Friday, May 28, 2010

*YANG 'TERUNGKAP' DARI KASUS SRI MULYANI

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Jum'at, 28 Mei 2010*

*----------------------------*

*YANG 'TERUNGKAP' DARI KASUS Mantan MENKEU SRI MULYANI INDRAWATI*

Sri Mulyani Indrawati, mantan Menkeu RI, beberapa bulan belakangan
ini --- menjadi fokus pemberitaan media di Indonesia. Namanya
dikaitkan, bahkan dianggap ikut bertanggungjawab dengan kasus
(manipulasi) di Bank Century. Begitu ramainya masalah ini menjadi
berita dan komentar, tetapi ketika ia 'mundur' dari jabatannya
sebagai Menkeu atas ''kemauannya sendiri”, -- 'hiruk-pikuk' itu
tiba-tiba mereda dan 'cep' tidak ada ceritanya lagi. Orang Belanda
ada ungkapan khas untuk kejadian 'rame-rame' sekitar Sri Mulyani.
Itu sperti 'Storm in een glas water'. 'Taufan dalam segelas air'.
Tetapi apa sih pasalnya? Untuk kasus seperti itu, ada juga
ungkapan Belanda: “Helder als koffie-dik” – “Jernih seperti kopi
yang kental”.


Tetapi, -- apakah kasus Sri Mulyani itu memang benar “Storm in een glas water”? Dan apakah betul 'Helder als koffie-dik?”.


Mengikuti berita-berita sekitar kasus Sri Mulyani dan tindak-tanduknya sebagai Menteri Keuangan RI selama kurang lebih 5 tahun belakangn ini, rasanya kok tak tampak tanda-tanda bahwa Sri Mulyani sebagai Menkeu melakukan korup, memanipulasi uang negara atau bertindak sebagai seorang 'nepotis'. Tak pernah ada kedengaran ada saksi ataupun bukti-bukti mengenai hal itu. Jadi, -- apa soalnya? Kok begitu ribut sekitar Sri Mulyani?


Kutanyakan kesana-kemari. Terutama kepada relasi yang punya pengetahuan ekonomi dan keuangan. Di beberapa s.k. Indonesia juga di luar Indonesia, tampaknya tokoh Sri Mulyani diebut sebagai Menkeu RI, -- dikatakan bahwa ia seorang REFORMIS. Yang punya rencana dan program serta mulai melaksanakannya sekitar PEMASUKAN PAJAK. Ketika Sang Menteri mulai bertindak dengan kebijaksanaan tsb ada sementara kalangan bisnis kakap Indonesia yang 'TERKENA'. Ini menimbulkan kemarahan dari kalangan tsb. Inilah tampaknya yang jadi 'asal-muasal' ramé-ramé ingin menyeret ke pegadilan atau mendongkel Sri Mulyani dari jabatannya yang strategis itu.


Kalau masalahnya adalah maksud kalangan elite tertentu untuk mendongkel (dan sudah berhasil) Sri Mulyani dari jabatannya dan menggantikannya dengan pejabat yang tidak 'berani-berani' mengutak-atik kepentingan kalangan bisnis/politikus yang 'powerful' tsb, maka ungkapan ' storm in een glas water' tsb kurang sesuai adanya.


Melihat, suasana perpolitikan Indonesia begitu cepat mereda sesudah Sri Mulyani 'turun tachta' dan pindah ke Washington, – – – kiranya kuatlah alasan yang menyatakan bahwa 'ramé-ramé' itu, soalnya ialah UNTUK MENYINGKIRKAN Sri Mulyani dari Kementerian Keuangan. Ada sementara elit bisnis/poltikus kakap yang merasa risih 'borok-boroknya' akan terungkap selama Sri Mulyani masih Menkeu RI.


* * *


Dua orang terkemuka di Indonesia: – – – Mantan Pimpinan Redaksi Majalah Tempo, budayawan *GOENAWAN MOHAMMAD*, -- dan publisis/penulis, mantan Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid, *WIMAR WITULAR*, angkat bicara. Goenawan Mohammad bicara dan Wimar Witular menulis.


Dalam respons mengenai pidato Goenawan Mohamma/d, sudah kusampaikan kepadanya, al : “Esay Bung itu bagus. Aku senang membacanya. Karena ditulis dengan lugu dan berani. 'Apa adanya'! To call a spade a spade!”


Sebagai bahan petimbangan hari ini kupublikasikan di ruangan ini, esay Goenawan Mohammad berjudul *MENCOBA BERPISAH DENGAN SRI MULYANI*. Dari tulisannya Goenawan Mohammad menujukkan bahwa ia kenal siapa Sri Mulyani. Pada malam perpisahan ia mengucapkan kata-kata perpisahan berikut ini:


* * *
/ /
//
*MENCOBA BERPISAH DENGAN SRI MULYANI*

/
/ /

/ MALAM ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani. /

/ Saya katakan "mencoba". Sebab sering kali, dan terutama malam ini, /
/ kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan "halo", tapi /
/ tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan "selamat berpisah". /

/ Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti "berpisah". /

/ Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke /
/ Washington, DC, untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu /
/ tak berarti ia akan berpisah dari kita di Tanah Air. Tentu saja ia /
/ akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita /
/ bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita-bukan "kita" /
/ sebagai teman-temannya, melainkan "kita" sebagai bagian dari /
/ "Indonesia". Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa /
/ melupakan dia. /

/ Lagi pula, "berpisah" mengandung kesedihan, sementara peristiwa /
/ ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani /
/ menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. /
/ Satu hal yang bisa dimaklumi. /

/ Sebab, sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. /
/ Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik. Yang saya /
/ maksud dengan "premanisme" di sini tak jauh berbeda dengan /
/ ke-brutal-an yang kita saksikan di jalan-jalan-sebuah metode yang /
/ dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi. /

Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.

Mula-mula gangguan terus-menerus, yang makin lama makin meningkat.
Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase
berikutnya adalah sebuah tawaran untuk "berdamai" kepada pihak
yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak
yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan
agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang
diganggu akan selanjutnya diproteksi.

Sudah tentu, antara sang pengganggu dan sang protektor (yang
kadang-kadang bersikap manis dan santun) ada kerja sama. Bahkan
bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para
pengganggu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang
dipertaruhkan-dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan
didapat.

Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau
protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya
posisi kekuasaan.

Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang
harus diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri
Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politikus
Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui
media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti-Sri Mulyani (dan
Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang berisik dan
agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia
oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan.
Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil
presiden.

Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah
asset menjadi sebuah liability bagi pemerintahan SBY. Ia tidak
bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden,
yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis energi
karena direcoki terus-menerus.

Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani
dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah.
Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan
yang lebih besar setelah itu. Dan akhirnya kita menyaksikan,
perecokan dan keberisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu
dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas
tampak terjamin. Presiden lega.

Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi
sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Tapi tak kalah penting, ia
meninggalkan jabatannya tanpa cacat. Bahkan seperti diucapkannya
dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia
berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap "tak bisa
didikte" hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan
kehormatan dirinya.

Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan pelepasan yang rela
dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi dan kagumi.

TAPI saya akan berbohong jika mengatakan perpisahan ini bebas dari
rasa risau.

Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena
merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng,
terguncang-harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih.
Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya
kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.

Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah
berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum, dan media dalam
demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara
kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli
keputusan-bagian yang paling gawat dalam koreng atau kanker besar
yang bernama "korupsi" itu?

Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap
suci-yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui
reformasi birokrasi, melalui pemberantasan korupsi. Semula kita
punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan
sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan.
Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih
sekuat dulu.

Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin
melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun
persoalannya, masih mampukah dia?

Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani
dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya
bekerja. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah
Menteri Keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan
aparatnya-sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang
mungkin baru akan selesai satu-dua generasi lagi.

Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan Menteri
Keuangan yang tangguh ini.

Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya
dianggap indispensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan
sendirinya seorang yang lemah.

Tapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali
yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik
yang bersih, Presiden SBY harus melipatgandakan ikhtiar. KPK yang
kuat harus didukung dengan jelas, perlawanan terhadap Mafia
Pengadilan harus lebih diefektifkan, polisi dan kejaksaan
dibersihkan, dan tak kurang penting: legislasi dan regulasi yang
tidak kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan yang korup.

Tapi mungkinkah hal itu dapat terlaksana sekarang?

Kini politikus Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh;
mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan
Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi pemerintah.

Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politikus
Senayan-terutama para pencari dan penadah suap-mencoba membuat KPK
lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme
politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.

Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet
menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan kelompok bisnis
tertentu-ketika Aburizal Bakrie, tokoh bisnis, politik, dan
penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat
kabinet dan DPR sekaligus.

Di depan kekuatan seperti itu, akan bisa tumbuh kesan kroniisme
kembali lagi, seperti di zaman Orde Baru dulu. Di depan kroniisme,
parang yang akan membabat korupsi akan tumpul.

Sesuatu yang serius akan terjadi jika pemerintahan SBY-Boediono
gagal menjawab rasa keraguan yang saya sebut di atas. Yang akan
terjadi adalah hilangnya sebuah momentum-yakni momentum gerakan
nasional melawan korupsi. Pada hemat saya, gerakan ini adalah
panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.

Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi.
Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang
tak habis-habis.

Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan
mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6 persen
atau 7 persen. Tapi akan ada sesuatu yang mungkin tak bisa
diperbaiki lagi-yakni terkikisnya "modal sosial", runtuhnya sikap
saling percaya dalam masyarakat.

Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma
uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami
tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain
yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi
yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan
sinisme-dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.

Sinisme ini racun-dan terkikisnya "modal sosial" akan membuat
sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.

Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri
Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan.

Sejarah Indonesia menunjukkan, harapan adalah sesuatu yang sulit,
tapi tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu
sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan optimisme
yang pendek. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit
kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut
batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah,
tubuh jatuh, dan semangat terguncang.

Sementara itu, makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan
bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh; tapi kita
merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah-dan dalam
pengertian saya, sebuah amanah adalah tugas takdir dan sejarah.
Dengan kata lain, kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita
buat Indonesia. Selama kita ada.

Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan
penegasan komitmen itu. "Jangan berhenti mencintai Indonesia,"
itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat Kementerian
Keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.

Kata-kata itu hidup, karena ia dihidupkan oleh perbuatan dan
pengorbanan. Dan kita mendengarkannya. Maka pada titik ini baiklah
kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam
ini kita ucapkan "selamat jalan", kita sekaligus juga mengucapkan:
"You shall return."

*- Pidato pada malam perpisahan dengan Sri Mulyani Indrawati, di
Jakarta, 19 Mei 2010*

------------------------------------------------------------------------

------------------------------------------------------------------------



“HASTA MITRA” INSPIRATOR PERGERAKAN . .

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Senin, 24 Mei 2010

-------------------------------------------


HASTA MITRA” INSPIRATOR PERGERAKAN PEMUDA


TANGAN SAHABAT” – '”HASTA MITRA” Dalam Kenangan. Demikian sebuah judul ulasan Tempo Online, 26 April 2010. Liputan Tempo itu adalah tentang pertunjukan film yang berdurasi 38 menit. Dipertunjukkan dalam rangka memperingati Ultah Ke-30 HASTA MITRA, yang lahir dibawah kekuasaan rezim otoriter Orba, pada bulan April 1980.


Para pendiri HASTA MITRA – Jusuf Isak, Hasyim Rachman dan Pramudya Ananta Tur, semuanya sudah tiada. Kebetulan kukenal dari dekat ketiga-tiga pejuang KEBEBASAN BERFIKIR , KBEBASAN BERKESPRESI dan KEBEBASAN PERS itu. Persis seperti dilukiskan dalam film dokumenter tsb. Mereka-mereka itu adalah pejuang-pejuang tangguh dan berani. LUAR BIASA BERANI dan penuh insiatif serta kreatif. Tak pernah 'jera' meskipun keluar masuk penjara penguasa. Tak takut susah payah, tak kenal lelah. Tak takut berkorban demi cita-citanya!


Mereka-mereka itu benar-benar adalah pejuang teladan bagi generasi muda. Adalah pejuang bangsa, pemikir pencerah-pencecrah yang tak kenal lelah, tak kenal takut pada penguasa bengis Orba. Jasa-jasa sumbangsih mereka pada bangsa tak akan bisa dihapuskan dari sejarah perjuangan emansipasi bangsa ini.


Cocok sekali apa yang dikatakan Wilson, aktivis PRD: Buku-buku terbitan Hasta Mitra menginspirasi pergerakan pemuda. "Menjadi ikon dan membangkitkan semangat kaum muda,"


Sejarawan Aswi Warman Adam, pas sekali meyatakan: Hasta Mitra adalah perusahaan penerbitan yang melakukan perlawanan. "Dia melawan dengan menerbitkan tanpa peduli berapa kali dilarang," katanya. Buku-buku yang diterbitkan, menurut dia, hampir menghasilkan pemenang Hadiah Nobel, sehingga Hasta Mitra bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia


* * *


Bagaimana selanjutnya dengan HASTA MITRA yang telah membuat cemerlang dan harum nama bangsa, dalam sejarah perjuangan emasipatoar nasion. Itu menjadi kepedulian generasi dewasa ini. Betapapun, cita-cita perjuangan yang dirintis pendiri-pendiri HASTA MITRA dan rekan-rekan seperjuangannya 30 tahun yang lalu akan tetap menyuluhi dan menyemangati generasi muda.


Di bawah ini dipublikasikan ulang (siaran GELORA45.COM hari ini) tulisan wartawan Tempo, RINI KUSTIANI, sekitar pertunjukan film dokumenter TANGAN SAHABAT DALAM KENANGAN, sbb:


* * *


Tangan Sahabat dalam Kenangan

LEBIH dari lima puluh orang khusyuk menyimak film berdurasi 38 menit yang disemprotkan pada sebuah layar putih. Tanah becek dan udara lembap setelah hujan turun tak menyurutkan para tamu hadir dalam perayaan 30 tahun penerbit Hasta Mitra di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, Selasa petang pekan lalu.


Film berjudul Pikiran Orang Indonesia itu mengisahkan perjalanan hidup Joesoef Isak yang tak lepas dari Hasta Mitra. Perusahaan penerbitan yang berdiri sejak April 1980 ini digagas tiga eks tahanan politik,

Joesoef Isak, Pramoedya Ananta Toer, dan Hasjim Rachman. Gagasan mendirikan perusahaan percetakan dicetuskan Hasjim ketika masih di Pulau Buru. Ketika mantan Pemimpin Redaksi Bintang Timur ini membaca hasil karya Pram, dia mendatanginya dan meminta izin suatu saat akan menerbitkan tulisan-tulisannya. Pramoedya menyetujui. Ketiganya bertemu setelah Pramoedya dan Hasjim keluar dari Pulau Buru pada 1979.


Nama Hasta Mitra disematkan Pramoedya, yang artinya "tangan sahabat".
Penerbitan ini menjadi wadah penyaluran karya eks tahanan politik yang pada saat itu sulit mendapatkan pekerjaan. Dari semua tulisan yang diterbitkan, yang paling laris adalah hasil karya Pramoedya selama di Pulau Buru.

Cerita bagaimana mengamankan naskah-naskah Pramoedya menarik disimak.

Tumiso ditugasi membawa sekarung buku yang ditulis Pramoedya selama di Pulau Buru. Ketika ia hendak masuk ke Lembaga Pemasyarakatan Magelang, pria yang kini berusia 71 tahun itu pura-pura sakit supaya buku-buku tersebut selamat dari sitaan petugas. Walhasil, buku-buku Pramoedya dapat disebarluaskan.

Dimulai dengan modal seadanya, rumah Joesoef Isak di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan, disulap menjadi kantor Hasta Mitra. Peralatan kerja pun serba terbatas, hanya ada satu mesin ketik listrik yang digunakan Pramoedya dan Joesoef secara bergantian.


Bumi Manusia, terbitan pertama Hasta Mitra pada 1980, memecahkan rekor penjualan buku, 5.000 eksemplar ludes dalam tempo 12 hari. Keberhasilan ini menarik minat investor, salah satunya Bank Negara Indonesia, untuk turut membantu menyuntik modal. Namun tawaran itu sirna setelah Jaksa Agung mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 052/JA/5/81 tanggal 29 Mei 1981, yang melarang penyebaran buku-buku berbau komunisme dan Marxisme. Pendek kata, semua terbitan Hasta Mitra yang juga karya Pramoedya dilarang, seperti Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Pelarangan itu tak menciutkan nyali Hasta Mitra untuk kembali menerbitkan buku. "Kalau terbit satu dilarang, kami terbitkan lagi, dilarang, ya terbitkan lagi," kata Hasjim Rachman dalam film. Untuk menyiasati pelarangan tersebut, Joesoef bersiasat buku-buku diterbitkan pada Jumat agar memiliki waktu dua hari untuk disebarkan sebelum tiba Senin, ketika kantor kejaksaan kembali buka.

Pelarangan demi pelarangan mengakibatkan kondisi keuangan Hasta Mitra tak menentu. Karyawan perusahaan yang semula mencapai 20 orang mulai diberhentikan satu per satu. Budi Asni, istri Joesoef, mengatakan dirinya berduka selama ada Hasta Mitra. "Bagaimana bapak-bapak ini, sudah tahu buku dilarang, kok diterbitkan lagi," keluhnya. "Lalu dari mana duitnya?"

Asni mengatakan suaminya kadang meminjam uangnya dan belum dikembalikan hingga kini. "Yang penting buku ini terbit dan dibaca orang," ujar Asni menirukan kata-kata suaminya. Setali tiga uang, nasib perhiasan istri Hasjim Rachman, Teti Thairani, juga digadaikan dan belum ditebus. Setiap kali ditanya, Hasjim hanya menjawab, "Tenang sajalah."


Selain itu, kekhawatiran jika sang suami sampai ditahan lagi terus membayangi.
Selama rezim Soeharto, metode pemasaran buku terbitan Hasta Mitra dilakukan sembunyi-sembunyi. Soegeng, kepala bagian pemasaran, mengatakan tidak ada toko buku yang mau menjual buku terbitan Hasta Mitra karena takut. "Jadi saya jual door to door," kata pria yang mengenyam pendidikan sampai kelas dua sekolah menengah pertama ini. Selain itu, dia menjual buku di kampus-kampus dalam acara diskusi.
Pelarangan buku ini juga memakan korban.


