Sunday, April 29, 2012

MULTATULI “SEGAR BUGAR” Di CISEEL, BANTEN


Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 29 April 2012
-------------------------------

MULTATULI “SEGAR BUGAR” Di CISEEL, BANTEN – JEMBATAN INDONESIA-BELANDA

* * *

... “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi; kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam.” [Max Havleaar, 1972, hlm. 113]

“Reading Group Multatuli”, seperti yang diungkapkan pada situs mereka, adalah suatu ikhtiar untuk menghidupkan ingatan melalui bacaan. Kegiatan demikian itu akan memperkokoh JEMBATAN hubungan persahabatan dan saling-mengerti serta saling-menghargai antara Indonesia dan Belanda. 

*    *    *

Hari Sabtu y.l TV Belanda, Nederland 2, mentayangkan acara: Kunjungan Adriaan van Dis ke Indonesia, seorang penulis Belanda, (Bagian terakhir). Juga suatu usaha untuk “menghidupkan ingatan”? Dokumenter TV Van Dis yang 8 jilid itu, tidak ada yang melaporkan kunjungan Adriaan van Dis ke Lebak, Banten, di tempat lebih 150 tahun yang lalu Multatuli alias Douwes Dekker pernah menjabat asisten residen pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Film dokumenter Adriaan Van Dis malah menunjukkan banyak segi-segi yang “kurang sedap dilihat” tentang kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Sehingga menimbulkan kesan memang dimaksudkan untuk menunjukkan segi-segi negatif dari kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.

Film TV-dokumenter laporan Adriaan Van Dis tentang kunjungannya ke Indonesia , -- sulit untuk dikatagorikan sebagai usaha untuk mempromosi terbinanya JEMBATAN saling-mengerti dan saling-menghargai antara kedua bangsa dan negeri. Mungkin pembuatan film dokumenter perjalanan Adraiaan Van Dis itu memang tidak dimaksudkan untuk itu. Bagaimana maksud sesungguhnya, itu hanya Adriaan Van Dis yang mengetahuinya. Sayang, tidak sedikit ongkos yang dikeluarkan untuk kunjungan dan pembuatan film dokumenter tsb, tetapi, . . . untuk apa? Sensasi? Hanya menambah beban dan ganjalan saja dalam hubungan Indonesia-Belanda!

* * *

Lain Adriaan van Dis, lain pula kegiatan “kawan-kawan kita di Banten”, dikelola oleh Ubaidilah Muchtar dkk, dengan penyelenggaraan Agenda Acara Sastra MULATULI 2012. 152 Tahun Max Havelaar: Multatuli bagi Indonesia


* * *

Dijelaskan oleh kawan-kawan yang menyelenggarkan kegiatan Agenda Sastra Multatuli 2012, bahwa . . “Dua tahun sudah berlalu sejak pertama kali Reading Group Max Havelaar dilaksanakan untuk pertama kali tanggal 23 Maret 2010 di Taman Baca Multatuli. Kini kegiatan Reading Group Max Havelaar tahun kedua sedang memasuki Bab X di pertemuan ke-35. Masih di hari yang sama Selasa sore. Selain Max Havelaar, Taman Baca Multatuli juga melaksanakan Reading Group Saijah bahasa Sunda

“Max Havelaar dan kisah Saijah dan Adinda sangatlah membekas di hati kami. Sehingga kami ingin terus mengabadikannya dalam berbagai bentuk kegiatan. Salah satu kegiatan yang akan dilaksanakan adalah SASTRA MULTATULI 2012. Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan Taman Baca Multatuli. Kegiatan Sastra Multatuli akan dilaksanakan di Taman Baca Multatuli, Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten pada tanggal 11 – 12 Mei 2012.

Seperti kita ketahui Novel Max Havelaar terbitan Narasi, 2008. Hasil terjemahan Andi Tenri Wahyuni, dibaca setiap Selasa sore di Taman Baca Multatuli. Novel ini ada 20 eksemplar di Taman Baca Multatuli.

* * *

Rencana kegiatan Agenda Sastra Multatuli 2012, Mei yad itu, sudah mendapat sambutan luas di kalangan masyarakat yang peduli dipromosikannya hubungan lebih baik antara Indonesia-Belanda.
Menarik memperhatikan bahwa di kalangan pemeduli tsb, mereka menggunakan sapaan/salam “SALAM MULTATULI”, bukan “tabik” atau lainnya. Merupakan suatu manifestasi penghargaan tinggi sekali pada Multatuli, dan hasrat mengembangkan lebih lanjut hubungan budaya antara Indonesia dan Belanda a.l atas dasar semangat yang dibawakan oleh buku Multatuli: “MAX HAVELAAR”.

Bravo kawan-kawan di Banten . . . . . .!
MENGHARAPKAN SUKSES BESAR!

* * *

lAMPPIRAN:
Agenda Acara Sastra Multatuli 2012 sbb:
Jumat, 11 Mei 2012

Pkl. 13.00-14.00 Pendataan peserta Sastra Multatuli 2012
Pkl. 14.00-14.30 Pembukaan acara Sastra Multatuli
Pkl. 14.30-16.00 Pementasan drama Saijah dan Adinda oleh anak-anak Taman Baca Multatuli
Pkl. 16.00-16.30 Obrolan santai seputar drama Saijah dan Adinda
Pkl. 16.30-18.30 Istirahat dan makan malam di Taman Baca Multatuli
Pkl. 18.30-23.00 Kegiatan Malam I

  • Dialog: Siapa Multatuli?
    - Pembacaan tulisan: Suka dan duka penerjemahan Max Havelaar yang ditulis oleh Andi Tenri Wahyuni
    - Pembacaan Sajak Saijah untuk Adinda dalam 6 bahasa oleh anak-anak Taman Baca Multatuli
    - Kesenian Ngagondang (nyanyian dan tarian rakyat) oleh ibu-ibu dan bapak-bapak warga Ciseel
    - Kesenian Gegendeh (memukul lesung) oleh ibu-ibu dan bapak-bapak warga Ciseel
    - Kesenian Pencaksilat oleh anak-anak Taman Baca Multatuli
    - Kesenian Qasidah oleh warga Ciseel
    Pkl. 23.00-05.00 Menikmati mimpi


    Sabtu, 12 Mei 2012

    Pkl. 05.00 Bangun tidur
    Pkl. 06.00-07.00 Yoga pagi di pinggir kali
    Pkl. 07.00-08.00 Makan pagi di Taman Baca Multatuli
    Pkl. 08.00-08.30 Perjalanan menuju Rasamala untuk naik mobil truk bak terbuka
    Pkl. 08.30-10.30 Perjalanan menuju Kampung Cijahe
    Pkl. 10.30-11.30 Makan siang di Cijahe dan mempersiapkan catatan
    Pkl. 11.30-12.00 Jalan kaki menuju perkampungan Baduy Dalam
    Pkl. 12.00-16.00 Menikmati perkampungan Baduy Dalam (Cikeusik dan Cikartawana) sambil menulis catatan perjalanan
    Pkl. 16.00-18.00 Pulang kembali ke Taman Baca Multatuli
    Pkl. 18.00-19.00 Istirahat dan makan malam di Taman Baca Multatuli
    Pkl. 19.00-21.30 Kegiatan Malam II
    - Pembacaan tulisan: Multatuli bagi Indonesia yang ditulis oleh Hilmar Farid
    - Pembacaan Catatan Menyusuri Jejak Multatuli 2011 dalam buku "RUMAH MULTATULI"
    - Kisah Semut Pekerja oleh anak-anak Taman Baca Multatuli
    - Kesenian Pencaksilat oleh anak-anak Taman Baca Multatuli
    - Tarian dan Nyanyian oleh anak-anak Taman Baca Multatuli
    Pkl. 21.30-21.45 Penutupan
    Pkl. 21.45-05.00 Pemutaran Film Max Havelaar dan film lainnya
    * * *

    BAGAIMANA TIBA DI TAMAN BACA MULTATULI

    Dari Jakarta:

    Kereta api dari Stasiun Tanah Abang, Stasiun Kota, dan Stasiun Senen ke jurusan Rangkasbitung. Dari Stasiun Tanah Abang ada kereta api Rangkas Jaya pukul 08.00 pagi dan 05.00 sore. Kereta ini lumayan baik. Saya menyarankan kereta ini. Dari Stasiun Kota dan Senen banyak juga ke Rangkasbitung. Turun di stasiun kereta api Rangkasbitung. Naik angkot ke terminal Curug. Lalu melanjutkan naik mobil elf ke Pasar Ciminyak. Melanjutkan perjalanan dengan naik ojeg dari Pasar Ciminyak ke kampung Ciseel [Taman Baca Multatuli].

    Dari Bogor:

    Ada bus Bogor-Rangkas (Rudi atau Asli Prima) turun di Pasar Cipanas/Gajrug. Lalu naik mobil ke Pasar Ciminyak dan melanjutkan dengan ojeg dari Pasar Ciminyak ke Ciseel.

    Membawa Kendaraan Sendiri:

    Dari Jakarta masuk tol Jagorawi keluar BORR [Sentul Utara]. Lalu melaju ke arah Yasmin-IPB-Leuwiliang-Jasinga-Pasar Cipanas/Gajrug. Dari Pasar Cipanas ambil arah kiri ke Pasar Ciminyak. Mobil cukup sampai di sini. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan naik ojeg ke Ciseel.

    Atau

    Melalui tol Serang menuju Rangkasbitung. Dari Rangkasbitung menuju ke Pasar Ciminyak melalui Sajira. Mobil berhenti sampai di Pasar Ciminyak. Dari Pasar Ciminyak melanjutkan dengan naik ojeg ke Ciseel.

    Keterangan:
    Kereta api dari Jakarta ke Rangkasbitung Rp 4.000 lalu naik angkot ke Terminal Curug Rp2.500. Disambung dengan mobil Elf ke Pasar Ciminyak Rp15.000. Naik ojeg ke Ciseel dari Pasar Ciminyak Rp40.000-Rp50.000.

    Kegiatan Sastra Multatuli terselenggara oleh Taman Baca Multatuli bekerjasama dengan Milis APSAS (Apresiasi Sastra) dan Komunitas Reading Group.

    Lebak, April 2012
    PANITIA SASTRA MULTATULI 2012
    TAMAN BACA MULTATULI,

    Ubaidilah Muchtar
    08567 389 111
    mh_ubaidilah@yahoo.com

* * *



Thursday, April 26, 2012

MARTIN ALEIDA Tentang TRAGEDI '65 Dan Maaf . . .


Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 26 April 2012
---------------------------

MARTIN ALEIDA Tentang TRAGEDI '65 DAN PERMINTAAN MAAF

* * *

< "Apalah saya, kata orang Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini, sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai setahun saya dikerangkeng di kamp kosentrasi Operasi Kalong di KODIM 0501, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. " -- Martin Aleida: "Antara Romo dan Solastomo">

* * *

Tadi malam, kuterima kiriman dari sahabat-karibku Dr Baskara Wardaya. Sebuah tulisan oleh sahabatku Martin Aleida, penulis dan jurnalis. Kubaca cepat. Benar! Menyentuh hati dan menggugah yang membacanya. Kubaca sekali lagi, (maaf ya, Bung Martin) ku edit sedikit, agar mudah bagiku membacanya.

Makin dibaca makin kurasakan betapa kata-kata Martin Aleida itu keluar dari lubuk hatinya yang sudah tak tahan lagi. Sudah jemu menyaksikan betapa telah terkontaminasinya fikiran sementara orang yang tak mampu lagi melihat mana yang riil dan mana yang fiktif. Yang buta terhadap mana yang benar dan mana yang palsu. Disebabkan keracunan semangat dan fikiran anti-komunisme yang sudah berkarat. Setidaknya dari dua penulis-penulis: Romo Magnus Suseno dan Solastomo.

