Sunday, January 27, 2013

*MENYOKONG PERJUANGAN ADIL RAKYAT PALESTINA Adalah Kewajiban INDONESIA *

IBRAHIM ISA
*Rubrica SOLIDARITAS PALESTINA*
*Sabtu, 26 Januari 2013*
*----------------------------*




*MENYOKONG PERJUANGAN ADIL RAKYAT PALESTINA Adalah Kewajiban INDONESIA *



Hari ini dimulai satu *Rubrica baru* di media internet ini:


*RUBRICA SOLIDARITAS PALESTINA*.


Maksudnya ialah ambil bagian dalam kegiatan di bidang informasi, memberikan bahan yang diharapan memberikan penjelasan sekitar perjangan rakyat Palestina untuk suatu*NEGARA PALESTINA MERDEKA yang BERDAULAT. Rubricca *ini direncanakan memuat berbagai tulisan obyektif, analitis, informatif dan kritis yang peduli dan solider dengan perjuangan rakyat Palestina.


** * **


Biro Organisasi Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika -- Bureau of Afro-Asian People's Solidarity Organization (bermarkas di ibukota Mesir, Cairo), lebih setengah abad yang lalu, mengadakan Sidang Istimewa Mengenai Palestina, di kota Gaza, pada musim dingin 1961-1962,


Menyambut dan mendukung sidang tsb, OISRAA, Organisasi Indonesia Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika (Jakarta), mengirimkan sebuah Delegasi Indonesia. Delegasi Indonesia itu terdiri dari Sunito, Sekretaris DPR RI dan mantan Wakil Republik Indonesia di Negeri Belanda tahun-tahun 1945-1949; Mansur, anggota DPR dari PNI; Bintang Suradi, jurnalis Majalah Indonesian Review, dan Ibrahim Isa, Sekjen OISRAA.


Sikap dan pendirian Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Sunito, adalah Resolusi mengenai Palestina yang diambil oleh Konfernesi Asia-Afrika di Bandung 1955 dan Resolusi Konferensi Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika sejak beridirinya, 1957.


Kehadirin Delegasi Indonesia di Sidang Istimewa Biro AAPSO (Afro-Asian Pepopl;e's Solidarity Organization), menunjukkan bahwa kepedulian dan solidaritas rakyat Indonesia dengan perjuangan rakyat Palestina, sudah berlangsung sejak lama dan konsisten.


* * *


*Hari bersejarah bagi perjuangan rakyat Palestina: *


*Pada tanggal 29 November 2012*, Majlis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mensahkan Resolusi yang Memberikan Status (Non-member State) Peninjau, dalam organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resolusi PBB itu juga menyatakan urgensi perlu dipulihkannya perundingan antara Israel dengan Palestina menuju pada "Solusi Dua-Negara" yang permanen, sesuai dengan Resolusi PBB sebelumnya. Maksudnya berdirinya dua negara berdaulat yang hidup berdampingan dengan damai, yaitu Negara Palestina dan Negara Israel.


Dari 193 anggota PBB , --- Resolusi PBB tsb di sahkan dengan 138 pro, 9 kontra dan 42 blanko. Hasil voting PBB ini menunjukkan bahwa mayoritas mutlak anggota PBB mendukung masuknya Palestina dengan status Peninjau Non-Anggota di PBB. Mayoritas pendapat di dunia ini ada di fihak Palestina yang berjuang demi Negara Merdeka Palestina yang meliputi wilayah Tepian Barat Sungai Jordan dan Gaza.


*Dengan disahkannya Resolusi PBB 29 November 2012* mengenai Palestina, perjuangan rakyat Palestina untuk tegak berdirinya Negara Palestina Merdeka dan Berdaulat, meliputi Tepian Barat Sungai Jordan dan wilayah Gaza,


*MEMASUKI TAHAP BARU!*


Perjuangan di bidang diplomasi internasional akan semakin digalakkan, Karena itu simpati dan solidaritas negeri-negeri lainnya semakin diperlukan oleh rakyat Palestina.


* * *


Sebagai awal dibukanya RUBRICA SOLIDARITAS PALESTINA, di bawah ini dimuat sebuah tulisan sekitar saling hubungan perjuangan rakyat Palestina dengan Soldiaritas Asia-Afrika:




*Palestina dan Kewajaran Solidaritas Asia-Afrika*


Sebuah berita dari Jakarta, (Tempo, 23 Oktober 2007), mengungkapkan bahwa, bersama Afrika Selatan, Indonesia berrencana menggelar konferensi untuk Palestina. Konferensi ini akan diikuti negara-negara Afrika dan Asia. Tujuannya: - - - Meningkatkan kapasitas Palestina. Demikian berita dari Jakarta.

Meskipun berita tsb belum dikonfermasi resmi oleh Kementerian Luarnegeri RI, -- ide menggelar konferensi negeri-negeri Asia-Afrika, dengan tujuan membantu perjuangan rakyat Palestina, itu sepenuhnya nyambung dengan *SEMANGAT BANDUNG*. Hal itu menjawab tuntutan perjuangan rakyat Palestina untuk kemerdekaan bagi bangsa dan negerinya.

Salah satu keputusan Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955), adalah mendukung perjuangan rakyat Palestina. Indonesia sebagai salah satu pemrakarsa dan tuanrumah dari Konferensi Bandung yang bersejarah dan membikin sejarah itu, seharusnya sudah lebih dulu mencetuskan IDE SOLIDARITAS ASIA-AFRIKA terhadap perjuangan rakayat Palestina.

*Jangan sekal-kali melupakan bahwa ketika bangsa kita sedang berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme untuk kemerdekaan nasional yang penuh, banyak bangsa-bangsa lain, khususnya Asia dan Afrika dengan sepenuh hati mendukung dan membantu perjuangan kita. Jangan sekali-kali melupakan solidaritas Asia-Afrika tsb. *

Konferensi Asia-Afrika, Bandung, 18 - 29 April 1955, yang dihadiri oleh 29 negeri dan wilayah Asia dan Afrika, menandaskan dalam Komunike Akhir Konferensi bahwa: 'Mengingat ketegangan di Timur Tengah yang disebabkan oleh keadaan di Palestina serta ketegangan tersebut dapat membahayakan perdamaian dunia, Konferensi Asia - Afrika menyatakan dukungannya terhadap hak-hak penduduk Arab Palestina dan menyerukan agar resolusi tentang Palestina dilaksanakan serta dicapainya penyelesaian damai persoalan Palestina.' < Komunike Akhir Konferensi Asia-Afrika'; Bab E. Masalah-Masalah Lainnya, Bandung 24 April 1955>.

* * *

Dalam keterangan pers bersama Presiden MAHMOUD ABBAS, Presiden Bambang Susilo Yudhoyono, dalam kesempatan itu, telah mengeluarkan prakarsa yang benar dan tepat. Prakarsa SOLIDARITAS ASIA-AFRIKA, yang bersumber pada KONFERENSI Asia-Afrika di BANDUNG, 52 tahun yang lalu.

Pernyataan SBY tsb seyogianya, sudah sejak lama direncanakan dan diusahakan, tanpa menunggu kunjungan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. *Yang diperlukan sekarang adalah tindak-lanjut, suatu follow-up yang tegas dan segera. Kementerian Luar Negeri RI, tanpa menanti-nanti lagi, seyogianya mengambil langkah-langkah kongkrit pendekatan dengan negara-negara Asia dan Afrika demi perealisasian solidartas Asia-Afrika dengan perjuangan rakyat Palestina.
*
HIDUPNYA KEMBALI SEMANGAT SOLIDARITAS ASIA -AFRIKA Sejarah Asia-Afrika dan sejarah dunia mencatat, bahwa, yang paling ditakuti dan dibenci oleh kolonialisme, imperialisme, apartheid Arika Selatan dan 'zionisme' ---- ketika itu, adalah SEMANGAT PERJUANGAN KEMERDEKAAN serta SOLIDARITAS dalam perjuangan demi bebas dari kolonialisme dan imperialisme. Solidaritas, atau SEMANGAT Bandung yang lahir dari KONFENRENSI ASIA-AFRIKA di Bandung adalah semangat dan solidaritas perjuangan untuk lepas dari kolonialisme.

Adalah solidaritas memperjuangkan identitas sendiri yang berdikari, yang bebas dari pertarungan dan tekanan negara-negara besar supra dalam 'Perang Dingin' ketika itu. Suatu semangat perjuangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang mengambil posisinya sendiri dalam kehidupan bangsa-bangsa, yang sama derajat dengan bangsa-bangsa lainnya. Suatu semangat yang memperjuangkan suatu politik luarnegari yang bebas dan aktif untuk perdamaian dunia.

Dalam peryataan solidaritas Indonesia dengan Palestina dalam perjuangan demi kemerdekaan bangsa dan tanah air Palestina, Presiden SBY a.l. menyatakan: 'Harapan kami, komunitas Asia-Afrika memiliki tanggung jawab ikut memberikan bantuan kapasitas sehingga Palestina memiliki kemampuan yang akhirnya nanti menjadi negara yang berdaulat dan merdeka'.

Dalam sambutannya atas prakarsa Indonesia tsb, Presiden Mahmoud Abbas (Juga Ketua Komite Eksekutif PLO - Palestinian Liberation Organization - organisasi pejuang pembebasan Palestina yang utama terpenting di Palestina --) menyatakan:
"Itu dukungan yang nyata yang diharapkan bangsa kami,"

* * *

*PENGARUH IMBANGAN KEKUATAN DALAM PETA POLITIK DUNIA *

Dengan sedikit menoleh ke balakang, ke situasi dan peta politik serta imbangan kekuatan di dunia internasional dewasa itu, sedikit-banyak bisa difahami mengapa dukungan yang diberikan Konferensi Asia-Afrika terhadap perjuangan rakyat Palestina, belum sampai dengan jelas-jelas menyebut hak rakyat Palestina untuk berdiri sendiri sebagai suatu bangsa yang merdeka dan sama derajat dengan bangsa-bangsa lainnya. Bisa dibaca sendiri rumusan Komunike Konferensi Asia-Afrika, betapa 'moderatnya' sikap Konferensi terhadap masalah Palestina ketika itu. Itu sepenuhnya mencerminkan latar belakang politik negeri-negeri yang hadir dalam Konferensi Asia - Afrika tsb.

Disatu fihak kekuatan politik pro-perjuangan kemerdekaan hadir dengan baik, seperti Indonesia, India, Burma, Mesir dll --- Kekuatan ini diperkokoh lagi dengan kekuatan pro-perjuangan kemerdekaan, dengan hadirnya negeri-negeri Sosialis yang tegas anti-kolonial dan anti-imperialis seperti Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Demokrasi Vietnam.

Tapi di fihak lain, hadir juga negeri-negeri yang pro-Barat dan pro-Amerika Serikat, sperti Republik Vietnam Selatan yang siapapun tau adalah negara ciptaan kolonialis Perancis dan AS; Filipina yang pemerintahnya sepenuhnya mendukung politik AS dan Barat; serta pemerintah-pemerintah lainnya seperti Muangthai dan Jepang, yang mengenai masalah-masalah internasional penting umumnya memihak Barat. Tambah lagi dengan sikap PBB ketika itu yang masih didominasi oleh AS, yang jelas mendukung terbentuknya negara Israel. Padahal negara Israel didirikan, melalui perang dengan membantai dan mengusir penduduk Arab Palestina di wilayah tsb.

Namun, betapapun moderatnya rumusan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, pernyataan yang dikeluarkannya dengan tegas mengambil sikap mendukung 'terhadap hak-hak penduduk Arab Palestina.'

* * *

*LIKA-LIKUNYA PERJUANGAN RAKYAT PALESTINA*


Perjuangan rakyat Palestina melawan pendudukan Israel untuk kemerdekaan tanah air dan bangsanya, telah berlangsung lama dan telah melalui lika-liku yang tak terbayangkan serta pengorbanan yang tak terhitung nilainya.

Situasi perjuangan rakyat Palestina belakangan ini memang mengalami kesulitan baru. Kesulitan muncul ketika daerah Gaza (Palestina) yang merupakan bagian dari wilayah adminstrasi Palestina, - - - terdiri dari Tepian Barat Jordan (West Bank of Jordan) dan Gaza, --- mengalami perubahan drastis. Penyebabnya ialah, karena, salah satu kekuatan perjuangan kemerdekaan Palestina, yaitu HAMAS - Gerakan Perlawanan (Islam) Palestina , yang muncul sebagai pemenang dalam pemilu (2006). dengan kekerasan mengambil oper kekuasaan di Gaza dari pemerintahan Presiden Abbas yang oleh PNA - Palestinian National Authority - dalam tahun 2005 telah dipilih sebagai Presiden Palestina.