Tiga mahasiswa di Yogyakarta dibui karena menyimpan dan menyebarluaskan buku-buku Pramoedya. Mereka, Bambang Subono, Bambang Isti Nugroho, dan Bonar Tigor Naipospos, diadili dengan pasal-pasal antisubversi. Bonar mendapat hukuman
paling berat, yakni delapan setengah tahun penjara lantaran dituduh sebagai aktor intelektual dalam distribusi buku Pramoedya. Subono dan Bambang Isti dihukum enam tahun penjara.

Sampai rezim Soeharto tumbang, buku karya Pramoedya tadi tak dicabut larangan edarnya. Begitupun dengan beberapa buku terbitan Hasta Mitra lainnya, salah satunya Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto yang ditulis John Roosa, yang dilarang pada akhir 2009.


Pada Juni 1999 Hasjim meninggal akibat kanker. Pembagian tugas yang semula, Pramoedya menulis, Joesoef menyunting, dan Hasjim mencari modal usaha, berubah. Pramoedya tetap menulis, sisanya ditangani Joesoef. Pembagian tugas ini tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Pramoedya mendapati karya-karyanya dibajak. Akhirnya dia memutuskan melepaskan "saham"-nya di Hasta Mitra (baca "Memilih Berpisah").


Hasta Mitra akhirnya dipegang Joesoef seorang.
Hingga akhir hayatnya, pada Agustus 2009, tak ada pesan apa pun yang ditinggalkan mengenai usaha penerbitan yang bukunya paling banyak dilarang beredar ini. "Kami belum tahu bagaimana kelanjutannya," kata Asni. Alasannya, kata dia, sejak suaminya meninggal, tidak ada kegiatan apa pun di Hasta Mitra.

Sejumlah naskah juga masih tertumpuk di ruang kerja Joesoef.
Lalu bagaimana Hasta Mitra selanjutnya? Putra sulung Hasjim Rachman, Johan Teranggi, angkat bicara. Sebulan sebelum Joesoef wafat, dia dimintanya meneruskan bisnis penerbitan itu. Namun Johan mengatakan enam anak Hasjim sudah sepakat untuk tidak melanjutkan perusahaan itu. "Saya hormati Hasta Mitra sebagai wadah tempat mereka berkiprah," katanya. Putra bungsu Joesoef, Desantara, juga tak tahu bagaimana nasib Hasta Mitra selanjutnya. "Ini terlalu berat karena buku-buku itu tidak mendatangkan profit," ujarnya.


Bagi sejarawan Asvi Marman Adam, Hasta Mitra adalah perusahaan penerbitan yang melakukan perlawanan. "Dia melawan dengan menerbitkan tanpa peduli berapa kali dilarang," katanya. Buku-buku yang diterbitkan, menurut dia, hampir menghasilkan pemenang Hadiah Nobel, sehingga Hasta Mitra bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk dunia. Adapun Wilson, aktivis Partai Rakyat Demokratik, mengatakan buku-buku terbitan Hasta Mitra menginspirasi pergerakan pemuda. "Menjadi ikon dan membangkitkan semangat kaum muda," katanya. Hasta Mitra mungkin masih tetap menunggu uluran tangan sahabat yang lain.

Rini Kustiani


* * *

Monday, May 24, 2010

Nyai ONTOSOROH MENGGUGAT

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Jum'at, 21 Mei 2010

-----------------------------------------


Nyai ONTOSOROH MENGGUGAT PENGUASA KOLONIAL BELANDA!


Ya, betul. Betul sekali!

Nyai Ontosoroh dengan bérang dan berani menggugat penguasa. Dengan tudingan telunjuknya dan mata berapi-api, Nyai Ontosoroh menggugat ketidak-adilan. Menggugat diskriminasi terhadap dirinya, sebagai orang pribumi. Menggugat diskriminasi terhadap menantunya, Minke. Hakikatnya Nyai Ontosoroh menggugat penindasan dan diskriminasi penguasa kolonial Belanda.terhadap bangsa Indonesia.


Perkawinan Annelies, putri Nyai Ontosoroh dengan Minke, anak bupati Jawa, tidak diakui oleh penguasa Belanda. Dikatakan bahwa Annelies masih di bawah umur. Juga dikatakan bahwa Annelies bukan putri dari Nyai Ontosoroh. Annelies hanyalah putri dari Herman Melemma. Si tuan majikan yang telah 'membeli'nya dari orangtuanya. Kemudian menjadikannya gundik, dengan sebutan 'Nyai'. Penguasa Belanda menolak mengakui Annelies adalah hasil hubungan Nyai Ontosoroh dengan tuan Melemma. Karena itu, katanya, bukan perkawinan yang disahkan hukum Hindia Belanda. Nyai Ontosoroh, semata-mata dianggap dan diperlakukan sehagai gundik belaka!.


Kongkalikong penguasa dengan pengadilan kolonial telah merenggutkan putri satu-satunya Nyai Ontosoroh, Annelies, dari ibu kandungnya.


Maka, Nyai Ontosoroh tampil berani menggugat pengadilan dan penguasa Belanda. Kekuasaan kolonial Belanda yang begitu kokoh bercokol di Indonesia, tidak memungkinkan Nyai Ontosoroh bisa mencapai kemenangan di pengdilan kolonial Belanda. Demikianlah bisa diperkirakan sejak semula, bahwa Nyai Ontosoroh kalah!


* * *


Itulah intisari sebuah pentasan Tropentheater Amsterdam, drama berjudul “THEY CALL ME NYAI ONTOSOROH”. Ruangan de Kleine Zaal Tropentheater dipenuhi penonton.


Irina Nyoto, anggota rombongan Pentas Teater yang datang dari Jakarta itu, bertanya kepadaku seusai petunjukkan: Bagaimana Oom? Tanpa ragu kujawab: Bagus sekali. Sukses! Iya, Oom?, tanya Irina lagi. Ya, kataku. Tentu segala sesuatu itu tidak mutlak. Jelas, pertunjukkan malam ini SUKSES BESAR. Yang pokok adalah sukses. Lancar sekali dan mencengkam. Publik terpukau dari awal sampai akhir. Diasyikkan oleh drama yang baru kali ini mereka saksikan. Namun, kataku -- pada bagian akhir drama, suara Nyai Ontosoroh mengecil sampai hampir-hampir tak terdengar samasekali. Ini perlu diperhatikan. Pada saat tertentu, teks dalam bahasa Inggris yang diproyeksikan ke panggung tidak tampak. Pada saat lain terasa kurang cocok dengan teks yang diucapkan di panggung. Ada kawan disamping saya bilang: Perhatikan, agar teks Inggrisnya benar-benar pas dengan yang diucapkan di panggung.


* * *


Begitulah adanya!

Perhatian terhadap 'nasib' Nyai Ontosoroh, belakangan ini di Indonesia maupun di Belanda bertambah besar. Ini terutama setelah di Indonesia muncul drama 'NYAI ONTOSOROH' pada tahun 2007. Itu hasil karya FAIZA MARDZOEKI yang didasarkan atas novel besar Pramudya Ananta Tur, BUMI MANUSIA. Drama yang panjang ini kemudian oleh Pentas Teater digubah jadi drama lebih singkat, 'They Call Me Nyai Ontosoroh”, Dari Ketidak-adilan Menuju Kemerdekaan.


Pengaturannya a.l sbb:

Faiza Mardzoeki – teks dan produksi. Wawan Sofwan – sutradara. Peran Nyai Ontosoroh dimainkan oleh aktris Sita Nursanti. Agni Melani memerankan Annelies. Bagus Setiawan memerankan Minke. Willem Bevers memerankan Herman Melemma.


Bahasa: INDONESIA dengan teks Inggris yang diproyeksikan di panggung.


* * *


Seperti dijelaskan fihak penyelenggara pertunjukkan Tropentheater: Tahun ini KITLV merayakan ultahnya yang ke-100 dengan menarik perhatian publik pada masa kolonial Hindia Belanda dulu. Dalam hal ini memperingati ultah ke-100 KITLV dengan suatu petunjukkan istimewa: THEY CALL ME NYAI ONTOSOROH. Karya ini adalah gubahan atas drama 'NYAI ONTOSOROH”. Sebuah drama besar dan panjang, dipertunjukkan mulai 2007 dengan sukses besar oleh pelbagai grup drama di pelbagai kota Nusantara.


Atas permintaan Tropentheater, FAIZA MARDZOEKI, penulis gubahan tsb, telah membuat versi khusus. Itulah yang dipertunjukkan pada hari Kemis malam 21 Mei 2010. Murti dan aku serta penonton lainnya, termasuk tampak sahabat kami Sutji dan Sarmaji, menikmatinya sampai akhir.


Seperti diketahui Nyai Ontosorh adalah salah seorang dari tokoh sentral dalam buku “BUMI MANUSIA”, bagian pertama dari Tetralogi Pulau Buru, karya novelis Pramudya Ananta Tur.