Tulisan Martin Aleida itu adalah pembeberan fakta-fakta. Suatu penuturan apa yang langsung dialaminya pribadi. Punya bobot daya-gugatan sekaligus pencerahan bagi siapa saja yang masih mau mendengar dan melihat fakta sejarah, masih ada kemampuan untuk membedakan siapa yang dalang-pelaku-kriminil dan siapa yang korban kejahatan kemanusiaan.

Meskipun Martin Aleida adalah, seperti ditulisnya, " . . . .tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun", --- namun, artikel yang ditulisnya itu, adalah, kuyakin, akan membantu generasi muda untuk memperoleh pencerahan mengenai sejarah bangsa ini. Ku-siarkan kembali (maaf tanpa persetujuan terlebih dulu dari Martin Aleida yang kukenal pribadi sejak tahun lalu. Di rumah/studio dua-sejoli pematung musisi Dolorosa Sinaga-Arjuna Huagalung Dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu kepada sahabatku Dr Baskara Werdaya, dari siapa aku memperoleh artikel Martin Aleida tsb.)

Silakan baca tulisan Martin Aleida di bawah ini:

Poetis, tapi lebih penting lagi ia faktual dan politis-edukatif.


* * *


ANTARA ROMO DAN SOLASTOMO
Oleh MARTIN ALEIDA

"Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto," demikian seruan Franz Magnis-Suseno SJ dalam mendukung rencana Presiden SBY
untuk meminta maaf kepada korban pasca-G30S (Kompas, 24 Maret 2012).
"Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga." Jiwa bergetar dibuatnnya.
Tetapi, apa daya. Ada hati yang belum bisa melihat cahaya kebebasan dalam sebuah niat yang dengan agung dikumandangkan oleh seorang romo.

Seminggu kemudian, di harian yang sama, Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1963-66, menampik. Katanya: "Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948?"

Dalam kedua tulisan yang berdiri di tebing yang berseberangan itu, tetap terasa ada iman yang miring dalam mengetengahkah fakta-fakta yang ditinggalkan sejarah. Romo Magnis lupa pada
kenyataan bahwa Presiden Soekarno berulang kali, dalam berbagai pidatonya, berupaya meneduhkan pikiran dan hati orang-orang yang terhasut komunisto-fobi,
yang dilancarkan rangkaian media yang sepenuhnya di bawah kontrol Angakatan Darat waktu itu.

Dan sang presiden meminta publik untuk jangan melupakan jasa-jasa orang Komunis dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beribu-ribu mereka dipenjarakan maupun dibuang ke Boven Digul, Papua, katanya.

Tetapi, tambah Soekarno mengingatkan akan jasa orang-orang Komunis yang sedang dikejar-kejar, bertambah deras saja darah orang-orang yang dituduh PKI, simpatisan dan anak-cucu mereka
membanjir di berbagai daerah. Soekarno, melalui berbagai pidato politiknya, juga mengimbau masyarakat untuk menunggu "keputusan politik" yang akan dia ambil untuk menyelesaikan masalah yang sedang merundung bangsanya.

Namun, kelompok yang berada di bawah kepemimpinan Soeharto, yang merasa pintu kekuasaan sudah terbuka bagi mereka, mengabaikan permintaan itu. Diam-diam mereka malah
mendukung gelombang pemusnahan manusia dengan cara-cara di luar batas norma-norma peradaban.

Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan pasukan elite Angkatan Darat memimpin konvoi red drive ke Jawa Tengah, terus ke Timur sampai Bali. Begitu pulang dari ladang pembantaian, kepada wartawan dia sesumbar telah menghabisi lebih dari tiga juta Komunis, melampaui jumlah korban Perang Viet Nam.

Kegagalan G30S, yang hanya berkuasa beberapa jam, telah memberikan "dalih" yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh sebagian unsur di dalam Angkatan Darat, dan lawan-lawan
PKI, untuk menumpas kaum Komunis sampai ke akar-akarnya (John Roosa, 2008). Dan pada akhirnya sejarah menunjukkan bagaimana Presiden Soekarno dikerjain,
dirongrong secara sistematis, dijatuhkan, diasingkan, dan dibiarkan menemukan ajal dengan tragis di dalam tahanan.

Dia meninggal menyusul ribuan Komunis dan orang-orang kiri pendukungnya, yang dia gambarkan dengan pepatah Jawa yang dia pelesetkan: "Bukan sanak saudara dan tak ada hubungan darah, tetapi kalau mati aku yang kehilangan."

Lupakah Romo bagaimana semua media massa yang berada di bawah kendali Angkatan Darat melancarkan kampanye hitam terhadap PKI dengan antara lain mengatakan bahwa para petinggi Angkatan Darat yang diculik, dipotong-potong kemaluan mereka sebelum diceburkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya. Diiringi tari Genjer-Genjer dan nyanyian Harum
Bunga, yang dibawakan perempuan-perempuan Gerwani, organisasi yang berafiliasi dengan PKI.

Padahal, visum dari Rumah Sakit Angkatan Darat (!), sebagaimana yang dikutip oleh Presiden Soekarno beberapa hari setelah "malam jahanam" itu, bertentangan dengan fitnah yang ditiup-tiupkan untuk membakar amarah.

Begitu beratkah hati Romo sehingga tak sedikit pun sudi menyinggung kenyataan sejarah tersebut sebagai bukti, untuk kemudian menguraikan dan meneguhkan sikap dalam, paling tidak,
menegakkan sebuah hipotesa, siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap pembantaian berantai yang memusnahkan 500.000 (menurut perkiraan kebanyakan
peneliti Barat) sampai tiga juta manusia Indonesia.

Para pelaku penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat, termasuk pentolan G30S, sudah diadili. Sudah dieksekusi. Sekarang, siapa yang
bertanggungjawab terhadap korban yang begitu banyak, yang menurut Romo merupakan salah satu "kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20." Apakah sebuah kehampaan bisa membunuh?! Atau apakah kehampaan memang telah dengan sengaja diciptakan untuk mensahkan pelenyapan nyawa saudara-saudara kita?!

Ketika menyigi tulisan Sulastomo, saya ingin memendam kata-kata sehingga jeritan hati tidak menemukan kesimpulan bahwa gugatan semacam itu barangkali merupakan contoh kebencian
politik yang berlebihan, membabi-buta. Bagian dari stigmatisasi sistematis yang dilancarkan terhadap korban pasca-G30S.

Akal sehat terharamkan, rupanya. Apakah benar PKI begitu berkuasa (kok dituduh melancarkan kudeta?) sehingga bisa membubarkan partai yang lebih besar (Masyumi berada dua tingkat di atas
PKI pada Pemilu1955) dan memenjarakan para pemimpin mereka tanpa diadili?


Bukankah kitab sejarah yang sengaja melupakan bahwa para pemimpin PKI, dan orang-orang kiri dari berbagai sayap, yang jangankan "dipenjarakan tanpa diadili," mereka malah langsung dibunuh sonder diadili. Tiang gantungan mereka juga tak ketahuan di mana rimbanya. Sehingga "kebenaran atau kesalahan" yang melekat di hati dan otak mereka tak pernah terbuka.

Apakah karena Ketua HMI maka Sulastomo harus berkata begitu? Inilah yang membuat sejarah bangsa ini terus merangkak di lintasan yang tetap saja menanti terangnya bulan dan bintang.

Korban dan permintaan maaf Yang harus dipertanyakan dengan rendah hati, apakah para korban pasca-G30S pernah menghamba untuk memperoleh permintaan maaf? Tak pernah saya dengar. Minta-minta ampun ya! ketika mereka menghadapi rupa-rupa penyiksaan di sel-sel tahanan. Mereka tidak merasa telah terjerumus dalam pilihan yang salah. Yang barangkali tak terpikirkan oleh mereka adalah bahwa orang-orang yang sudah termakan hasutan dengan cara-cara yang jahat dan sistematis, bisa begitu ganas beringas.


Mereka berkaca pada contoh cerlang-cemerlang yang ditunjukkan dengan gagah berani oleh Soekarno, yang bertahan pada gagasan besar yang mengilhaminya sejak muda. Tentang aspirasi
ideologi politik yang berkecenderungan nasionalisme, agama, dan sosialisme-komunisme yang tak terbantahkan kenyataannya. Dan tentang niscayanya kekuatan-kekuatan revolusioner itu, yang dia rangkai dalam akronim NASAKOM, bersatu-padu membawa Indonesia ke depan.

Kalau saja Soekarno hanya seorang pecundang, dia tentu sudah berkhianat terhadap pikirannya itu sendiri, dan sebagai presiden membubarkan PKI sesuai tuntutan mahasiswa waktu itu. Dia selamat, dan negeri ini tak seperti ini, barangkali.


Apalah saya, kata orang Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini, sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai setahun saya dikerangkeng di kamp kosentrasi Operasi Kalong di KODIM 0501, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat.


Hati saya selalu berbisik bahwa saya bisa bebas sebelum ditendang ke Salemba atau Cipinang atau Tangerang atau Buru, karena saat diciduk bersama beberapa teman, ada "tangan Tuhan" yang tersembunyi di dalam surat wasiat dari kedua orangtua saya yang "sudah teken mati" mau berlayar dengan kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. "Tangan Tuhan," saya sangka,
juga menyuruk di lembar surat-surat cinta saya dengan gadis yang kemudian
menjadi istri saya. Sel tahanan memperteguh kasih dan harapan yang pernah saya bisikkan di kupingnya.

Di dalam tahanan, dia turut mengasuh si Butet kecil, yang masih merah, ketika Tarni (masih hidup, 83 tahun) , istri Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI, ditangkap. Ibu berdarah ningrat Solo itu digelandang bersama anak-anaknya, dijebloskan ke dapur KODIM tersebut. Nyoto sendiri sudah
direnggut paksa nyawanya entah di mana.

Terbayang, betapa kuatnya hati gadis pujaan saya itu dalam pergulatan melawan takut dan teror, ketika dia diperintahkan Kapten Suroso, komandan Operasi Kalong, untuk menyeka lantai yang
banjir darah, membersit dari punggung Mula Naibaho, pemimpin redaksi Harian Rayat, bos dan mentor saya, kekasihnya. Wartawan, teman dekat komponis Cornel Simanjuntak, itu lumat kulit belakangnya digerus ekor pari yang dikeringkan, distrum, dicemplungkan ke bak mandi, lantas disuruh menelan sepiring sambal merah. Pengagum puisi Paul Eluard itu tidak berteriak minta ampun, minta dikasihani. Menjerit apalagi. Dia hanya menggigil menggelatuk.

Memang, semasa menjadi wartawan majalah TEMPO saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi majalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, Zaman Baru, dalam usia yang baru 20. Dan pernah ditahan.

Tetapi, saya tidak pernah menyesali diri pernah menjadi wartawan yang mangkal di Istana, dan pernah diundang sarapan pagi bersama Presiden Soekarno, dan diledek Sang Pemimpin
Besar itu karena saya terus ngoceh dengan ajudannya, seorang wanita perwira angkatan laut asal Manado.

Tak pernah terbersit di hati saya untuk menuntut permintaan maaf kepada siapa pun yang telah membuat karier saya cuma seumur jagung. Padahal, untuk itu saya harus berbuat dosa, hengkang
dari haribaan kedua orangtua.

Setiap saya ke Solo, bersama istri, kami harus menyeret langkah dengan hati seberat batu menuruni tebing Bengawan. Di situ kami melarung kembang sesajen untuk membuat semerbak perjalanan air yang diarungi mertua saya setelah dia disuruh tentara untuk jongkok, ditembak, dan jasadnya ditendang, dilarikan arus entah ke mana... Pada saat-saat seperti itu, pikiran melayang kepada Ayah-Emak saya.


Hati saya juga meratap setiap kali pulang ke kota kelahiran, di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara. Terbayang Noor Tambi, seorang tokoh buruh angkutan, yang membantu "pelarian" saya ke Jakarta untuk belajar sastra. Kabarnya, dia, bersama istrinya yang sedang hamil tua, disembelih, mayat mereka dicampakkan ke arus sungai. Penduduk tak kuasa memakan ikan, sekali pun itu dipanen dari Selat Malaka. Bangkai manusia mengapung-apung berhari-hari mencari Tuhan mereka ke mama-mana.