Sehingga dengan demikian terjadilah perpecahan dalam kekuatan politik yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Situasi baru yang muncul itu, menyebabkan terhentinya usaha pemecahan masalah Palestina lewat perundingan dengan Israel.
*
**PENGARUH AMERIKA YANG DOMINAN HARUS DIAKHIRI *

Selama ini usaha perundingan mengenai masalah Palestina, hanya bisa berlangsung, bila itu disponsori oleh AS. Hal itu disebabkan oleh pengaruh dominan AS terhadap mati-hidupnya Istael. Suatu hal yang tidak mengherankan karena Israel bisa bertahan di tengah-tengah negeri-negeri Arab yang menentangnya, berkat bantuan dana, ekonomi, manusia (imigran orang-orang Yahudi dari AS) dan senjata dari AS.

Situasi ini tidak boleh berlangsung terus. Sudah waktunya bangsa-bangsa Asia-Afrika yang peduli kemerdekaan nasional, simpati dan solider dengan perjuangan pembebasan rakyat Palestina, mengusahakan perubahan. Suatu perubahan yang mendasar dalam pemecahan masalah Palestina. Di sinilah arti penting keterlibatan bangsa-bangsa dan negeri-negeri Asia dan Afrika dalam proses penyelesaian dan pembebasan Palestina.

Maka rencana untuk menyelenggarakan konferensi negeri-negeri Asia - Afrika untuk membantu perjuangan rakyat Palestina, bila diusahakan dengan baik, tanpa syarat apapun dan dengan sikap tidak mecampuri masalah yang timbul di kalangan perjuangan rakyat Palestina ---- berangsur-angsur bisa mengarah ke perubahan imbangan kekuatan-kekuatan politik yang terlibat dalam penyelesaian masalah Palestina. Bila hal ini berhasil diusahakan akibatnya tidak lain hanya menguntungkan rakyat Palestina.



­

“*Kebutuhan INDONESIA: NASIONALISME Dan MENUMPAS KESERAKAHAN”*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Kemis, 24 Januari 2013**
---------------------------------*



“*Kebutuhan INDONESIA: NASIONALISME Dan MENUMPAS KESERAKAHAN”*


*-- Menelusuri Bersama – *

*Pemikiran BEN ANDERSON ( Dari Tulisan di buku Liberum Amicorum 100 Tahun Bung Karno)*



* * *


Memperingati 100 TAHUN BUNG KARNO, (06 Juni 1901 – Juni 2001) dalam rangka mengkaji kembali serta mengkhayati Ajaran-ajaran Bung Karno, --- Hasta Mitra, sebuah Penerbit Buku Bermutu yang dipimpin oleh Editor Joesoef Isak, lebih 10 tahun yang lalu menerbitkan Sebuah Liber Amicorum.


Banyak yang menyumbangkan tulisan dalam buku “Liber Amicorum 100 TAHUN BUNG KARNO”. Terhitung, tidak kurang dari 27 artikel. Antara lain dimuat di situ tulisan Joesoef Isak, Peter Dale Scot, Ali Hasymi (“Aku Serdadumu”) , Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Bob Hering, Soebadio Sastrosatomo, Soedarpo Sastrosatomo, Dawam Rahardjo, Ibrahim Isa, Susilo Bambang Yudhoyono, Noam Chomsky, Ben Anderson, Harry Poeze, Francisca Fanggidaej, dll.


* * *


Dalam kolom ini kita batasi membicarakan sedikit tulisan yang disumbangkan oleh Prof Ben Anderson, Ia adalah seorang pakar kajian internasional dan direktur INDONESIA PROJECT pada Universitas Cornel, Ithaca, AS. Kita bahas sedikit, bagian dari uraian, versi saduran singkat yg disampaikan oleh Indonesianis tsb pada ceramah di Insititut Teknologi di Capitol Theatre Melbourne.


Disoroti sedikit dari tulisan Ben, dengan tujuan untuk menggugah, mengelitik, memikirkan dan menganalisis situasi aktuil bangsa kita.


Judul tulisan Ben Anderson sangat menarik dan menggugah, sbb: *“Kebutuhan INDONESIA: NASIONALISME Dan MENUMPAS KESERAKAHAN”.*


Sebabnya mengapa diambil bagian dari pemikiran Ben Anderson dengan judul tsb diatas, ialah, karena tulisan tsb., meskipun ditulis lebih 10 tahun yang lalu, namun masih relevan dengan situasi aktuil di negeri kita sekarang. Maraknya pelanggaran hukum berkaitan dengan kasus KORUPSI dan usaha KPK yang kembang-kempis, tak menentu entah berha, atau gagalkah, atau mandek di tengah jalan, ---- dalam menangani masalah korupsi dewasa ini. Orang tahu, penyebabnya adalah karena yang terlibat di situ adalah para elite politik dan finans-ekonomi yang berjalin dengan kekuasaan yang berlangsung dulu dan sekarang. Sehingga akibatnya -- hanyalah yang setingkat “teri” dan “sedang-sedang” saja yang dicekal. Sedangkan yang KAKAP masih bebas bergaya dan bergelimang dengan kemewahan hasil korupsinya;.


Di lain fihak bisa disaksikan bersama bgaimana para elite yang berkuasa baik langsung ataupun tidak langsung di bidang birokrasi pemerintahan, legislatif dan yudikatif, berusaha memanfaatkan semaksimal mungkin, mumpung kedudukan mereka masih diatas angin dewasa ini, untuk memuaskan KESERAKAHANNYA.


Situasi ini, lagi-lagi menunjukkan dengan jelas sekali, betapa kesedaran berbangsa, patriotisme dan nasionalisme, secara umum masih berada pada tingkat rendah sekali. Masih merupakan lamis-lamis bibir semata. Tidak ada dampak realisasinya dalam kegiatan dan kehidupan sehari-hari.

* * *


Begini uraian ananlitis Ben Anderson pada bagian awal ceramahnya:


“Indonesia adalah suatu negeri aneh dalam tolok-ukur apa pun, dan sekarang – berbeda dengan Thailand dan Filipina – oposisi potensial antara nasionalisme dan demokrasi nampak muncul di permukaan dengan jelas sekali.


“Gampang sekali menganggap masa lalu sebagai rentetan perisitwa yang sudah lumrah memang begitulah semestinya sejarah berjalan. Padahal siapa di tahun 1907 akan mengatakan bahwa gerakan nasionalis akan tampil dalam 20 tahun.


“Siapa dalam visi masa depannya akan meramal suatu Aceh, suatu Bali bagian Selatan dan suatu Papua (Irian Barat) justru merupakan bagian dari proses ditelan kolonialisme?


“Siapa di tahun 1940 akan mengatakan bahwa dalam waktu lima tahun Negeri Jajahan yang aman tenteram dan diawasi sangat ketat, akan mengalami sebuah revolusi, dan dalam waktu sepuluh tahun kemudian diakui resmi sebagai nation-state, negara baru suatu bangsa?


“*Siapa di tahun 1962 akan mengatakan bahwa dalam waktu empat tahun, kira-kira antara setengah dan dua juta penduduk akan dibantai negara?*


“Siapa di tahun 1995 akan mengatakan bahwa dalam waktu tiga tahun keajaiban ekonomi yang yang legendaris akan ambruk dalam reruntuhan yang mungkin tak bisa tebaiki lagi, dan sebagai negara maha kuasa yang dipuja-puja dunia Barat ambrol compang-camping.


“*Maka penting untuk mengingat kembali Soekarno.* Dia nyaris satu-satunya nasionalis muda dalam generasinya yang berasal dari campuran latar-belakang etnik dan agama. Bapaknya sekurang-kurangnya nomina seorang Muslim Jawa dan ibunya seorang Hindu-Bali. *Dalam kariernya yang panjang dia bekerja tidak kenal capék dan umumnya mencapai sukses besar dalam mempropagandakan nasionalisme kerakyatan, yang bahkan Mahatma Gandhi pun tak sampai menjangkaunya. Itu sebabnya satu generasi setelah dia meninggal, kehadirannya tetap hidup, tidak ada rivalnya di Asia Tenggara yang dapat menandinginya kecuali almarhum Ho Chi Minh. Harapan yang diberikan Soekarno cukup jelas dibuktikan dengan dukungan luar biasa bagi anaknya yang sebaliknya tidak punya keistimewaan samasekali.*


* * *


Setelah membicarakan konsep sistim kenegaraan federal dan sistim kenegaraan kesatuan, Ben Anderson memasuki masalah korupsi, a.l sbb:


“Contoh perilaku dan kebijakan Suharto merusak birokrasi dan sistem hukum, dua-duanya menumbuhkan penyakit korupsi dan nepotisme yang nyaris tak tersembuhkan. Keadaan sperti itu menciptakan satu kelas menengah lembek tanpa keberanian atau tak berwatak. Franz Fanon almarhum pun akan merenung-renung dengan keputusan yang muram bila melihat Indnesia sekarang.


“Kelas menengah Indonesia yang dulu tidur nyaman di tengah kekerasan kejam penguasa, yang jumlah korban fisiknya dalam beberapa tahun melampaui sejuta orang – sekarang benar-benar merasa keresahan yang gawat. Pos-pos polisi dibakar oleh massa yang bérang, para pengedar narkoba dibunuh oleh kelompok orang-orang serukun kampung, bécak muncul lagi besar-besaran di jalan-jalan yang khusus disediakan bagi para pemilik mobil kelas menengah, dan tukang-tukang becak sudah pada tidak gentar lagi mengeroyok mobil-mobil Mercedez-Benz yang ngebut. Di kalangan kelas menengah jelas sekali sudah muncul nostalgia pada Orde Baru, yah . . . di atas egala-galanya . . . . orde tertib, aman dan teratur.


“Indonesia punya pepatah populer, /di bawah pohon beringin tidak ada pohon subur yang bisa tumbuh”. /Soeharto barangkali teringat pada pepatah itu dengan perasan puas yang jahat, ketika ia memberikan pohon beringin sebagai simbol pemilu bagi Golkar, mesin politiknya.


“Para pemimpin Indonesia sekarang yang tukang bertengkar tumbuh di bawah bayangan pohon beringin, tak seorangpun luput dari pengaruh korup yang menghambat pertumbuhan. Itulah salah satu sebab, mengapa Soekarno yang sudah lama pergi, tetap saja dirasakan kehadirannya, walau pun terasa seakan seperti suatu janji yang masih harus dikabulkan.



Janji demokrasi? Barangkali /no. /Tidak.


Tetapi nasionalisme kerakyatan, /yes/, sebab boleh jadi itulah yang membuka kesempatan-kesempatan demokratis. Di Indonesia, nasionalisme harus paling pertama didahulukan, artinya: nasionalisme yang punya rasa kebersamaan senasib dan semasa depan yang kuat.


Negeri di mana para pemimpin politiknya stidak malu punya dwikewarganegaraan atau memiliki “green card” Amerika, di mana grup-grup berkuasa mengirim anak-anaknya untuk sekolah di luar negeri, dan diam-diam melécéhkan kebudayaannya sendiri, di mana berjuta warga dibiarkan membusuk hidup dalam gubuk reyot dan bau – itulah negeri yang sama sekali tidak bisa diharapkan melakukan sesuatu yang baik, sekalipun memiliki institusi-institusi demokrasi.


“/*Masalah utama bukan disebabkan oleh defisit demokrasi, tetapi defisit nasionalisme, terutama di kalangan mereka yang berduwit dan berpendidikan. Pemimpin yang patariotik dan jujur bisa berbuat banyak sekali, baik dengan keputusan-keputusannya maupun dengan teladannya. Timor Timur menjadi kasus paling baru yang mencolok dalam hal ini.*/


“Puluhan tahun Amerika menyanjung-nyanjung Soeharto, Inggris memasok senjata tidak kepalang tanggung, brturut-turut pemerintahan Asutralia yang lama dan yang baru berkonspirasi dengqan Jakarta untuk memperkosa Timor Timur, suatu aib yang tak terhapuskan seumur hidup.


“Apa yang perlu bagi dunia Barat sekarang adalah: kurangi campur-tangan, kurangi keangkuhan, dan kurangi keserakahan pada outsider yang sangat berkuasa”.Demikian Ben Anderson mengakhiri tulisannya.


* * *


Fokus utama yang diajukan oleh Ben Anderson, ialah, *bahwa masalah utama bagi Indonesia dewasa ini, adalah nasionalisme (maksudnya nasionalisme kerakyatan bukan nasionalisme sovinis), terutama di kalangan mereka yang berduwit dan berpendidikan . . . *


*dan bahwa pemimpin-pemimpin yang patriotik dan jujur bisa berbuat banyak sekali . . . . *


*Di sini fikiran kita tertuju pada tokoh-tokoh (baru) pemimpin pemerintahan (daerah), seperti Jokowi dan Ahok, . . . . yang diharapkan memiliki dan mampu meneruskan watak dan semangat yang menjadikan pengabdian pada rakyat yang dipimpinnya sebagai tugasnya yang paling pokok dan SEGERA !*


** * **







*IN MEMORIAM SHANNU*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 23 Januari 2013**
------------------------*


*IN MEMORIAM SHANNU*



Hari ini dengan amat sedih kami menerima e-mail dari SUAR SUROSO, seorang kawan lama kami yang bermukim di Tiongkok. Kabar yang disampaikannuya, antara lain *berita-duka* bahwa *SHANNU*, seorang "Akhli Asing" (Foreign Expert) yang bekerja sebagai penterjemah di Pustaka Bahasa Asing Beijing, kemudian di Radio Beiing- siaran bahasa Indonesia

*telah m e n i n g g a l d u n i a* , kemarin, Selasa, 22 Januari 2013.


