Friday, July 27, 2012

Buku Terbaru Dr RIBKA TJIPTANING


IBRAHIM ISA
Jum'at, 27 Juli 2012
--------------------------

Buku Terbaru Dr RIBKA TJIPTANING ---
MENYUSURI JALAN KEHIDUPAN”

* * *

Salah seorang pejuang wanita Indonesia terkemuka untuk DEMOKRASI dan REFORMASI, Dr. Ribka Tjiptaning, kemarin, 26 Juli 2012, di Jakarta, meluncurkan buku terbarunya, sebuah (oto)biografi, dengan judul “MENYUSURI JALAN KEHIDUPAN”.

Tentang buku barunya itu, Tjiptaning, berkomentar: bahwa kisah perjalanan hidupnya jauh lebih berat dari kisah dalam film “Laskar Pelangi”.

Ulfa Ilyas, nara sumber tulisan dalam kolom ini, tentang peluncuran buku baru Dr Tjiptaning tsb melaporkan bahwa buku ini disusun berdasarkan wawancara dua orang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), AJ Susmana dan Kelik Ismunanto, dengan Mbak Ning.

Ratusan hadir dalam peluncuran buku terbaru Dr Tjiptaning. Peluncuran buku diselenggarakan oleh aktivis SDI (Srikandi Demokrasi Indonesia). Tampil sebagai pembedah buku: Asvi Warman Adam, Ikrar Nusa Bhakti, Ratna Sarumpaet, dan Zuhairi Misrawi.

Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut kasus itu mirip dengan apa yang
dialami oleh tokoh pejuang perempuan terkenal, SK Trimurti. “Ketika ditahan di Polda ia membawa bayinya untuk disusui. Sebelumnya, ia juga pernah ditangkap dalam keadaan hamil,” kata Asvi.

* * *

Menarik adalah komentar-komentar yang dikemukan oleh pembedah buku Ikrar Nusa Bhakti dan Zuhairi Misrawi (pemikir muda Nahdatul Ulama), mengenai “saling hubungan” antara tokoh pejuang wanita Dr. Ribka Tjiptaning, dengan PKI dan Komunisme. Ribka Tjiptaning sendiri beberapa tahun yang lalu meluncurkan bukunya yang merupakan gebrakan dan terobosan sekitar 'mitos PKI' , berjudul “AKU BANGGA JADI ANAK PKI”.

Mengenai mitos 'momok PKI', --- dan mengenai PKI, sebagai salah satu kekuatan politik nasional dalam perjuangan kemerdekaan serta perlu adanya persatuan nasional 'Nasakom' untuk mencapai Indonesia yang adil dan makmur, -- pidato-pidato Presiden Sukarno setelah terjadinya G30S, telah menjelaskannya. Sayang pidato-pidato Presiden Sukarno itu, ketika itu 'di black-out' oleh Jendral Suharto. Namun, setelah jatuhnya Presiden Suharto, berhasil diterbitkan dalam buku berjudul REVOLUSI BELUM SELESAI – Kumpulan Pidato Presiden Soekarno, 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara , Jilid 1 dan 2. Diterbitkannya pidato-pidato Presiden Sukarno tsb, adalah berkat prakarsa dn jerih-payah penyunting historikus-historikus muda Budi Setiyono dan Bonnie Tiryana.

* * *

Pada peluncuran buku Tjiptaning kemarin itu, Ikrar Nusa Bhakti, menyoroti soal tidak relevannya
tudingan-tudingan PKI sebagai atheis. Sebab, kata dia, tidak sedikit orang PKI yang juga beragama. Ia mencontohkan keberadaan PKI di Sumatera Barat.
Sedangkan Zuhairi Misrawi, yang juga pemikir muda Nahdlatul Ulama, menyebut Tjiptaning sebagai “Islam Kiri”. Pelabelan tersebut, kata Zuhairi, dikarenakan Tjiptaning merupakan seorang muslim yang berpihak pada rakyat.

Zuhairi juga menegaskan arti penting untuk memberi ruang bagi tumbuhnya berbagai ideologi dan aliran politik di Indonesia, termasuk komunisme. Baginya, komunisme juga punya pemikiran yang patut dihargai.

* * *

Di bawah ini salinan selengkapnya reportase yang dibuat dan disiarkan di mailis, oleh
Ulfa Ilyas, sbb:
Buku Tentang Kisah Hidup Dan Perjuangan Ribka Tjiptaning Diluncurkan --
Reportase oleh: Ulfa Ilyas
Kamis, 26 Juli 2012

Di tengah jaman yang nihil “politisi pejuang”, akhirnya muncul juga sosok
Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ia dijuluki “Banteng Perempuan” oleh
politisi senior PDI Perjuangan, Soetardjo Soerjogoeritno.

Mbak Ning—sapaan akrab Tjiptaning—punya andil besar dalam perjuangan
menggulikan nggulikan rezim Soeharto. Akibatnya, ia pun berkali-kali
menjadi penghuni jeruji rezim orde baru. Satu peristiwa yang tak
terlupakan: saat ia ditahan di Mapolda Metro Jaya bersama bayinya yang baru
berumur beberapa hari.

Sejarahwan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut kasus itu mirip dengan apa yang
dialami oleh tokoh pejuang perempuan terkenal, SK Trimurti. “Ketika ditahan
di Polda ia membawa bayinya untuk disusui. Sebelumnya, ia juga pernah
ditangkap dalam keadaan hamil,” kata Asvi.

Itulah seuntai kisah perjuangan Mbak Ning yang dirajut menjadi sebuah buku
berjudul “Menyusuri Jalan Perubahan”. Buku ini disusun berdasarkan
wawancara dua orang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), AJ Susmana dan
Kelik Ismunanto, dengan Mbak Ning di sebuah Rumah Makan di Tebet, Jakarta
Selatan.

Buku ini pula yang diluncurkan pada Kamis (26/7/2012) sore di bekas kantor
DPP PDI Perjuangan, di jalan Diponegoro No 58, Jakarta Pusat. Ratusan orang
hadir dalam acara peluncuran dan bedah buku tersebut.

Mbak Ning, yang saat ini menjabat sebagai anggota Komisi IX DPR RI ,
memberi sambutan mengenai buku baru tentang dirinya ini. Katanya, kisah
perjalanan hidupnya jauh lebih berat dari kisah dalam film “Laskar
Pelangi”. Untuk diketahui, sebagian kisah hidupnya itu sudah dipahatkan di
buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI”.

Acara peluncuran buku ini diorganisir oleh aktivis SDI (Srikandi Demokrasi
Indonesia). Sejumlah tokoh tampil sebagai pembedah buku ini, yaitu Asvi
Warman Adam, Ikrar Nusa Bhakti, Ratna Sarumpaet, dan Zuhairi Misrawi.

Asvi banyak menyoroti soal peristiwa 27 Juli 1996. Maklum, sehari lagi
peringatan peristiwa 27 Juli 1996 ke-16. Asvi membeberkan, fakta
menunjukkan bahwa aparat keamanan berperan dalam penyerbuan kantor DPP PDI
saat itu.

Sedangkan Ikrar Nusa Bhakti, menyoroti soal tidak relevannya
tudingan-tudingan PKI sebagai atheis. Sebab, kata dia, tidak sedikit orang
PKI yang juga beragama. Ia mencontohkan keberadaan PKI di Sumatera Barat.

Sedangkan Zuhairi Misrawi, yang juga pemikir muda Nahdlatul Ulama, menyebut
Tjiptaning sebagai “Islam Kiri”. Pelabelan tersebut, kata Zuhairi,
dikarenakan Tjiptaning merupakan seorang muslim yang berpihak pada rakyat.

Zuhairi juga menegaskan arti penting untuk memberi ruang bagi tumbuhnya
berbagai ideologi dan aliran politik di Indonesia, termasuk komunisme.
Baginya, komunisme juga punya pemikiran yang patut dihargai.

Sementara Ratna Sarumpaet lebih banyak menyoroti suasana Pilkada DKI dan
berbagai persoalan bangsa. Ia berbicara tentang pentingnya mendorong agenda
perubahan di negeri ini.