Air mata saya untuk mereka. Luka hati saya tak terbasuh dengan mengenang mereka. Tetapi, saya tidak meminta siapa pun untuk meminta maaf. Menjadi korban adalah sebuah keagungan.
Keagungan! Bukankah Tuhan senantiasa memihak kepada yang tertindas, dan melahirkan agama melalui jalan darah dari manusia yang dia kasihi. Dan sastra semata-mata ditakdirkan untuk memihak korban. Bukankah prosa terbesar yang dilahirkan Perang Dunia II adalah catatan harian gadis manis Anne Frank, yang menuliskan rintihan batinnya sebagai korban?

Manakala sastra mendurhakai takdir ini, maka dia akan tinggal jadi sebuah cemooh. Telah lahir puisi-puisi kutukan terhadap tirani rezim Orde Lama Soekarno, dan nyanyian agung menyambut
menyingsingnya sebuah harapan (pada Soeharto). Malang benar! Puisi-puisi dari penyair, yang dikatakan sebagai pelopor lahirnya angkatan baru dalam sastra Indonesia itu, justru dianggap hanya sebagai karya kaum epigon, pengekor para penyair Lekra. Mereka terjerumus ke jurang puisi pamflet yang mereka tolak sendiri. Dan untuk menyebutkannya sebagai angkatan baru "belum cukuplah syarat dan nilainya." (Subagio Sastrowardoyo, 1983).


Hanya Tuhan yang punya kuasa atas kata maaf. Dan Dia memberikannya dengan kuasanya sendiri. Belasan tahun saya, dan beberapa penulis yang selamat dari jerat tiang gantungan rezim
Soeharto, bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO. Saya tidak pernah menganggap kesempatan itu sebagai permintaan maaf dari seorang yang sadar secara intelektual menjadi anti-Komunisme: Goenawan Mohamad. Saya yakin, bukannya didorong oleh niat meminta maaf, maka dia juga kabarnya menjadi tuan rumah untuk arisan istri orang-orang penting PKI yang diburu dan dibantai. Dia lakukan itu semua padahal dia bukan seorang romo apalagi nabi. Dia cuma penyair yang meniti di titian peradaban. Goen menyuruh saya mencari Rivai Apin, dia pingin berjumpa dengan Pram, Buyung Saleh. Dalam perjumpaan itu tak ada maaf-memaafkan. Rekonsiliasi tak berbunyi. Pikiran mereka berjalan sendiri-sendiri. Adab yang mempertemukan mereka.

Haram, kalau dari belakang saya mengatakan redaktur KOMPAS membukakan pintu maaf kepada saya manakala cerita-cerita pendek saya dimuat dengan judul yang lebih besar dari logo Harian
Rakyat, di mana saya pernah berjuang, dan tumbang. Juga tidak, ketika dua-sejoli pematung-musisi Dolorosa Sinaga-Arjuna Hutagalung memeluk mencium saya setiap kali kami jumpa. Hanya saja airmata saya titik. Hati saya bergemuruh. Bagaimana mungkin di tengah-tengah keganasan, kebutatulian, ada manusia yang lahir dengan kodrat seperti ini... ***



Monday, April 23, 2012

*Tentang Republik Maluku Selatan [RMS]*


Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 23 April 2012
----------------------------

*Tentang Republik Maluku Selatan [RMS]*



Hari ini Senin, 23 April 2012, kubaca sebuah tulisan oleh *LAMBERTUS HUREK,* berjudul *"Tentang Republik Maluku Selatan (RMS)*. Berita ini bisa ditemukan di Facebook. Yang memiliki akses ke Facebook pasti dapat membacanya. Pada tanggal 25 April lusa, adalah hari diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS). Itulah sebabnya Hatib Abdul Kadir menyiarkan bahan yng memberikan analisa dan kesimpulan megenai terbentuk dan berakhirnya RMS.

Tulisan tsb singkat padat, namun cukup informatif. Menjelaskan latar belakang situasi ketika berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) dan tindakan-tindakan politik dan militer (KNIL dan Kepolisian) yang diambil oleh Mr Ch Soumokil dan Ir Manusama menuju terbentuknya Republik Maluku Selatan (RMS).

Mengenai Mr Ch Soumokil, dijelaskan bahwa Mr. Soumokil ahli hukum yang berkedudukan sebagai hakim pada masa Hindia Belanda memiliki aspirasi yang sangat bertentangan dengan aspirasi bangsa Indonesia umumnya. Dia selalu bertolak belakang dengan tokoh-tokoh Maluku dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dia tidak ingin mengambil bagian dalam kegiatan organisasi daerah Maluku seperti Sarekat Ambon atau Angkatan Pemuda Indonesia [API] Maluku.



* * *



Kemudian usaha Pemerintah Indonesia pada 27 April 1950 mencari penjelesaian damai dengan mengirimkan ke Maluku tokoh-tokoh politik Maluku, yang terdiri dari Dr. Leimena, Ir. Putuhena, Polhaupessy, dan Dr. Rehatta. Untuk menghadapi gerakan RMS, pemerintah RIS mengupayakan penegakan kedaulatan di Maluku Selatan dengan cara pendekatan damai, tindakan blokade, dan operasi militer.



Upaya *damai tidak berhasil dilaksanakan karena Soumokil menghindari ajakan berunding dari Dr. Leimena, Ir. Putuhena, Polhaupessy, dan Dr. Rehatta.*



** * **



Berikut ini lengkapnya tulisan Lambertus Hurek, yang disiarkan oleh Hatib Abdul Kadir di FB:

Dalam rangka 25 April, Moluccan Studies menyajikan sebuah kajian sejarah politik tentang RMS yang cukup bagu, silahkan simak: http://hurek.blogspot.com/2007/07/tentang-republik-maluku-selatan-rms.html


* * *



11 July 2007

Tentang Republik Maluku Selatan [RMS]

Oleh: *LAMBERTUS HUREK*

*Berita kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik dan terbentuknya Republik Indonesia ternyata sangat lambat diterima rakyat di daerah Maluku. Keterlambatan tersebut merupakan peluang bagi Belanda untuk menyebarkan isu-isu untuk mendiskreditkan Indonesia yang baru saja menyatakan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945.*

KNIL [Koninklijk Nederlands Indisch Leger] adalah tentara Hindia Belanda yang didominasi oleh orang Maluku. Dari 9.000 anggota KNIL yang tersebar di seluruh Indonesia [Hindia Belanda], 4.000 di antaranya orang Maluku. Karena itu, loyalitas anggota KNIL kepada Belanda masih eksis walaupun Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945. Kekuatan KNIL inilah yang memicu terjadinya konflik dengan para tokoh Ambon yang prokemerdekaan.

Tanggal 27 Desember 1949, penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani di Den Haag yang mengakhiri Konferensi Meja Bundar yang berlangsung pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Isi dari akte penyerahan adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat [RIS]. Seiring dengan pembentukan RIS, dibentuk pula Angkatan Perang RIS [APRIS] sebagai alat kelengkapan negara di bidang keamanan.

Dewan Maluku Selatan sebagai alat pemerintahan di daerah belum memiliki lembaga keamanan yang memadai untuk mengimbangi pergolakan bekas tentara KNIL yang bertindak sewenang-wenang terhadap para pejuang kemerdekaan. Setelah pengakuan kedaulatan, Kota Ambon dibanjiri anggota KNIL, terutama pasukan khusus, yaitu satu kompi baret hijau bekas anggota Westerling yang didatangkan dari Bandung.

Pada 22 Januari 1950 pasukan KNIL melakukan penyerbuan di dalam Kota Ambon, menganiaya rakyat yang tidak berdosa. Selain rakyat, para anggota Dewan Maluku Selatan mengalami tindakan kekerasan dan kebrutalan KNIL. Berita tentang pembubaran Negara Indonesia Timur [NIT], menimbulkan kepanikan luar biasa bagi Mr. Ch. Soumokil, tokoh asal Maluku yang menjabat Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman Negara Indonesia Timur.


Mr. Soumokil ahli hukum yang berkedudukan sebagai hakim pada masa Hindia Belanda memiliki aspirasi yang sangat bertentangan dengan aspirasi bangsa Indonesia umumnya. Dia selalu bertolak belakang dengan tokoh-tokoh Maluku dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dia tidak ingin mengambil bagian dalam kegiatan organisasi daerah Maluku seperti Sarekat Ambon atau Angkatan Pemuda Indonesia [API] Maluku.

Dua hari setelah kedatangan Mr. Soumokil di Ambon, pada 18 April 1950, bekas pimpinan moderat Gerakan Demokrasi Ir. Manusama mengadakan rapat raksasa sebagai pameran kekuatan menentang pembubaran NIT. Tokoh yang berhaluan federal ini satu ide dengan Soumokil. Dalam keadaan yang sangat mendesak, pada 23 April 1950, Mr. Soumokil dan Ir. Manusama mengadakan rapat sangat rahasia di Desa Tulehu. Rapat yang dihadiri hampir sebagian besar anggota KNIL, kepolisian [bawahan Soumokil], dan para pemuka rakyat, itu membahas tentang pembubaran NIT.

Untuk menghadapi masa kritis dari NIT yang berada di ambang kehancuran, Soumokil menganjurkan agar KNIL segera membunuh setiap anggota Dewan Maluku Selatan. Kemudian daerah ini dinyatakan sebagai daerah merdeka. Untunglah, sebagian tokoh peserta rapat masih sadar dan menolak usul yang kejam itu.

Namun, rapat pada 23 April 1950 tersebut berhasil membentuk Republik Maluku Selatan [RMS]. Untuk melaksanakan 'proklamasi', rapat memutuskan menghubungi Badan Pemerintah Harian Daerah Maluku Selatan sebagai pelaksana pemerintahan di daerah, dan mendesak mereka untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan RMS.

Pada sore hari pukul 18.00 tanggal yang sama, rapat dilanjutkan di Kota Ambon yang dihadiri oleh Kepala Daerah/Ketua Dewan Maluku Selatan Manuhuttu dan Wakil Ketua Wairissal. Kedua pejabat ini didesak oleh Soumokil dan kawan-kawan untuk menyelesaikan kemerdekaan RMS, namun ditolak dengan alasan tindakan ini sangat luas konsekuensinya.

Lemahnya aparat keamanan yang mendukung tugas Dewan Maluku Selatan sebagai aparat pemerintahan daerah memberi peluang bagi Soumokil cs yang mendapat dukungan dari pasukan KNIL dengan kekuatan yang cukup tinggi memaksakan kehendaknya.

*Proklamasi kemerdekaan RMS diumumkan pada 24 April 1950 pukul 08.30 di Kota Ambon. Tanggal 25 April dikeluarkan tertulis tentang lahirnya RMS. *

Untuk menghadapi gerakan RMS, pemerintah RIS mengupayakan penegakan kedaulatan di Maluku Selatan dengan cara pendekatan damai, tindakan blokade, dan operasi militer. Upaya damai tidak berhasil dilaksanakan karena Soumokil menghindari ajakan berunding dari Dr. Leimena, Ir. Putuhena, Polhaupessy, dan Dr. Rehatta yang diutus Pemerintah Indonesia pada 27 April 1950 ke Maluku.

Setelah upaya perdamaian ditolak RMS, pada 14 Juli 1950 pasukan APRIS mulai mendarat di Pulau Buru. Dua ribu anggota KNIL ditambah polisi yang masih terpengaruh dengan propaganda Soumokil dengan segala kebimbangan menghadapi pasukan APRIS. Melalui seruan, penerangan, serta penumpasan, para pengikut RMS secara bertahap dapat dilumpuhkan.