Sebulan yang lalu kami masih berkomunikasi lewat e-mail. Shannu memberitakan bahwa ia sedang dirawat di Amerika, disebabkan serangan "stroke". Ia juga ada penyakit ginjal yang perlu perawatan . Shannu dan istrinya Mei, biasa setiap tahun berkunjung beberapa bulan lamanya ke puteranya yang bekerja dan berodmisili di Amerika. Mereka menengok puteranya, Inchung dan istri serta anak mereka, --- sambil ngemong cucu mereka.


Menurut Shannu ketika itu, ia akan menjalani operasi di Amerika. Namun, dokter sudah menyampaikan kepadanya, bahwa operasi yang akan dilakukan terhadapnya bisa berhasil bisa juga tidak.


Ternyata operasi yang dilakukan terhadap Shannu tidak berhasil. SHANNU tak tertolong lagi.


* * *


Shannu dan istrinya adalah tetangga kami bertahun-tahun lamanya ketika bersama tinggal di Tiongkok. Lebih dari itu, bersama kawan-kawan lainnya Shannu dengan sepenuh hati bersama istrinya, Mei, mencurahkan tenaga dan fikirannya dalam usaha penerbitan yang bersama-sama kami lakukan ketika itu . Penerbitan yang kami lakukan adalah demi memberikan informasi kepada pembaca dimana saja, mengenai situasi politik di Indonesia di bawah rezim otoriter Orde Baru. Serta menggalang solidaritas internasional terhadap perjuangan rakyat Indonesia untuk demokrasi dan HAM.


Dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari Shannu adalah seorang kawan yang ramah, rendah hati, bersikap hangat terhadap kawan, serta gairah dan tekun bekerja, yang dilakukannya dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian, pada tanah air dan bangsa..



* * *


Sebagai penterjemah Indonesia-Tionghoa, Shannu telah memberikan karya baktinya di Pustaka Bahasa Asing Beijing dan Radio Beijng. Tidak semata-mata sebagai pekerja bahasa tetapi juga dalam rangka mempererat hubungan persahabatan Indonesia -Tiongkok. Inilah semangat yang menjiwai Shannu ketika bekerja di Tiongkok.


Ada satu hal yang dilakukan Shannu, yang akan selalu dikenang. Ketika masih di Indonesia Shannu berhasil menterjemahkan sebuah novel yang amat populer dan merupakan best seller di Tiongkok, berjudul *NYANYIAN REMAJA*, karya penulis terkenal Tiongkok *YANG MO*. Novel Nyanyian Remaja Edisi bahasa Inggris: *THE SONG OF YOUTH*, mengisahkan kehidupan dan perjuangan patriotik revolusioner mahasiswa-pemuda Tiongkok ketika itu melawan rezim reaksioner Tjiang Kai-syek dan agresi serta pendudukan militer Jepang atas Tiongkok.


Novel Tiongkok "Nyanyian Remaja", yang mengisahkan perjuangan revolusioner gagah berani mahasiwa dan pemuda Tiongkok tsb merupakan suri teladan bagi pejuang-pejuang lainnya di Tiongkok. Juga bagi kaum muda negeri-negeri lain. Diterbitkannya edisi Indonesia terjemahan Shannu merupakan sumbangan berharga bagi literatur progresif revolusioner Indonesia.


* * *


*Shannu telah meninggalkan kita. Kenang-kenangan megnenai pribadi , perkjaan dan perjuangannya, tidak akan terlupakan.*


Semoga istrinya Mei, dan putra-putgerinya Inchung dan Maya tabah menghadapi musibah ini.



* * *





**

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Amsterdam, Minggu Pagi *
*20 Januari 2013*
*-----------------------*




*BANJIR MENGUBAH “WAJAH” JKT*


**



Minggu Pagi, . . . .

Setelah seminggu bekerja, sekolah, berbisnis atau melakukan kegiatan lainnya, orang-orang umumnya beristirahat. Pada “mbangkong”. Baru turun tempat tidur nanti jam 10, 11, atau jam 12 siang. Tentu, terkecuali mereka yang siap-siap untuk berangkat beribadah ke Baitullahnya para penganut agama Kristen.


Namun, begitu buka compu, . . . mengklik “E-mail ophalen” (masukkan e-mail) dan kemudian “Postvak In”, . . . hari ini, . . . tokh e-mail yang masuk sudah mencapai 150 item. Itu pasti bertambah terus. . . . . Biasanya seharinya tidak kurang 300-an email yang masuk. Belum lagi yang masuk di Facebook. Pokoknya begitu buka compu biasalah . . . . akan berjam-jam “nyantol” di situ.


* * *


Belakangan ini begitu memasuki media internet . . . setiap detik kita dihubungkan dengan suasana Jakarta memilukan yang dilanda musibah tahunan . .. *BANDJIR*. Membikin hati ini jadi gundah dan sedih. Ikut merasakan betapa penderitaan yang dialami penduduk Jakarta karena bencana alam ini. Terkadang melintas di fikiran:


Apakah benar, banjir ini bencana alama semata? Aku ingat ketika masih “bocah”, sebagai ÁNAK BETAWI”. Sungguh tak pernah mengalami banjir setiap tahun seperti dewasa ini? Apakah tak ada sebab l;ainnya? Tidakkah karena ulahnya manusia jail yang demi keuntungan pribadinya, yang menyebabkan banjir setiap tahun sperti ini?


Mas Goen (Goenawan Mohamad), kemarin membikin “sentilan” di Facebook-nya . . . dengan pesan mari periksa bersama, sesungguhnya apa yang menyebabkan Jakarta setiap tahun kenbanjiran begini!?


* * *


Kali ini ketika mengikuti liputan mengenai banjir di Jakarta, agak lain reaksi yang kualami . . .Beberapa hari ini bgitu banyak berita maupun foto-foto yang terpampang diinternet mengenai DERITA penduduk JAKARTA: B A N J I R L A G I:


Tanpa disadari, entah mengapa mataku terpancang pada sebuah email yang masuk dikirim oleh seorang yang menggunakan “nama-pena” . . . *AJEG* . . .


Ajeg mengungkap dan menyoroti, minta perhatian pembaca pada *SATU HAL PENTING* yang muncul dari musibah BANJIR di Jakarta. Itu ia simpulkan dalam judul liputannya: *BANJIR MENGUBAH “WAJAH” JKT.*


Ajeg melihat suatu fenomena yang mencerminkan watak asli rakyat kita, yaitu *SEMANGAT GOTONG ROYONG yang berdominasi* ketika menghadapi musibah banjir. Ajeg juga menyatakan bahwa semangat dan jiwa, nurani rakyat kita: GOTONG ROYONG, INILAH ASLINYA WATAK RAKYAT KITA . . . . .


Sehingga memperkuat perasaan dan sikap kita yang selalu *BANGGA JADI ORANG INDONESIA!!*


Ini antara lain yang ditulis Ajeg:
Secara sukarela penduduk yang lebih beruntung itu melakukan apa saja yang bisa mereka lakukan untuk membantu saudara-saudarinya yang tertimpa musibah banjir. Mulai yang memborong makanan-minuman serta kebutuhan sehari-hari seperti selimut, pakaian dalam perempuan, pembalut, maupun popok bayi, sampai sekedar menyumbang pakaian bekas, uang, maupun tenaga. Yang memiliki perlengkapan luar-ruang seperti tenda, kantong tidur, lentera, perahu karet dll juga tak mau ketinggalan. Tanpa ragu mereka keluarkan semuanya dari gudang. "Cuci gudang," kata mereka riang. Tak jadi soal, yang terpenting ikhlas dan bisa berfungsi.

“*Ya, di saat-saat seperti inilah kita bisa merasakan adanya kebersamaan itu. Menyaksikan bahwa rasa saling memiliki di antara warga telah mengalahkan segala kepentingan pribadi.
*Sekat-sekat sosial yang sehari-hari tampak kokoh pun roboh. **Tak kuat menahan gempuran niat untuk saling menyapa. *

Tulis Ajeg selanjutnya . ..


“*Pertanyaan pun segera disebar ke kawan-kawan di wilayah lain. Televisi-radio-internet pun disimak. Sejumlah simpul ditarik, berbagai analisa dibuat, dan ujungnya terhenti pada kesimpulan, wajah Jakarta berubah...Berubah bukan saja secara fisik perkotaan (itu pasti) tetapi lebih dari itu terjadi perubahan reaksi warga atas musibah kali ini. Reaksi yang begitu wajar. Tidak dibuat-buat dan tidak pula berlebihan. Reaksi yang sangat berbeda dibanding ketika banjir tahunan, banjir besar tahun 2002 dan 2007, bahkan dari banjir 2012. Tidak ada cercaan, tidak ada kecaman. Bagi saya pribadi & rekan, ini sebuah fakta yang sedikit mengejutkan. Tidak mungkin ini bentuk apatisme kalau mengingat adanya kerlipan di mata warga tadi.
. . . . .


Mari telusuri bersama lengkapnya LIPUTAN AJEG, sbb:
 
*BANJIR MENGUBAH “WAJAH” JKT*/

/Dari "dugeman" sepanjang malam tadi sangat bisa dirasakan/
/derita penduduk Jakarta terutama di tempat-tempat penampungan/
/penduduk yang tempat tinggalnya terendam banjir. Derita/
/yang beriak bergelombang ke segala arah itu, seperti biasa,/
/menerpa juga penduduk di wilayah yang kebetulan tidak terkena/
/banjir./

/Secara sukarela penduduk yang lebih beruntung itu melakukan/
/apa saja yang bisa mereka lakukan untuk membantu saudara-/
/saudarinya yang tertimpa musibah banjir. Mulai yang memborong/
/makanan-minuman serta kebutuhan sehari-hari seperti selimut,/
/pakaian dalam perempuan, pembalut, maupun popok bayi, sampai/
/sekedar menyumbang pakaian bekas, uang, maupun tenaga./
/Yang memiliki perlengkapan luar-ruang seperti tenda, kantong/
/tidur, lentera, perahu karet dll juga tak mau ketinggalan./
/Tanpa ragu mereka keluarkan semuanya dari gudang. "Cuci gudang,"/
/kata mereka riang. Tak jadi soal, yang terpenting ikhlas dan/
/bisa berfungsi./

/Ya, di saat-saat seperti inilah kita bisa merasakan adanya/
/kebersamaan itu. Menyaksikan bahwa rasa saling memiliki/
/di antara warga telah mengalahkan segala kepentingan pribadi./
/Sekat-sekat sosial yang sehari-hari tampak kokoh pun roboh./
/Tak kuat menahan gempuran niat untuk saling menyapa./

/Semua itu sebenarnya "pemandangan sehari-hari" yang biasa saja/
/di masyarakat kita setiapkali menghadapi musibah. Akan tetapi/
/pada musim banjir kali ini pemandangan itu sedikit berubah./
/Setidaknya di sejumlah kawasan Jakarta Selatan dan Timur yang/
/kami hampiri sepanjang Jum'at sore hingga Minggu pagi tadi./
/Sepanjang waktu itu tidak seorang pun dari kami mendengar satu/
/cercaan pun, apalagi kecaman, dari warga../

/Sebagian besar warga tetap tersenyum, atau berusaha tersenyum,/
/menerima keadaan yang tak terelakkan ini. Walaupun sangat lemah,/
/optimisme tampak berkelip di sorot mata penduduk. Saya, istri,/
/dan rekan-rekan baru menyadari hal ini pagi tadi setelah kembali/
/berkumpul di rumah./

/Pertanyaan pun segera disebar ke kawan-kawan di wilayah lain./
/Televisi-radio-internet pun disimak. Sejumlah simpul ditarik,/
/berbagai analisa dibuat, dan ujungnya terhenti pada kesimpulan,/
/wajah Jakarta berubah.../

/Berubah bukan saja secara fisik perkotaan (itu pasti) tetapi/
/lebih dari itu terjadi perubahan reaksi warga atas musibah/
/kali ini. Reaksi yang begitu wajar. Tidak dibuat-buat dan/
/tidak pula berlebihan. Reaksi yang sangat berbeda dibanding/
/ketika banjir tahunan, banjir besar tahun 2002 dan 2007,/
/bahkan dari banjir 2012. Tidak ada cercaan, tidak ada kecaman./
/Bagi saya pribadi & rekan, ini sebuah fakta yang sedikit/
/mengejutkan. Tidak mungkin ini bentuk apatisme kalau mengingat/
/adanya kerlipan di mata warga tadi./

/Fakta kecil ini sudah seharusnya semakin mendorong para petinggi/
/ibukota untuk bekerja lebih giat mengembangkan senyum warganya./
/Membuat ibukota ini menjadi tempat yang benar-benar laik huni bagi/
/manusia./

/Singkatnya, jangan sia-siakan dukungan dan kepercayaan warga kota./
/Sebab, para petinggi juga manusia seperti warganya. Jangan pernah/
/merasa lebih dari itu./

/http://www.youtube.com/watch_popup?v=f-zR65eXXPc&vq=large/




Sunday, January 13, 2013

Pengakuan ALGOJO PEMBANTAIAN MASAL 1965 ??