Cerita “BUMI MANUSIA” itu, mengisahkan kehidupan empat manusia pada zaman kolonial Belanda. Ontosoroh dijual bapaknya ketika masih gadis, kepada seorang pengsaha Belanda, Herman Melemma. Ia dijadikan gundiknya. Diberi nama 'Nyai'. Dari hubungan majikan-gundik, lahir seorang putra, Robert, dan seorang putri, Annelies. Karena statusnya yang rendah itu, Ontosoroh tak punya hak apapun. Tetapi Ontosoroh faham bahwa pendidikan adalah kunci untuk haridepan yang lebih baik. Maka ia belajar membaca dan menulis dari majikannya, Melemma.


Mucul komplikasi ketika terungkap bahwa Melemma sudah punya istri di Nederland. Dan Minke, jatuh cinta lalu kawin dengan Annelies. Setelah Melemma meninggal, jalannya peristiwa jadi dramatis.


* * *


Faiza Mardzoeki, penulis 'They Call Me Nyai Ontosoroh', selain penulis juga seorang aktivis gerakan wanita Indonesia. Dalam karya-karyaya, Faiza selalu mengangkat posisi kaum wanita. Cerita Pram – “BUMI MANUSIA” – memberikan kesempatan baik kepada Faiza untuk mengungkap perkembangan kompleks dalam kehidupan seorang wanita. Menyangkut masalah-masalah hubungan priya-wanita, periode kolonial, pengaruh asal-usul dan ras, status sosial, nilai-nilai moral dan pilihan bagi manusia.


Dengan pementasan tadi malam itu sutradara Wawan Sofwan, yang namanya tak asing lagi di dunia budaya Indonesia, membuktikan lagi bakat yang dimilikinya.


* * *


Sungguh, malam itu Murti dan aku meninggalkan Tropentheater Amsterdam pada jam 10.45 malam dengan rasa puas dan bangga atas hasil karya seniman-seniman muda Indonesia. Begitu juga kiranya perasaan sahabat kami Sutji dan Sarmaji yang malam itu juga nonton 'THEY CALL ME NYAI OTNOSOROH”.


Besok rombongan Faizi Madzoeki mementaskan “They Call Me Nyai Ontosoroh” di Den Haag, selanjutnya di Antwerpen, Belgia.


* * *



Wednesday, May 12, 2010

Merasa PERLU BELAJAR BAHASA JAWA!

*IBRAHIM ISA – Catatan Partikeliran*

*Rabu, 12 Mei 2010*

*-------------------------------------------------*


*Merasa PERLU BELAJAR BAHASA JAWA! *


Belajar bahasa Jawa?

Dalam usia yang sedemikian lanjut ini? Jelas ini bukan didorong oleh
'sukuisne'.

Lalu, bagaimana persis maksudnya? Ya, itu sudah lama menjadi keinginan
pribadi. Sebentar-sebentar semangat untuk belajar bahasa Jawa itu
mencuat. Sebentar lagi lenyap. Terlupakan karena kesibukan. Atau, memang
karena tidak segera dikerjakan. Mestinya seperti kata kalimat-kalimat
yang banyak digunakan sekarang ini: JUST DO IT!


Alasan terdekat mengapa ingin belajar bahasa Jawa, sesungguhnya ini: Kan
teman-hidupku – Murtniningrum; dia itu orang Jawa. Salah seorang menantu
kami orang Jawa. Dua orang kakak iparku juga asal Jawa. Belakangan ini
kami, suami-isatri, selang-seling berbahasa Jawa di rumah. Itu atas
permintaanku. Kufikir dengan cara ini bisa jugalah belajar bahasa Jawa.
Yang paling sering berbahasa Jawa dengan aku (dulu) ialah almarhum
mertuaku. Selain itu adiknya Murti. Kalau tidak berbahasa Belanda,
mereka begitu saja berbahasa Jawa padaku. Apa boleh buat! Ngerti tak
ngerti aku ikut berbahasa Jawa satu dua kalimat. Begitulah.


Ketika mengajar di Peguruan KRIS pada tahun 50-an abad lalu, aku banyak
bergaul dengan para “Kawanua”. Putra-putri Minahasa, Sulawesi. Tadinya
kurasa anéh. Salah seorang dari guru KRIS yang Kawanua itu, Ticoalu
namanya. Ia seringkali berbahasa Jawa dengan aku. Termasuk bila memaki
selalu dalam bahasa Jawa. Ternyata Ticoalu dibesarkan di Jogyakarta.
Lingkungannya selalu Jawa. Nah, demikianlah si Kawanua itu fasih
berbahasa Jawa. Lebih fasih ketimbang bicara dalam bahasa daerahnya
'sendiri'.


Tahun lalu kami suami istri berkunjung ke Indonesia. Memerlukan ke
Jogyakarta nengok para kemenakan. Dua orang wanita, masing-masing sudah
berkeluarga dan dosen di Gajah Mada. Ketika berkunjung dan bermalam
dirumah mereka. Semua berbahasa Jawa. Medog banget bahasa Jawanya.


Sahabat kami suami-istri orang Tapanuli. Biasa disebut orang Batak.
Tetapi istrinya bukan main lancarnya berbahasa Jawa. Tetangga dan
teman-teman sang istri ternyata semua orang Jawa. Dari situlah ia
belajar bahasa Jawa. Itu bukan di Jogya atau Solo. Tetapi di KEBAYORAN,
Jakarta.


* * *


Jadi sesungguhnya, aku bukan samasekali tidak mengerti bahasa Jawa.
Kalau orang Jawa 'ngerasani' aku, jangan dikira aku tak mengerti.
Sedikit-sedikit mengerti bahasa Jawa, memang ada latar belakang
sejarahnya. Pada tahun-tahun 1946-47, kesatuanku ditempatkan di Pingit,
Jogyakarta. Lingkungan teman-teman seperjuangan kebanyakan orang Jawa.
Masyarakat setempat, ya 'Jowo kabéh'. Itu semua yang secara alamiah,
membikin aku mengerti dan sedikit-sedikit bisa berbahasa JAWA.


Tetapi, itu kan puluhan tahun yang lalu. Sudah banyak yang lupa.


Ketika masih bermukim di tanah air dulu, belajar bahasa Jawa tak usah
direncanakan kongkrit. Begitu fikirku. Karena, mayoritas teman-teman
sekerja dan seorganisasi adalah orang-orang asal Jawa. Mereka sering tak
peduli, ada kawan lainnya yang tidak atau kurang mengerti bahawa Jawa.
Kalau bicara sehari-hari, ngobrol, bahkan di tengah rapat, pun, bahasa
Jawa yang digunakan. Karena bahasa itu dirasakan bahasa yang paling
wajar dan mampu mereka gunakan.


* * *


Bila bercerita tentang rakyat kita dan tanah air tercinta kepada
teman-teman asing – ketika melakukan “PR”, begitu -- yang tak lupa
selalu kuceriterakan ialah semangat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” yang kukuh
pada bangsa kita. Jelas dasarnya adalah semangat “SUMPAH PEMUDA, 28
OKTOBER 1928”. Kukisahkan tentang BAHASA INDONESIA. Tahukah Anda,
kataku: Bahasa Indonesia itu asalnya terutama dari bahasa salah satu
suku-bangsa minoritas Indonesia di Sumatera, Riau. Dulunya disebut
bahasa Melayu.


Suku-bangsa terbesar dari nasion Indonesia, adalah suku-bangsa Jawa.
Tetapi ketika ditentukan bersama, 28 Oktober 1928, yang disetujui
sebagai bahasa nasional, “lingua-franca”-nya bangsa Indonesia, adalah
BAHASA yang asalnya dari bahasa SUKU-MINORITAS MELAYU.


Semua wakil pemuda Indonesia yang berasal dari berbagai suku, termasuk
Jawa, SEPAKAT. Mereka yang asal suku-bangsa Jawa samasekali tidak
menuntut agar bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional. Padahal bahasa
Jawa dipakai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Suku Jawa. Dari salah satu
sumber dicatat bahwa dewasa ini ditaksir sekitar 85 juta penduduk
Indonesia menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan.


Kita tau bahwa di sementara negeri masalah penggunaan bahasa sebagai
bahasa nasional, bukan soal kecil. Lihat saja di Sri Langka dan India.
Bahkan di Eropah dewasa ini soal bahasa masih jadi soal pelik. Seperti
halnya di Belgia, antara etnis Vlaming yang menggunakan bahasa Belanda,
dan etnis Walonia yang berbahasa Perancis.


*Tidakkah kita harus berbesar hati bahwa SEMANGAT PERSATUAN , jiwa “”
“BHINNEKA TUNGGAL IKA” bangsa kita ternyata memang solid dan cukup besar?*


* * *


Namun, meski kita memiliki bahasa nasional yang diterima dengan lega
oleh seluruh bangsa, bukanlah berarti BAHASA DAERAH boleh
diterlantarkan. Pembakuan dan pemeliharaan bahasa daerah harus tetap
jadi perhatian serius.


Baru-baru ini atas permintaanku, sahabatku yang di Achen, Jerman,
mengirimkan sebuah buku “BAHASA JAWA Masa Kini”. Penulisnya Wukir Adi.
Sayang tak kujumpai kapan persis buku ini diterbitkan dan dimana.