Pulau Buru dibebaskan pada 22 Juli 1950 melalui operasi penumpasan oleh APRIS. Dari Pulau Buru, pasukan APRIS menuju ke Kota Piru di Pulau Seram dan melalui pertempuran dengan pasukan KNIL dan polisi pengikut RMS, pada 27 Juli 1950 Kota Piru dinyatakan bebas dari cengkeraman RMS.

Dari Kota Piru, berkat kegigihan pasukan APRIS, Kota Amahai dapat direbut dari tangan RMS pada 28 Juli 1950. Anggota RMS melarikan diri ke pedalaman Pulau Seram dan ke arah timur Kota Tehoru. Pulau Seram yang sangat luas dan hutan lebat merupakan tempat persembunyian orang-orang RMS dari serbuan pasukan APRIS.

Bulan September 1950, operasi pembebasan RMS berhasil mengambil alih wilayah Maluku Tenggara, Seram Utara [Kota Wahai] dan Seram Timur [Kota Geser] dari pendudukan RMS. Setelah itu pasukan APRIS melakukan penumpasan di Kota Ambon. Setelah Kota Ambon, pasukan APRIS dan Mobrig [Mobile Brigade] tetap silih berganti bertugas mengemban Gerakan Operasi Militer [GOM] sebagai penanggung jawab keamanan Negara RIS.

Atas kegigihan para pengembangan GOM, maka pada 1962 Mr. Soumokil dapat ditangkap. Kemudian, gembong RMS ini diajukan ke pengadilan dan divonis hukuman mati karena kegiatan makarnya menimbulkan penderitaan dan kematian bagi banyak orang.


* * *



*KOMNASHAM SULIT LAPOR SEKITAR INVESTIGASI KORBAN 1965 – *


*Kolom IBRAHIM ISA*

*Minggu, 22 April 2012*

*----------------------------*



*KOMNASHAM SULIT LAPOR SEKITAR INVESTIGASI KORBAN 1965 – *

*LAPOR SAJA SULIT --- SUATU TRAGEDI . . . . .*


Pagi ini kuterima kabar dari sahabatku Bejo Untung, Ketua YPKP 1965. Berita yang disampaikannya itu *mengenaskan, mengecewakan, menggemaskan, tapi juga mengungkap realita yang sesungguhnya sudah lama diketahui.*Yaitu, bahwa KomnasHam, yang sudah hadir di masyarakat sekian tahun itu, *untuk bikin laporan sekitar investigasi*yang dilakukannya berkenaan dengan pelanggaran HAM sekitar Peristiwa 1965 sampai dewasa ini *masih belum berhasil.*


Dalam suratnya kepada Ketua YPKP 1965, Nur Kholis, -- Wakil Ketua Komnasham, menjelaskan bahwa ia bersama timnya . . //


“/terus berusaha agar laporan penyelidikan dapat dibahas dan diputuskan dalam sidang paripurna KOMNAS HAM, kami yakin bahwa pembahasan pada bulan awal bulan Mei 2012  nanti merupakan pembahasan akhir untuk menentukan tentang dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa 1965/66./


“/Kami sendiri merasa harus terus memperjuangkan hal ini setelah menjalani proses/

/penyelidikan yang sangat panjang, lebih-lebih lagi, kami menganggap bahwa/

/laporan yang disusun telah menemukan format yang cukup baik”/


Demikian janji Nur Kholis dan keyakinannya sekitar penyelesaian laporan tim investigasi KomnasHam sekitar korban 1965.


* * *


Ketua YPKP 1965, Bejo Untung, dalam siarannya yang bisa dibaca di lampiran a.l menegaskan, bahwa: …


“/Perjuangan untuk memutuskan kesimpulan tersebut tidaklah mudah, karena sudah/

/berulang kali Sidang Pleno selalu ditunda, diulur-ulur, sehingga ada kesan/

/adanya pertarungan sengit di antara para Komisioner. *Organisasi Korban termasuk*/

/*YPKP 65 mengisyaratkan adanya tekanan militer sehingga Komnas HAM  selalu gagal memutuskan. Menurut catatan, hampir 3 tahun kerja semenjak Tim Penyelidik dibentuk, namun belum bisa melaporkan hasil investigasinya. */


“/Ada apa ini. /

/Padahal, bagi Korban pelanggaran HAM khususnya Korban Pelanggaran HAM 65 keputusan Komnas HAM adalah sangat penting sebagai pintu masuk untuk perjuangan penuntutan dan desakan agar para Korban memperoleh Hak-Haknya yang selama ini terabaikan oleh Negara. Dan, bisa jadi merupakan langkah awal untuk penyelesaian secara menyeluruh terhadap implikasi peristiwa 1965/1966. Kalau memang Negara/Pemerintah memiliki kemauan dan kemampuan politik untuk segera tuntaskan hal ini./


/* * */


/Lampiran :/

/Di bawah ini tanggapan Bejo Untung:Komnas HAM akan Umumkan/

/Hasil Investigasi Tim Penyelidik 1965/66 Awal Bulan Mei 2012/


/Dalam sambutan tertulis yang dibacakan di hadapan peserta Temu Korban/

/65/Konferda YPKP 65 se Jawa Tengah di Pati 08 April 2012, Nurkholis,SH.,MA yang/

/menjabat sebagai Ketua Tim Penyelidik pro Justisia Peristiwa 1965/1966 juga sebagai Wakil Ketua Komnas HAM, meyakinkan bahwa pada awal bulan Mei 2012 Komnas HAM akan mengadakan /

/Sidang Pleno terakhir untuk memutuskan hasil investigasinya,  yaitu dugaan bahwa Peristiwa/Tragedi Kemanusiaan 1965/66 adalah sebagai kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM Berat./


/Perjuangan untuk memutuskan kesimpulan tersebut tidaklah mudah, karena sudah/

/berulang kali Sidang Pleno selalu ditunda, diulur-ulur, sehingga ada kesan/

/adanya pertarungan sengit di antara para Komisioner. Organisasi Korban termasuk/

/YPKP 65 mengisyaratkan adanya tekanan militer sehingga Komnas HAM  selalu gagal memutuskan. Menurut catatan, hampir 3 tahun kerja semenjak Tim Penyelidik dibentuk, namun belum bisa melaporkan hasilinvestigasinya. /


/Ada apa ini. Padahal, bagi Korban pelanggaran HAM khususnya Korban Pelanggaran HAM 65 keputusan Komnas HAM adalah sangat penting sebagai pintu masuk untuk perjuangan penuntutan dan desakan agar para Korban memperoleh Hak-Haknya yang selama ini terabaikan oleh Negara. Dan, bisa jadi merupakan langkah awal untuk penyelesaian secara menyeluruh terhadap implikasi peristiwa 1965/1966. Kalau memang Negara/Pemerintah memiliki kemauan dan kemampuan politik untuk segera tuntaskan hal ini./


* * *


Berikut ini surat Wakil Ketua KomnasHam Nur Kholis:


/Assalamualikum wwb, salam sejahtera bagi kita semua, selamat pagi./


/Pertama, saya ingin menyampaikan permohonan maaf yang sedalam- dalamnya atas ketidak-/

/hadiran saya atau pun anggota tim yang lain dalam acara yang sangat penting/

/bagi kita semua, khususnya para korban peristiwa 65 yang sampai dengan hari ini/

/terus mencari keadilan di negara ini./


/Saya ingin menyampaikan bahwa, saya bersama dengan tim terus berusaha agar laporan/

/penyelidikan dapat dibahas dan diputuskan dalam sidang paripurna KOMNAS/

/HAM,kami yakin bahwa pembahasan pada bulan awal bulan Mei 2012  nanti merupakan pembahasan akhir untuk menentukan tentang dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa 1965/66./


/Kami sendiri merasa harus terus memperjuangkan hal ini setelah menjalani proses/

/penyelidikan yang sangat panjang, lebih-lebih lagi,kami menganggap bahwa/

/laporan yang disusun telah menemukan format yang cukup baik./


/Saya tidak akan menyampaikan secara rinci kesulitan- kesulitan yang kami alami,/

/mengingat hal tersebut tidak sebanding sama sekali dengan penderitaan yang/

/sudah bapak-bapak  dan ibu-ibu alami bertahun -tahun dan bahkan terkadang nyaris tanpa harapan untuk mendapatkan keadilan. Sudah tepat rasanya acara hari ini diselenggarakan tidak untuk semata-mata melakukan evaluasi kerja -kerja yang telah dilakukan, tetapi juga untuk/

/berbagi dan saling menguatkan satu sama lain untuk mendapatkan kebenaran dan/

/keadilan di negara yang kita cintai ini./


/Salam ta'zim saya kepada seluruh korban yang dapat hadir di acara hari ini yang terus/

/bergandengan tangan untuk mengingatkan mereka yang telah berbuat kesalahan dan/

/menyebabkan penderitaan yang sangat panjang tidak hanya terhadap para korban/

/tetapi juga sanak keluarga dan handai -taulan./


/Apapun hasil dari perjuangan ini, patutlah saya sampaikan hormat atas kesetiaan para/

/korban untuk terus berdiri meneriakkan kebenaran meskipun barangkali ada pihak/

/yang mencibir bahkan tidak menghiraukan sama sekali. Sekali lagi, kebenaran/

/tidak akan pernah  bisa ditutupi meskipun terkadang memerlukan kesabaran dan/

/ketabahan yang luar biasa./


/Izinkan saya untuk mengakhiri, sambutan ini dengan mendoakan kita semua agar/

/diberi kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk terus memperjuangan kebenaran/

/dan keadilan untuk kehidupan yang lebih bermartabat./


/PALEMBANG,/

/7 April 2012/

/NUR KHOLIS,SH., MA Wakil Ketua Komnas Ham/


/* * */


Thursday, April 19, 2012

MULAILAH Dng Yang Paling Gawat – KASUS 1965

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 19 April 2012
------------------------------


PRESIDEN NIAT MINTA MAAF – MULAILAH Dng Yang Paling Gawat – KASUS 1965


Bicara mengenai Peristiwa Tragedi Nasional 1965, meski terdapat saling hubungan yang erat sekali, antara segi yang satu dengan segi lainnya ---- Namun, harus dipisahkan paling tidak antara dua segi atau dua hal. Satu hal adalah kasus sekitar G30S itu sendiri, Gerakan 30 September 1965. Segi di-demisionerkannya pemerintahan Presiden Sukarno, dibunuhnya enam jendral dan seorang perwira menengah di Lubang Buaya, dan hal dibentuknya Dewan Revolusi oleh G30S di bawah pimpinan Letkol Untung, yang memproklamasikan Dewan Revolusi sebagai badan kekuasaan tertinggi di Indonesia ketika itu.


Itu semua terjadi pada masa pra-dimulainya persekusi besar-besaran, pembunuhan masal yang berlangsung terhadap warga negara yang tak bersalah.


Mengenai kasus G30S itu “an sich”, pelaku-pelakunya sudah di-Mahmilubkan, sudah divonis dan dilaksanakan vonisnya. Dengn catatan bahwa Pengadilan Mahmilub itu samasekali tidak independen. “Proses hukum” ketika itu, merupakan sandiwara penguasa belaka untuk melikwidasi lawan-lawannya. Mengenai G30S sudah banyak dilakukan studi dan penulisan, seminar, diskusi dan konferensi. Di dalam maupun di luarnegeri. Telah banyak diterbitkan bahan-bahan tertulis mengenai hal tsb, terutama sejak digulingkannya Presiden Suharto dan setelah Indonesia memasuki masa REFORMASI dan DEMOKRATISASI.


Pelbagai kesimpulan dan teori bisa dibaca di ribuan, bahkan puluhan ribu bahan tertulis. Dan kegiatan ini akan berlangsung terus. Sampai menjadi jelas-jemelas masalahnya.