Buku “Menyusuri Jalan Perubahan” berisi 293 halaman. Selain merekam jejak
hidup dan perjuangan Ribka Tjiptaning, buku ini juga mengulas berbagai
persoalan bangsa saat ini. Salah satunya adalah soal praktek
neokolonialisme saat ini.

Selain dihadiri oleh anggota PDI Perjuangan dan sahabat-sahabat Tjiptaning,
acara peluncuran buku ini juga dihadiri oleh sejumlah warga tuna-rungu yang
setia mendukung Jokowi-Ahok dalam pilkada DKI Jakarta.

* * *



Monday, July 23, 2012

HASIL PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAM YANG BERAT PERISTIWA 1965-1966



*IBRAHIM ISA
Senin, 23 Juli 2012
--------------------------

SEKITAR SIKAP KOMNASHAM TENTANG HASIL PENYELIDIKAN
PELANGGARAN HAM YANG BERAT PERISTIWA 1965-1966

---------------------------------------------------------------------------------


Teman-teman KOMNASHAM y.b.,

Terima kasih atas kiriman dokumen penting HAM, tertanggal 23 juli 2012.

Saya  baru baca sekali teks SIKAP KOMNASHAN atas Peristiwa 1965.
Perlu waktu lebih banyak lagi untuk mempelajarinya secara mendalam.

Dokumen yang dikeluarkan oleh KOMNASHAM tertanggal 23 Juli 2012,
adalah suatu hasil karya yang patut dihargai.

Sikap KOMNASHAM yang berjudul  PERNYATAAN KOMNASHAM TENTANG HASIL 
PENYELIDIKAN PELANGGARAN
HAM YANG BERAT PERISTIWA 165-1966, sudah lama dinantikan oleh masyrakat, 
terutama oleh
para korban serta keluarga korban, demikian  JUGA oleh semua pencinta 
keadilan, kebenaran dan HAM
di seluruh Indonesia, bahkan oleh pemeduli, penggiat dan pencinta  HAM 
di seluruh dunia.

Masyarakat  pencinta HAM pasti menyambut  baik hasil karya KOMNASHAM ini.

Masyarakat pemeduli HAM menantikan tindak-lanjut dari hasil penjelidikan 
KOMNASHAM ATAS PELANGGARAN HAM
BERAT  SEKITAR PERISTIWA 1965.

Maka adalah tugas lembaga judikatif tertinggi Republik Indonesia untuk 
segera menindak lanjuti sikap KOMNASHAM tsb.

Dokumen penting KOMANSHAM tertanggal 23 Juli  2012, perlu 
disosialisasikan seluas-luasnya dan dijadikan
awal kegiatan baru pencinta dan aktivis HAM agar sikap KOMNASHAM tidak 
tinggal pernyataan di atas kertas sema-mata.



Amsterdam, 23 Juli 2012

IbrahimI  Isa
Publisis,
Sektaris Stichting Wertheim, Amsterdam.

*

LAMPIRAN
---------

23-7-2012 15:47, 
Kawan kawan 
Sikap Komnas HAM atas Peristiwa 1965



  Teman2 Jurnalis Yth.

  Berikut saya kirimkan Executive Summary Laporan Penyelidikan
  Pelanggaran HAM Berat Peristiwa 1965 - 1966

  Hormat sy, 
Bhakti Eko N. Komnas HAM


Sunday, July 22, 2012

Pehatikan Bagaimana TV BELANDA Mengenangkan (21 Juli 1947)


Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 22 Juli 2012
----------------------------

Pehatikan Bagaimana TV BELANDA
Mengenangkan (21 Juli 1947): “NEDERLAND VALT AAN”
BELANDA MENGGEMPUR . . . . . REPUBLIK INDONESIA

* * *

Barangkali tidak terlalu diperhatikan di media Indonesia. Kemarin itu persis -- 65 TAHUN YG LALU (21 Juli 1947) dilancarkannya AGRESI PERTAMA BELANDA terhadap Republik Indonesia. Sangat interesan menyaksikan kemarin, sebuah reportase mengenai peristiwa itu di Stasiun TV Belanda Nederland 2. Mereka mentayangkan siaran berjudul NEDERLAND VALT AAN”, artinya “Nederland Menggempur”, menyerang. Yang diserang 65 tahun yang lalu itu, adalah Republik Indonesia yang baru berumur 2 tahun lebih.

Mikro Gids, sebuah mingguan mengenai acara TV, 27 Juli 2012, Nr 29, memberitakan dihalaman 14, a.l : “Tepat 65 tahun yang lalu telah dilancarkan awal aksi-polisi (“politionele acties”) oleh Nederland terhadap Indonesia. Acara “Nederland valt aan”, adalah sebuah rekonstruksi tentang kejadian hari pertama. Luar biasa, program yang hanya disiarkan sekali ini saja (jam 20.50 – 22.00), karya produser TV Ad van Liempt –---- ditayangkan sebagai suatu “breaking news”. Seolah-olah peristiwa itu sedang terjadi. Begitulah dipersembahkan suatu acara sekitar peristiwa “Nederland Valt Aan” itu se-olah-olah sedang berlangsung.

Ini hasil penggunaan teknik mutakhir dalam perkembangan pembuatan film-film. A.l ditayangkan juga laporan reporter Belanda di Jakarta Fons van Westerloo mengenai peristiwa tsb. Meski program TV itu hasil penggunaan teknik, untuk mentayangkan reportase itu sebagai suatu 'breaking news”, tepi sebagian besar kejadian dan fakta-faktanya bukan hasil suatu rekayasa.

Sayang, tidak sejak semula aku sempat melihat acara TV Nederland 2 kemarin itu. Barangkali sudah dimulai seperempat jam, baru aku buka TV. Meski agak terlambat, tapi cukup yang bisa dilihat untuk memberikan kesan.

* * *

Kesan pertama ialah bahwa, di kalangan Belanda tidak satu pendapatnya mengenai serangan terhadap Republik Indonesia. Dikemukakan bahwa yang berkeras kepala hendak melancarkan perang menghancurkan RI adalah pimpinan parpol KVP, Katholieke Volks Partij pimpinan Romme yang berkoalisi dengan PvdA dalam satu pemerintahan yang dikepalai oleh perdana menteri Willem Drees.

Van Mook, Letnan-Jendral Gubernur Hindia Belanda dan mengepalai NICA ketika itu untuk mengembalikan otoritas pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dikatakan tidak setuju dengan tindakan melancarkan perang terhadap RI. Diberitakan juga bahwa lebih seribu anggota PvdA keluar dari partai, sebagai protes keras terhadap pimpinan PvdA yang akhirnya beranggung jawab mengenai dilancarkannya perang terhadap Indonesia itu.

Sedangkan yang jelas mempersiapkan dilancarkannya agresi pertama Belanda, demikian diberitakan, adalah Jendral Spoor, Komandan kekuatan militer Belanda di Indonesia ketika itu. Dikatakan bahwa Jendral Spoor mengancam PM Beel akan mengundurkan diri bila Republik Indonesia tidak diserang dan dihancurkan. Dikatakan juga bahwa Jendral Spoor sudah punya rencana kongkrit meneruskan aksi militer 'doorstoot naar Jogya” untuk menghancurkan Republik Indonesia samasekali dan menangkap semua anggota pemerintahan Presiden Sukarno. Rencana Jendral Spoor itu diberi nama “Aktie Amsterdam”. Begitulah ceritanya.


Dari segi media dikutip editorial majalah “Vrij Nedeland” yang memprotes keras dilancarkanya perang terhadap Indonesia. Editornya menulis bahwa lagu kebangsan Belanda “Wilhelmus” sudah dinodai dengan dilancarkannya perang oleh Belanda terhadap Indonesia. Tapi pers Belanda lainnya, seperti de Volkskrant, Het Vrije Volk, dan s.k. Trouw dengan patuh mengikuti garis resmi pemerintah yang akhirnya memberikan lampu hijau kepada Van Mook untuk melancarkan agresi besar-besaran pertama terhadap Republik Indonesia.