Ada yang patut diperhatikan apa yang ditulis oleh Wukir Adi dalam kata
pengantarnya, a.l sbb:


“Dewasa ini sudah menjadi kenyataan sejarah, bahwa bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan kedudukannya semakin mapan. Namun, demikian
tidak berarti bahasa-bahasa daerah, di antaranya termasuk bahasa Jawa,
sudah kehilangan vitalitas pemakaiannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa
bagi lapisan masarakat luas di daerah-daerah, bahasa Indonesia masih
belum bisa menggantikan peran populis bahasa-bahasa setempat.
Bagamanapun juga sebuah bahasa yang masih memiliki vitalitas untuk
dipakai, selalu memerlukan penyesuaian dengan perkembangan masarakat,
apalagi jika bahasa itu sebagai pewaris sejarah budaya berkekuatan besar
dalam menjiwai kehidupan orang banyak”.


“. . . Dari dasar kenyataan di atas terungkap keprihatinan yang dalam
untuk menulis tentang bahasa Jawa yang dalam kenyataan pasarannya masih
cukup luas. Eksistensi pamakai bahasa Jawa tak mengenal batas daerah dan
negeri. Tidak saja di pulau Jawa dan di dearah-daerah tertentu dari
kepulauan Indonesia, tetapi sampai juga menjangkau ke negeri-negeri lain
di dunia seperti Suriname, Kaleddonia Baru, Eropa dll. Pemakai-pemakai
bahasa Jawa di Indonesia meliputi segala lapisan masarakat, mulai dari
golongan terbawah sampai pada yang teratas. Di samping itu dilihat dari
valensi keilmuan sebagai bahasa dan dari kwantita luas kosa katanya,
bahasa Jawa tak terluput dari sasaran para pakar bahasa, yang
menjadikannya sumber pemantapan dan pengembangan bahasa Indonesia
kontemporer, di celah-celah bahasa-bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah
lainnya yang banyak ragam dan jumlahnya”.


Demikian a.l hal-hal penting yang dikemukakan oleh penulis buku BAHASA
JAWA Semasa Kini, Wukir Adi. Yang kiranya perlu mendapat perhatian kita
semua, khususnya para pakar bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan
bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Dari seorang kawan yang berasal dari
Sumatra Utara disampaikan bahwa di Sumatra Utara juga digunakan bahasa
Jawa. Khususnya oleh orang-orang yang sering disebut 'Jawa Deli'. Yaitu
orang-orang Jawa yang bertransmigrasi ke Sumatra Utara. Demikian pula
halnya dengan orang-orang Jawa yang di Lampung.


* * *


Sering kutanyakan keada teman-teman yang bersuku-bangsa Jawa, apakah
mereka memiliki literatur dalam bahasa Jawa 'ngoko'. Boleh percaya atau
tidak: Kebanyakan 'orang-orang Jawa' itu samasekali tak memiliki satupun
buku yang ditulis dalam bahasa Jawa. Satu dua teman memang ada yang
memilikinya!


Untuk pasti tau apa arti sesungguhnya dari kata 'ngoko', aku cari dalam
'Google.com'. Tau-tahu kutemui bahwa ada satu situs yang bernama
SALINDO. Itu bisa diakses di
<*http://www.salindo.com/bahasa/jawa/javaans_woordenschat.htm>. *


Situs tsb ternyata menyiarkan pelajaran bahasa Jawa. Sehingga sejak ini
aku tinggal membuka situs SALINDO untuk belajar bahasa Jawa. Yang
penting tentu mempraktekkan berbahasa Jawa di rumah sendiri.


* * *


Lucu juga, ketika memperkenalkan salah satu lagu Jawa, situs SALINDO
mempublikasikan sebuah syair dalam bahasa 'ngoko' berikut ini:


Bojo loro


Kroso sepet impline minjo

Sirah mumet nduwe bojo loro

Mikir sing enom, mikir sing tuwo

Lo karone podo le tresno


Cekat-cekat mumet temenan

Ati bingung dik le mbagi ketresnan

Butuh e akeh duit pas pasan

Tanggal enom wis kebingungan


Reff:

Mrono mrene sak mbedino

Iki mrene sisuk e mrono

Bojo enom mung sedelok

Bojo tuwo nggondeli celono



* * *



















Monday, May 10, 2010

“*Mijn Vriend SUKARNO” - Bg 3

*IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita*

*Senin, 10 Mei 2010*

*------------------------------------------*


“*Mijn Vriend SUKARNO” – Willem Oltmans *

**


Bagian – 3 dari tulisan berjudul “Mijn Vriend Sukarno, Willem Oltmans,”
mengisahkan episode, a.l sbb:


Pemilu pertama setelah jatuhnya Suharto: PDI-P yang diketuai Megawati
Sukarnoputri, menggondol kemenangan. Sehingga dianggap wajarlah Megawati
menggantikan Presiden Habibie jadi peresiden pertama hasil pemilu
pasca-Suharto. Tetapi hal itu tidak terjadi. Yang jadi Presiden RI
setelah pemilu, adalah Abdurrahman Wahid dari PKB. Janggal sekali.
Terasa sangat tidak adil. Mega tidak jadi presiden; itu dianggap tidak
wajar dan tidak adil. Karena, bukankah jumlah kursi yang diperoleh PDI-P
jauh lebih besar ketimbang jumlah kursi PKB yang dipimpin Abdurrahman
Wahid?


Megawati gagal meraih kursi Presiden RI, meskipun PDI-P di bawah
pimpinannya adalah pemenang dalam pemilu. 'Kejanggalan' ini bisa
terjadi, karena pendukung-pendukung Orba, terutama dari kalangan
militer, polisi, media dan birokrasi, masih punya pengaruh besar. Mereka
punya tali-menali erat dengan kekuasaan riil. Mereka menentang keras
Megawati Sukarnoputri, putri pertama mantan Presiden Sukarno ini,
menjabat Presiden RI. Macam-macam alasan rekayasa dan reka-rekaan yang
diajukan. Golongan Islam a.l menguar-uarkan bahwa menurut ajaran Islam
wanita pantang memimpin negara. Golkar, 'anak-kandung' Suharto yang
merupakan pendukung utama Orba, mengisukan bahwa Megawati hanyalah
seorang 'ibu rumah tangga' belaka yang tak tamat universitas. Tidak
punya titel apapun. Lagipula 'bodoh'. Begitu dikampanyekan.



Dari sumber yang amat bisa dipercaya diperoleh informasi, bahwa kalangan
militer dan polisi, seperti halnya kalangan parpol dan birokasi, amat '
k h a w a t i r ' PDI-P dan Megawati akan melakukan ' b a l a s d e n d
a m ' terhadap mereka, bila ia menjadi Pesiden RI.


*Masih segar dalam ingatan masyarakat, bahwa Mega adalah satu-satunya
tokoh parpol (PDI) di kala Suharto masih jaya-jayanya, berani
berhadap-hadapan dengan Suharto*.* Bahkan berani menyatakan, bila
dikehendaki rakyat, ia bersedia menggantikan Presiden Suharto. Mereka
ingat betul bagaimana Suharto, termasuk mereka-mereka itu melakukan
segala sesuatu untuk menggembosi pengaruh Mega dan PDI ketika itu.
Tetapi gagal!*


Namun, mereka berhasil menjegal Megawati. Sehingga ia hanya memperoleh
jabatan sebagai wakil Presiden. Tidak bisa difahami? Tokh suatu
kenyataan! Itulah logika 'kasak-kusuk' dan 'permainan politik' kalangan
berkuasa ketika itu.


* * *


Willem Oltmans, yang yakin amat mengenal Presiden Sukarno, fikran dan
misinya, punya pendapat tersendiri mengenai Megawati. Oltmans
beranggapan bahwa dari keturunan Bung Karno, terutama adalah Sukmawati
Sukarnoputri, yang benar-benar mengkhayati misi dan ajaran Bung Karno.


Menurut Sukmawati warna politik dan arah yang ditempuh Megawati dan
PDI-P tidak 'nyambung' dengan ajaran Bung Karno. Maka, bersama Ny.
Supeni, tokoh PNI, mantan Dubes Berkeliling Luar Biasa RI periode
Presiden Sukarno, -- Sukmawati membentuk PNI baru. Tetapi karena
organisasinya masihlemah dan kekurangan dana, PNI baru tsb tidak
berhasil memperoleh satu kursipun dalam pemilu 1999.


Andaikata Megawati berkesempatan menanyakan kepada Bung Karno apakah
beliau setuju Mega menjabat sebagai presiden, maka, menurut Willem
Oltmans, Presiden Sukarno akan memberikan jawaban negatif. Menurut
pandangan Oltmans, sejak 1965, tidak ada satupun di Indonesia, yang
benar-benar tampil membela Bung Karno. Yang oleh Suharto dan media
Barat, telah 'dihabisi'.


Oltmans melihat bahwa Megawati Sukarnoputri tidak mengkhayati semangat
dan jiwa Bung Karno serta ajarannya. Tulis Oltmans a.l : Di Bandung saya
mendengar sendiri Mega berpidato di suatu rapat umum yang dihadiri
ratusan ribu orang (21 Mei 1999). Mega tidak sekalipun menyebut nama
bapaknya. Padahal semua tau bahwa Megawati Sukarnoputri bisa tampil di
situ, semata-mata berkat Bung Karno. Bila mendengarkan pidato Bung
Karno, hadirin merasa sang pemimpin menyatu-hati dan semangat dengan
massa. Mega lain. Ia tidak bicara panjang. Pada akhir pidatonya
tiba-tiba Mega menyatakan: “Saya segera harus ke Sukabumi dan Bogor”.
Mega tidak meyakinkan orang. Sehingga pada saya timbul kesan bahwa Mega
datang ke rapat umum itu, seolah orang yang sedang mengadakan turné
dalam rangka meraih suatu jabatan. Yaitu jabatan presiden. Demikian
Oltmans.