* * *


Satu segi atau satu hal lainnya lagi, ialah, masalah persekusi terhadap PKI, orang-orang yang dianggap PKI, simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno dan orang-orang Kiri lainnya. Persekusi tsb terutama mengenai dibunuhnya, dilakukannya eksekusi ekstra-judisial terhadap orang-orang yang tak bersalah, orang-orang yang tanpa proses hukum papapun dibantai, disiksa, dibunuh dan atau dipenjarakan dan dibuang ke Pulau Buru, disekap di situ lebih dari sepuluh tahun lamanya. Hal yang ini – ini, tak lain dan tak bukan adalah pelanggaran HAM yang terbesar yang dilakukan oleh aparat negara, militer dan polisi, serta oleh parpol-parpol pendukungnya, atas tuduhan terlibat atau ada indikasi terlibat dengan G30S. Jumlahnya bergeser antara 100.000 sampai 3 juta korban (angka Jend. Sarwo Edhie).


Mengenai hal, -- bahwa kejadian itu adalah pelanggaran HAM terbesar di Indonesia selama sejarah Republik Indonesia, -- bahwa hal itu adalah suatu CRIME AGAINST HUMANITY, suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN, --- itu tak memerlukan terlalu banyak teori dan kesimpulan, karena mengenai hal itu, yang bersangkutan, yang melakukan kejahatan itu sendiri secara langung atau tidak, sudah ada yang mengakuinya. Bukankah Jendral Sarwo Edhie sendiri telah mengakuinya dan merasa “menyesal”?


* * *


Cara atau metode mempersoalkan kasus Peristiwa Tragedi Nasional 1965 demikian itu, sering dinyatakan padaku oleh sahabat karibku, sarjana hukum, mendiang Wiyanto SH, mantan dosen di Universitas Airlangga, dan terakkhir (1965-1970) bertugas di Sekretariat Juris Asia-Afrika di Conakry, Republik Guinea,. Dan lebih sering lagi di pertemuan-pertemuan internasional maupun seminar-seminar bersangkutan dengan masalah pelanggaran HAM di Indonesia.


* * *


Ketika menyatakan bahwa pemerintah akan minta maaf sekitar pelanggaran HAM dimana aparat kekuasasan menjadi pelaku aktif dan langsung terlibat, ----- tidak dikemukakan ingin minta maaf mengenai kasus dan periode yang mana. Karena, pelanggaran HAM dimana aparat adalah pelakunya, sering sekali terjadi sejak berdirinya Orba.


Pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar PERISTIWA TRAGEDI NASIONAL 1965, terutama berlangsung setelah Jendral Suharto mengalahkan G30S dan mulai melakukan KUP MERANGKAK terhadap Presiden Sukarno . Pelanggaran itu --- adalah PELANGGARAN HAM YANG TERBESAR.


Maka mulailah dari Peristiwa Tragedi Nasional 1965.



* * *


Sebagai bahan pemikiran tambahan, di bawah ini dimuat tulisan YT Taher dari Australia.


Beranikah Kepala Negara RI sekarang ini menegakkan hukum dan meminta maaf kepada puluhan juta korban Peristiwa 1965 dan Kejahatan HAM lainnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Oleh – Y.T. Taher – Australia, 19 April 2012.


Tahun 1984, Eks . Komandan RPKAD Letjen. Sarwo Eddi Wibowo, pernah bertemu

dengan Ilham Aidit, putra bungsu D.N. Aidit, Ketua PKI, di puncak Gunung
Tangkubanperahu. Saat itu, kepada Ilham, Sarwo Edhi berkata, bahwa dirinya
hanya melaksanakan tugas dan kewajiban pada 1965 silam yang diyakininya
benar. Tapi setelah peristiwa itu, kata Ilham, Sarwo sadar bahwa yang
dilakukannya itu salah. Ilham terpana. Sarwo mengulurkan tangan, dan tangan
Ilham gemetar. Mereka bersalaman, dan berpelukan.

Akan tetapi, kendatipun Sarwo Edhi Wibowo barangkali “menyesal” dan
menyatakan “sadar bahwa yang dilakukannya itu salah”, apakah kasus
pembantaian tiga juta manusia itu bisa dianggap selesai dengan “jabatan
tangan” Sarwo Edhi Wibowo dan Ilham? Suharto memerintahkan Sarwo Edhi dan
Sarwo memerintahkan 400 orang anggota RPKAD untuk melaksanakan pembunuhan di
Jakarta, Jateng, Jatim dan Bali dan diikuti oleh para militer dan golongan
agama diseluruh Indonesia. Teror yang dilakukan atas perintah Jenderal
Suharto menjadikan Indonesia dipenuh dengan mayat-mayat orang tak berdosa.
Berapa puluh juta bangsa Indonesia menderita akibat tindakan pemerintah
“ordebaru” Suharto itu?.

Kasus Peristiwa 1965, bukanlah kasus antar-personal. Bukanlah kasus antara
manusia Sarwo Edhi dan manusia Ilham Aidit, tetapi adalah masalah bangsa dan
negara, yang harus diselesaikan secara kenegaraan pula. Beranikah Kepala
Negara RI sekarang ini menegakkan hukum dan meminta maaf kepada puluhan juta
korban Peristiwa 1965 dan Kejahatan HAM lainnya? Beranikah? Kita lihat
sampai di mana keberaniannya! Ataukah ibarat pepatah “Tiba di mata
dipicingkan, tiba di perut dikempiskan?” Rakyat dan bangsa Indonesia akan
melihat dan menjadi saksi!!!


* * *






Wednesday, April 18, 2012

“SEMANGAT BANDUNG” . . . . . . . . MASIH RELEVANKAH?

Kolom IBRAHIM ISA

Rabu, 18 April 2012

----------------------------


SEMANGAT BANDUNG” . . . . . . . .

MASIH RELEVANKAH?


Jawab atas pertanyaan tsb diatas, adalah:


YA. . . . . SEMANGAT BANDUNG DEWASA INI MASIH RELEVAN . . .“



* * *


Formalnya, --- “Perang Dingin” sudah berakhir. Blok Warzawa yang terdiri dari negara-negara sosialis Eropah di bawah pimpinan Moskow telah bubar. Namun, negara-negara besar Barat yang tergabung dalam pakta militer Nato, masih menjalankan politik hegemoni dan dominasinya.


Negeri-negeri Dunia Ketiga, yang baru merdeka dan merupakan Negeri Yang Sedang Berkembang (Developing Nantions), amat memerlukan kerjasama dan persatuan di kalangan mereka menghadapi persaingan sengit di antara negara-negara Besar yang bertujuan membagi-bagi kembali dunia di antara mereka sendiri, mendominasi dunia yang pernah mereka kuasai sebelum Perang Dunia II.


* * *


Ketika wakil-wakil dari 29 negara, negeri, wilayah dan daerah benua Asia dan Afrika berkumpul di Bandung 57 tahun yang lalu (18 -24 April 1955), mereka, dengan itu, memproklamasikan, menyerukan dan mengumandangkan ke empat penjuru mata angin di dunia ini, bahwa mereka adalah suatu Kekuatan yang INDEPENDEN. Suatu kekuatan yang bertekad merebut dan menentukan haridepan mereka di tangan mereka sendiri. Asia-Afrika menyatakan bahwa perkembangan politik dunia sekarang ini tidak boleh lagi-lagi ditentukan oleh negara-negara besar yang selama ini dengan se-enaknya membagi-bagi dunia dalam daerah kekuasaan atau daerah pengaruh mereka.


* * *


Dari komposisi negara-negara dan negeri-negeri yang hadir di Konferensi Bandung, menonjol keistimewaan pertemuan yang diadakan itu . Yang berlansung di saat dunia terbagi dalam dua blok. Yaitu blok Barat dan blok Timur, blok Nato dan blok Warzawa, atau sering dikatakan blok kapitalis dan blok Komunis.


Konferensi Bandung dihadiri oleh negeri-negeri yang baru merdeka seperti Indonesia dan India, yang menempuh haluan sendiri, yang tidak berseukutu dengan salah satu blok di dunia ini. Namun juga ada negeri seperti Filipina dan Thailan yang bergabung dengan persekutuan militer Barat di Asia Tenggara. bernama SEATO ( South East Asia Treaty Organization, dimana juga ada AS, Australia, Selandia Baru, Inggris dan Perancis sebgai anggota). Juga ada peserta Konferensi Bandung lainnya seperti Pakistan, Irak,Turki dan Iran yang jadi anggota persekutuan militer Barat di Timur Tengah, bernama CENTO (Central Treaty Organization, atau sering juga di sebut Pakta Bagdad).


Yang menarik adalah bahwa persekutuan-persekutuan militer regional di benua Asia tsb diatas diprakarsai dan dikomandoi terutama oleh AS dan Inggris. Catat ini: Pakta-pakta militer tsb di bentuk PAS dalam tahun 1955. Di kala mulai diadakannya persiapan oleh lima negara Asia, yaitu Indonesia, India, Birma, Pakistan dan Ceylon, untuk diselenggaerakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Tujuan pakta-pakta militer Cento dan Seato adalah “membendung Komunisme”. Teristimewa Seato, ditujukan terhadap Republik Rakyat Tiongkok, dengan siapa mereka terlibat dalam perang Korea yang amat sengit.


Catat keunikan ini:

Selain hadirnya negara-negara Asia seperti Indonesia dan India yang menempuh politik luar negeri yang independen, serta hadirnya negara-negara Asia yang bersekutu dengan pakta militer Barat, -- JUGA HADIR REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK yang sosialis dipimpin oleh Partai Komunis, serta Republi SosialisVietnam (Vietnam Utara).


Disinilah, di Bandung, di Indonesia, untuk pertama kalinya dunia menyaksikan dalam sejarahnya, -- suatu pertemuan besar wakil-wakil bangsa-bangsa Asia-Afrika, meskipun hadirnya negeri-negeri yang bersekutu dengan Barat, dan hadirnya negeri-negeri Sosialis yang merupakan sekutu negeri-negeri Sosialis di Eropah, serta keberadaan negeri-negeri yang berhaluan independen ---- namun pertemuan Asia-Afrika ini , bisa berhasil menyuarakan satu politik yang sama. Yaitu politik yang melawan dominasi asing, melawan kolonialisme untuk kemerdekaan bangsa-bangsa, dan demi PERDAMAIAN DUNIA.


Para peserta Konferensi Bandung bisa berbuat demikian! Karena negeri-negeri yang dengan satu dan lain cara terkait dengan salah satu balok di dunia ini --- dibawah pengaruh Semangat Bandung yang mengutamakan solidaritas sesama bangsa Asia-Afrika serta semangat berjuang bersama demi mempertahankan kemerdekaan, --- akhirnya bisa mengambil kesimpulan bersama yang idependen dari pengaruh luar manapun.


Dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika tsb Presiden Sukarno dengan jelas menggambarkan apa yang lahir dan sedang berkembang di Bandung, yaitu suatu Asia Baru dan Afrika Baru . . . dan bahwa kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika harus bersatu.


* * *


Kekuatan baru solidaritas Asia-Afrika menegakkan suatu semangat dan pendirian sendiri, -- yang sampai dewasa ini MASIH RELEVAN. Bukan saja masih relevan, --- bahkan semakin diperlukan bagi negeri-negeri tsb untuk mempertahnkan dan memperkokoh kemerdekaan yang telah diperoleh melalui perjuangn yang susah-payah dan penuh pengorbanan serta berjangka waktu panjang.


Semangat dan pendirian itu, adalah pendirian yang MENOLAK DOMINASI dan HEGEMONI kekuatan asing, yang bersumber dari negara besar manapun, atau blok manapun. Wajar bahwa Semangat Bebas Berdiri Sendiri ini kemudian berkembang melahirkan gerakan besar ketika itu yang dikenal dengan nama NON ALIGNMENT atau NON BLOK. Suatu gerakan dan kekuatan politik yang secara lebih eksplisit menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang baru merdeka bertekad memainkan peranannya sendiri mengenai hal-hal besar dan penting yang menentukan nasib dunia selanjutnya. Pertama-tama mengenai masalah PERANG DAN DAMAI. Masalah kemerdekaan bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri.