* * *

Dari acara TV Nederland 2, “Nederland Valt Aan” semakin jelas, bahwa sampai saat ini di kalangan orang-orang Belanda, bahkan di kalangan yang berkuasa dan berwewenang, “masa lampau di Hindia Belanda” itu masih tetap merupakan “dilema” dan “trauma” bahkan “problim” (bagi mereka sendiri) . Mereka 'belum selesai' dengan 'masa lampau' mereka sendiri, dalam kaitannya dengan masalah Indonesia. Sampai dewasa ini agresi Belanda tsb oleh kalangan resmi masih disebut “politionele aktie”. Ini tentu atas dasar pandangan mereka, bahwa ketika itu Hindia Belanda masih koloni Belanda, dan bahwa kemerdekaan Indonesia itu baru terjadi ketika Den Haag “menyerahkan kedaulatan” atas Indonesia kepada Republik Indonsia Serikat, 29 Desember 1949, sesuai persetujuan Konferensi Meja Bundar antara Nederland dan Indonesia.

* * *

Sebelumnya, yaitu pada hari Senin 16 Juli, s.k. Belanda, de Volkskrant, memuat sebuah wawancara dengan produser Ad van Liempt yang membuat film 'breaking news' tsb. Dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan cara hubungan langsung, suatu teknik baru masa kini, Ad van Liempt membuat porgram tv. . . . yang seolah-olah itu dibuat pada tahun 1947. Yang jadi fokus ialah “aksi-polisi” pertama di Indonesia. Di situ diajukan pertanyaan-pertaqnyaan yang (sesungguhnya) ketika itu tidak ada (orang Belanda) yang berani mengajukannya.

Judul wawancara “de Volkskrant” tertanggal 16 Juli itu, adalah PERNYATAAN PERANG. Aneh juga media Belanda ini. Diasatu fihak mereka masih gunakan nama “politionele actie” di lain segi bikin wawancara dengan judul PERNYATAAN PERANG. Pembaca kan bisa tanya: Yang mana yang benar nih, “aksi-kepolisian” ataukah “pernyataan perang”. Ini memang dilema penguasa Belanda (ingat bukan dilema SEMUA orang Belanda. Tidak sedikit orang Belanda yang jerniah fikiran dan hati nuraninya, menyatakan bahwa tindakan pemerintah Belanda 21 Juli 1947 di Indonesia itu adalah tindakan perang Belanda untuk menghancurkan Republik Indonsia)

Ad van Liempt, produser program TV tsb, menyatakan dengan keheran-heranan: Bagaimana bisa terjadi (Belanda) melakukan tindakan (perang terhadap Reopublik Indonesia) dalam waktu begitu pendek setelah Belanda sendiri dibebaskan (dari pendudukan Jerman)? Tahukah anda siapa yang bisa menjawab pertanyaan (saya) itu? Tanya Ad van Liempt!

Ad van Liempt menjawabnya sendiri:
Elite politik Belanda demikian terasingnya dari kenyataan dunia ketika itu, sampai-sampai mereka samasekali tak tahu-menahu apa yang sedang berkembang di dunia dewasa itu. Fikiran mereka itu (elite Nederland) mandek di tahun tigapuluhan abad lalu. Serbuan Jepang di Asia telah mengakhiri kekuasaan Barat di seluruh Asia. Belanda samasekali tidak menyadari perkembangan ini. Kita mau mengakui Republik Indonesia, tapi dalam suatu hubungan kenegaraan semacam ikatan uni.

Bagaimana hal itu bisa terjadi? (Karena) di sana (Indonesia) sedang berlangsung REVOLUSI. Tendang keluar orang-orang Putih itu dari tanah air kita!, kata mereka.

Lalu Ad van Liempt memberikan anjuran yang menujukkan bahwa ADA orang-orang Belanda yang fikirannya masih atau sudah melalui suatu proses pencerahan: INTISARI PENULISAN SEJARAH, kata Ad van Liempt, ialah, MEMANDANG dengan MATA KETIKA ITU, tidak dengan mata kita sendiri ! Lain kali kita bisa kembali ke wawancara oleh Ad van Liempt yang mudah-mudahan bisa memberikan bantuan pencerahan kepada pandangan kolonial kolot yang masih menguasai kalangan elite dan penguasa di Beland hingga dewasa ini.



* * *

Dari sini pula bisa dinyatakan bahwa saran tiga lembaga penelitian sejarah Belanda baru-baru ini untuk mengadakan riset dan studi bersama dengan para ilmuwan Indonesia mengenai sejarah hubungan Indonesia – Belanda, khususnya mengenai periode 1945-1950, SEPENUHNYA RELEVAN DAN BIJAKSANA.

Lalu . . . . mengapa saran baik itu tidak segera dimulai saja? Ya tokh? Kutanyakan sekarang hal ini dengan hormat kepada Ibu Dutabesar Indonesia, di KBRI di Den Haag?? Mengapa tidak segera dimulai melaksanakan saran yang positif dari fihak Belanda itu??

Bukankah ide dan rencna itu seyogianya segera ditangani oleh yang berwewenang di Belanda dan DI INDONESIA??



* * *


Wednesday, July 18, 2012

BUKTI-BUKTI (baru . . . ?) “KERUSUHAN MEI 1998” REKAYASA PETINGGI-PETINGGI MILITER


Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 18 Juli 2012
-----------------------------

BUKTI-BUKTI (baru . . . ?) “KERUSUHAN MEI 1998”
REKAYASA PETINGGI-PETINGGI MILITER

Hari ini bisa dibaca siaran mailist di internet oleh Al Faqir Ilmi (nama pena di mailist) berita baru sekitar KERUSUHAN MEI 1998 yang berakhir dengan tergulingnya Presiden Suharto dan naiknyha BJ Habibie jadi Presiden Republik Indonesia yang ke-3 sesudah Sukarno dan Suharto. Judul siaran Al Faqir Ilmi sbb: < GELORA45>

Majalah 'AsiaWeeks' Ungkap Dalang Kerusuhan Mei 1998 (Terjemahan)

* * *

Berita tsb terlalu panjang untuk disiarkan kembali dalam kolom ini. Tetapi penting untuk dibaca bagi yang hendak mengetahui lebih lanjut latar belakar KERUSUHAN MEI 1998 yang telah menelan korban: Setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.

Menurut analisis yang bersumber majalah AS “Asiaweek” tsb tudingan siapa DALANG kerusuhan adalah pada Jendral Prabowo Subianto, Komandan Kostrad saat itu, mantan menantu Presiden Suharto. Tujuannya adalah perebutan kekuasaan negara. Tapi Prabowo membantah keras, dan balik menudur lainnya. Sasran aksi Mei 1998 jelas, adalah Presiden Suharto yang harus digulingkan. Siapa dalangnya? Habibie tuduh Wiranto. Wiranto tuduh Habibie dan juga Probowo. Prabowo diadili. Lalu ia 'mengungsi” ke Jordania. Kembali lagi ke Indonesia Prabowo mendirikan parpol Gerindra. Wiranto bebas terus meski bertanggungjawb atas pembantaian rakyat Timor Leste menjelang dan setelah referendum di Timor Leste. Jendral Wiranto, lebih dulu dari Prabowo, membentuk parpol dan berambisi lewat pemilu jadi PRESIDEN, tapi sebegitu jauh belum berhasil.

Rekayasa Mei 1998 berhasil di lihat dari tujuan kalangan militer tertentu. Suharto terguling. BJ Habibie naik panggung kekuasaan.

Tapi Suharto “selamat”. Ia tidak dibunuh, juga tidak “digantung” seperti tuntutan gerakan massa luas menuntut Reformasi dan Demokratisasi. Jendral Wiranto menjamin keslamatan keluarga Cendana. Pengadilan yang menuntut kasus korupsi mantan Pressiden Suharto, hanyalah “pengadilan icak-icak (rekayasa)” semata. Hanya untuk show dan dengan sendirinya justru untuk membebaskan Suharto dari segala tuduhan.

