangka hubungan Belanda-Indonesia. Terutama dari jurusan Belanda. Di Belanda jumlah orang-orang Belanda yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang berpandangan progresif cukup banyak.


Tetapi yang masih berpandangan kolot/pandangan kolonialis juga masih cukup banyak. Umumnya dari generasi tua. Generasi 'oud Indiërs'. Atau yang disebut 'Indischë Veteranan'. Mereka masih tidak bisa menerima hak bangsa Indonesia memproklamasikan Revolusi Kemerdekaan, Agustus 1945. Mereka masih mengerutu: Masa sih tidak ada sedikitpun yang baik yang kami lakukan pada zaman 'tempo doeloe'. Dan mereka-mereka inilah yang bertahan degil bahwa kemerdekaan Indonesia itu adalah pada tanggal 27 Desember 1949. Ketika Kerajaan Belanda 'menyerahkah kedaulatan' kepada Republik Indonesia Serikat, sesudah KMB.


Buku Rien Snijders “WIJ WERDEN MISLEID”, “Dulu Kami Dikibuli” diharapkan akan membantu orang-orang yang berpandangan degil tsb di Belanda, sedikit membuka mata mereka.


Bersambung ke bagian 2)

* * *

SOEKARNO DAN PANCASILA MASIH TETAP (2)

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 25 Februari 2010
------------------------------

SOEKARNO DAN PANCASILA MASIH TETAP MEMIMPIN INDONESIA MASAKINI <2>



Mengawali sambungan tulisan Peter Dale Scott, yaitu bagian kedua dan terakhir dari tulisannya, berjudul "SOEKARNO Dan PANCASILA Masih Tetap Memimpin Indonesia Masakini", baik kiranya kita soroti beberapa pokok fikiran penting yang diajukan oleh Peter Dale Scott.

Pertama - Seperti bisa kita baca dalam bagian pertama dari artikel beliau itu: Peter Dale Scott dengan tandas sekali mengemukakan, bahwa:
"Pada saat Indonesia sekarang ini mengalami lagi krisis kepemimpinan nasional, sangatlah berguna mengenang kembali pemikiran nation-building Soekarno."

Menjadi fundamental ialah jawaban apa yang diberikan terhadap pertanyaan:

APA YANG MERUPAKAN MASALAH TERPENTING YANG DIHADAPI NASION DAN NEGERI KITA DEWSA INI?

Begitu banyak persoalan besar dan penting yang terpampang dan menantang bangsa: Mulai dari masalah Reformasi, yang masih jalan ditempat. Bahkan bahaya yang mulai muncul hendak menghapuskan samasekali kemenangan-kemenangan kecil tetapi penting Reformasi, seperti kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi; -- Sampai pada masalah korupsi, mafia pengadilan dan tanda-tanda kelompok militer hendak kembali ke zaman DWIFUSI ABRI. Mulai dari penanganan kasus-kasus korupsi (yang terpenting kasus Bank Century) -- sampai disodorkannya saran absurd pendukung Orba, untuk memberikan gelar 'pahlawan nasional' kepada mantan Presiden Suharto.

Semua itu adalah masalah-masalah penting yang erat terkait dengan haridepan bangsa dan tanah air.
Namun, diatas segala-galanya, masalah yang maha penting dan maha fundamental ialah masalah PEMBANGUNAN NASION INDONESIA. Masalah, seperti dikatakan Bung Karno: masalah NATION BUILDING. Masalah pembangunan nasion mencakup semua masalah-masalah lainnya. Namun merupakan masalah KUNCI.


Pembangunan suatu nasion, lebih-lebih ketika menghadapi masalah krisis kemimpinan nasional seperti sekarang ini, teramat memerlukan pemikiran dan falsafah yang mendasarinya, yang merupakan fundamen dari bangunan yang hendak dan sedang dibangun. Dasar falsafah dan fundamen tsb adalah AJARAN-AJARAN BUNG KARNO, terutama PANCASILA.

* * *

Kedua, bersangkutan dengan masalah kongkrit yang harus dipecahkan, yaitu: Apakah ada,apakah bangsa ini punya tokoh nasional, pemimpin, atau partai politik yang harus menjadi motor dan organisator urusan besar PEMBANGUNAN NASION atas dasar AJARAN SUKARNO, khususnya PANCASILA?