Semangat itu adalah semangat BERDIKARI, bebas dari kolonialisme, neo-kolonialisme dan imperialisme. Bebas dari politik negara-negara besar supra yang sedang berhadap-hadapan, bersaing dan memperrebutkan hegemoni dunia.


* * *



Tuesday, April 17, 2012

Suatu PENGKHAYATAN PADA SAYOGO

Kolom IBRAHIM ISA

Selasa, 17 Arpil 2012

-----------------------------


Suatu PENGKHAYATAN PADA SAYOGO


Sayogo, . . . . . . Nama yang telah diabadikan dalam lembaga SAYOGO INSTITUE (SAINS, Bogor), meninggal dunia pada tanggal 17 Maret 2012 y.l.


Dunia ilmu , penelitian dan studi pertanian, dunia sejarawan negeri kita kehilangan salah seorang raksasa dalam kepedulian dan pengabdian beliau pada tanah air dan bangsa.


Ahmad Nashih Luthfi, seorang sejarawan muda, telah menulis sebuah buku penting berjudul “MELACAK SEJARAH PEMIKIRAN AGRARIA: SUMBANGAN PEMIKIRAN MAZHAB BOGOR”.


* * *


Sejarawan Lubabun Ni'am, menulis dalam 'resensi' mengenai buku yang ditulis Lutfhi, a.l sbb: “Saya menganggap buku ini penting tak hanya karena menuliskan tema yang sudah lama ditabukan oleh rezim Orde Baru, yakni wacana agraria. Lebih dari itu, pembaca buku kita memang seharusnya menaruh takzim kepada penulis yang tekun menghayati pemikiran cendekiawan besar dan berdedikasi”.



Buku setebal 348 halaman, yang merupakan buku ilmiah, memang tidak mudah untuk mencernakannya, apalagi bagi orang awam, seperti penulis artikel ini.


'Resensi' yang ditulis oleh sejarawan muda Lubabun Ni'am, seyogianya membantu dan mendorong yang berniat hendak membacanya.


* * *


'Resensi' Lubabun Ni'am, menurut pendapatnya sendiri, merupakan PENGKHAYATAN PADA SAYOGO. Di bawah ini dipublikasikan selengkapnyai: – – – (semua huruf cetak tebal dari saya, I.I.)


Lubabun Ni'am:

Penghayatan pada Sajogyo

17 April 2012

Judul buku: Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor

Penulis: Ahmad Nashih Luthfi ; Penerbit: Sajogyo Institute (Bogor) dan Pustaka Ifada (Jogjakarta)

Cetakan: Pertama, September 2011; Tebal: lii + 348 Halaman



Saya membaca buku ini dalam suasana batin yang tak keruan. Yang jelas, saya tidak bisa menyelesaikan pembacaan buku ini sekali duduk. Berhari-hari saya berkeras untuk terus meluangkan waktu membaca buku ini. Mengapa? Saya menganggap buku ini penting tak hanya karena menuliskan tema yang sudah lama ditabukan oleh rezim Orde Baru, yakni wacana agraria. Lebih dari itu, pembaca buku kita memang seharusnya menaruh takzim kepada penulis yang tekun menghayati pemikiran cendekiawan besar dan berdedikasi. Luthfi, demikian sejarawan muda yang menggarap buku ini biasa disapa, hanya satu di antaranya.



Lalu, siapakah cendekiawan yang ditahbiskan Luthfi sebagai “mazhab Bogor”?

Pertama, Sajogyo (sebelumnya sempat menyandang nama Kampto Utomo), yang dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia. Pada 1955, Sajogyo lulus sarjana Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kini Institut Pertanian Bogor (IPB)). Hanya berselang dua tahun, ia meraih gelar doktor di bawah promotor W.F. Wertheim. Kalau kita putar ingatan, sosok Sajogyo lekat dengan konsep “garis kemiskinan ala Sajogyo”. Konsep ini didasarkannya pada pendapatan “setara beras” per tahun (minimal 240 kilogram untuk penduduk desa, 369 kilogram untuk penduduk kota). Bagi Sajogyo, yang mempublikasikan konsep itu pertama kali pada 1977, penduduk miskin adalah mereka yang berpendapatan di bawah itu.



Kedua, Gunawan Wiradi, sang guru studi reforma agraria. Pada 2009, Gunawan Wiradi mendapat anugerah doktor honoris causa dari IPB dalam “bidang sosiologi pedesaan dengan kekhususan kajian agraria”. Bukunya yang berjudul Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (2000) memberi gambaran ihwal gagasan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Caranya, menurut Gunawan Wiradi, yakni landreform by laverage (didongkrak dari bawah, berdasarkan pemberdayaan petani), bukan by grace (hasil dari kemurahan hati negara). Di tengah eskalasi konflik agraria dan diiringi kecenderungan menuju negara autopilot seperti sekarang ini, gagasan Gunawan Wiradi tersebut kian tampak relevan.



Dua sosok itu, yang di lingkup perguruan tinggi dan aktivis sosial sudah tak asing lagi, dalam buku ini bukan hanya dapat ditelusuri mozaik pemikiran mereka, melainkan juga lintasan pemikiran yang digeluti masing-masing dalam lanskap Indonesia. Pada debat Indonesianisasi ilmu sosial, Luthfi berhasil memosisikan keduanya sebagai nama yang tidak boleh luput untuk dimasukkan dalam rangkaian rujukan. Pada titik itulah buku ini menjadi menonjol, sampai-sampai pembaca dirasa perlu untuk disuguhi tiga bab yang kontekstual sebagai penghantar.



Pertama, bagian yang melacak jauh nuansa pedesaan dalam rumah eksploitasi kolonial. Kedua, mengulas penetrasi Revolusi Hijau di Asia Tenggara yang disandingkan dengan proses transisi agraria di Indonesia. Ketiga, melacak garis kajian agraria Indonesia. Dari segi sistematika penulisan, hal ini jelas merupakan metode untuk membuktikan satu sisi penting dalam ranah keilmuan sosial Indonesia. Yakni, membuktikan kritik Kuntowijoyo (1999) yang menyebut bahwa “sejarah kesarjanaan Indonesia tak terakumulasi dan tak menjadi himpunan pengetahuan yang otoritatif” (hlm. 252) itu tak sepenuhnya dan tak selamanya sahih.



Bagi saya, pembuktian itu sebenarnya tak diuraikan cukup meyakinkan dalam buku ini. Bagian akhir buku untuk menjawab pertanyaan “adakah mazhab itu?” ditulis tak terlalu panjang, hanya dua belas halaman (hlm. 253–264). Kritik dari Kuntowijoyo pun sekadar diletakkan dalam sebuah catatan kaki. “Agar tak terjebak dalam karya filsafat, buku ini mencoba melihat konteks dan prosesnya,” demikian Luthfi (hlm. 20). Dia pun kemudian meminjam pandangan Clifford Geertz (hlm. 127): “… untuk memahami status science sosiologi pedesaan di Indonesia, pertama-tama bukan dengan melihat temuan-temuan teoretiknya, namun juga harus melihat apa yang dilakukan oleh para praktisinya terhadap ilmu tersebut”.



Sebelum menulis buku ini, yang merupakan tesis Luthfi di Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada, sebenarnya Luthfi juga menulis biografi Umar Kayam (Manusia Ulang-Alik, 2007) dan menyunting otobiografi Soediono M.P. Tjondronegoro (Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua, 2008) yang tak kalah menantang. Hanya saja, untuk karya ini, sebagai sebuah studi pemikiran (bukan semata biografi tokoh), pembacaan genealogis-epistemologis terkait pokok pemikiran Sajogyo dan Gunawan Wiradi seharusnya bisa diuraikan lebih abstraktif. Pelacakan terhadap konteks dan proses sebagai metodologi penulisan buku ini ternyata nyaris menutup sama sekali kritik terhadap pemikiran yang dikaji Luthfi.



Di luar hal itu, saya sepakat dengan kesan Gerry van Klinken bahwa buku ini “membuka mata kita pada cara lain untuk berilmu”. Pemikiran dan praksis pemikiran Sajogyo dan Gunawan Wiradi tertuang betul dalam masing-masing bab (V dan VI). Luthfi, bagi saya, lebih dari sekadar kebetulan ketika memutuskan untuk bergumul dalam pemikiran dua cendekiawan agraria tersebut pada momen kini. Pada 2009, ketika tesis ini kelar diuji, kecendekiaan Sajogyo dan Gunawan Wiradi boleh dikatakan sudah solid dan “selesai”, betapapun masih terus berkontribusi dalam beberapa aktivitas. Dedikasi seorang tokoh besar memang tidak akan pernah surut dan terhenti, kecuali kematian yang mendadak menghentikannya.



Tiba-tiba, seolah baru pagi hari kemarin (17 Maret 2012), kabar yang membikin batin tak keruan itu datang: Sajogyo telah tiada.

Maka dari itu, penghayatan pada buku ini mungkin sekaligus sebagai penghayatan yang sederhana atas kepergian Sajogyo. (*)

Resensi ini dimuat Jawa Pos, Minggu, 15 April 2012.



* * *


Monday, April 16, 2012

SUKMAWATI “TUNJUK HIDUNG” SUHARTO

Kolom IBRAHIM ISA

Senin, 16 April 2012

-----------------------------

SUKMAWATI “TUNJUK HIDUNG” SUHARTO


Mungkin disebabkan membaca berita kemarin bahwa pengadilan negeri Norwegia mulai hari ini mensidangkan kasus penembakan oleh Anders Behring Breivik yang menewaskan 77 orang (pemuda-pemudi pendukkung sosial demokrasi Norwegia ) dalam dua serangan brutal, Juli tahun lalu, --- --- Seorang mailist melemparkan kembali berita “Tempo, Desember 2011, mengenai:



PELUNCURAN BUKU SUKMAWATI sekitar “KUDETA MERANGKAK SUHARTO”



* * *



Dengan itu, peluncuran buku Sukmawati tsb menjadi “hangat” kembali. Paling tidak bagi mereka yang baru sekarang ini membaca berita peluncuran tsb. Kiranya tidak saja pembaca mailist tsb yang baru membaca berita peluncuran buku Sukmawati. Besar kemungkinan lebih banyak lagi yang belum mengetahui tentang peluncuran buku Sukmawati tsb.



Maka, baiklah diangkat lagi berita ini dengan menyiarkan kembali pemberitaan “Tempo” tsb dan juga artikel yang ditulis di Kolom Ibrahim Isa (13 Maret, 2012).



Mengenai Peristiwa 1965, aksi “G30S”, dan kemudian digulingkannya Presiden Sukarno oleh fihak militer dan pendukungnya, serta “naiknya” Jendral Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia, dan ditegakkannya rezim Orde Baru . . . . . serta pembunuhan masal yang berlangsung ketika itu terhadap warga yang tidak bersalah, tanpa proses peradilan apapun , --- itu semua ---- masih jauh dari cukup pemberitaan, dokumentasi, pembicaraan, seminar, studi dan penelitian. Meskipun sejak jatuhnya Presiden Suharto oleh gelombang pro-demokrasi dan REFORMASI, sudah semakin banyak jumlahnya.

Makin banyak yang ditulis, diriset, distudi dan dibicarakan secara luas di kalangan masyarakat maupun di kalangan akademik, itu makin baik. Semua itu demi bangsa ini secara baik dan mendalam belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri. Hal mana selama lebih dari 30 tahun berkuasanya rezim Orba, bukan saja dibengkalaikan, penulisan sejarah bangsa dijadikan monopoli mutlak penguasa dan sejarawan-sejarawannya. Di atas dasar monopoli ini penguasa telah merekayasa, memelintir dan memalsu sejarah bangsa. Suatu “kejahatan-ilmu” yang biasa dilakukan oleh penguasa lalim yang otoriter dan diktatorial. Suatu warisan yang mereka keloni dari Paul Joseph Goebels (1897-1945), Menteri Propaganda Nazi Jerman.