Apakah peranan militer sudah berakhir di Indonesia? Lihat saja, siapa presiden RI dewasa ini? SBY adalah seorang Jendral Angkatan Darat yang jadi Presiden RI lewat kendaraan politik parpol Partai Demokrasi!

Sejak Kolonel Nasution berusaha membubarkan DPR dan berkuasa melalui aksi kup “Peristiwa 17 Oktober 1952”, kemudian peristiwa “Pembangkangan petinggi AD di bawah Kolonel Lubis”, lalu pembereontakan separatis PRRI/Permesta, dibawah kolonel-kolonel Ahmad Husein, Barlian, Kawilarang dan Sumual, peranan militer dalam kekuasaan negara bukan berkurang, tetapi tambah membesar. Teristimwa kekuasaannya di bidang ekonomi dan finans semakin meluas.

Puncaknya adalah KUDETA MERANGKAK Jendral Suharto, melalui penghancuran G30S (yang juga direka oleh fihak militer). Jendral Suharto-lah, dengan menggunakan wewenangnya sebagai komandan Kostrad, yang berhasil merebut kekuasaan pemerintahan Presiden Sukarno dan mendudukkan dirinya sendiri menjadi PRESIDEN RI yang ke-5.

Menurut Barack Obama dalam bukuya “Audicity of Hope”, diguligkannya Presiden Sukarno adalah karena AS tidak suka pada politik (independen) Presiden Sukarno, lalu membina perwira-perwira TNI tertentu melalui CIA, yang kemudian melakukan perebutan kekuasaan di Indonesia dan menegakkan rezim Orde Baru.

* * *

Tercatat dalam sejarah bangsa dan sejarah Republik Indonesia, pegantian kekuasaan dari Presiden Sukarno ke Jendral Suharto adalah penggantian kekuasaan RI YANG PALING BERDARAH, paling MELANGGAR HAM, paling biadab dan paling kejam dan paling banyak minta korban: Sekitar 3 juta warga yang tidak bersalah dibunuh ekstra judisial!

Korban yang kolosal dan menyeluruh, ialah diubahnya negara RI Proklamasi menjadi rezim Orde Baru, yang otoriter, sewenang-wenang dan menghapuskan hak-hak demokrasi bagi warga negara. Yang menggadaikan kekayaan bumi, air dan alam INDONESIA pada modal asing dan menjadikan Indonesia embel-embel kekuasaan kaum modal asing. Menyerahkan bangsa dan negeri kita kepada kekuasaan mondial oligarki NEO-LIBERLISME.

Di bawah ini dikutip bagian awal dari news-item yang disiarkan oleh Al Faqir Ilmi, Narasumbernya “Asiaweek”. Bagi yang peduli baik untuk membaca seluruhnya. (Silakan akses sendiri di internet hari ini).

* * *

ASIAWEEK INVESTIGATION “TEN DAYS THAT SHOOK INDONESIA”

Oleh -- Susan Berfield dan De Dewilloveard

Mulanya, 4 Perwira Polisi Hilang Misterius

Bulan Mei 1998, sejarah dunia mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak
yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa,
penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan brutal. Reformasi
terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi
di balik debu. Laporan investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard dari
Asiaweek mengungkap, kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya
menyimpulkan, kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana
rapi. Berikut intisarinya.

SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia.” Begitu majalah berita terkemuka
di Asia itu menyebut huru-hara yang menimpa Indonesia selama Mei lalu.
Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu
berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati
oleh oknum aparat keamanan.

Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan itu membakar amarah massa. Di
tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina dilancarkan. Api pun
melahap Jakarta. Warga keturunan Cina berlarian meninggalkan ibu kota.
Jakarta tidak ubahnya sebuah “zona perang”. Ujung-ujungnya, Presiden
Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum
jelas. 

Sampai detik terjadinya kerusuhan “batu merajam bangunan mewah dan api
melahap mobil-mobil“, rakyat semula banyak mengira itu sebuah
spontanitas massa. Massa yang marah terhadap penguasa yang terlalu lama
memerintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian brutal?

Sejarah Indonesia memang beberapa kali mencatat noda hitam aksi
kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak pernah diidentifikasi
secara jelas. Itulah sosok-sosok “pemimpin bayangan”. Siapa mereka,
tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang
superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya.

Kali ini, insiden Trisakti itu memberikan gambaran riil. Dua orang oknum
polisi diajukan ke pengadilan militer sebagai pesakitan. Tetapi,
benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian rakyat Indonesia percaya
bahwa para terdakwa itu hanya “kambing hitam”. Pengadilan militer itu
hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer yang lebih
besar. 

Hasil investigasi sebulan penuh Asiaweek “termasuk wawancara dengan
beberapa perwira militer, pengacara, aktivis hak asasi manusia (HAM),
para korban, dan saksi mata” menyimpulkan, penembakan Trisakti,
kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para wanita Cina
itu benar-benar sudah direncanakan.

Di antara bukti yang didapat selama investigasi itu adalah hilangnya
empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya beberapa hari sebelum
penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil dari tubuh korban
Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian.

Belum cukup di situ. Bukti lain menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang
kini dalam persembunyian, mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk
memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa
untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus komunikasi beberapa
markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei
lalu. 

Pertanyaannya, bila kerusuhan itu sengaja digerakkan, tentu pasti ada
dalangnya. Identitas si dalang ini memang tidak pernah gamblang. Namun,
salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan serangkaian aksi
kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo Subianto, yang
saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan menilai,
keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas.

Namun, Fadli Zon “aktivis muslim yang dekat dengan Prabowo“ menilai,
sang letjen itu hanyalah korban “pembunuhan karakter”. Beberapa hari
setelah kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat dalam kerusuhan itu.
Lewat perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap diwawancarai Asiaweek.
Tetapi, sampai kini janji wawancara itu tidak pernah terwujud.

Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan yang mendukung tudingan itu.
Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok ambisius. Dia memiliki berbagai
sarana untuk menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya, dia juga mampu
memerintahkan beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah,
termasuk beberapa oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago
menyulut kerusuhan.

Para preman, gangster, oknum paramiliter, dan beberapa perkumpulan
pemuda melaksanakan saja apa yang dia perintahkan. Beberapa di
antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah mapan. Sumber-sumber
militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain dalam kerusuhan di
Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang dikepalai para
preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu kota.

Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa satu-satunya cara bisa memerintah
Indonesia adalah dengan tipu muslihat militer. Dengan cara itu, dia
yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya meraih kekuasaan dari
Soekarno” ujar salah seorang perwira militer senior.

Dia menjelaskan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu dengan
harapan rivalnya, (saat itu) KSAD Jenderal TNI Wiranto, tidak mampu
memulihkan keadaan. Harapan Prabowo adalah Soeharto, yang ketika
kerusuhan terjadi berada di Mesir, memberlakukan undang-undang darurat.
Sebagai panglima Kostrad, satuan inti siap tempur, Prabowo sangat yakin
dialah yang bisa mengendalikan situasi. Inilah teorinya.

Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu untuk
menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo mampu mengendalikan situasi yang
tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? 

Prabowo kehilangan pelindung sekaligus komandonya. Negaranya menanggung
kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya 1.188 orang tewas, sekitar
468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes dimakan api, serta
tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.

Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini terjadi? Mari kita telusuri sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota itu.

* * *

Di sini diakhiri kutipan: Silakan akses sendiri berita hari ini yang dilemparkan ke mailist internet oleh mailist AL FAQIR Ilmy.

* * *

Tuesday, July 17, 2012

EDISI INDONESIA Buku HARRY POEZE “TAN MALAKA . . . . ”


Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 17 Juli 2012
-----------------------------

EDISI INDONESIA Buku HARRY POEZE
TAN MALAKA . . . . ”

* * *

Beberapa waktu yang lalu, belum lama, gembira sekali aku bertemu lagi dengan sahabat-karibku Harry Poeze. Kutanyakan kepadanya perkembangan baru mengenai penerbitan edisi Indonesia bukunya berjudul :
“Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949″
Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949)”.