Peter Dale Scott, mengemukakan sebagai berikut:

"Sungguh luar biasa -- bahkan setelah penggulingan Soekarno -- ,
musuh-musuhnya di kalangan militer Orde Baru tetap terpaksa secara
munafik mengunyah-ngunyah Pancasilanya Soekarno. Kenyataan seperti itu
rada memudahkan “para pembela Pancasila sejati” -- seperti PDI sekular
pimpinan anak Soekarno, Megawati Soekarnoputri, dan golongan Islam dari
“Nahdatul Ulama” -- untuk diam-diam bekerjasama me-restorasi demokrasi pada
saat kekuatan Suharto melemah. Bahkan Golkar, manifestasi bassis
kekuatan Suharto, harus mengemban komitmen untuk mewudjudkan
tujuan-tujuan Pancasila. Jadi dalam artian sesungguhnya dan dalam
kenyataan kongkrit, Soekarno dan Pancasila masih tetap memimpin
Indonesia masakini."

Menurut analisis Peter Dale Scott, PDI sekular pimpinan anak Soekarno, Megawati Sukarnoputri, dan golongan Islam dari NU , adalah "para pembela Pancasila sejati". Ini adalah suatu penilaian teramat penting dan terhormat. Sekalisgus merupakan penilaian dan penghargaan yang mengemban tugas sejarah penting dan berat: Meneruskan NATION BUILDING atas dasar ajaran-ajaran Bung Karno, khususnya Pancasila.

Di kalangan masyrakat (luar PDI) yang mendukung Megawati, sesungguhnya (sudah agak lama) terdapat kekecewaan dan keraguan terhadap Mega, karena dalam memimpin PDI-P, lebih-lebih ketika beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, -- Megawati tidak ber-'cancut taliwondo', tidak melakukan gebrakan 'rawé-rawé rantas malang-malang putung', 'maju terus pantang mundur', dalam mengemban tugas sejarah mensosialisasikan dan memberlakukan ajaran-ajaran Bung Karno dan Pancasila khususnya, sehubungan dengan tugas sejarah NATION BUILDING. Yang kesemuanya itu adalah syarat mutlak dalam mengatasi krisis kepemimpinan nasional yang berkepanjangan sampai dewasa ini.


* * *

Berikut ini adalah sambungan dan bagian terakhir tulisan Prof. Dale Scott:

SOEKARNO DAN PANCASILA TETAP MEMIMPIN INDONESIA MASAKINI

Oleh: Peter Dale Scott, Bagian Ke-II

Toleransi kemanusiaan Soekarno mempersembahkan suatu dasar program politik tentang bagaimana harus memimpin negara dan bangsa, bukan saja bagi Indonesia, tetapi bagi semua negeri Dunia Ketiga. Dimulai dari Konferensi Kolombo 1954 dan berlanjut ke Konferensi Bandung 1955, cara pendekatan dan appeal pribadi Soekarno merangkul suatu front yang luas, telah memberikan sumbangan besar bagi bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk menyadari akan kekuatan yang dimilikinya. Soekarno juga membantu menyelesaikan berbagai problema penting dalam macam-macam masalah yang bisa mengeruhkan dan secara serius berhasil memecah problema hubungan-hubungan Indonesia-Tiongkok.

Apa yang dibangun dan dicapai oleh Soekarno itulah yang menyebabkan Soekarno atau siapapun, tidak mungkin menyelesaikan ketegangan yang meningkat antara Indonesia yang merdeka dengan Amerika Serikat. Amerika Serikat memang senang mendukung kemerdekaan Indonesia lepas dari Belanda, bahkan membantu memulihkan kembali Irian Barat yang terpisah ke dalam wilayah kesatuan Indonesia di tahun 1961. Tetapi politik Amerika, lebih-lebih di bawah Dulles bersaudara, kemudian mengembangkan suatu sikap yang tambah lama tambah tidak toleran terhadap Soekarno, itu gara-gara Soekarno melancarkan politik bebas aktif tidak berpihak dalam usahanya untuk hidup damai dengan semua kekuatan adikuasa di dunia yang terpecah ini.