* * *



Apa yang dilakukan SUKMAWATI SUKARNOPUTRI, merupakan sumbangan penting dalam usaha PELURUSAN, katakanlah PENULISAN KEMBALI SEJARAH BANGSA yang sudah direkayasa penguasa itu.



  • * *

    SUKMAWATI SUKARNO MENGUNGKAP . . . . . SUHARTO Adalah SEORANG BRUTUS!!

    Sukmawati Sukarno menulis buku.

    * * *

    Masih dalam rangka mengingatkan kita semua tentang perlunya mengungkap
    sampai ke-akar-akarnya komplotan Jendral Suharto merebut kekuasaan
    negara dan pemerintahan dari Presiden Sukarno, dengan memanipulasi
    SUPERSEMAR, kiranya perlu dicatat bahwa,


    "MISTERI" SEKITAR SUPERSEMAR, TAK LAIN ADALAH SUATU REKAYASA KAMPUNGAN UNTUK MEMBIKIN PUBLIK JADI BINGUNG. REKAYASA SEKITAR SUPERSEMAR, DALANGNYA ADALAH SUHARTO CS UNTUK MENGALIHKAN PERHATIAN DARI MASALAHYANG HAKIKI SEKITAR SUPERSEMAR.

    TANYAKAN KASUS SEKITAR SUPERSEMAR KEPADA MABES TNI ANGKATAN DARAT.
    KARENA MEREKALAH YANG PALING TAHU "MISTERI" SEKITAR SUPERSEMAR.
    "MISTERI" SUPERSEMAR ADALAH SUATU KOMPLOTAN.

    SILAKAN BACA DUA JILID BUKU "REVOLUSI BELUM SELESAI",
    BERISI PIDATO-PIDATO PRESIDEN SUKARNO SETELAH 1 OKTOBER 1965
    YANG DI-BLACK OUT OLEH SUHARTO CS.

    DI SITU BUNG KARNO MENJELASKAN APA ITU SUPERSEMAR.
    SAMASEKALI BUKAN MISTERI!!*

    ** * **

    Di bawah ini dimuat sebuah ulasan yang bisa dibaca di situs -- ROSO
    DARAS -- 6 Maret, 2012.

    * * *

    KESAKSIAN SUKMAWATI SUKARNOPUTRI
    "CREEPING COUP D'ETAT MAYJEN SUHARTO"

    Akhirnya, salah satu putri Bung Karno, Sukmawati Sukarnoputri menulis buku.
    Judulnya "Creeping Coup d"Etat Mayjen Suharto". Ini adalah buku
    kesaksian seorang Sukmawati. Di cover dalam ia menambakan sub judul
    "Kesaksian Hari-hari Terakhir Bersama Bapak...". Secara tema, topik
    "kudeta merangkak" Suharto terhadap Sukarno, bukanlah topik baru. Akan
    tetapi, embel-embel kesaksian pribadi putri Putra Sang Fajar, menjadikan
    buku ini tetap menarik dikoleksi.

    Sejarawan Asvi Marwan Adam berkenan memberi kata pengantar di halaman
    depan. Judulnya, "Kudeta Merangkak Suharto dan Kudeta Merangkak MPRS".
    Asvi mencoba mempertegas situasi politik yang mengiringi jatuhnya Bung
    Karno. Bahwa bukan saja kudeta merangkak oleh Suharto semata, tetapi di
    sisi lain, MPRS pun melakukan upaya kudeta yang sama dalam upaya
    mengukuhkan Suharto menjadi Presiden.

    Saat peristiwa Gestok terjadi, Sukma menulis, "Saya adala saksi sejarah
    yang masih remaja, yang merasakan suasana dan dampak dari peristiwa yang
    sangat mengejutkan itu. Suatu peristiwa yang masih merupakan misteri
    penuh teka-teki dalam hidup saya...."

    Sukmawati juga mengisahkan, "Baru kali ini aku melihat ekspresi wajah Bapak
    seperti saat itu. Terlihat suatu 'shock' dan kesedihan dalam jiwanya.
    'Kasihan Bapak, ada apa ya?' batinku bertanya-tanya."

    Sukma lantas melukiskan ingatannya ke hari-hari mencekam di bulan
    Oktober tahun 1965. Ia menulis, pada tahun 1965, masih hangat dalam
    benakku, cerita film Hollywood berjudul 'Cleopatra" yang diperankan oleh
    aktris cantik Elizabeth Taylor. Dari cerita sejarah itu, aku belajar
    tentang nilai kesetiaan dan pengkhianatan. Bahwa seorang Kaisar Romawi
    Julius Caesar dikhianati oleh seorang Brutus, merupakan suatu tragedi
    yang mengerikan dan bisa terjadi... Pada kenyataanya, bahwa tragedi
    pengkhianatan terjadi juga pada abad ke-20, tanggal 1 Oktober 1965, di
    Indonesia".

    Ya, Suharo adalah seorang Brutus, dan Sukarno ibarat Julius Caesar.

    Point dari "kudeta merangkak" atau "kudeta bertahap" yang hendak diusung
    dalam kesaksian Sukmawati tak lain adalah empat tahap upaya penggulingan
    Sukarno.

    Tahap I,
    pada tanggal 1 Oktober 1965. Saat itulah terjadi tragedi
    penculikan dan pembunuhan beberapa jenderal TNI-AD oleh kelompok G-30-S
    yang dipmpin Letkol Untung dengan pasukan AD (berseragam
    Tjakrabirawa/pasukan pengawal presiden). Pada hari itu, juga melalui
    RRI, Letkol Untung mengumumkan tentang dibentuknya Dewan Revolusi, dan
    juga tentang Kabinet Dwikora demisioner. Padahal, hanya presidenlah yang
    berwenang mendemisionerkan kabinetnya.

    Tahap II
    , tanggal 12 Maret 1966. Letjen Suharto sebagai Pengemban
    Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) membubarkan PKI. Padahal,
    presiden dan pimpinan parpollah yang berwenang membubarkan partai politik.*

    Tahap III,
    tanggal 18 Maret 1966. Letjen Suharto meerintahkan
    penangkapan 16 Menteri Kabinet Dwikora, yang merupakan kelanjutan aksi
    mendemisionerkan Kabinet.

    Tahap IV
    , tanggal 7 Maret 1967. Pencabutan kekuasaan Presiden RI,
    Mandataris MPRS, Pangti ABRI, PBR, Dr Ir Sukarno oleh MPRS dengan Tap
    MPRS XXXIII/1967yang diketuai oleh Jenderal A.H. Nasution. Sedangkan Tap
    MPRS XXXIII/1967 tersebut jelas inkonstitusional karena hanya MPR hasil
    Pemilu yang berwenang memberhentikan Presiden. /(roso daras)

    * * *



    Sukmawati Luncurkan Buku Kudeta Merangkak

Diposkan oleh Diana AV, 16 Oct 2011

YOGYAKARTA:-Sukmawati Soekarnoputri, puteri keempat mendiang Bung Karno meluncurkan sebuah buku kesaksian sejarah “kudeta” sang ayah. Buku berjudul “Creeping Coup D’etat” merupakan catatan kesaksian Sukmawati terhadap apa yang terjadi setelah Gerakan 30 September (G 30 S) Partai Komunis Indonesia 1965.

Kegundahan pencarian kebenaran membuat saya menulis buku ini,” kata Sukmawati saat peluncuran bukunya di Ambarrukmo Plaza, Yogyakarta, Kamis 8 Desember 2011 malam.

Sukmawati mengatakan, kudeta terhadap Soekarno yang sesungguhnya bukanlah kudeta oleh Partai Komunis Indonesia tetapi oleh Dewan Jenderal yang dikendalikan oleh Mayor Jenderal Soeharto. Namun, Dewan Jenderal yang sesungguhnya justru dibantai oleh Soeharto.

Dia menegaskan, komandan kudeta pada waktu itu adalah Soeharto dengan alat tentara Angkatan Darat. Memang diakui ada sebab lain yaitu DN Aidit sebagai pemimpin PKI terkecoh dengan intrik internal Angkatan Darat. Selain itu juga keblingernya pimpinan PKI, lihainya Nikoli (neo kolonialisme/asing) dan oknum-oknum di pemerintahan.

Dijelaskan, kudeta merangkak dalam teori Cornell oleh Ben Anderson ada empat yaitu kudeta empat tahap. Pertama yang menjadi target presiden, kedua panglima, ketika orang yang dalam pemerintah dan partai pendukung.

Tetapi cara kudeta yang dilakukan terhadap Soekarno berbeda. Yaitu pertama jenderalnya dulu yang dibantai, kedua menteri-menteri (16 menteri) dalam kabinet Trikora ditangkap dan dipenjara tanpa proases pengadilan, lalu pembantaian partai pendukung dalam hal ini PKI. “Baru presidennya disingkirkan tidak boleh memerintah kembali,” kata Sukmawati.

Karena sang ayah dikudeta secara perlahan itu, lalu diperlakukan dengan tidak adil, Sukmawati tidak akan pernah memaafkan Soeharto.

Ketua Umum Partai Nasional Indonesia dan Marhainisme itu menyatakan terbitnya buku itu supaya ada perubahan paradikma stigma yang menyudutkan PKI dan PNI pada waktu itu yang dipersalahkan tanpa ada proses hukum.

Buku 160 halaman terbitan kerjasama Yayasan Bung Karno dan Media Pressindo ini mengulas secara detail dan kronologis kudeta yang dilakukan Soeharto terhadap Soekarno.

Bapak waktu itu tidak dekat dengan Soeharto, yang paling dekat adalah A Yani yang menjabat Panglima Angkatan Darat,” kata dia.

Kata pengantar dalam buku itu ditulis oleh Asvi Warman Adam, peneliti LIPI. Ia menuliskan, kudeta merangkak adalah rangkaian kegiatan untuk mengambil kursi kepresidenan secara bertahap sejak 1 Oktober 1965 hingga 1966.

Upaya pengambilan kekuasaan memang dilakukan kelompok Soeharto secara serius,” kata Asvi dalam kata pengantar buku itu.

Surat perintah sebelas Maret (Supersemar), tulis dia, bukan keluar secara mendadak atau bukan inisiatif mendadak M Jusuf, Basuki Rahmat dan Amir Machmud. Pada 9 Maret 1966 Soeharto melalui Jenderal Alamsyah telah mengutus dua penguasa yang dekat Bung Karno (Dasaad dan Hasyim Ning) ke Istana Bogor untuk membujuk beliau menyerahkan pemerintahan.

Tidak berhasil dibujuk, maka dilakukan penekanan terhadap Bung Karno, antara lain dengan demonstrasi besar-besaran mahasiswa pada 11 Maret 1966,” tulis Asvi.

MUH SYAIFULLAH



* * *



Saturday, April 14, 2012

Mantan Diktator JORGE VIDELA Ngaku

Kolom IBRAHIM ISA

Sabtu, 14 April 2012

-----------------------------


Mantan Diktator JORGE VIDELA Ngaku BUNUH 8.OOO Penentangnya, Yang “KIRI” dan Marxis.


Weekend” ini media mancanegara disuguhi berita yang bisa dianggap sebagai suatu “kejutan”. Karena yang dikabarkan itu adalah “pengakuan” Jorge Videla, seorang mantan diktator Argentina dan salah seorang pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan <”|crime againts humanity”>, pelanggar HAM paling besar di Argentina, pada tahun tujuh-puluhan. Sayangnya Videla memberikan pengkuan itu setelah Pengadilan Argentina memvonisnya hukuman SUMUR HIDUP, dan setelah ia mringkuk dalam penjara.


Namun, dibandingkan dengan situasi para jendral dan aparat Indonesia yang melakukan kejahatan serupa tetapi dalam skala dan taraf kebiadabannya melebihi apa yang terjadi di Argentina, --- maka “pengakuan” Videla itu suatu kemenangan bagi pejuang dan aktivis demokrasi dan HAM di Argentina dan di mancanegara.