Harry Poeze menyampaikan kepadaku, bahwa, edisi Indonesia dari bukunya itu, akan terbit dalam enam jilid. Dalam tahun 2008 telah diluncurkan di Jakarta, jilid 1, di bawah judul Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia. Sementara itu telah terbit tiga jilid,

Jilid 1: Agustus 1945- Maret 1946 –
Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947 (2009),
Jilid 3, Maret 1947 – Agustus 1948 (2010)

Bab mengenai Madiun sudah terbit dalam tahun 2011 sebagai: Madiun 1948; PKI bergerak”.
Dalam tahun ini akan terbit Jilid 4, a.l. sekitar eksekusinya dan tanda-tanya (yang saya berikan solusinya), mengenai kematiannya.
Demikianlah informasi yang kuterima dua pekan y.l dari Harry Poeze sekitar penerbitan edisi Indonesia dari bukunya tentang Tan Malaka.

Sampai hari ini tak habis-habisnya rasa kagum, hormat dan penghargaanku pada HARRY POEZE yang telah menggunakan PULUHAN TAHUN untuk melakukan studi mengenai salah seorang pemimpin nasionnal Indonesia TAN MALAKA. Sebegitu jauh belum kita jumpai ada historikus asing lainnya yang begitu rajin dan tekun dalam kepeduliannya terhadap SEJARAH BANGSA KITA, seperti yang dilakukan oleh Harry Poeze.

Untuk 'refreshing' sekitar terbitnya buku Harry Poeze tentang Tan Malaka, di bawah ini disiarkan ulang tanggapanku sekitar buku Harry Poeze tsb, a.l seperti di bawah ini:

* * *


TAN MALAKA Oleh HARRY A. POEZE
Tanggal 08 Juni, 2007 pada kesempatan Rapat Tahunan KITLV, di Leiden, diluncurkan karya (luar biasa)
Dr Harry A. Poeze, kenalan baikku, berjudul:
< VERGUISD EN VERGETEN>
TAN MALAKA, De Linkse Beweging En De Indonesische Revolutie, 1945-
1949 --
Drie delen in cassette, XVII+VI+VI+2194 HLM

T
AN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.

Perhatian terhadap tokoh Tan Malaka cukup besar di kalangan orang-orang Indonesia, apalagi para
pencinta sejarah dan sejarawannya. Buku Harry Poeze itu pasti akan disambut dengan rasa syukur, karena
besarnya perhatian dan kepedulian pakar Belanda seperti Harry A. Poeze terhadap masalah sejarah bangsa Indonesia.


Pada presentasi buku dipamerkan foto-foto,dipertunjukkan film dan diperdengarkan suara. Juga
diperdengarkan beberapa lagu revolusioner Indonesia, yang padamasa Orba dilarang diperdengarkan di Indonesia.

* * *

KITLV PRESS memperkenalkan Tan Malaka, antara lain sbb:

Tan Malaka yang misterius dan legendaris itu muncul lagi, segerasesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusutus1945, sesudah 20 tahun dibuang dan melakukan kegiatan di bawah tanah.
Tan Malaka mengajukan suatu alternatif radikal terbanding arah moderat Soekarno dn Hatta, para pemimpin Republik Indonesia. Tetapi ia kalah dan dalam bulan Maret 1946 ia ditangkap. Baru dalam bulanSeptember 1948 ia bebas.

Kemudian ia mendirikan Partai Murba, yang dimaksudkan mengambil tempat PKI yang dikalahkan dalam peristiwa Madiun. Setelah agresi II Belanda, Desember 1948, Tan Malaka melancarkan perlawanan gerilya;
dalam bulan Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati pada suatu perhitungan intern.

Ditulis KITLV PRESS selanjutnya: Jalan hidup Tan Malaka sering terselubung misteri --- dalam buku Harry A Poeze misteri ini sebagian besar diungkap-uraikan, umpamanya, dimana dan siapa yang membunuh Tan Malaka.

Peranan terkemuka selama Revolusi Indonesia -- aktif dan sebagai lambang - membuatnya menjadi perlu untuk menulis secara luas perkembangan politik di Republik dan di dalam gerakan kiri yang tercerai-berai. Dalam banyak hal mengenai peristiwa yang menentukan di dalam Revolusi (Indonesia) diberikan data-data dan visi yang baru.

Dalam epilog yang luas diikuti peristiwa-peristiwa petualangan buah karya Tan Malaka, Partai Murba dan mengenai kehidupan Tan Malaka sendiri, yang baru sesudah dimulainya pemilahan pada gambaran buku
'DIHUJAT DAN DILUPAKAN'.

* * *

Harry A. Poeze (lahir 1947) -- adalah Direktur KITLV PRESS – . Ia meraih gelar PhD di Universitas Amsterdam (1976) dengan tema desertasi penulisan Biografi Tan Malaka sampai dengan 1945.
Tulisan Harry Poeze yang
terkenal di kalangan para pakar Indonesia antara lain, adalah SUKARNO'S POLITICAL TESTAMENT, dan serentetan kertas-kerja maupun artikel mengenai Indonesia.

Tiga jilid yang sekarang ini didasarkan atas penelitian yang berlangsung dengan banyak penundaan sampai pada saat ia tinggal di Indonesia untuk studi tsb dalam tahun 1980. Demikian Penerbit KITLV.

* * *

Pekerjaan riset dan kemudian penulisan oleh Harry A Poeze tsb, adalah suatu prestasi yang terpuji
. Dengan bukunya itu, Dr. Harry A. Poeze telah memberikan sumbangan penting pada khazanah literatur asing mengenai Indonesia, khususnya mengenai Tan Malaka, gerakan kiri Indonesia dan Revolusi Indonesia.


* *

11 Juni – 2007,
Tak terduga sama sekali bahwa ruangan LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden, pada hari Jumát, tanggal 08 Juni, 2007, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze.

Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta, tetapi, ini yang paling mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu.


Dengan diterbitkannya buku Harry Poeze, tidak mungkin orang akan berpendapat lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta dedikasinya yang telah menghabiskan waktu total jendral 30 tahun, termasuk tinggal di Indonesia selama 3 bulan terus menerus (1980), dan beberapa kali mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan meneliti tentang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti arsip-arsip Komintern di Moskow, yang telah memberikan kepadanya pandangan-pandangan baru.

* * *

Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi.

* * *

Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin terhadap masalah sejarah Indonesia, khususnya sejarah gerakan Kiri Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka. Terlepas apakah orang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia.

Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze.

Ketika kusampaikan kepada Poeze pada peluncuran itu, bahwa ada teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya selanjutnya bahwa menurut pikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur, dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3.

* * *

Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti telah disusun oleh seorang pakar Belanda. Meskipun fokus utama buku Poeze adalah pada tokoh Tan Malaka, namun, dengan cukup detail Poeze mengungkap situasi kongkrit menjelang dan sekitar Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta, dan setelah itu. Mengapa misalnya pada saat-saat gawat dan genting, Tan Malaka, yang seumur hidupnya telah melakukan kegiatan politik untuk saat-saat menentukan seperti itu, justru tidak tampak permunculannya.

Sekelumit saja, apa yang disampaikan oleh Hary Poeze tentang situasi menjelang proklmasi dan mengapa pada saat-saat yang genting dan gawat di Indonesia, menjelang kekalahan Jepang dan persiapan di kalangan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari kegiatan persiapan yang dilakukan pada waktu pendudukan Jepang atas persetujuan tentara pendudukan Jepang, agar jangan timbul tuduhan bahwa RI yang diproklamsikan adalah boneka Jepang semata.