Dari instruksi pertama Menlu John Foster Dulles keada Duta Besar Amerika di Indonesia tahun 1953 menjadi jelas, bahwa Dulles mengingini dihentikannya sikap Indonesia yang condong kepada komunisme. Operasi rahasia CIA untuk menggarap Indonesia lalu disahkan dan diberi wewenang resmi, selanjutnuya mulai diterapkan pada tahun berikutnya.

Soekarno dan banyak pemimpin Indonesia lainnya mencurigai CIA membantu pemberontakan Darul Islam di Aceh yang terus membesar, sutu kawasan di mana terdapat investasi besar minyak Amerika Serikat. Adalah sesuatu yang pasti bahwa CIA bersama perusahaan-perusahaan Amerika, aktif mendukung pemberontakan-pemberontakan lain yang lebih luas lagi, yaitu pemberontakan PRRI-Permesta melawan pemerintah pusat di Jawa. Di saat itulah, Soekarno mengambil dua langkah penting, tetapi dua-duanya pada akhirnya digunakan untuk menjatuhkannya.

Pertama adalah 'demokrasi terpimpin' dalam bulan Oktober 1956. Penolakan Soekarno atas dominasi mayoritas parlemen (DPR), asal-usul pembenarannya terdapat dalam pemikiran tradisionil Indonesia, juga pada konsep praktek pendidikan Taman Siswa, dan dalam semangat musyawarah-mufakat Pancasila. Sejak 1956 menjadi sangat jelas bahwa sistem parlementer Barat memiliki kelemahan. Tetapi demokrasi terpimpin gagal membrikan pertanggungan jawab publik dalam peralihan proses institusional untuk menggantikan sistem parlementer Barat itu. Legitimasi pemerintahan tambah lama tambah terfokus pada Soekarno sebagai pemimpin. Di sekeliling Soekarno, parpol-parpol yang tak habis-habisnya berdebat kemudian berubah ke klik-klik yang berintrik tak habis-habisnya pula. Kaedah-kaedah proses hukum dan keuangan, tak pernah sempat terjamin dalam kehidupan bernegara, dan ketidak-tertiban tambah lama tambah meningkat. Sampai sekarang pun keadaan seperti itu masih terus diwarisi.

Inisiatif Soekarno kedua yang penting adalah memberlakukan SOB (keadaan darurat perang) pada bulan Maret 1957. Ini adalah suatu taktik menghadapi pemberontakan PRRI-Permesta. Dalam jangka pendek deklarasi SOB itu sukses untuk menumpas pemberontakan, tetapi mulai menyusupnya militer dalam pentas politik, ekonomi dan kehidupan sosial, di belakang hari membuktikan bahwa kebablasan itu sudah tidak bisa diubah lagi.

Dengan munculnya dua fenomena itu -- demokrasi terpimpin dan SOB -- maka keaneka-ragaman dan pluralisme Indonesia yang tradisional mulai pecah-belah. Dalam alam demokrasi terpimpin yang sebenarnya bagi parpo-parpol tidak pernah dirasakan nyaman, dominasi PKI menjadi terus meningkat. Parpol-parpol kanan terpacu meningkatkan kerjasama konspiratif dengan tentara. Polarisasi ini dengan sedar disambut oleh Amerika Serikat dan CIA, dan diatas segalanya CIA terutama memperluas kontak-kontak mereka dengan angkatan darat Indonesia.

Jadi, dengan demikian tata-letak panggung untuk pertarungan besar 1965 telah disiapkan, yaitu tipuan khianat kup militer yang dibantu CIA. Kemudian segenap lima sila Pancasila sementara dilupakan dalam masa pertumpahan darah terorganisir yang mungkin belangsung paling kejam, dan yang tak pernah terjadi di mana pun di dunia setelah Perang Dunia ke-II.

Lantas debat berkepanjangan terus berjalan untuk mencari kambing hitam siapa berdiri di belakang peristiwa September 1965. Apakah harus kita persalahkan perpecahan tak henti-hentinya dan kekerasan tersembunyi yang ada dalam budaya Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh para pakar Amerika? Ataukah harus kita tuding peran Amerika Serikat dan kekuatan asing lainnya dalam menyiapkan apa yang terbuka dikatakan seorang pejabat CIA sebagai "likwidasi kekuatan politik . . . komunis?