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 12 Januari 2013
-----------------------------

----- Pengakuan ALGOJO PEMBANTAIAN MASAL 1965 ??
----- YANG “KAKAP” BELUM MENGAKU TERUS-TERANG


* * *


Atas undangan terbatas sahabat-karibku, jurnalis/penulis Chalik Hamid, Jum'at siang kemarin, kami berkesempatan menonton film “THE ACT OF KILLING” di rumah Chalik di Amsterdam Noord. Judul bahasa Inggris film tsb diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh para pembuat film menjadi “JAGAL”.


Hadir pada pemutaran film “Jagal”: --- M.D Kartaprawira, Ketua Lembaga Pembela Korban 65 Holland (LPK65 Holland), Soelardjo, Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI); Sungkono, Ketua Perhimpunan Persaudaraan; Husin, Arisan Utrecht, Sarmaji, Perdoi, dan Aminah Idris dari grup wanita Indonesia DIAN. Undangan terbatas. Sesuai yang dipesankan oleh produser film Joshua Oppenheimer kepada Chalik Hamid. Ini, disebabkan adanya pengaturan bahwa film tsb baru bisa dipertunjukkan untuk umum setelah diputar di Festival Film Internasional yag akan diadakan di Den Haag dan Berlin dalam waktu dekat ini.


* * *
Seorang cinematograf berbangsa Inggris, Joshua Oppenheimer, belum lama menyelesaikan sebuah film dokumenter – historis sekitar tahun-tahun 1965 di Indonesia. Di saat ketika Jendral Suharto dengan memanfaatkan gagalnya G30S, telah merebut kekuasaan negara dan pemerintah Indonesia dari Presiden Sukarno ketika itu.. Pada waktu bersamaan Jendral Suharto dan divisi KOSTRAD dengan bantuan para pendukungnya, memulai kampanye persekusi, pembantaian dan pemusnahan anggota-anggota PKI, diduga PKI atau simpatisan PKI serta pendukung Presiden Sukaarno lainnya. Pada periode itu seperti terjadi juga di Jatim, Bali dan tempat-tempat pembantaian lainnya, Jendral Suharto dan tentara di bawah komandonya menggunakan, mengomandoi, dan berkordinasi dengan para preman seperti Anwar Congo dkk.
Sebagian dari kampanye pembantaian, genosida terhadap warganegqara tak bersalah, sekitar tahun 65-an abad lalu, telah diabadikan oleh cinematograf berbangsa Inggris, JOSHUA OPPENHEIMER, dalam sebuah film dokumenter berjudul “THE ACT OF KILLING”. Patut dicatat, bahwa Oppenheimer telah memberikan sumbangsih penting,mengungkap pelanggaran HAM berat yang berlangsung di Indonesia, menunjukkan di depan kamera siapa-siapa para pelanggar HAM berat tsb.


Namun, patut dicatat untuk diungkap lebih lanjut, tentang para algojo yang KAKAP di kalangan aparat negara dan bukan TERI seperti Anwar Congo dkk para oreman Pemuda Pancasila. Perlu diungkap pentingnya, menegakkan hukumm. Yaitu menindak lanjuti pengakuan yang diungkapkan oleh mantan Mayjen Sarwo Edhi yang menyatakan bahwa fihak militer dan pendukung-pendukungnya telah membantai dalam satu periode GENOSIDA, kira-kira 3 juta orang Komunis, dituduh Komunis atau simpatisan Komunis.
Menyaksikan film dokumenter “Jagal”, dari mula sampai akhir, tidak habis-habisnya pertanyaan muncul di fikiran: BAGAIMANA BISA TERJADI BERLANGSUNGNYA di INDONESIA, TINDAKAN ALGOJO seperti yang dipertontonkan sendiri oleh para pelakunya in person; -- Begitu blak-blakan tanpa tédéng aling-aling, . . . . diperragakan dalam adegan-adegan rekonstruksi di depan kamera. Persis seperti serial-serial TV mutakhir berjudul REALITY Serie atau “waargebeurde verhalen” (cerita-cerita yang sungguh terjadi) di TV Belanda.


Yang lebih mengherankan lagi ialah bahwa para pelaku pembantaian itu, para algojo a.l terdiri dari ANWAR CONGO dkk, mengisahkannya dengan santai, tertawa sinis , menyeringai serta bangga melakukan pembunuhan dengan menggunakan dua belah tangannya sendiri, --- menarik kawat besi yang dililitkan pada leher sang korban, --- atau meletakkan leher korban di bawah kaki meja dan meja diduduki ramai-ramai oleh para algojo, terhadap manusia-manusia tak bersalah, orang-orang PKI, dituduh PKI, Pemuda Rakyat, atau simpatisan Komunis. Sulit bisa memahami bagaimana para pelaku Jagal tsb, Anwar Congo dkk, menyatakan di depan kamera, bahwa dirinya adalah pahlawan-pahlawan yang telah “menyelamatkan Indonesia dari Komunisme”. Bahwa mereka tidak merasa bersalah. Ini setelah salah seorang dari para preman algojo itu menyatakan di depan kamera, bahwa apa yang mereka lakukan itu sesungguhnya LEBIH KEJAM DARI APA YANG DILAKUKAN OLEH G30S.


Sebelum terjadi G30S, Anwar Congo dkk adalah preman-preman, gangster-gangster pencatut gelap karcis bioskop di Medan dll tempat.


Dalam film dokumenter ini tetdapat adegan yang memberikan gambaran bagaimana saling hubungan, tali-menali antara para preman dan penguasa pada sistim kekuasaan di Indonesia pada sebelum dan sesudah Reformasi. Anwar Congo, sang Jagal, berpeluk-pelukan dengan Gubernur Sumatera Utara (ketika itu sang gubernur masih menjabat, . . . . tapi kemudian masuk penjara karena terlibat kasus korupsi besar). . . . . Anwar Congo diterima dengan ramah sebagai kawan lama, di rumah kediaman resmi Gubernur Sumatera Utara. Mencerminkan hubungan mesra antara penguasa dengan para algojo.


* * *


Di bawah ini, adalah SYNOPSIS film tsb yang merupakan perpaduan dari yang ditulis oleh CATHERINE SHOARD -- Guardian.co.uk. Jum'at 14 Sept 2012 sumber Wikipedia, --- dengan sedikit di edit dari sumber film itu sendiri.


Melalui film dokumenternya, JOSHUA OPPENHEIMER telah menciptakan kembali korban-korban tahun 1960-an yang dilakukan oleh regu-pembantai Indonesia.
The Act of Killing (“Jagal”) adalah film yang paling baik dan paling menakutkan di Festival Film Toronto; -- sebuah iflm yang paling baik tahun lalu.


* * *
Film ini adalah sebuah dokumenter mengenai regu-pembunuh Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an, yang melakukan penyiksaan dan membunuh orang-orang komunis. Tetapi film itu juga merupakan film di dalam film. Seperti ketika Joshua Oppenheimer mendesak ganster-gangser yang sudah manula itu, untuk memperragakan kembali tindakan-tindakan mereka, dalam skala yang semakin terperinci. Mereka menyeringai sambil melakukannya dengan amat serius. Suatu adegan pencekikan agak terhenti, tersela oleh suara orang azan menyerukan solat. Tetapi mereka kemudian meneruskan aksi mereka.

. . . .
Dalam wawancara selanjutnya terlihat organisasi para-militer Pemuda Pancasila menjelaskan bagaimana mereka terinspirasi dalam penampilan mereka dan kekejamana mereka oleh film-film (Amerika) ketika itu.
Tokoh yang paling karismatik di antara mereka adalah, ANWAR CONGO. Rambutnya dicelup hitam keriting. Dalam salah satu adegan tampak Anwar Congo sedikit dihantui oleh tindakan-tindakan kejamnya itu. Congo mengakui bahswa ia berusaha, untuk melupakannya dengan mendengarkan musik dan dansa, dengan minum bir, minuman keras lainnya, extasi dan marihuana. Kerjasama politik antara politsi, kalangan media dan para preman diungkapkan melalui celetukan seorang penerbit sekutu preman, yang menyatakan “kita kedip saja mata kita, dan matilah mereka”. Seorang deputi menteri menyatakan terang-terangan : --- “kami memerlukan gangster-gangster ini untuk melakukan pekerjaan itu””(melakukan pembunuhan).
Ada kritik terhadap Oppenheimer karena tidak mewawancarai para korban yang lolos dari pembantaian para preman itu.


Tetapi tidak jadi apa..Karena kita tahu apa yang dilakukan oleh para preman itu adalah suatu GENOSIDA. Demikianlah a.l synopsis yang ditulis oleh waartawan “Guardian”, dengan sedikit pengeditan) .


* * *






Soal bahasa-daerah (Dalam Online di Facebook hari ini)

IBRAHIM ISA
Dari Facebook, Pagi  12 Jan 2013
-----------------------------------------

Soal bahasa-daerah (Dalam Online di Facebook hari ini)

Soal bahasa-daerah diajarkan sebagai salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar.... bagi daerah-daerah yang selama ini melakukannya, sebaiknya - TERUS SAJA.
Tidak ada argumentasi, belum kedengaran apa alasannya yang wajar dan masuk akal mengapa harus dihentikan.

Bagi daerah-daerah yang ingin memulai memberikan bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran di SD . . . SILAKAN.Sebagai suatu eksperimen. . . . Pernah saya baca sebuah artikel . . disitu dijelaskan bahwa dalam salah satu Ency Bahasa-bahasa Dunia, tidak ada tercatat bahasa Indonesia. Yang tercatat malah BAHASA JAWA. . . .

Alasan . . . mengapa tidak dicatat bahasa Indonesia di Ency itu . .. karena BAHASA INDONESIA yang standar . . . TIDAK DIGUNAKAN DALAM PERCAKAPAN SEIHARI-HARI dalam keluarga-keluarga Indonesia. Di dalam keluarga INDONESIA, yang dipakai adalah BAHASA DAERAH . . . .

Dalam hal ini mayoritas penduduk Indonesia menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa berkomunikasi, sebagai bahasa percakapan sehari-hari. Bahasa Indonesia HANYA digunakan di sekolah-sekolah, di kantor-kantor pemerintah, di pengadilan, di DPR dan di media . . . .

Walhasil . . . . timbul pertanyaan . . . . . MENGAPA PULA JUSTRU BAHASA YANG HIDUP DI KALANGAN MASYARAKAT, malah mau dihapuskan sebagai mata pelajaran bahasa bagi yang selama ini sudah memberlakukannya ... ???

ADA-ADA SAJA . . . Bagaimana MAS GOEN???? . . . .

*


 Goenawan Mohamad


*21 hours ago via Mobile *
*Akhir-akhir ini ada semangat melawan penghapusan bahasa daerah dari sekolah, dalam Kurikulum 2013.
Saya tahu, tidak pernah ada rencana itu. Dan penghapusan bahasa daerah adalah kekeliruan sewenang-wenang.

Tapi masalahnya: bahasa daerah mana yang diajarkan di sekolah? Sejak bertahun-tahun, anak sekolah di Jawa Tengah diajari bahasa Jawa -- artinya bahasa Solo-Yogya. Tapi tak ada bahasa Tegal atau Banyumas.

Persoalan lain: di sebuah kota yang penduduknya tak terdiri dari pengguna satu bahasa, bahasa mana yang dipilih? Bagaimana memilihnya? Siapa yang menentukan? Atau diajarkan tiap bahasa ke tiap kalangan pengguna bahasa?

Saya harap ada yang memikirkan ini -- bukan hanya menyerukan "jangan tidak ajarkan bahasa daerah".*

Thursday, January 10, 2013

*AKU BANGGA JADI ORANG INDONESIA . . .*

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Rabu, 09 Januari 2013**
-----------------------*


*AKU BANGGA JADI ORANG INDONESIA . . .*

“*/Sorry ya, Aku tidak malu jadi orang Indonesia”, (Rosihan Anwar)./*


“Aku bangga jadi orang Indonesia . . “ , ungkapan tsb adalah letupan 
“reaktif” ketika membaca tulisan yang sesekali menyatakan bahwa 
penulisnya “malu jadi orang Indonesia”. Memang ia kebetulan dilahirkan 
sebagai orang Indonesia.