Antara lain Poeze menulis: . . . Dimana Tan Malaka ketika ini semua terjadi, dan Republik Indonesia diproklamasikan, suatu realisasi dari cita-cita yang selama puluhan tahun diperjuangkannya? Dari Rengasdengklok, pada tanggal 9 Agustus ia (Tan Malaka) ke Jakarta. Kepastian tentang keberadaannya baru pada sore tanggal 14 Agustus diperoleh ketika ia melapor kepada Sukarni. Apa yang dikerjakannya (Tan Malaka) pada har-hari sebelumnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibawanya atas nama Pemuda Banten? Apakah ia menyampaikannya kepada Chairul Saleh? Tampaknya tidak. Barangkali paling dapat dipahami oleh karena Tan Malaka waspada, oleh karena itu telah gagal mencari kontak. Disebabkan oleh masa lampaunya yang begitu lama sebagai orang buangan, yang terus menerus ada di bawah ancaman penahanan, ke-hati-hatiannya menjadi obsesi dan ia hampir-hampir tidak berani mempercayai siapapun. Ia belum begitu kenal hubungan-hubungan di Jakarta untuk mengetahui dengan siapa ia dapat dengan aman melakukan hubungan, tulis Poeze.

Ditambahkannya: Bisalah dimengeri bahwa ia tidak bisa ambil risiko untuk mengungkap identitasnya yang sebenarnya. Lalu ditambahkan Poeze bahwa, . . . . demikianlah pada saat-saat historis ini, Tan Malaka dengan pengikut-pengikutnya saling tidak ketemu. Dengan demikian Tan Malaka tidak langsung terlibat dalam merealisasi idam-idaman dan cita-citanya, sesuatu yang tanpa henti-hentinya diperjuangkannya. Demikian antara lain Poeze.

Dengan sedikit saja mengkuakkan yang ditulis oleh Poeze dalam bukunya itu, bisa diketahui, bahwa memang buku Poeze tentang biografi Tan Malaka, bukan hanya menyinggung, tapi, mendalami dan bahkan menganlisis situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan mengemukakan fakta-fakta hasil risetnya, yang sebegitu jauh jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar atau baca sebelumnya.

Menyinggumg masalah dua konsep mengenai perjuangan kemerdekaan: Satu konsep yang dilaksanakan oleh empat serangkai, Sukarno - Hatta - Syahrir - Amir Syarifddin, yang (menurut Poeze) mengutamakan d i p l o m a s i , dan konsep Tan Malaka yang (lagi menurut Poze) mengutamakan p e r j u a n g a n , ternyata pada saat-saat yang menentukan ia (Tan Malaka) kalah. Ditambahkan Poeze bahwa kiri, gerakan komunis dimana Tan Malaka tergabung, ternyata amat berkeping-keping. Lanjut Poeze a.l., ---- Aspirasi Tan Malaka untuk mengambil alih kekuasaan dengan suatu alternatif yang radikal, berakhir pada bulan Maret 1946. Federasi politik PERSATUAN PERJUANGAN-nya Tan Malaka, yang tampaknya tak terkalahkan itu, ternyata hanyalah raksasa yang berkaki lumpur belaka. Demikian antara lain Harry Poeze dalam bukunya.

* * *

Mengakhiri tulisan ini, menarik kiranya untuk mengutip lagi apa yang a.l. dikemukakan oleh Poeze tentang Tan Malaka, sbb:

Dari halaman-halaman buku ini ternyata, Tan Malaka selain sebagai pelaku dalam percaturan politik juga kemudian menjadi lambang - suatu lambang yang oleh pengikut-pengiutnya dimulyakan dan oleh orang-orang yang untuk sementara bersamanya, digunakan sebagai lambang berguna dan oleh penentang-penentangnya sebagai lambang yang dihujat.

Pemahaman dan penilaian terhadap hasil studi Harry Poeze yang tak terbatas pada hanya satu tokoh TAN MALAKA, kiranya akan mengundang diskusi baru lagi, penelitian baru lagi, dan studi baru lagi, mengenai Tan Malaka, tentang banyak tokoh pejuang kemerdekaan lainnya dan mengenai REVOLUSI INDONESIA.

Situasi demikian itu, merupakan dorongan bagi pemikiran baru, mengenai pelurusan sejarah atau klarifikasi sejarah bangsa kita Dalam hal ini, seperti yang dikatakannya sendiri, sebagai 'orang luar yang unik', telah memberikan sumbangannya yang berarti.

* * *


13 Juni 2007.
Belum disebut tentang awal acara yang amat mengesankan dan mengharukan. Ketika itu diperdengarkan (live) lagu historis-revolusioner, 'DARAH RAKYAT'. Memang pas acara itu dipasang di depan. Bukankah perhatian pada sore itu difokuskan pada TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia?
* * *
Baru saja kuterima lagi tanggapan-tanggapan berkenaan dengan bedah buku Harry Poeze mengenai Tan Malaka. Dari Indonesia, seorang kawan tua menyampaikan kegembiraaanya. Ia cerita, bahwa di Jakarta masih cukupan orang-orang yang punya rasa hormat pada Tan Malaka. Begitu mengetahui bahwa sudah terbit buku baru tentang Tan Malaka, mereka segera saling bertanya-tanya, kapan edisi Indonesia atau edisi Inggris diterbitkan.

Mengenai dimuatnya f o t o Ir S e t i a d i , tapi teks dibawahnya nama SETIADJIT, yang dimaksudkan adalah memasang foto Setiadjit di situ. Dalam emailnya kepadaku, Poeze memastikan bahwa dalam edisi Indonesia nanti, kekeliruan itu akan diralat. Menurut Poeze foto itu dipesan dari IPPHOS (Jakarta) dalam tahun 1980. Jelas, IPPHOS salah kirim. OK! ---- yang penting ialah bahwa, kekeliruan itu akan diralat secepat mungkin.

* * *
Poeze menanyakan bagaimana kesanku mengenai dinyanyikannya lagu DARAH RAKYAT, dalam acara peluncuran tanggal 08 Juni itu. Memang, lagu Darah Rakyat yang dinyanyikan oleh seorang wanita muda, mungkin mahasiswa Universitas Leiden, dengan iringan jukelélé, tambah lagi latar belakang musik yang diputar dari CD. . . . . . Aduuh, . . . . memang indah dan mengharukan! Bersemangat dan menyemangati!.
Mendengar lagu Darah Rakyat bergema di ruang pertemuan, ingatan segera meluncur jauh ke masa Revolusi 1945. Ketika itu lagu Darah Rakyat dan banyak lagu progresif-revolusioner lainnya, dinyanyikan dan terdengar dimana-mana, khususnya di kalangan para pejuang perang kemerdekaan.

Namun, lagu Darah Rakyat, seperti halnya dengan puluhan lagu-lagu progresif dan revolusioner lainnya yang tidak sedikit penciptanya adalah para budayawan LEKRA, --- pada periode rezim Jendral Suharto, DILARANG KERAS! Pokoknya rakyat Indonesia hanya boleh mendengar lagu, yang oleh seniman dan pendukung Orba dianggap indah dan baik.

Nah, pada tanggal 08 Juni, 2007 itulah, di LAK-theater Universitas Leiden, lagu Darah Rakyat diperdengarkan lagi. Hadirin dengan tekun dan asyik mendengarkan. Dalam hati mereka, bisa dibayangkan, akan ada yang berkomentar dalam bahasa Belanda: ONGELOOFLIJK, GEWELDIG! TAK BISA TERBAYANGKAN', -- LUAR BIASA!. Bahwa lagu revolusioner DARAH RAKYAT diperdengarkan di Leiden, di LAK-theater Universitas Leiden. Lagu Darah Rakyat kudengar terakhir di Indonesia sebelum Presiden Sukarno digulingkan oleh Jendral Suharto.

Mari kita telusuri lirik lagu

DARAH RAKYAT
DARAH RAKYAT Darah rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim Rakyat yang menjadi hakim Ayuh, ayuh
Ref:
Bergerak! Sekarang!
Kemerdekaan sudah datang
Merahlah panji-panji kita
Merah warna darah rakyat
Merah warna darah rakyat


Entah apa sebabnya, ketika mendengar lagu tsb dinyanyikan oleh seorang perempuan Kaukasus dengan iringan jukulélé, yang dua-duanya itu adalah orang Bulé, hari Jumat pekan lalu itu, berdiri bulu kudukku!