Semua kekuatan yang pernah aktif bergerak semasa dua dekade kepemimpinan Soekarno, sampai sekarang masih ikut menyumbang pada krisis yang masih berlangsung masakini. Kesatuan dan persatuan nasional terancam seperti di tahun 1945, di satu pihak oleh gerakan separatis kedaerahan dan juga oleh sementra kekuatan Islam yang fanatik ngotot menganggap Indonesia dengan mayoritas Muslim seharusnya menjadi Negara Islam. Gerakan fanatik itu bahkan juga memecah golongan Islam sendiri.

Di lain pihak, dua warisan -- penumpahan darah 1965 dan berlanjutnya kekuasaan militer Orde Baru -- menghambat proses keterbukaan politik untuk menyelesaikan krisis, untuk mengatasi masalah perpecahan dan berbagai masalah lain yang membahayakan republik.

Sekarang masih saja terus hidup suatu nostalgia agar Indonesia kembali pada pola militer guna memaksakan stablitisasi keamanan dan keterlibatan, nostalgia yang kadang-kadang didengung-dengungkan secara mengerikan oleh pers Amerika. Jelas sekali, sekurang-kurangnya berbagai peristiwa perpecahan dan kekerasan yang terjadi dua tahun belakangan ini -- terutama terhadap orang-orang keturunan Tionghoa -- telah dijadikan pola untuk berdalih diperlukannya intervensi militer baru.

Berbagi problema ini betapa pun seriusnya, hendaknya jangan sampai membutakan mata kita terhadap hasil prestasi Soekarno yang abadi. Indonesia tetap survive sebagai nasion yang bersatu, sekali pun terdapat keragaman budaya yang tiada bandingnya di atas planet kita ini. Walaupun belum sempurna, wawasan Soekarno menguasai masadepan politik dan ekonomi Indonesia. Di tahun lumapuluhan kebanyakan orang mungkin tak percaya bahwa justru sekarang ini wawasan Soekarno mempunyai peluang lebih besar untuk direalisasi.

Paling penting adalah bahwa para pendukung Pancasila dan proses politik harus mampu mewudjudkan suatu peralihan relatif damai dari kediktatoran militer ke suatu masyarakat yang lebih terbuka, dengan esensi suatu pemilihan umum yang bebas. Realisasi proses politik seperti itu akan mempemalukan orang-orang pesimis yang selalu meramal bahwa proses itu tidak mungkin bisa terjadi.

Konsensus politik antara golongan menyangkut Pancasila dan proses politik menuju ke masyarakat terbuka, menjadi titik temu yang baik untuk disepakai bersama darpada mencari konsensus di bidang-bidang lain yang di dalamnya masih saja terdapat perbedaan pandangan yang tajam. Seperti misalnya mengenai masalah syariat dan negara Islam, masalah ekonomi dalam hubungannya dengan IMF, atau masalah diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa. Bila masalah-masalah itu sekarang agak berkurang gawatnya ketimbang dua tahun yang lalu, maka itu semua adalah berkat Pancasila. Kita harus antusias menyambut Pancasila, karena berkat jasa Pancasila, Indonesia mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya melewati berbagai krisis yang berkesinambungan, dan dengan pertumpahan darah yang minim (meski) masih cukup banyak jumlah korban daripada apa yang kita harapkan). Juga kita harus serius mengamalkan Pancasila, karena situasi krisis sekarang masih cukup gawat- tanpa Pancasila keadaan malah bisa bertambah parah. Hal-hal ini mempunyai makna tersendiri bila dibandingkan dengan sejarah mutakhir yang dialami tetangga-tetangga Indonesia. Apa yang dicapai Republik Indonesia, dua-duanya: Pancasila dan proses peralihan ke masyarakat terbuka, berikut segenap masalah yang tercakup di dalamnya, merujuk pada satu tujuan yang sama.

Dalam memperingati seabad kelahiran Soekarno, patut sekali kita akui peranannya sebagai Pembangun dan Pemersatu utama Negara Indonesia. Lebih penting lagi, Pancasila sebagai pemikiran Soekarno paling cemerlang, sekali lagi harus diakui dan ditegas-tegaskan kembali agar ia menjadi dasar kontrak Republik Indonesia, ilham serta sumber terbaik untuk melakukan pembaharuan. * * *