* * *


Dua hal aku sependapat dengan mendiang mantan wartawan kawakan, *Rosihan 
Anwar*, yang lebih suka disebut “wartawan senior”.


Pertama, -- ketika Rosihan berreaksi keras terhadap cetusan sementara 
orang yang “merasa malu sebagai bangsa Indonesia”. Ikuti sajak Rosihan 
menentang korupsi: Yang dibacakan pada acara Deklamasi Puisi di Gedung 
Da'wah Muhammadiyah di Jakarta, 31 Desember 2004. Dan yang Rosihan juga 
bacakan dalam acara pertemuan keluarga wartawan senior pada tanggal 9 
Januari 2005, di Jakarta, a.l berbunyi sbb:


*/. . . . . . ./*


*/'Akan tetapi drakula-drakula Indonesia tetap perkasa
Beroperasi 24 jam, ya malam ya siang mencari korban
Sehingga sia-sialah aksi melawan korupsi membasmi drakula
Yang telah merasuki rongga dan jiwa aparat negara
Yang membuat media memberitakan
Akibat bisnis keluarga pejabat, Tutut-Tutut baru bermunculan.

'Aku orang terpasung dalam terungku kaum penjarah harta negara
//Akan aneh bila berkata aku malu jadi orang Indonesia
Sorry ya, Aku tidak malu jadi orang Indonesia//
Kuhibur diri dengan sajakku magnus opus karya sang Empu
Sajak pendek yang berbunyi:
Katakan beta
Manatah batas
Antar gila Dengan waras
Sorry ya, inilah puisiku melawan korupsi
Siapa takut?'/*


Dalam sajak di atas Rosihan tegas sekali melawan kultur dan praktek 
korupsi yang merjalela di negeri kita, TETAPI bukanlah karena iut DIA 
JADI MALU SEBAGAI ORANG INDONESIA.


Mari baca lagi ungkapan Rosihan, yang dengan tegas-tegas memisahkan 
antara kelakuan dan moral bejat sementara orang Indonesia dengan . . . . 
INDONESIA sebagai suatu BANGSA:

/*
'Aku orang terpasung dalam terungku kaum penjarah harta negara
Akan aneh bila berkata aku malu jadi orang Indonesia
Sorry ya, Aku tidak malu jadi orang Indonesia*/



*/* * */
*

Berikutnya, aku sefikiran dengan Rosihan, ialah ketika Rosihan 
memberikan penilainnya yang positif mengenai arti historis Konferensi 
Asia-Afrika di Bandung (1955) dan peranan Indonesia di dalam konferensi 
bersejarah itu. Tulis Rosihan a.l :

*'Indonesia sukses menyelenggarakan KAA walaupun keadaannya masih sukar 
dan pengalamannya masih kurang. Tapi, Indonesia tetap maju ke depan dan 
aktif bergerak dalam human pilgrimage, perjalanan umat manusia.*

*'Apakah pengetahuan sejarah tentang KAA itu tidak memberi inspirasi dan 
optimisme bagi generasi sekarang untuk menatap masa depan? Saya yakin 
ada, karena itu ada gunanya memperingati 50 tahun KAA Bandung. God bless 
Indonesia.'*Demikian Rosihan Anwar tentang arti sejarah Konferensi AA di 
Bandung (1955).


Di sini Rosihan menunjukkan bahwa ia benar-benar BANGGA SEBAGAI ORANG 
yang merupakan bagian dari BANGSA INDONESIA.


* * *


Begitu membudayanya korupsi, semakin parahnya kemerosotan politik dan 
moral para elite kalangan berkuasa, dan merjalelanya mafia hukum . . . 
namun, tidak seharusnya kita mengindenfikasikan karakter dan ciri bangsa 
ini sebagai bangsa yang sudah “bobrok dan bejat”. Dan sudah ada di tepi 
jurang kehancuran. Sehingga karena itu lalu “menjadi malu jadi orang 
Indonesia”. Mereka lalu hilang harapan dan tidak bisa lagi melihat hari 
depan yang cerah dan jaya bagi bangsa dan tanah air ini. Pandangannya 
mengenai haridepan bangsa dan negeri ini . . . . mandek, muram, guram 
dan pesimis . . . . . Terbenamlah mereka-mereka itu dalam arus jiwa yang 
. . . . pasrah!!


*Bukankah seharusnya kita malah merasa bangga sebagai orang Indonesia? 
*Bangsa ini, dengan berani dan ulet dan dalam jangka panjang, dengan 
kekuatan perlawanan massa rakyat berjuang demgam penuh pengorbanan. 
Akhirnya berhasil merebut kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Bangsa 
ini telah berhasil tumbuh menjadi suatu bangsa berkepribadian yang 
sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya.


* * *


Betapa tidak merasa bangga, ketika pada suatu kesempatan mendengar kisah 
*dr Suharman,*salah seorang dosen Universitas Gajah Mada yang kukenal 
pribadi. Ia menyampaikan sendiri kisahnya itu, pada suatu pertemuan di 
UGM, Yogyakarta (September 2012), dengan kami yang datang berkunjung ke 
*Wertheim Collection Library*di Universitas Gajah Mada tahun lalu. 
Dengan ongkosnya sendiri dr Suharman menghimpun dan mengajak beberapa 
siswanya (juga dengan ongkos sendiri) untuk bersama dia berkunjung ke 
suatu pelosok tanah air kita, yang amat terbelakang di Sumbawa. Di situ 
mereka bergaul dengan masyarakat setempat, terutama di lingkungan 
pendidikan untuk beberapa waktu lamanya.


*Tujuan kunjungan tsb ialah agar generasi muda harapan bangsa yang sudah 
berhasil mencapai pendidikan tinggi, . . . bisa mengkhayati keadaan 
kehidupan yang nyata mdari rakyat kita.*Menyaksikan sendiri kesulitan 
melakukan pendidikan dasar untuk rakyat, melihat sendiri keterbelakangan 
keadaan hidup dan pendidikan di pulau terpencil itu. Dengan demikian 
mengajak generasi muda yang terpelajar mengenal langsung betapa sulit 
dan terbelakangnya rakyat kita yang terpencil di paling plosok dari 
tanah air kita. Agar para mahasiswa generasi baru menyadari bahwa masih 
banyak yang harus dilakukan, yang harus diperjuangkan, demi membangun 
bangsa dan tanah air.


*Kegiatan mengenal rakyat sendiri, berusaha memberikan sumbangsihnya 
demi meningkatkan taraf pendidikan rakyat, akan dilakukan berulang kali 
oleh dr Suharman!*


* * *


*Gerakan Indonesia Mengajar, adalah sebuah gerakan yang *diinspirasi 
proses panjang yang dibangun selama bertahun-tahun. Proses ini adalah 
gabungan dari: 1) Pelajaran dari berbagai generasi, 2) Perjalanan 
aktivitas pengabdian maupun interaksi dengan berbagai masyarakat, 3) 
Pengetahuan modern yang dipetik dari dunia akademik global.


Mari ikuti a.l laporan Retno Widyastuti yang berjudul***Pesan Anies 
Baswedan kepada Pengajar Muda (pasca Penugasan)* 
*sbb:*


Tanggal 10 November 2011 yang lalu, *Pengajar Muda angkatan pertama* 
(periode November 2010 - November 2011) kembali dari lokasi penempatan 
mereka setelah *setahun bertugas*. Tentunya, dalam kurun waktu tersebut, 
mereka mendapatkan pengalaman hidup yang luar biasa kaya.

*Anies Baswedan selaku penggagas dan ketua Indonesia Mengajar 
*menyampaikan pesan bagi *Pengajar Muda *yang baru kembali dari 
desa-desa di pelosok itu, a.l sbb:



* * *

“Hari ini sebuah tugas telah purna. Perjalanan setahun yang penuh 
kenangan telah berakhir. Kalian akan memulai sebuah babak baru, mencari, 
dan menemui tantangan baru. Perjalanan kemarin menjadi bagian dari masa 
lalu kalian. Kebahagiaan, keharuan, kegetiran, problem, tetes air mata, 
dan keringatmu itu adalah bagian dari masa lalu.

Pengajar Muda, kalian telah memainkan peran bagi saudara sebangsa, 
sekecil apapun peran itu menurutmu. Kalian risih mendengarnya dan tak 
pernah mau disebut pahlawan, karena itu memang bukan urusanmu. Itu bukan 
urusan kita. Label-label itu adalah urusan para sejarawan nanti. Urusan 
kita adalah soal turun tangan atau lipat tangan. Kalian pilih turun 
tangan. Kalian pilih kemuliaan, kalian tak banyak cakap, kalian 
tinggalkan banyak urusan dan kalian terlibat langsung di berbagai 
penjuru tanah air.

Pengajar Muda yang tercinta, kalian sudah lewati sebuah fase luar biasa 
dalam hidupmu. Lihat masa depan dengan tegak dan penuh optimisme. 
Sesekali boleh kalian tengok ke belakang, sesekali kalian buka catatan 
harian semasa pengabdian di desa itu. Rasakan lagi denyut suasana batin 
hari-hari kemarin. Resapi desiran rasanya.  Sesekali buka foto-foto itu. 
Lihat lagi wajah murid-muridmu, lihat wajah adik kakakmu, wajah ayah ibu 
angkatmu. Permanenkan suasana desa tempat kalian mengabdi di kenanganmu.

*Kalian hadir di sana selama satu tahun, jadi penyala harapan bagi 
mereka*. Padamu harapan itu ditautkan. . . . .

Pengajar Muda, . . .Kalian hidup dalam memori mereka selamanya. . . . 
Lihatlah yang terjadi saat kalian kemarin meninggalkan desa itu: ada 
yang rakyat sedesanya turun gunung ke jalan raya untuk melepas kalian 
pulang, atau yang satu kampung berdiri di atas dermaga papan seadanya 
untuk melepas kalian pulang naik perahu kecil atau warga sekampung 
kumpulkan lembar seribuan rupiah lusuh kumal sambil bilang buat “ongkos 
Pak Guru pulang”, atau pidato perpisahan kepala sekolah yang suaranya 
tersedak tangis dan tak sanggup dia teruskan. Mereka lepaskan butir demi 
butir air matanya karena hatinya tak sanggup lepaskan kalian pulang. 
Butiran air di mata mereka adalah cermin kehadiran pengabdianmu di desa itu.

Pengajar Muda, camkan ini: bagi mereka, melepas kalian pulang terasa 
seperti melepas sebuah harapan.  Harapan itu serasa terbang dari 
genggaman mereka. Pasanglah foto desa dan foto murid-muridmu di dinding 
kamar tidurmu. Tatap foto itu dan tetapkan sebuah kalimat di hatimu: 
Saya akan terus hadir, saya tidak pernah pulang, saya akan selalu 
bersama saudara-saudara sebangsa.

Pengajar Muda, selama setahun kalian mewakili kita semua, mewakili 
seluruh bangsa ini, hadir di sana memberikan harapan buat saudara 
sebangsa. Kalian tak minta penghormatan karena kalian tahu penghormatan 
itu bisa semu dan dipanggungkan. Kalian terhormat bukan karena 
penghormatan tapi karena kalian pilih sebuah langkah yang penuh 
kehormatan. Kalian dapat kehormatan untuk hadir di desa itu, kalian 
masih muda tapi sudah ikut melunasi janji kemerdekaan kita: mencerdaskan 
saudara sebangsa. Sekecil apapun peran itu menurutmu, kalian telah pilih 
langkah terhormat.

Tiap kalian bangun pagi dan menyongsong tugas baru maka lihatlah foto 
itu dan ingatlah bahwa apapun yang kalian kerjakan nanti, yang serba 
sulit, yang serba berat adalah untuk meneruskan harapan mereka. Ingat 
lambaian tangan di tepi jalan raya, di tepi dermaga kayu, di depan 
sekolah-sekolah. Lambaian cinta tulus memancarkan harapan buatmu untuk 
tetap berjuang demi masa depan semua.

Bayangkan kesuksesan kalian itu dibayar dengan peluk kuat anak-anak yang 
mencintaimu. Bayangkan suatu saat nanti kalian pulang ke desa itu lagi, 
mendatangi tempat itu lagi dan dipeluk oleh anak-anak itu lagi. Suatu 
saat nanti, kalian jadi manusia dewasa yang berperan di republik ini, 
kalian jaga ikatan batin itu dengan mereka. Biarkan tali ikatan itu kuat 
agar mereka bisa selalu menarik manfaat ke desanya.