* * *


Cerita ini diakhiri dengan kesan dan tanggapan Willem Oltmans mengenai
Hartini Sukarno. Suatu kesan dan pendapat yang kurang sedap didengar
mengenai Hartini Sukarno.


Juga setelah 1973, bertahun-tahun lamanya saya berkorespodensi dengan
nyonya Hartini, demikian Oltmans. Hartini bercerita mengenai keluarganya
dan sering mengirimkan foto-foto tentang dia sendiri, tentang perkawinan
putra-putranya dll. Dalam tahun 1994 “perasaan-gampang-memberi-maaf
orang Jawa”, tampaknya telah berdominasi pada dirinya. Hartini
mengatakan kepada saya, kata Oltmans, bahwa seharusnya saya lebih ramah
berfikir dan bicara tentang Suharto. “Karena, Wim”, kata Hartini pada
saya, “Suharto adalah orang baik”.


Saya sungguh terperanjat mendengar kata-kata Hartini itu. Saya nyatakan
kepada Hartini: “Suharto telah membunuh Bung Karno!”


Sejak itu saya tidak lagi mau bertemu dengan Hartini. Biarkanlah saya
berreaksi seperti Belanda. 'Perasaan-gampang-memberi maaf', belum sampai
begitu jauh pada diri saya. Sekarang tidak, dan kapanpun tidak!

Saya tidak malu. Saya marah!





* * *

Saturday, May 8, 2010

SIAPA SIAUW GIOK TJHAN? - Menyambut BUKU baru

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 08 Mei 2010
--------------------------------------------------

SIAPA SIAUW GIOK TJHAN?
INDONESIA">

* * *

Siapa Siauw Giok Tjhan?
Bagi mereka-merka yang mengenal sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, nama
Siauw Giok Tjhan, tak asing lagi. Ada yang masih ingat, berkata begini: Pak
Siauw 'kan pernah menjabat sebagai menteri pada kabinet Presiden Sukarno pada
permulaan revolusi. Salah seorang yang mengenal Siauw Giok Tjhan menambahkan:
Saya ingat betul beliau pernah duduk di DPR-RI pada awal tahun limapuluhan abad
lalu. Begitu sampai periode Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarnol

Kebetulan aku juga kenal pribadi pada beliau. Aku kenal Siauw sejak beliau
memimpin "Sunday Courier", sebuah mingguan progresif di Jakarta sekitar tahun
1949-1955. Sejak beliau pindah ke negeri Belanda berkali-kali kami sempat
bertemu dan bertukar fikiran dengan Siauw GiokTjhan.

* * *

Ketika menyambut terbitnya buku "Sumbangsih Siauw Giok Tjhan dan Baperki dalam
Sejarah Indonesia", oleh penerbit Hasta Mitra, kutulis pada tanggal 28 Mei 2000
y.l antara lain sbb:

"Seumur hidupnya apa yang dilakukan Siauw Giok Tjhan adalah memberikan
sumbangannya pada usaha besar pembinaan nasion Indonesia, kepada perjuangan
untuk usaha menegakkan keadilan bagi semua, bagi setiap warganegara Indonesia.

"Sebagai seorang intelektual Indonesia keturunan Tionghoa, beliau menyadari
betul bahwa perjuangan untuk kemerdekaan nasional dan keadilan sosial, amat
bertalian erat dengan perjuangan untuk sama-hak bagi orang-orang Tionghoa
warganegara Indonesia yang sudah turun-temurun hidup bermukim di negeri ini, dan
yang tidak sedikit diantaranya secara fisik dan kulturil sudah
berintegrasi dan berbaur dengan orang-orang pribumi. Secara naluriah mereka
sudah menjadikan Indonesia sebagai negerinya sendiri. Beliau melihat dan
menyadari bahwa orang-orang Tionghoa serta keturunan Tionghoa tsb merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
Indonesia. Di bidang ekonomi, berbeda dengan modal monopoli asing, modal mereka
adalah modal domestik yang memainkan peranan positif dalam perkembangan ekonomi
nasional.

"Beliau melihat kekuatan ekonomi yang terkandung di dalam masyarakat
keturunan Tionghoa Indonesia. Dan bahwa sekali kekuatan ekonomi ini berpadu dan
dibimbing oleh kesadaran nasional yang mantap, maka ia akan merupakan kekuatan
pendorong yang ampuh dalam perkembangan dan pertumbuhan selanjutnya ekonomi
nasional Indonesia.

"Beliau mengemban keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa perasaan naluriah
dari o r ang-orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa yang sudah menjadikan
Indonesia sebagai negerinya sendiri, khususnya yang sudah menjadi
warganegara Indonesia yang sah menurut hukum, perlu ditingkatkan menjadi
kesadaran politik yang mantap akan ke-Indonesiannya itu. Itulah sebabnya
Bung Siauw mencurahkan perhatian dan kegiatannya untuk mencapai tujuan tsb.

Beliau menolak konsep 'asimilasi' antara keturunan Tionghoa dengan bangsa
Indonesia yang 'pribumi', sebagai suatu jalan untuk memecahkan 'masalah
minoritas etnis Tionghoa'. Karena di dalam konsep asimilasi itu dirasakan
terkandung faktor keharusan yang bersangkutan meninggalkan tradisi bangsa
dan kultur asal-muasal mereka. Siauw menganggapnya sebagai sesuatu yang
tidak sesuai dengan prinsip "Bhinneka Tunggal Eka", prinsip yang selama ini
menjadi dasar negara Republik Indonesia, dimana setiap suku bangsa dari
nasion Indonesia, tetap mempertahankan dan bahkan mengembangkan tradisi dan
kultur daerahnya, sambil bersama-sama seluruh nasion membangun tradisi dan
kultur Indonesia secara nasional.

Menyadari perlunya ada wadah organisasi untuk memperjuangkan keyakinan
politiknya, maka bersama dengan pejuang-pejuang integrasi lainnya, beliau
ambil bagian penting dalam mendirikan BAPERKI.

Nama Siauw Giok Tjhan tidak bisa dipisahkan dari sejaarah perjuangan
seluruh rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaan nasional, untuk
keadilan sosial dan melawan diskriminasi rasial. Seluruh hidup beliau telah
disumbangkannya untuk cita-cita luhur tersebut.

Bangsa kita memiliki tidak sedikit pahlawan nasional, yaitu tokoh-tokoh
perjuangan yang telah memberikan teladan sepanjang hidupnya, tanpa pamrih
memperuntukkan yang paling berharga dari hidup mereka untuk kepentingan
seluruh bangsa, yang telah memberikan sumbangan besar dalam perjuangan
kemerdekaan, persamaan-hak dan pembangunan nasion Indonesia.

"SIAUW GIOK TJHAN ADALAH SALAH SEORANG DARI PAHLAWAN NASIONAL ITU!

* * *

Hari ini disiarkan sebuah berita gembira. Bisa dibaca di "Gelora45" dll
mailitst di wacana internet, sbb:

Pada tanggal 22 Mei yad akan diluncurkan sebuah buku PENTING, berjudul:
"RENUNGAN PATRIOT INDONESIA – SIAUW GIOK TJHAN".

Suatu kenyataan --- dengan penerbitan buku tsb, bertambah satu lagi buku yang
memprkaya khazanah literatur Indonesia mengenai para pejuang kemerdekaan
pendahulu kita. Suatu dokumen yang pasti bermanfaat bagi generasi muda kita yang
-- paling tidak lebih dari 32 tahun rezim Orba, 'di brainwashed', 'dicekoki'
dengan cerita-cerita rekayasa dan palsu mengenai gerakan kemerdekaan bangsa
kita. Khususnya yang bersangkutan dengan para tokoh pejuang nasional teman
seperjuangan, atau yang dekat serta mendukung Presiden Sukarno, seperti halnya
mengenai Siauw Giok Tjhan, mantan Ketua Baperki.

* * *

Acara bedah buku berjudul: Renungan Seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok Tjhan
– Editor: Siauw Tiong Djin.
Acara akan dilangsungkan pada tanggal: 22 Mei 2010 - Jam: 8:30 s/d 16:00 WIB Di:
Mercantile Athletic Club Penthouse, Gedung WTC, Lantai 18, Jl. Jendral Sudirman
Kav. 29-31, Jakarta.

Sambutan Ketua Umum Perhimpunan INTI, Editor (Siauw Tiong Djin)
Key Note Speech: Surya Paloh (ketua Umum Nasional Demoktrat)
Bedah Buku Sesi : Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina)
Asvi Warman Adam (LIPI), Rieke Dyah Pitaloka (PDIP),Yudi Latif (Reform
Institute) ; Dialog -- Moderator: Christianto Wibisono (Global Nexus Institute)
Bedah Buku Sesi 2: Harry Tjan Silalahi (CSIS) ,Sukardi Rinakit (Sugeng Sarjadi
Syndicate), Budiman Sudjatmiko (PDIP), A Dahana (Sinolog UI)
Dialog -- Moderator: Stanley Josep Adiprasetyo (Komnas HAM)

* * *

Friday, May 7, 2010

BUNG KARNO DAN MARXISME

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Jum'at, 07 Mei 2010.