Kejutan” yang dimaksud adalah -- “pengakuan” Jorge Videla, bahwa antara 1976 s/d 1983, selama 7 tahun, ia TELAH MEMBUNUH 8000 ORANG. Kantor Berita ANP yang melaporkan dari Buenos Aires, ibukota Argentina, memberitakan bahwa ini adalah pertama kalinya Videla bicara mengenai pembunuhan terhadap penentang-penentang rezimnya. 'Pengakuan” Videla tsb dilakukannya di dalam sebuah buku yang ditulis oleh jurnalis Argentina Ceferino Reato. Buku itu akan terbit hari ini. Menurut Videla mayat korban tsb dikubur (secara diam-diam) atau dimusnahkan untuk mecegah munculnya protes dari dalam dan luarnegeri. Menurut penerbit buku Cefferino Reato, wawancara dengan Videla berlangsung di penjara.


Jorge Rafael Videla, mantan Presiden Argentina, adalah orang paling bertanggungjawab atas persekusi dan penglikwidasian lawan-lawanpolitiknya, yang umumnya terdiri dari kekuatan demokratis/progresif Kiri, telah dijatuhi hukuman seumur hidup (22 Desember 2010).


* * *


(Berikut ini adalah uraian yang kutulis pada tanggal 05 April 2011, sebagai latar belakar peristiwa,

dipublikasikan lagi dengan sedikit pengeditan).


Dalam tahun-tahun 70-an dan 80-an abad lalu, Amerika Latin dilanda
persekusi dan teror-junta-militer Kanan. Aksi-aksi teror tsb dikordinasi
oleh suatu badan yang terkenal dengan nama “OPERATION CONDOR”, yaitu
aliansi junta-militer Kanan Amerika Latin. Gembong-gembongnya adalah
Jorge Rafael Videla dari Argentina dan Pinnochet dari Chili. Badan
intelejen AS, CIA langsung terlibat dalam operasi ini . Media Amerika
Latin mengungkapkan bahwa kaum teroris Kanan AL itu memperoleh latihan
militer dan intel di pusat pelatihan CIA di Fort Benning, AS. Tujuan
'Operation Condor' adalah berkordinasi dalam mempersekusi dan
melikwidasi kekuatan demokratis-progresif di masing-masing negeri ketika
itu.

“Operation Condor” telah mempersekusi, menteror sekitar 400.000
warganegara.Termasuk 50 sampai 60 ribu yang dibunuh. Empatpuluh ribu
orang yang 'hilang'. 'Operation Condor' atau 'Plan Condor' formalnya
didirikan untuk melawan 'subversi dari luar' terhadap Amerika Latin.
Dalam susana strategi 'Perang Dingin' AS, 'Operation Condor' dalam
praktek adalah suatu persekusi dan teror terhadap golongan rakyat yang
beraliran Kiri, progresif dan Marxis, meliputi pemimpin dan anggota
serikat buruh, anggota Partai Sosialis, cendekiawan, seniman atau
golongan lainnya.

* * *

Seiring dengan tegaknya demokrasi dan berdirinya pemerintahan yang
progresif, pemerintah Argentina telah menjatuhkan hukuman seumur hidup
terhadap Jorge Rafael Fidela, diktator Argentina tahun tujupuluhan abad
ke-20. Ini terjadi pada tanggal 22 Desember 2010. Selanjutnya negara
Uruguay dapat giliran!

Sedikit demi sedikit tetapi pasti, di Amerika Latin keadilan bagi
korban rezim-rezim junta-militer, berkembang terus. Jadi, memperjuangkan
dan mencapai sukses demi keadilan bagi para korban persekusi dan
pembunuhan, bukanlah suatu impian belaka; Bukanlah suatu ilusi!

Pada tanggal 31 Maret, 2011 yl, mantan jendral Eduardo Cabanillas, juga dijatuhi
hukuman seumur hidup oleh sebuah pengadilan di Buenos Aires, Argentina.
Berhubung keterlibatannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yg
dilakukannya selama kekuasaan junta-militer Kanan Videla (1976-1983).
Cabanillas ketika itu menjabat kepala pusat penyiksaan Automoteres
Ortletti. Tiga orang lainnya, anggota intel tentara, diganjar hukuman
antara 20 s/d 25 tahun. Di antara 300 orang yang disiksa di pusat
penyiksaan tsb sebagian terbesar dibunuh atau 'hilang'. Di antaranya
terdapat banyak aktivis prodem dari Uruguay, Peru, Bolivia dan Chili.


Dalam tanggapannya mengenai dijatuhinya hukuman berat oleh badan
pengadilan terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan, jurubicara 'Ibu-Ibu Plaza de Mayo'* menyatakan bahwa keputusan pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat di Argentina tsb sebagai “hari bersejarah yang gilang-gemilang”.

* * *

Belum lama ini, keluarga penyair Argentina, Juan Gelman, melalui perjuangan cukup panjang dan berliku-liku ( sedikitnya5 tahun ), dengan dukungan solidaritas kuat para aktivis demokrasi dan HAM banyak negeri, terutama Amerika Latin, --- akhirnya berhasil merebut keadilan bagi
keluarganya. Juan Gelman adalah penyair budayawan orang Argentina dan aktivis demokasi yang terpaksa menjadi orang buangan di Meksiko, karena persekusi dan teror rezim militer-Kanan Jorge Videla pada tahun-tahun 1976-1983. Dalam tahun 2007 Juan Gelman memperoleh Hadiah Cervantes, suatu penghargaan tertinggi untuk literatur Spanyol.


Penculikan, kemudian 'hilangnya' putra Juan Gelman, Marcelo Gelman, dan menantunya, Claudia Gelman sertra cucunya, --- itu terjadi di URUGUAY.

Uruguay, sebuah negara A.L ketika itu dikuasai oleh rezim militer-Kanan. URUGUAY terlibat dengan kasus penculikan, 'hilangnya'- 'disappearance – kemudian dibunuhnya wanita aktivis Caludia Gelman.

* * *

Menoleh ke situasi HAM di negeri kita sendiri Indonesia: --- Sejak kudeta Jendral Suharto disusul dengan ditegakkanya rezim Orba yang melakukan pelanggaran HAM terberat di Indonesia, -- sejak itu, kekuatan demokratis masyarakat Indonesia terlibat dalam perjuangan dan kegiatan
demi demokrasi, reformsi dan keadilan. Berangsur-angsur kesadaran dan keberanian mereka meningkat. Mereka yakin bahwa adalah tugas mereka terus berjuang demi terlaksananya keadilan di Indonesia.

Hasil penting telah dicapai dengan tergulingnya Presiden Suharto. Hak-hak demokratis yang penting, seperti hak dengan bebas menyatakan pendapat, menerbitkan, membangun organisasi masyarakat, berdemo dan hak mogok, juga telah dimulai sejak jatuhnya Suharto.

Tetapi masalah besar HAM, seperti kasus persekusi, teror dan pembantaian
warga tak bersalah, oleh aparat penguasa militer, atas tanggung jawab
Presiden Suharto, -- itu samasekali belum dijamah oleh lembaga
pengadilan maupun oleh pemerintah. Para korban Tragedi 1965, yang
berjumlah jutaan yang tak bersalah, masih belum memperoleh keadilan,
masih belum direhabilitasi nama baik dan hak-hak warganegaranya. Dan
pelaku kejahatan kemanusiaan tsb masih bebas. Malah sampai di bawah
pemerintah SBY yang hasl pemilu, masih banyak pelaku kejahatan HAM yang
menduduki jabatan penting lembaga negara, seperti di pemerintahan,
kehakiman dan badan legeslatif.


* * *

Apakah suatu ilusi memperjuangkan keadilan bagi korban persekusi dan pembunuhan masal sekitar Tragedi 1965?
Dimana telah jatuh korban sedikitnya sejuta lebih orang tak bersalah?

Perkembangan sejarah berkali-kali memberikan pelajaran, seperti yang terjadi di Amerika Latin dewasa ini, -- bahwa betapapun besarnya usaha dilakukan untuk membungkam kebenaran dan mencegah diberlakukannya keadilan, usha itu akhirnya gagal. Dan kebenaran terungkap serta
keadilan ditegakkan.

* * *

Suatu pengadilan inter-Amerika Latin sejak beberapa waktu memproses perkara yang diajukan kepengadilan oleh Juan Gelman dkk. Juan Gelman akhirnya memperoleh keadilan. Negara Uruguay dinyatakan bersalah dalam kasus pelanggaranHAM berat terhadap anggotga-anggota keluarga Juan Gelman. Negara Uruguay divonis bersalah telah melakukan pelanggaran HAM berat. Terlibat dalam
'penghilangan' – 'dissappearance' cucunya Juan Gellman, Macarena oleh aparat kekuasaan junta
militer Kanan di Argentina tahun tujuhpuluhan abad lalu. Duapuluh enam tahun lamanya Macarena hidup tak mengenal siapa identitas sesungguhnya. Negara Uruguay diharuskan membayar ganti-rugi sebanyak 300.000 dolar AS kepada Macarena Gelman.

Kali ini, keadilan bagi korban persekusi dan teror hunta militer Kanan Argentina, Juan Gelman dan cucunya Macarena, --- akhirnya menjadi kenyataan. Dan keadaan seperti itu, dimana pelaku pelanggaran Ham dan
demokrasi diseret ke pengadilan dan memperoleh keadilan, -- bukan hanya terjadi dengan kasus Juan Gelman dan keluarganya.

URUGUAY, adalah kasus pertama kalinya, yang sebagai negara, dinyatakan bersalah, oleh Pengadilan HAM Inter-Amerika, (Inter-American Court of Human Rights, IACHR), yanbermarkas di San Jose, Costa Rica. Uruguay dijatuhi hukuman karena ketgerligbatannya dengan kejahatan-kajahatan yang terjadi di selama periode kediktatoran junta-militer-Kanan dalam tahun-tahun 1973-1985.


* * *

Suatu pelajaran kongkrit dan teramat penting dari pengalaman sejarah
perjuangan untuk demokrasi dan HAM di Amerika Latin, ialah, -- syarat
paling fundamental bisanya mencapai kemenangan penting, seperti halnya
di banyak negeri di Amerika Latin dewasa ini, --- ialah telah berhasil
ditegakkannya suatu kekuasaan pemerintahan yang dalam kata-kata dan
perbuatan berbuat untuk hak-hak azasi manusia dan demokrasi.

Perkembangan peta politik di di Amerika Latin dewasa ini, membuktikan kebenaran logika sejarah itu. Terutama sejak gerakan perlawanan rakyat, yang a.l terdiri dari parpol-parpol Progresif-Kiri/Demokratis dan lsm-lsm melawan pemerintahan junta-militer-Kanan, berhasil mengakhiri
rezim-rezim junta-militer Kanan. Setidaknya sejak berdirinya pemerintahan pro-demokrasi di sembilan negeri Amrika Latin.

Seperti di --- Hugo Chaveznya-Venezuela, --- Lula da Silvanya-Brazil, --- M. Kirchnernya-Argentina --- M. Baceletnya-Chili--- Evo Moralesnya-Bolivia--- Careranya-Ecuador --- Orteganya-Nicaragua dan --- T Vazqueznya-URUGUAY.


  • * *

    Seiring dengan tegaknya demokrasi dan berdirinya pemerintahan yang
    progresif, pemerintah Argentina telah menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap Jorge Videla, diktator Argentina tahun tujupuluhan abad ke-20. Ini terjadi pada tanggal 22 Desember 2010. Sekarang negara Uruguay dapat giliran!

    Jadi, memperjuangkan dan mencapai sukses demi keadilan bagi para korbanpersekusi dan pembunuhan, bukanlah suatu impian belaka; Bukanlah suatu ilusi!

    * * *