*Kemarin kalian menyalakan harapan, kalian menyalakan pelita, supaya 
gelap itu berubah jadi terang. Kini kalian masuki babak baru, tetapkan 
hatimu untuk menyalakan pelita dan harapan di seantero Indonesia. Kalian 
bukan hanya akan menerangi sebuah desa. Kalian akan hadir untuk 
menyalakan Indonesia kita jadi terang benderang.*



** * **



Pengajar Muda, di depan kalian kini ada peluang besar untuk meraih masa 
depan yang lebih baik buat semua. Pasang layar besar, cari angin yang 
kuat lalu arungi samudra dengan keyakinan dan keberanian. Di sana kalian 
akan temui gelombang besar, badai yang menggentarkan. Hadapi itu dengan 
keyakinan bahwa kalian akan besar, akan kuat, dan kelak setiap 
kehadiranmu akan punya efek yang dahsyat.

Jauhi sungai kecil walau indah dan tenang. Di sana mungkin dekat dengan 
pujian, banyak ketenangan. Jauhi itu. Pilihlah sungai besar, samudra 
luas yang arusnya kuat, yang penuh dengan tantangan. Arena yang bisa 
membuatmu dibentur-benturkan, dihantam tantangan. Arena yang bisa 
membuatmu makin kuat dan tangguh

*Persiapkan diri dengan baik tapi jangan pernah kalian gentar dengan 
benturan. Jangan pernah takut salah. Jangan takut dunia korporasi, 
jangan takut dunia pemerintahan, jangan takut dunia global.* Kalian 
masuki semua itu. Di semua sektor, republik ini perlu lebih banyak orang 
yang bisa menjaga kehormatan. Republik ini perlu lebih banyak orang yang 
pegang hati nurani secara radikal. Kalian jadi harapan kita semua. 
Kalian sudah rasakan bagaimana dicintai itu, kalian sudah rasakan 
bagaimana ketulusan itu. Bawa itu semua di gelanggang barumu.

Raihlah puncak-puncak tinggi itu, puncak-puncak yang jangkauannya sulit, 
yang tetes keringatnya banyak, yang kadang terasa pedih, yang bebannya 
berat. Tapi ingatlah wajah anak-anak itu, ingat lambaian tangan saudara 
sekampungmu itu selama kalian meniti perjalanan kerja dan hidup kalian 
nanti. Dan sesungguhnya, seberat-beratnya tantanganmu, tantangan yang 
mereka hadapi di kampung sana sering lebih terjal, jalannya sering tanpa 
penunjuk arah.

*Di tempat-tempat barumu nanti, yang mungkin senyap, mungkin jauh dari 
hiruk pikuk “perjuangan” tapi yakinlah bahwa kerja itu adalah bagian 
penting dari ikhtiar kolektif generasi baru anak bangsa ini*. Kerjakan 
hal-hal yang mungkin nampak tak penting dan tak heroik, tapi jalani itu 
dengan kesungguhan untuk menuju keberhasilan baru.

Ingat wajah saudara barumu di desa itu dan tetapkan dengan penuh percaya 
diri: akan kucapai puncak-puncak baru. Lalu kerja keraslah dan capailah 
puncak-puncak tinggi itu. Di sana kalian kumandangkan suara hati nurani. 
Jangan kalian pilih puncak-puncak rendah yang mudah dijangkau.

*Kalian sudah rasakan bagaimana sebuah karya betapapun kecilnya bisa 
menggulirkan perubahan.*  Songsong dan rasakan perubahan itu di 
arena-arena besar. Jelajahi jalan baru yang mendaki, jangan pilih jalan 
yang datar atau jalan turun. Jalan datar itu nyaman menjalaninya, jalan 
menurun itu ringan melewatinya. Sesungguhnya melalui jalan mendaki 
itulah kalian bisa mencapai puncak baru untuk mengumandangkan hati 
nurani, mengumandangkan pesan anak-anak desa pelosok itu.

Jalan mendaki itu bisa sempit dan bisa membuat kalian tak leluasa 
bergerak tapi jalani itu dengan kesungguhan dan totalitas: mendakilah 
terus. Begitu sampai di puncak kalian akan leluasa bergerak. Seruan 
kalian akan terdengar dan berdampak bukan saat masih di jalan sempit 
yang membuatmu tak leluasa bergerak. Seruan kalian akan bisa 
menggetarkan dan berdampak justru saat kalian sudah sampai di 
puncak-puncak baru. Di puncak itulah seruan kalian akan terdengar ke 
seluruh  penjuru.

Buatlah kita semua bangga karena punya saudara seperti kalian, punya 
saudara anak-anak muda tangguh yang bisa membawa kantung berisi hati 
nurani sampai ke puncak.  Buat kita bangga karena menyaksikan kantung 
hati nurani kalian tidak bocor di perjalanan walau terjal dan mendaki.

*Pengajar Muda, terbanglah tinggi, jelajahi dunia. Di tiap penerbangan 
tinggi yang melampaui benua, kalian ingat desa itu. Di tiap pintu 
gerbang negara yang kalian kunjungi, tuliskan sebuah pesan untuk 
kampungmu di pelosok itu agar adik-adikmu di sana bisa pancangkan mimpi 
yang tak kalah tinggi.*

Buat saudara-saudaraku yang mengelola program di Jakarta, teman-teman 
tidak berada di pelosok Indonesia, tapi ruang-ruang kontor itu jadi 
saksi bisu atas ketulusan yang tak kalah dahsyat. Teman-teman jauh dari 
perhatian, jauh dari lampu terang benderang tapi hatimu terangnya luar 
biasa.

Ketulusan teman-teman memancar dan menyilaukan. Teman-teman yang 
senyatanya menggelindingkan bola salju kecil itu jadi bola salju besar 
dan menggulir cepat. Pada teman-teman pahala besar dan kuat itu 
menempel. Teman-teman bekerja siang-malam untuk membesarkan, merawat, 
dan menggelorakan semangat pengabdian itu jadi seperti sekarang.  Juga 
untuk keluarga-keluarga di rumah, apresiasi kita yang luar biasa untuk 
mereka di rumah yang merelakan sebagian waktunya diambil untuk mengelola 
bola salju ini. Juga terima kasih dan apresiasi untuk Indika Energy yang 
sedari awal sekali sudah memberikan dukungan pada ikhtiar ini. Dukungan 
dari Indika Energy inilah yang telah memungkinkan sebuah ide menjadi 
realita. Dan, apresiasi untuk semua pihak yang mendukung sejak mulai 
gagasan hingga selesainya siklus pertama program ini. Mari bersama-sama 
kita jaga bola salju ini tetap putih, tetap bergulir, dan tetap membesar.

*Saudara-saudaraku Pengajar Muda, selamat menjalani fase baru hidup. 
Kalian anak-anak muda terpilih, kalian telah membuktikan bahwa kita 
masih punya cukup stok anak muda pejuang. Kalian membuktikan bahwa 
keluarga-keluarga Indonesia tetap keluarga pejuang dan kalian telah 
tanamkan bibit optimisme yang dahsyat. *Jaga ikatan persaudaraan ini, 
jaga tali nurani ini, jaga ketulusan ini, jadikan persaudaraan kita 
menjadi /hub of trust/yang bisa mendorong kemajuan di republik tercinta 
ini. Jadikan persaudaraan ini sebagai /fountain of hope/yang memancarkan 
harapan buat kita semua.

*Selamat Pengajar Muda, selamat saudaraku, selamat melanjutkan 
perjalanan....*



* * *

Itu adalah kata-kata mutiara patriotisme yang disampaikan oleh Anies 
Baswedan. Usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Anies Baswedan dan 
kawan-kawanny dengan para pendukungnya, bukankah *membuktikan bahwa kita 
harus BANGGA JADI ORANG INDONESIAN”*



Anies Baswedan dengan kegiatannya sekitar INDONESIA MENGAJAR, yang 
diprakarasinya telah memobilisasi para sarjana muda Indonesia untuk” 
“cancut tali wondo” turun ke desa-desa terpencil di pulau-pulau pelosok 
tanah air yang jauh dari kehiruk-pikukkan dan kemewahan Jakarta, 
Bandung, Surabaya, Medan, Ujung Pnadang dll kota besar. Di sana setahun 
lamanya mereka ikut hidup bersama rakyat yang miskin dan jauh dari 
kemewahan pusat.



*Dalam kegiatan dan hidup bersama rakyat, telah terbina perasaan CINTA 
TANAH AIR DAN CINTA BANGSA. *



Sungguh terhormat dan mulya usaha dan ketgiatan yang di lakukan 
INDONESIA MENGAJAR.



* * *



Sudah sepantasnyalah kita merasa bersyukur dan bahagia bahwa di kalangan 
kita, dari dalam tubuh bangsa Indonesia, masih ada seorang Anies 
Baswedan dan seorang Suharman. Tidak diragukan, ---- masih ada banyak 
lagi dan masih akan lahir lagi Suharman-Suharman dan Baswedan-Baswedan 
lainnya di kalangan bangsa ini.



*Bukankah kita patut pula MERASA BANGGA SEBAGAI ORANG INDONESIA 
tergoloong bangsa yang memilki manusia-manusia yang cinta tanah air dan 
bangsanya, yang dalam tindakan nyata berbuat DEMI KEPENTINGAN KEMAJUAN 
BANGSA INI??*



* * *



Sunday, January 6, 2013

FOKUS : TULISAN PENTING DR ASVI WARMAN ADAM

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 05 Januari 2013
-------------------------------

FOKUS : TULISAN PENTING DR ASVI WARMAN ADAM

Surat kabar berbahasa Inggris “The Jakarta Post, Jum´at 04 Januari 2013, memuat tulisan Peneliti Senior LIPI, Dr. Asvi Warman Adam. Tulisan ini penting, punya arti khusus. Karena ia menganlisis dan memberikan kesimpulan sekitar PERLAWANAN TERHADAP STIGMATISASI REZIM ORDE BARU.

Terima kasih kepada Asvi dikirimi langsung artikel pentingnya itu.

Judul artikel dalam bahasa Inggris -- “Fifteen years of resistance against the New Order stigmatization”.

Dalam bahasa Indonesianya bila diterjemahkan bebas kira-kira berbunyi;

Lima Belas Tahun Perlawanan Terhadap Stigmatisasi Orde Baru”.

Mengharapkan akan lebih banyak lagi dibaca maka artikel Asvi itu disiarkan di Kolom ini, agar setidaknya yang biasa membaca tulisanku akan mengikuti tulisan penting Asvi Warman Adam tsb.

* * *

Meskipun kita telah memasuki era Reformasi dan Demokratisasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru, namun salah satu dari kebijakan policy Orba yang teramat kejam yaitu STIGMATISASI terhadap para korban Peristiwa Persekusi dan Pembantaian masal 1965-67-68 dst, masih terus berlangsung. Sehingga sampai saat ini perlawanan terhadap politik Orde Baru itu berlangsung terus. Bahkan menunjukkan tanda-tanda akan bertambah luas dan menyeluruh.

Asvi Warman Adam menelaah dan mengadakan analisis yang lebih kongkrit mengenai keadaan ini.

* * *

Asvi membuka artikelnya dengan mengemukakan fakta sbb:

Meskipun secara semantik (bisa diperdebatkan), “pelurusan sejarah” adalah ungkapan yang dipilih oleh para korban megnenai kup yang gagal, yang dituduhkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI), seperti yang ditunjukkan pada fakta bahwa terdapat ketidak-wajaran atau manipulasi sejarah selama Orde Baru.

Pelurusan sejarah di AURI berlangsung lancar dan cepat. Seorang perwira pensiunan AURI menulis sebuah buku, Menguak Kabut Halim, setelah berhasil meminta kepada pemerintah untuk menghentikan pertunjukan setiap tahun mengenai Pengkhianatan G30SPKI. Kemudian disusul dengan diangkatnya seorang marsekal angkatan udara sebagai panglima angkatan bersenjata – sesuatu yang tidak pernah terjadi semasa berkuasanya pemerintah Orde Baru.

* * *

Selanjutnya Asvi Adam

Dengan tujuan untuk mengkoreksi sejarah 1965, serentetan seminar diadakan dan diberikan kesaksian orang perorangan yang jadi korban. Menindak lanjuti kejadian ini, suatu percobaan untuk membongkar kembali kuburan masal dimulai oleh Sulami, seorang tokoh kunci dalam organisasi Gerwani yang berafiliasi dengan PKI, dengan perlawanan kuat dari grup-grup Islam setempat. Lanjutan dari kejadian tsb, dibuatnya film dokumenter, seperti yang dibuat oleh Putu Oka |Sukanta, berlangsung terus.

* * *

Tulis Asvi:

Limabelas tahun telah berlalu, stigma mengenai masa lampau dengan cepat dihapuskan dari AURI tetapi di kalangan kaum kiri masih tetap. Perdebatan mengenai masa lampau berlangsung terus. Fenomena baru muncul: Para pelaku memberikan kesaksian seperti bisa dilihat di sebuah film oleh Joshua Oppenheimer THE ACT OF KILLING.”