--------------------------------------------------------

BUNG KARNO Bersikap Rasionil Tentang

“Karl MARX” & “MARXISME”

Berbagai cara orang memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei dan hari ultah ke-192 Karl Marx . Di banyak negeri di dunia hari-hari bersejarah tsb diperingati dengan rapat-rapat terbatas dan umum, demo, pemogokan serta pelbagai komentar dan tulisan. Banyak disiarkan artikel analitis dan kritis. Namun, tidak sedikit pula yang 'asbun', asal 'pro' atau 'anti' saja.



Tetapi Bung Karno lain. Beliau adalah seorang pejuang dan politkus yang serius sejak masa mudanya. Bung Karno, Sang Proklamator dan Pendiri Republik Indonesia, jauh sejak masa muda dan akitf dalam gerakan kemerdekaan bangsa, telah menulis tentang MARX dan MARXISME . Tulisan beliau itu dipublikasikan <1933>, 12 tahun sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Bagi yang peduli, silakan membacanya sendiri tulisan Bung Karno tsb dengan cermat, kritis dan analitis. Namun seyogianya dengan lapang dada. Dengan demikian bisa menangkap makna dan maksud tulisan tsb.

Seorang penulis di Facebook, Darwin ISKANDAR, --- menyajikan kepada pembaca Facebook artikel Bung Karno tsb selengkapnya:



* * *



Dalam tulisannya tsb Bung Karno memulai dengan kalimat-kalimat bersejarah berikut ini:

“Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang ”geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama ”datuk” pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx”.



Artikelnya tentang Marxismt itu beliau akhiri dengan kelimat-kalimat berikut ini.

“Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya-seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela Rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya Rakyat.

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, -- Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun Rakyat adanya!

(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Suluh Indonesia Muda, 1926.)



* * *



Beberapa puluh tahun sesudah meninggalnya Karl Marx, pada tanggal 07 November 1917, dimulai dari kota Petrograd, meletaus Revolusi Sosialis Rusia di bawah pimpinan W.I Lenin, seorang Marxis Rusia. Revolusi Sosialis Rusia telah melahirkan URSS, Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis; menghapuskan sistim kapitalis/feodal otokratis dan opresif Tsar.



Setelah itu, teristimewa setelah berakhirnya Perang Dunia II, dengan dikalahkannya fasisme, di Eropah Timur maupun di Asia telah lahir negeri-negeri yang mendasarkan falsafah negara dan sistim ekonominya pada Marxisme. Disusul kemudian oleh berdirinya negara sosialis pertama di Amerika Latin --- Cuba di bawah pimpinan Fidel Casto.



Perkembangan ini menunjukkan keunggulan gerakan politik yang didasarkan atas idologi dan politik Marxisme.



* * *



Pergolakan politik dan perkembangan dunia berjalan terus. Negeri-negeri yang mendasarkan falsafah negara dan sistim ekonominya pada Marxisme seperti Uni Sovyet dan seluruh negeri-negeri Eropah Timur yang tergabung dalam blok Comecon, terbukti tidak bisa mempertahankan sistim kenegaraan dan ekonomi Marxisme. Pada awal tahun sembilan-puluhan abad lalu, tidak satupun dari negeri sosialis di Eropah Timur yang bisa bertahan terhadap gejolak dan prahara perubahan yang mengembalikan negeri-negeri 'asal sosialis' tsb ke jalan anti-pode sosialisme – SISTIM EKONOMI DAN POLITIK KAPITALIS.



Hanya Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Vietnam dan Cuba yang masih mempertahankan sistim falsafah, ekonomi dan politik pada ajaran Marx. Dengan mengadakan penyesuaian, dengan cara mentrapkannya pada kondisi kongkrit negeri masing-masing. Demikianlah seperti yang resmi formal dinyatakan oleh yang bersangkutan.



* * *



Tidak jelas apakah di negeri lain -- larangan ajaran Marx dicantumkan dalam suatu ketentuan atau keputusan sebuah lembaga negara, seperti halnya di Indonesia. Orde Baru mengeluarkan larangan ajaran Marxisme melalui keputusan – Tap MPRS No XXV, 1966. Catat – keputusan tsb diambil sesudah lembaga MPRS dibongkar-pasang oleh Jendral Suharto. Setelah semua anggota MPRS yang PKI, Kiri dan yang pendukung Presiden Sukarno, 'diamankan' dan dijebloskan dalam penjara.



Ketika Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke-4, beliau menyatakan bahwa Tap MPRS No XXV, 1966, yang melarang faham Marxisme itu, bertentangan dengan hak-hak azasi manusia, bertentangan dengan UUD-RI. Maka harus dibatalkan! Sayang beliau tidak sampai dua tahun memegang jabatan Presiden RI. Presiden Wahid 'digulingkan' ' oleh penentang-penentangnya melalui keputusan MPRS yang notabene telah memilih dia sebagai Presiden RI.



* * *

Berikut ini tulisan Bung Kanno yang disiarkan kembali oleh DARWIN ISKANDA, di FaceboOk.

BUNG KARNO :

“MARX DAN MARXISME”


Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang ”geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama ”datuk” pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx.

Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya (lelahnya, ed.) ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -lima puluh tahun yang lalu (tulisan ini dimuat pada tahun 1933, ed.)-, melepaskan nafasnya yang penghabisan.

Seolah-olah mendengarkanlah kita dimana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 berseru: ”E, Kaum Proletar semua negeri, kumpullah menjadi satu.” Dan sesungguhnya! Riwayat dunia belum pernah menemui ilmu dari satu manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinannya satu golongan di dalam pergaulan hidup, sebagai ilmunya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka ”amat gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu”.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan bersama antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah paham pertentangan klas: paham klassentrijd, paham perlawanan zonder (tanpa, ed.) damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu saja! Ilmu Dialektik Materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, -semua itu adalah ”jasanya” Marx. Dan meskipun musuh-musuhnya, terutama kaum anarkis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, di dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui sudah ”menjawil-jawil” ilmu Historis Materialisme itu, meskipun teori harga lebih itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir sebagai Sismondi dan Thompson, -maka toh tak dapat disangkal, bahwa dirinya Karl Marx lah yang lebih mendalamkan dan lebih menjalarkan teori-teori itu, sehingga ”kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu” dengan gampang segera mengertinya.

Maka dengan gampang mengerti, seolah-olah suatu soal yang ”sudah mustinya begitu”-, segala seluk-beluknya harga lebih: bahwa kaum borjuis lekas menjadi kaya karena kaum proletar punya tenaga yang tak terbayar. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya Historis Materialisme: bahwa urusan rezekilah yang menentukan segala akal pikiran dan budi pekertinya riwayat dan manusia. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan klas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah ”menggali sendiri liang kuburnya”.

Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang saja masuk di dalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel (sistem, ed.) yang ”diteorikan” itu, yakni di dalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropa itu sebagian telah diterbangkan pula oleh taufan jaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh di kanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan di kepulauan yang bernama kepulauan Indonesia.

Nasionalisme di dunia Timur itu lantas “berkawinlah” dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.

(Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx, Dibawah Bendera Revolusi, I hal. 219-221)

* * *

Walaupun pembaca tentunya sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pula lah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini lah, -ia mengadakan suatu pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada perbedaan (Materialistische Dialektiek); -ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ”kerja” untuk membikin barang-barang itu sehingga ”kerja” ini ialah ”wertbildende substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waade-leer); -ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya dari pada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar perikebendaan, yang mengajarkan, bahwa ”bukan budi akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubung dengan pergaulan hiduplah yang menentukan budi akalnya” (materialistische geschiedenisopvatting); ia mengadakan teori, bahwa oleh karena meewaarde itu dijadikan kapital (modal, ed.) pula, maka kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (capitaalsconcentratie).

Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dahulu dilahirkan oleh ahli pikir lain, dirinya Marx lah, yang meski ”bahasa”nya itu untuk kaum merasakan sangat berat dansukarnya, dengan terang benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum ”tertindas dan sengsara yang melarat pikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang benderang.

Dengan gampang saja, sebagai suatu soal yang ”sudah mestinya begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meewaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena itu tidak memberikan semua hasil pekerjaan padanya; mereka lalu saja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia itu: erist wa er iszt; mereka lantas saja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya binasa, pastilah lenyap diganti dengan susunan pergaulan –hidup yang lebih adil-, bahwa kaum ”borjuasi” itu ”teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam hati yang makin lama makin sangat (verlendungstheorie / teori penyengsaraan, ed.); -teori-teori mana, berhubung dengan ekuarangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.

Meskipun musuh-musuhnya, diantara mana kaum anarkis, menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dahulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara Historis Materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu ”menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi ”sebab apa kejadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meewaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain, meskipun pula teori konsentrasi modal atau atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tidak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; -meskipun begitu, maka tetaplah bahwa stelsel-nya (sistemnya, ed.) Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya.

Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata kasih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan; paham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder (tanpa, ed.)-damai terhadap pada kaum “burjuasi“, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya. Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya jikalau kita disini mengingatkan, bahwa jasanja ahli-pikir ini ialah: -- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek); -- ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknja “kerdja“ untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kedja“ ini ialah “wertbildende Substanz“, dari barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasarkan perikebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya yang berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya“ (materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde“ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalsconcentratie); --dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menynangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie); -- teori-teori mana, berhubungan dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.

Meskipun musuh-musuhnya, diantara mana kaum anarkis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwajat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya“ sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu terjadi“; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuh-musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; -- meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelsel-nya (sistemnya, ed.) Karl Marx itu mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya . Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli pikir lain, dirinya Marx-lah, yang meski “bahasa“-nya itu untuk kaum “atasan“ sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang melarat pikiran“ itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang.

Dengan gampang saja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu“, mereka lalu mengerti teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerdjaan padanya; mereka lalu saja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama , dan lain-lainnya, -- bahwa manusia itu: er ist was er ist; mereka lantas saja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil, -- bahwa kaum “burjuasi“ itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya“. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sumsumnya kaum buruh di Eropa, masuk pula tulang-sumsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidaklah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun dimuka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya“. Sebagai tebaran benih yang ditiup angin kemana-mana tempat, dan tumbuh pula dimana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; dimana-mana pula, maka kaum “burjuasi“ sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar“ yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebarkan-tebarkan di Eropa itu, sebagian telah diterbangkan oleh taufan-jaman kearah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh diantara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud“, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale“, yang dari sehari-kesehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah hebatnya bergaung dan berkumandang di udara Timur. . .

Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berasas ke-Islam-an. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah mendjadi suatu pertengkaran perselisihan paham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, sebagai yang sudah kita terangkan dimuka, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita.

Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, -- begitulah seakan-akan lagu-perjuangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunjai tanah-air“? Katanja: Bukankah dalam “Manifes Komunis“ ada tertulis, bahwa “komunisme itu melepaskan agama“? Katanya: Bukankah Bebel telah mengatakan, bahwa “bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan“? Dan sebaliknya! Pihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki pihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “bersekutuan“ dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir“ akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: asasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan “kalang kabutnja negeri“ dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar dari pada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.

Demikian dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah salah mengerti dan saling tidak mengindahkan. Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan-bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran jaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah. Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya“ Marxisme itu, dan yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh “practijknya“ paham Marxisme itu, -- mereka menunjukkan tak mengertinya atas paham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya “practijknya“ tadi. Sebab tidaklah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialisme itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanja di-“sosialis“-kan?

Bukankah “kejadian“ sekarang ini jauh berlainan dari pada “voorwaarde“ (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu? Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada “practijknya“ paham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa “failliet“ dan “kalang-kabut“-nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perantjis, dan jendral-jendral Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat kabar diseluruh dunia. Didalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggung-jawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, dimana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; dimana umpamanya negeri Inggeris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penjerangan-penjerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah “mengotorkan nama Inggeris didunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan“ si sakit dan si lapar itu; dimana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum untuk kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang didistrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu, seorang yang bukan Komunis, dimana ia dengan tak memihak siapa juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi perikemanusiaan. . . . Tetapi mereka dirintang-rintangi“.
Kita yang bukan komunis pula, kita pun tak memihak siapa juga! Kita hanyalah memihak Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua! Kita diatas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti“ ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.

Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnja begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala jaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan paham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada jaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung“ sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis“ dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital“, -- maka segeralah tampak pada kita perubahan paham atau perubahan perindahan itu. Bahwasannya: benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, dimana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya“.

Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda“ baik “sabar“ maupun yang “keras“, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropa atau Amerika itu, pergerakannya harus diubah sifatnya menurut pergaulan hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropa atau Amerika, dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk“, oleh karena disini yang pertama-tama perlu bukanlah kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme“.

Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjadi pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya“, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasion itu juga, dengan tidak menghitung-hitung, asas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula.

Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya Rakyat di-“bawah“ terhadap pada Rakyat yang di-“atas“-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan nationale machtspolitiek dari Rakjat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropa, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima paham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid“ pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja dilain-lain negeri, dengan itikad: “ubi bene, ibi patria: dimana aturan-kerja bagus, disitulah tanah air saya“, -- sebagai kaum buruh di Eropa yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.

Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanja. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis dilain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis dinegeri Tiongkok, yang dengan ridho hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.

Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang sebagaimana sudah kita uraikan diatas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxisme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis“ mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen“ atau dilepaskan adanya.

Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu dari pada Wijsgerijg-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnja Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara pikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah pikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah pikiran itu dalam suatu jaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) pikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya pikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis. Dua paham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan paham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa pikiran itu hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.

Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropa terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropa terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gereja itu memakai-makai agama untuk melindung-lindungi kapitalisme, memaka-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali. Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropa itu. Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; disini agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah“. Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; disana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas“. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah“ ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan“, -- agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan perjuoangan Marxisme itu.

Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropa dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya-seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.

Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela Rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya Rakyat.

Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, -- Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun Rakyat adanya!

(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Suluh Indonesia Muda, 1926.)

* * *


Tuesday, May 4, 2010

IN MEMORIAM PROF. DR FRANS HÜSKEN

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 04 Mei 2010
----------------------


IN MEMORIAM PROF. DR FRANS HÜSKEN
<1945>


Kemarin sore, dengan terkejut dan teramat sedih kuterima
surat-elektronik dari sahabatku Jaap Erkelens . Isinya adalah berita-duka, --
menyampaikan bahwa sahabat tercinta,

Prof. Dr. Frans Hüsken (lahir:1945), telah meninggal dunia pada tanggal
28 April, 2010 yang lalu, di Haarlem, Holland. Frans Hüsken meninggalkan
istri dan seorang putra serta dua orang cucu-cucunya. Kepada seluruh
keluarga Frans Hüsken: Sebagai sahabat dekat sama-sama melakukan
kegiatan di Pengurus Stichting Wertheim, kusampaikan RASA BELASUNGKAWA
SEDALAM-DALAMNYA dengan meninggalnya Frans Hüsken. Semoga segenap
keluarga Frans Hüsken tabah adanya menghadapi musibah ini.


* * *


Prof. Dr Frans Hüsken akan dikebumikan pada tanggal 06 Mei 2010, di
Begraafplaats Westerveld, Duin en Kruidbergweg 2-6, 1985 HG Driehuis.


Prof. Dr Frans Hüsken adalah salah seorang pendiri “Stichting Wertheim”
pada tanggal 04 Maret 1988, bersama 8 orang cendekiawan lainnya. Mereka
itu adalah: Go Gien Tjwan, G.J Huize, Pluvier, Coen Holtzappel (dewasa
ini Ketua St Wertheim), F. Tiggelman, Batara Simatupang, Els Ensering
dan Basuki Gunawan. Stichting Wertheim didirikan ketika Indonesia masih
merana di bawah pemerintahan tirani Orde Baru Suharto.


KEPEDULIAN utama “St Wertheim” adalah soidaritas serta sumbangsih pada
PERJUANGAN EMANSIPASI BANGSA INDONESIA.


* * *


Selama melakukan kegiatan bersama di St Wertheim, Frans Hüsken dikenal
sebagai sahabat sejati bangsa Indonesia yang tanpa pamrih telah
memberikan sumbangsihnya atas usaha bangsa Indonesia dalam perjuangan
EMANSIPASI BANGSA./


Semasa hidupnya sebagai cendekiawan Frans Hüsken telah menulis banyak
karya ilmiah mengenai Indonesia. Antara lain: “Development and Social
Welfare: Indonesia's Experiences Under the New Order” , -- “Ropewalking and Safety Nets: Local Ways of Managing
Insecurities in Indonesia”; “Di
Bawah Asap Pabrik Gula: Masyarakat Desa Di Pesisir Jawa Sepanjang Abad
Ke-20”; “Violence and Vengeance: Discontent and
Conflict in New Order Indonesia”, 2002;


Frans Hüsken, adalah seorang Profesor Antropolgi pada Universitas
Radboud Nijmegen, Holland. Perhatian dan kegiatan utamanya a.l adalah
studi-riset sejarah dan politik antropologi dan sejarah antropologi.
Dalam pekerjaan langsung ia memfokuskan pada transformasi sosio-ekonomi,
politik dan budaya, khususnya DI PEDESAAN INDONESIA. Bersama dengan
Peter Boomgaard, Hiroyosi Kano dan Djoko Surjo ia terlibat dalam proyek
riset Indonesia-Jepang-Belanda megnenai sejarah pedesaan Jawa Utara di
abad ke- 20. Hasil riset mereka itu a.l disiarkan dalam “/Beneath the
Smoke of the Sugar-Mill. Javanese Coastal Communities during the
Twentieth Century (2001)”.


Frans Hüsken juga mengkordinasikan program riset mengenai Keamanan
Sosial dan Politik Sosial di Indonesia. Hasilnya a.l. Diterbitkannya
bersama Juliette Koning, karya ilmiah – “Rope Walking and Safety Nets.
Local Ways of Managing Insecurities in Indonesia” (2006). Hasil-hasil
karya ilmiah lainnya adalah


* * *