* * *

Dengan membaca buku Harry Poeze, siapa saja akan menemukan begitu banyaknya data dan fakta yang dkumpulkan, distudi, disusun dan diteliti oleh Poeze menyangkut Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Sebagai ilustrasi, untuk memperoleh sedikit gambaran mengenai isi buku Harry Poes, mari ikuti bagian-bagian tertentu dari bagian PENUTUP (Slot) dari bukunya. Tulis Harry Poeze a.l. : --

Pendukungnya (Tan Malaka) mengalami kekalahan dalam urusan yang mereka perjuangkan, orang-orang yang (tadinya) bersama dia meninggalkannya sebagaimana biasa berlaku dalam oportunisme-politik, dan penentang-penentangnya membuangnya ke dalam keranjang sampah sejarah. Pelecehan dan tuduhan, dengan begitu perlahan-lahan memberikan tempatnya pada pembisuan. -- ia (Tan Malaka) disingkirkan dari sejarah. ---

Apakah peranan (Tan Malaka) tak ada artinya, (karena) dari seorang 'renegat Trotskis', bagi siapa setiap perhatian dianggap memberikan kemulyaan yang berkelebihan, (atau) apakah malah justru penting? Dalam Republik Indonesia yang lemah, secara kebetulan, ia (Tan Malaka) , disebabkan oleh suatu kebetulan, oleh nasib sial, tidak memperoleh peranan samasekali pada saat-saat Proklamasi. Peranan serupa itu bisa besar - - nama dan kemasyhurannya adalah legendaris.

Sukarno mengakuinya sebagai seorang guru, seseorang yang lebih dari dirinya dalam hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Sayangnya tak terjadi seperti itu, tetapi nyatanya baru beberapa minggu kemudian Tan Malaka mendapat tempatnya di coterie Jakarta yang memimpin Republik pada taraf sentral. Selain itu ia mempengaruhi aksi-aksi di basis. Namun 'revolusi sosial' di Banten dengan cepat macet dalam ketiadaan rarah. Dan 'revolusi sosial' di Banten tidak berdiri sendiri. Di Jakarta ia (Tan Malaka) terlibat dengan pengorganisasian rapat raksasa tanggal 19 September (1945) dan disitu Sukarno memanifestasikan kekagumannya dalam sebuah Testamen Politik, yang isinya agak diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka.

Ini terutama disebabkan oleh hal-hal yang berasal dalam kepribadiannya sendiri, yang ditandai oleh lebih dari duapuluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakam oleh orang-orang dekatnya, ia (Tan Malaka) tidak lagi cocok untuk hidup sebagai orang yang 'normal'.
Langgam-hidup keduanya telah menghalanginya untuk bertindak efektif. Jika ia dapat mengatasinya, maka, ia adalah seorang pembicara yang luarbiasa, yang membangkitkan kesetiaan dan kepercayaan besar di kalangan pengikutnya - perasaan-perasaan yang puluhan tahun sesudah ia mati, masih saja berlangsung terus sedikitpun tak berkurang.

* * *.

Masih cukup banyak hal-hal penting dan menarik yang mengimbau pembaca ke arah pemikiran yang lebih luas dan mendalam mengenai peristiwa dan masalah sejarah bangsa kita. Baik itu yang berkenaan dengan biografi dan kegiatan Tan Malaka, begitupun mengenai peristiwa dan fakta-fakta mengenai Gerakan Kiri dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Juga membuka fikiran bagi siapapun yang ingin meninjau kembali, menstudi kembali pemikiran ataupun penyimpulannya mengenai Tan Malaka, peranannya dalam perjuangan kemerdekaan dan mengenai Gerakan Kiri di Indonesia. Tidak meleset kiranya pilihan yang diambil Poeze untuk bukunya itu. Bukankah di satu fihak ia membuka wawasan yang lebih luas lagi mengenai peristiwa dan fakta sekitar peranan Tan Malaka, Gerakan Kiri dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.

Dewasa ini generasi muda kita, para pemerhati, penggelut, penstudi dan peduli sejarah bangsa tanpak mulai pulih dari kedunguan dan ke-masabodoh-an mental sebagai akibat dari kebidjaksanaan otoriter Orba di bidang ilmu dan pengetahuan sejarah. Bagi Orba fakta dan kebenaran sejarah sudah diplintir sedemikian rupa, kemudian dijejalkan sebagai kebenaran satu-satunya. Oleh karena itu, buku sejarah seperti yang ditulis oleh Poeze, merupakan dorongan positsif ke arah pencerahan, berani berfikir dengan bebas, obyektif dan adil terhadap jutaan fakta-fakta yang diketahui dan masih belum terungkap mengenai sejarah bangsa ini.

* * *

Tanggapan harian berbahasa Inggris: THE JAKARTA POST,

Harry A. Poeze: The chronicler of Tan Malaka

The Jakarta Post, Jakarta, -- Tue, November 25, 2008

Harry A. Poeze is a Dutch historian who has dedicated half his life to unraveling the mysteries surrounding Tan Malaka, an obscure Indonesian hero once vilified and forgotten by the nation whose independence he had fought for.
An avid reader of history books, young Poeze was fascinated by stories of the early Dutch settlers in the archipelago, although they taught him about little more than the famous Dutch hero Jan Pieterszoon Coen -- a villain in the eyes of Indonesians.
Not until he studied politics at the University of Amsterdam in the 1970s and became infatuated with the flowering nationalist movement in early 20th century Indonesia did he become aware of Tan Malaka, who once lived in the Netherlands and became the first Indonesian to run for a seat in the Dutch parliament.
At the time, he recalled, Tan Malaka's name appeared occasionally in some history books written by Dutch historians. He was then -- and is probably even today -- overshadowed by politicians such as Sukarno or Sjahrir.
There was not much information on the Marxist thinker, Poeze said. The man was probably considered insignificant in Indonesia's history.
Historians were unsure even about his whereabouts during the decisive period that led the country to independence, let alone his role in the revolution.
"Sometimes they (Dutch historians) mentioned the name of Tan Malaka. He might have been there, he probably did this," Poeze told The Jakarta Post at a recent interview at the office of his publisher, Yayasan Obor Indonesia.
Poeze then wrote a dissertation on Tan Malaka, which was published in 1976 under the title Tan Malaka Strijder voor Indonesie's vrijheid: Levensloop van 1897 tot 1945 (Tan Malaka, a Fighter for Indonesian Freedom: Life from 1897 to 1945).
It was not too difficult for him to write Tan Malaka's life up to 1945 as the "lonely fighter" had written an autobiography while in exile.
The holy grail for Poeze's research would then be Tan Malaka's political activities during and after the 1945 proclamation of independence.
Poeze visited Indonesia a few times, but only to return to his homeland without any worthwhile findings. Not until the 1980s, after meeting with Tan Malaka's former secretary, did he manage to shed some light on the hero's political activities during the revolution.
However, he was then appointed the publications director of The Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), leaving him only one day a week to work on his research.
After decades of researching and writing, he finally published a book -- 2,200 pages divided into three volumes -- in which he argues that the exiled Marxist politician played an important role in the revolution before his death at the hand of an Indonesian soldier in 1949.
The book, titled Verguisd en vergeten; Tan Malaka, de links beweging en de Indonesiche Revolutie, 1945-1949 (Vilified and Forgotten: Tan Malaka, the Leftist Movement and the Indonesian Revolution, 1945-1949), is now being translated into Indonesian.
The Indonesian version will be released in six volumes, the first of which was launched recently at a gathering of a large number of Tan Malaka's supporters, predominantly young people.
"Many Indonesians helped me to write the book. It is only a token of my appreciation to them that I want my books to be translated into Indonesian and to be used as a source of understanding of what transpired at the beginning of the revolution," he said.
The publisher, Yayasan Obor Indonesia, said the public enthusiasm for the translation was extraordinary, as indicated by large number of people attending the launch event.
But Poeze was not entirely surprised.
He said he was aware of the increasing recognition for Tan Malaka, who has become a cult figure comparable to Che Guevara among Indonesian youth following the fall of iron-fisted leader Soeharto.
Controversially dubbed "The Father of Development", Soeharto persistently demonized Tan Malaka for his leftist and radical thoughts, striking his name from the pages of history while he was in power.
Poeze recalled how he had to trick librarians and archive staff to get important documents during the New Order regime.
"I always said I was researching the Indonesian revolution, which was true of course. But I never mentioned the name of Tan Malaka because if I mentioned him, they would say, *No, no, you can't write about Tan Malaka. This is a touchy and sensitive issue'," he said.
Soeharto's dictatorship was only one of many obstacles. Another huge problem was the rumors, myths and legends surrounding the life of Tan Malaka, a charismatic, self-effacing figure who chose to live underground.
"There were about 20 versions of his death and to write one of them was difficult," he said.
One man, he said, claimed to have shot the forgotten hero, but he was convinced the claim was at best erroneous. "He did shoot someone whom he thought was Tan Malaka.
"You must be like a detective," he quipped.
The eyewitnesses he interviewed in the 1980s had mostly died and some of the important documents he acquired in Yogyakarta have since been lost. His research, he said, thus could not be repeated.
Since the collapse of the Soviet Union, Poeze has been able to collect new materials -- including articles Tan Malaka anonymously wrote for international Communist newspapers -- to revise his dissertation.
Poeze's son, who married an Indonesian woman, is now running an Indonesian restaurant in Haarlem in the Netherlands, which is, coincidentally, only 100 meters from Tan Malaka's house while he was studying there, in "the land of the colonizers".
Asked for his personal opinion on the Indonesian hero, the 62-year-old said the man was admirable, "but he made a lot mistakes".
"History is written by the winner and Tan Malaka was continuously the loser," said the jovial Dutch