Satu hal menjadi jelas: kebebasan pers yang dinikmati oleh orang-orang Indonesia di era kebebasan ini memberikan dampak positif mengenai pengungkqapan sejarah banyak isu yang dimasa yang lalu ditindas.

* * *

Benar sekali!
Kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat, suatu kemenangan penting yang direbut oleh gerakan massa menggelora REFORMASI DAN DEMOKRASI yang telah menggulingkan rezim otoriter Orde Baru, telah dimanfaatkan dengan efektif oleh para aktivis dan penggiat demokrasi dan HAM, baik yang tergabung dalam organisasi masyarakat , parpol, maupun di bidang-bidang kegiatan sebagai wartawan ataupun penulis. Kebebasan demokratis ini, oleh karena itu, akan dibela dan dikembangkan dalam tindakan-tindakan nyata seperti yang berlangsung selama ini.

Asvi Adam menunjukkan diakhirinya STIGMATISASI di kalangan AURI sebagai suatu kemajuan yang berarti. Seiring dengan itu dimanfaatkannya hak menyatakakan pendapat sebagai alat perjuangan para korban politik stigmatisasi Orde Baru, sebagai pertanda penting lainnya dari meningkatnya kesadaran politik masyarakat.

Satu hal penting lagi yang merupakan pertanda mrningkatnya kesadaran politik bangsa, ialah DINYATAKANNYA BUNG KARNO SEBAGAI PAHLAWAN NASIONAL. Memang, Bandara Internasional Sukarno-Hatta dengan megah menyandang nama SUKARNO sebagai LOGO dari bandara internasional utama Indonesia. Namun, dalam watku panjang pemulihan nama baik dan penghormatan pada Bung Karno belum pernah secara formal dilakukan oleh pemerintah-pemerintah pasca Suharto, . . . . hingga keluarnya pernyataan resmi pemerintah tentang Bung |Karno sebagai pahlawan nasional.

Namun, . . . . TAP MPRS No 33/1967 yang memfitnah Presiden Sukarno dan melorot beliau sebagai Presiden RI, sampai dewasa ini BELUM DIBATALKAN.

Baik kita baca lagi sebuah artikel yang ditulis oleh jurnalis kawakan mandiang Umar Said (Paris, 28 Agustus 2001), berkenaan dengan TP MPRS No 33/1967 . a.l sbb:

NAMA BUNG KARNO”
Ketua Umum Forum Nasional Rachmawati Soekarnoputri menyerukan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mendesak Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut Ketetapan (Tap) MPRS Nomor 33 Tahun 1967. "Bila Tap MPRS Nomor 33 Tahun 1967 itu bisa dicabut karena jasa dari Megawati Soekarnoputri, maka itu merupakan hadiah besar dari putri Bung Karno kepada sang Proklamator, Soekarno," demikian kata Rachmawati kepada wartawan dalam acara silaturahmi Forum Nasional dalam rangka menyambut Proklamasi Republik Indonesia Ke-56 di Kampus Universitas Bung Karno, Jakarta, Sabtu (18/8).

Tap MPRS No 33/1967 adalah ketetapan tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno. Keputusan dari Tap tersebut terdiri dari tiga bab dan tujuh pasal. Pasal tiga dari keputusan Tap tersebut berbunyi :"Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam UUD 1945." Dalam salah satu butir pertimbangan dari Tap Nomor 33 tersebut antara lain berbunyi: "....Bahwa ada petunjuk-petunjuk Presiden Soekarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI."

Menurut Rachmawati yang telah berkali-kali menyerukan untuk penghapusan Tap MPRS No 33/1967 tersebut mengatakan, Megawati punya potensi besar untuk bisa mencabut Tap tersebut, karena dia adalah Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang punya fraksi besar di di MPR maupun DPR. Apalagi, kata Rachmawati, Megawati adalah putri Bung Karno dan dalam kampanye pemilihan umum partainya selalu menampilkan gambar-gambar Bung Karno. Rachmawati berpendapat, Tap Nomor 33 itu merupakan salah satu perangkat canggih Orde Baru melakukan desoekarnoisasi di Indonesia.

Menurut Rachmawati, dengan adanya ketetapan tersebut, maka ada dasar kuat yang membenarkan Bung Karno adalah orang komunis atau PKI (Partai Komunis Indonesia). "Padahal, tuduhan itu tidak benar, Bung Karno bukan komunis dan tuduhan ini merupakan preseden yang tidak baik bagi nama baik Bung Karno dan anak-anaknya," ujar Rachmawati. Forum Nasional didirikan tanggal 20 Juli 2001, dengan deklarator antara lain Arbi Sanit dan Faisal Basri. (Penjelasan : 4 paragraf di atas adalah kutipan dari Kompas 20 Agustus 2001)



Nyatanya Presiden Megawati ketika itu, sampai akhir jabatannya, tidak mengambil langkah apapun untuk membatalkan TAP MPRS No 33/1967 yang adalah rekayasa Orde Baru itu.

* * *

Untuk bisa mengikuti dan membaca selengkapnya artikel penting Dr Aswi Warman Adam, di bawah ini dimuat aslinya artikel tsb dalam bahasa Ingris.

Fifteen years of resistance against the New Order
stigmatization”

Asvi Warman Adam, The Jakarta Post
Opinion | Friday, January 04 2013, 8:40 AM

Despite the 15-year-old political reform, people (considered to have been) involved in the movement of Sept. 30, 1965 and their families have struggled to remove the stigma levied by the New Order against them.

While semantically debatable, pelurusan sejarah “correcting history” is the phrase preferred by the victims of the abortive coup, blamed on the Indonesian Communist Party (PKI), as it points to
the fact that there had been perversion or manipulation of history during the New Order.

The correction of history in the Indonesian Air Force (AURI) was smooth and
swift. A retired air force officer wrote the book Menguak Kabut Halim (Demystifying the Halim Mist), after successfully requesting the government to cease the annual broadcast of the Pengkhianatan G30S/PKI (G30S/PKI Treachery). It then followed that an air force marshal was appointed the chief of the armed forces — something that would never have happen when the New Order government was still in power.

For the purpose of correcting the 1965 history, a series of seminars were held and testimonies given by victimized individuals. Following these events, an attempt to dig up a mass grave was initiated by Sulami, a key figure in the Gerwani PKI-affiliated women’s group, with strong resistance from local (Islamic) groups. In spite of all of this, the filming of documentaries, such as the one by Putu Oka Sukanta, continued.

Indonesian mass media, particularly television stations such as Metro TV and TV One, with their respective programs Metro File and Nama dan Peristiwa (Names and Events), played a significant role in making things public that were otherwise taboo in the old days, including testimonies of the 1965 movement victims and the “mysterious killings” of the 1980s.

In a number of issues Tempo magazine published special reports by left-wing leaders, including Aidit, Sjam, Njoto and Muso. In print came books such as Pembantaian di Jawa/Bali Tahun 1965/1966 (The Killings of 1965/1966 in Java/Bali) by Robert Cribb and Palu Arit di Ladang Tebu (Hammer and Sickle on Sugar Cane Fields) by Hermawan Sulistyo. There were also publications by Dede Utomo regarding the development of gay rights movements in Indonesia.

Youths from the country’s largest Muslim group Nahdlatul Ulama (NU) and the Muslim Society for People Advocacy (Syarikat) have tried to bring about reconciliations between ex-NU militia and the victims of 1965 movement. Initiatives included translating and publishing books on the topic of the mass killings of 1965, as well as the Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB), where Amelia Yani, Ilham Aidit, Sarjono Kartosuwirjo and others, whose parents were in dispute for their different ideologies, made a pledge to “stop and cease the passing down of conflicts”.

Parts of “history” that need to be corrected are not only segments connected with 1965 but also those which concern Timor Leste. The year 2006 marked the removal of Timor Leste from Indonesia’s history-related subjects.

Books on Chinese culture and key figures have been slowly making their way to major book stores. First proposed in 2002, the idea of nominating an individual of Chinese ethnicity as a national hero became reality when John Lie was officially named one in 2009. In that year, the first Chinese in 50 years made it into the nation’s hall of fame. People are now trying to put a national hero of Arab descent, AR Baswedan, onto the list as well.

It is a fact that threat and terror are risks commonly faced by activists who fight for human rights and the correction of history. I, myself, have at several times taken the expert witness stand, at both district courts and the Constitutional Court, for history-connected cases.

The Adnan Buyung Nasution Law Firm once asked me to appear at the Bandung District Court as an expert witness in a pro bono case in the defense of the farming communities of Ujung Gede in Sumedang where a giant dam is now set to be constructed. Many years ago these farmers were evicted from their land, awarded an outrageously small compensation and those refusing to relinquish their properties were labeled members of the PKI.

I was also once asked by human rights watchdog Kontras to assist them as an expert witness as part of their effort in a lawsuit filed against the State Intelligence Agency (BIN) at the South Jakarta District Court. A legal case involving victims of the incidents of 1965 — both living in Indonesia and abroad (in exile) —attempted to bring five Indonesian presidents to the Central Jakarta District Court in 2006. A petition group of 50 filed a civil suit against Ruhut Sitompul with the Central Jakarta District Court after he made the statement, “people who do not support the nomination of Soeharto as national hero must be descendants of PKI members”. The group insisted that they did not approve the nomination although they were not PKI-affiliated.

I testified at the same court for Nani Nurani, a dancer at the Cipanas Presidential Palace who was put in custody for several years without due process of the law, who filed a civil charge against the government.

Fifteen years have passed; the stigma of the past was speedily removed from the Indonesian Air Force but remains among the leftists. Debates on the past continue. A new phenomenon emerges: Perpetrators are giving testimonies as can be seen in the movie by Joshua Oppenheimer The Act of Killing.

One thing is certain; the freedom of the press enjoyed by Indonesians during this era of reform has had a positive impact on the historical revelation of many issues that were suppressed in the past.

The writer is a historian at the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta.

* * *

Wednesday, January 2, 2013

*IBRAHIM ISA'S FOCUS* *Wednesday, 02 Januay 2013** -----------------------------* *On Two INDONESIAN Documentaries:*

*IBRAHIM ISA'S FOCUS*
*Wednesday, 02 Januay 2013**
-----------------------------*


*On Two INDONESIAN Documentaries:*

*"FORTY YEARS OF SILENCE -- AN INDONESIAN TRAGEDY"*

*"THE ACT OF KILLING"*


** * **


"*40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy"*

Storyline

In one of the largest unknown mass-killings of the 20th century, an 
estimated 500,000 to 1,000,000 people were secretly and systematically 
killed in 1965 when General Suharto began a bloody purge of suspected 
"communists" in Indonesia through a complex and highly contested series 
of events where he ultimately gained power and the presidency.

Under Suharto's authoritarian rule, any discussion or memorializing of 
the killings that differs from the official state narrative was suppressed.

"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy" follows the compelling 
testimonies of four individuals and their families, located in Central 
Java and Bali, two regions heavily affected by the purge, as they break 
the silence with an intimate look at what it was like for survivors 
after the mass-killings, during Suharto's New Order regime. The families 
take us through the events...


SYNOPSIS:- YALE UNVERSITY -- Council on SE Asia Studies and The Genocide 
Studies Program * * 40 Years of Silence: an Indonesian Tragedy

Documentaire (VS, 2009


"*40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy"*

explores the long-term multi-generational effects of the mass-killings 
in Indonesia in 1965 and 1966, where approximately half a million to a 
million suspected communists were killed in six months. The documentary 
weaves together archival footage, photos, interviews with historians and 
anthropologists, and the testimonies of victims and perpetrators of the 
1965 mass-killings to reveal a complex story of politics, death, 
suffering, and coping.

Shot over the course of 10 years, with over 400 hours of footage, 40 
Years of Silence follows four families, all of whom had family members 
killed or "disappeared" by soldiers and neighbors in the mass-killings 
in Bali and Java. The survivors and their children break the silence as 
they reveal how they are still subjected to and cope with the continual 
harassment, surveillance, and discrimination by the State and their 
community members.

Even today, few people are aware of the killings since it was hidden 
from the world's view with enforced silence for 35 years by the Suharto 
regime. With both historical and personal accounts, 40 Years of Silence 
provides a glimpse into a part of world history which needs to be 
remembered, discussed, and not forgotten.


*Robert Lemelson *is a research anthropologist at the Semel Institute of 
Neuroscience, UCLA, and a filmmaker whose work focuses on Southeast 
Asian studies and the relationship of culture, psychology, and mental 
illness. He received his M.A. from the University of Chicago, and his 
doctorate from UCLA in Anthropology. Lemelson has been filming on the 
islands of Bali and Java in Indonesia since 1997, exploring the relation 
to culture to such disorders as Schizophrenia, OCD, Tourette's syndrome, 
and PTSD. 40 Years of Silence is his first feature length documentary 
and he is working on two more based in Indonesia. In the planning stages 
are three separate documentaries on psychosis outcome, gender-based 
violence, and trance and possession.