Sunday, July 15, 2012

APAKAH Ketua MK MAHFUD MD MAU KEMBALI Ke Periode Rezim ORBA


Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 17 Juli 2012
----------------------------

APAKAH Ketua MK MAHFUD MD MAU KEMBALI Ke Periode Rezim ORBA YANG TANPA-HUKUM??

Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, baru-baru ini memberikan penjelasan sekitar penganut komunisme dan atheisme. Mahmud MD bukan 'man on the street', bukan 'wong cilik', bukan pula orang awam mengenai tata-negara Republik Indonesia. Nyatanya beliau adalah KETUA MKAHKAMAH KONSTIUSI.

Bukankah Mahkamah Konstitusi (MK) itu adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan RI yang memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung?

Bukankah menjadi pengertian umum bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Demikianlah pemahaman dan pengertian kita salama ini.

Maka pernyataan Mahmud, ucapannya dan penjelasannya harus diperhatikan dan difahami betul.

Masalahnya . . . dengan pernyataannya baru-baru ini, --- tidaklah mudah memahami ucapan dan pernyataan Mahfud!

* * *

Mahfud rupanya ditanya oleh Kanselir Jerman, Angela Merkel sekitar sikap mengenai faham komunisme dan ateisme. Seusai penjelasan Mahfud, ramailah di media diberitakan seolah-olah Mahfud, Ketua MK itu mendukung ateisme dan komunisme. Padahal kata Mahfud: Saya hanya menjelaskan, bahwa orang yang mengaku ateis dan komunis tidak bisa dihukum. Menurut pemahaman kita tentang sistim demokrasi, hukum dan hak-hak demokrasi yang berlaku di Republik Indonesia, sesuai UUD 45,---- sampai disitu penjelasan Mahfud itu wajar-wajar saja.

Tetapi cepat-cepat Mahfud menjelaskan lagi kepada publik di aula pondok pesantren Al Itqon Gugen Tlogosari Wetan Semarang, Sabtu (14/7). a.l sbb : Penganut komunisme dan ateisme menyalahi konstitusi negara, namun tidak dapat dihukum karena dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) belum mengatur. Kecuali mendirikan partai komunis akan dikenai pidana tentang makar.(suaramerdeka.com).

Perhatikan pernyataan Mahfud. Dia bilang bahwa “Penganut komunisme dan ateisme menyalahi konstitusi negara. namun tidak dapat dihukum karena dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) belum mengatur”.

Dari pernyataan Mahfud bahwa “penganut komunisme dan ateisme menyalahi konsitutsi negara . .” di sinilah kita lihat bahwa Mahfud mulai plintat-plintut pemahamannya mengenai sistim tatanegara Republik Indonesia. Yang setelah ditumbangkannya rezim Orba, oleh pers luarnegeri sering dipuji-puji Indonesia dewasa ini sebagai suatu 'negeri demokrasi' dimana HAM diberlakukan dan yang stabil terbanding negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Mahfud mengkisruhkan pengertian antara Pancasila yang mengandung sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai falsafah negara, dengan warganegara Indonesia yang secara inheren punya hak-demokrasi , yang bebas menganut faham apapun yang dianggapnya benar. Termasuk menganut faham ateisme dan komunisme.

Di sini kita menyaksikan kegawatan pemahaman Mahfud mengenai sistim demokrasi di negeri kita. Apakah sistim demokrasi di Indonesia dengan UUD RI yang mengakui hak-hak manusia yang inheren, yang dimilikinya sejak lahir di dunia, apakah hukum di negara RI menganggap orang yang berfaham atheisme dan atau komunisme itu menyalahi konstitusi negara?? Sepatahpun tak ada kata-kata di dalam UUD RI yang mengharuskan warganya menganut suatu agama atau keyakinan tertentu dan yang menganggap atheisme dan atau komunisme itu melanggar UUD RI.

Jendral Suharto memang melakukan kebijakan seperti itu, yaitu memperlakukan orang-orang yang berfaham komunisme sebagai musuh masyarakat dan musuh negara.

Tetapi kebijakan rezim Orba itu sudah bangkrut digempur oleh gerakan Reformasi dan Demokratisasi. Sejak itu, gerakan Reformasi dan Demokratisasi kita bertekad untuk menegakkan SUPREMASI HUKUM dalam kehidupan yang riil. Yaitu Hukum yang demokratis dan sesuai dengan Deklarasi Universal PBB Mengenai Hak-Hak Azasi Manusia (1948).

Apakah Mahfud yang dewasa ini menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi hendak menjerumuskan bangsa ini kembali ke periode ketiadaan hukum zaman Orba?

Seyogianya Mahkamah Konstitusi juga berperanan memberikan pengertian dan pemahaman yang benar, yang tidak disalah-tafsirkan, yang tidak dibengkokkan mengenai hak-hak demokrasi di Indonesia seperti yang dijamin oleh UUD RI dewasa ini.

* * *

Lampiran berita:

Mahfud: Ateis dan Komunis Tidak Bisa Dihukum
SEMARANG, suaramerdeka.com - Penganut komunisme dan ateisme menyalahi konstitusi negara, namun tidak dapat dihukum karena dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) belum mengatur. Kecuali mendirikan partai komunis akan dikenai pidana tentang makar.

Hal itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD di aula pondok pesantren Al Itqon Gugen Tlogosari Wetan Semarang, Sabtu (14/7). Pernyataan itu meluruskan berita yang beredar bahwa dia mendukung ateisme dan komunisme.

"Saya justru antiateis dan antikomunis, karena itu menyalahi konstitusi. Saya hanya menjawab pertanyaan dari Kanselir Jerman, bahwa orang yang mengaku ateis dan komunis tidak bisa dihukum," katanya. Selanjutnya ditegaskannya pula, :

Hukum pidana orang yang menyalahi dasar ideologi negara berupa Pancasila belum diatur. Saksi yang diberikan biasanya berupa politik, misalnya, jika kepala negara ateis atau komunis bisa dipecat.

Ia menganalogikan dengan demokrasi. Orang yang menolak demokrasi juga tidak bisa dihukum, karena undang-undangnya tidak ada. Padahal itu juga menyalahi konstitusi. "Kampanye tentang ateisme dan komunisme juga dilarang," katanya.

Undang-undang penodaan agama jika diterapkan pada penganut ateis dan komunis juga tidak bisa. Sebab pengakuan itu tidak ditujukan untuk menimbulkan tafsir sendiri dari tarsif pokok agama yang sah di Indonesia.

Sebelumnya santer beredar berita bahwa Mahfud MD mendukung ateisme dan komunisme saat menjawab pertanyaan dari Kanselir Jerman Angela Merkel yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu.

* * *