For trailer and additional information, see *www.40yearsofsilence.com* 



* * *


*INDO-FILM-CAFE*

40 Years of Silence: an Indonesian Tragedy --Documentaire (VS, 2009) -- 
Lengte : 86 min.Regie : Robert Lemelson --Engels/Indonesisch

Een documentaire onder regie van de antropoloog Robert Lemelson en 
uitgegeven door Pietro Scalia over een gruwelijke episode uit de 
Indonesische geschiedenis. 30 September 1965 werden zes generaals in 
Jakarta door hun politieke tegenstanders vermoord. Een communistische 
staatsgreep, volgens de officiële versie. Suharto, toen nog 
generaal-majoor, had de coup binnen 24 uur neergeslagen. De coup werd 
aangegrepen om de P.K.I., communistische partij, te elimineren. In 
1965-1966 werden naar schatting 500.000 tot 1.000.000. mensen vermoord 
wegens vermeende communistische betrokkenheid.

De documentaire volgt de getuigenissen van vier personen uit Midden-Java 
en Bali; ze beschrijven de gebeurtenissen van 1965, vertellen hun 
ervaringen en reflecteren daarop. De overlevenden en hun families 
proberen een manier te vinden om om te gaan met deze tragedie die, zowel 
door hun naaste omgeving als door de overheid, nooit erkend werd.

Product Details Directors: Robert Lemelson


Producers: Robert Lemelson

--Language: English, Indonesian Subtitles: English- DVD Release

Date: December 9, 2009 Run Time: 87 minutes --Amazon Best Sellers

Rank: #164,694 in Movies & TV


*Editorial Reviews*

40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy tells the story of one of the 
largest unknown mass-killings of the 20th century. In 1965-66, an 
estimated 500,000 to 1,000,000 people were secretly killed when General 
Suharto began a bloody purge of suspected communists throughout 
Indonesia. For decades, the Indonesian government repressed all memory 
of this event, and the world looked away.

Based on the research of prominent anthropologist and edited by a 
two-time Academy Award winner, this film follows the compelling 
testimonies of four individuals and their families from Central Java and 
Bali, as they break their silence for the first time. Told in 
understated detail, the cumulative effect of their stories is 
heartbreaking, profound and ultimately redemptive.

*FAQ WITH DIRECTOR ROBERT LEMELSON*

*

WHAT INSPIRED YOU TO MAKE THIS FILM?*

Being trained as both a clinical psychologist and psychological 
anthropologist, I have long been interested in studying the long-term 
effects of trauma on people's lives and experiences in different 
cultures. I felt that only by understanding these issues could we come 
up with better ways to treat people who have experienced trauma in their 
lives.

*WHEN DID YOU START THIS PROJECT AND DID YOU ANTICIPATE IT WOULD TAKE SO 
LONG TO COMPLETE?*

Although a few shots in the film are from 1997, most of the footage 
comes from 2001-2006. Each year, several times a year, my film crew and 
I returned to Indonesia to follow the subjects' lives. It took this long 
to complete because we wanted a long enough scope in the characters' 
lives to really track their development.

*

DO YOU HAVE A PERSONAL CONNECTION TO INDONESIA?*

I have been working in Indonesia every year since 1993. I was a 
Fulbright scholar to Indonesia from 1996 - 1997, and have conducted 
thousands of interviews with subjects throughout the country, all 
focusing on issues relating to personal experience, culture, and mental 
illness.

*HOW DID YOU FIND THE INDIVIDUALS AND FAMILIES FOR THE FILM? WAS IT 
DIFFICULT CONVINCING THEM TO PARTICIPATE?*

Some of them were patients in the clinics where I was conducting 
anthropological research, some were colleagues, and others were 
informants. I now consider all of them my close personal friends. Some 
feared for their personal safety but ultimately, they all felt that 
their stories should be told. It was only after I knew them well that 
they agreed to speak about their experiences during 1965 and afterwards.

*

ARE YOU STILL IN CONTACT WITH THEM? HOW ARE THEIR LIVES TODAY?*

Yes, and their lives are largely the same as they were depicted in the film.


*DO YOU INTEND TO MAKE OTHER FILMS? IF SO, WHAT SUBJECT MATTER DO YOU 
PLAN TO ADDRESS?*

We are currently in production of a series of films that tells the 
stories of three people with mental illnesses in Indonesia. The film 
explores each individual's way of coping with their illness, and their 
community's response to it. See www.elementalproductions.org for more 
information.

*WHAT DO YOU HOPE AUDIENCES WILL TAKE AWAY FROM THE WORLD?*There are 
many paths to recovering from a childhood of violence and trauma. This 
film illustrates this by showing characters that all learn to cope with 
their trauma in different ways. Secondly, it is crucial to understand 
the social and cultural setting in which trauma occurs. Without this 
understanding, the meanings and implications of trauma and violence 
could be misinterpreted.

This product is manufactured on demand using DVD-R recordable media. 
Amazon.com's standard return policy will apply./


*From Wikipedia, the free encyclopedia*

*A major contributor to this article appears to have a close connection 
 with its 
subject.*It may require cleanup 
 to comply with 
Wikipedia's content policies, particularly neutral point of view 
. Please 
discuss further on the talk page 
. 
/(May 2012)/

*"40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy"*is a documentary about the 
personal effects of Indonesian killings of 1965-66 
.


*Overview*

An estimated 500,000 people were killed during a purge of suspected 
communists throughout Indonesia, making this one of the largest 
mass-killings of the 20th century. General Suharto 
, came to control of the 
Indonesian military following a failed coup d'état on 30 September 1965. 
As the killings unfolded, he wielded his growing influence to install 
his New Order  
regime to ultimately gained power and presidency of the country. The 
Indonesian government continues to suppress discussion of the event.

The film follows the testimonies of four individuals and their families 
from Central Java  and Bali 
, two regions most affected by the 
purge. Each family discusses what it was like for survivors of the killings.

The film uses three historians of this period (Romo Baskara Wardaya, 
Geoffrey Robinson, John Roosa) and the anthropologist and filmmaker 
(Robert Lemelson) as the narrators providing the historical setting for 
the families' stories. These historical explanations are intercut with 
the character's narrations of living through the killings and their 
aftermath. As the stories unfold, the film narrates the significant 
political, economic and cultural events underlying the massacres. 
Aspects of how the Extrajudicial_killings> were enacted, as seen through 
the survivor's eyes, are described in chilling detail. The film 
progresses to demonstrate what life under Suharto's autocratic " regime 
(1966--1998) was like for survivors, who were stigmatized as family of 
PKI communist party members. Finally, with the fall of the Suharto 
regime , and the establishment of a period of democratization and 
reformation in Indonesia , the last section describes the beginnings of 
a more open period where narratives and memories of this event are 
allowed to be expressed.

The film was shot on the islands of Bali and Java from 2002--2006, 
though earlier footage from the director's anthropological research are 
also included. The score is a collaboration between the British composer 
Malcolm Cross and the Balinese musician Nyoman Wenten, that combines 
Western tonalities and chordal structures with Balinese and Javanese 
scalar progressions and melodies. The film was released in the United 
States in 2009, and has had limited screenings in Indonesia.



* * *


*the Act of Killing*


  From Wikipedia, the free encyclopedi -- British <.

*Joshua Oppenheimer's surreal, astonishing documentary recreates the 
atrocities of 1960s Indonesian death squads*

review


Joshua Oppenheimer's surreal, astonishing documentary recreates the 
atrocities of 1960s Indonesian death squad

**CATHERINE SHOARD -- Guardian.co.uk. * Friday 14 Sept 2012*

The Act of Killing is 'the best, and most horrific, film of this year's 
Toronto film festival'.

When Werner Herzog says a film is the most frightening and most surreal 
he's seen in at least a decade, you know need to steel yourself. He's 
right. Here's the best, and the most horrific, movie of this year's 
Toronto film festival.

It's a documentary about the Indonesian death squads of the mid-1960s 
who tortured and killed communists. But it's also a film within a film, 
as director Joshua Oppenheimer urges the ageing gangsters to recreate 
their acts on increasingly elaborate scale (prosthetics, props, drag 
outfits, soundtrack, location shooting). They grin and mug just as they 
also take it very, very seriously. A strangulation scene is interrupted 
by the call for evening prayers. But they return after their ablutions.

At first you suspect this will riff on familiar ground, with the main 
interviewees, former members of paramilitary organisation Pancasila 
Youth, explaining how they were inspired in both their look and sadism 
by the movies. The most charismatic of them, Anwar Congo, who has a 
radical hair dye job a third of the way through in reaction to the 
rushes, is slightly haunted by his acts, he admits, which he tries to 
forget with music and dancing. And booze. And marijuana. And ecstasy. 
Others are scornful of any regret: "You feel haunted because your mind 
is weak. It's just a nerve imbalance."

The frank corruption of politics, the glee of the media ("One wink and 
they were dead!" grins a local publisher), the killers' happy embrace by 
the government ("We need gangsters to get things done", says a senior 
minister) -- this sheer giddy chutzpah has remarkable cumulative effect. 
We watch these gangsters (everyone emphasises their belief that the word 
stems from "free men") talking trash to female caddies on the golf 
course, waxing lyrical about the merits a life of "relax and Rolex".

Some have criticised Oppenheimer for not interviewing anyone who 
survived the ordeal. It doesn't matter. We know this was genocide. We 
know that they'd be likely to feel fairly aggrieved. These men hoist 
themselves and do more besides. The most extraordinary scene comes 
during one of the recreations. One of Anwar's neighbours, who is 
moonlighting as the victim, laughingly suggests they use in the film a 
story that he has. It's of a man -- ok, it's his stepfather, he says -- 
who was dragged from his bed at 3am by the death squad, to the sound of 
the screams of his wife and children (that's him, he laughs, that's 
me!). The next day they found his body beneath a barrel and then buried 
it by the side of the road, "like a goat", so frightened were they that 
they too would be taken. The percolation of reaction among the men 
listening is the most compelling thing you'll ever seen.

It's often said of documentaries that they deserve to have as wide an 
audience as possible. This doesn't deserve; it demands -- not for what 
it says about present-day Indonesia or even about its former horrors. 
But because almost every frame is astonishing.


Synopsis

When Sukarno 
. They explicitly fashioned themselves and their methods of murder after their Hollywood idols. And coming out of the midnight show, they felt "just like gangsters who stepped off the screen". In this heady mood, they strolled across the boulevard to their office and killed their nightly quota of prisoners. Borrowing his technique from a mafia movie, Anwar preferred to strangle his victims with wire. In The Act of Killing, Anwar and his friends agree to tell the filmmakers the story of the killings. But their idea of being in a movie is not to provide testimony for a documentary: they want to star in the kind of films they most love from their days scalping tickets at the cinemas. The filmmakers seize this opportunity to expose how a regime that was founded on crimes against humanity, yet has never been held accountable, would project itself into history. And so the filmmakers challenge Anwar and his friends to develop fiction scenes about their experience of the killings, adapted to their favorite film genres -- gangster, western, musical. They write the scripts. They play themselves. And they play their victims. Their fiction filmmaking process provides the film's dramatic arc, and their film sets become safe spaces to challenge them about what they did. Some of Anwar's friends realize that the killings were wrong. Others worry about the consequence of the story on their public image. Younger members of the paramilitary movement argue that they should boast about the horror of the massacres, because their terrifying and threatening force is the basis of their power today. As opinions diverge, the atmosphere on set grows tense. The edifice of genocide as a "patriotic struggle", with Anwar and his friends as its heroes, begins to sway and crack. Most dramatically, the filmmaking process catalyzes an unexpected emotional journey for Anwar, from arrogance to regret as he confronts, for the first time in his life, the full implications of what he's done. As Anwar's fragile conscience is threatened by the pressure to remain a hero, The Act of Killing presents a gripping conflict between moral imagination and moral catastrophe. The film was shot mostly in Medan , North Sumatera <, Indonesia between 2005 and 2011. Werner Herzog and Errol Morris , after seeing an early preview of The Act of Killing, were impressed enough to sign on as executive producers.References Shoard, Catherine (14 September 2012). "The Act of Killing -- review" **The Act of Killing' -- documenting delusion** **Ron Jenkins, New York** Thu, October 18 2012, The Jakarta Post, January 02,, 2013 For almost half a century, Indonesia has avoided public discussions of the mass murders committed in 1965 and 1966. Now, just as the nation's National Commission on Human Rights has declared the killings a "gross violation of human rights", a new documentary film offers a startling way to confront the crimes. Instead of investigating the facts behind the deaths, the film examines the delusions that have obscured them. In Joshua Oppenheimer's documentary The Act of Killing, self-proclaimed murderers are given the opportunity to reenact their crimes. This enables audiences to witness the deaths, not as they happened, but as they are remembered by the killers. Oppenheimer calls his film a "documentary of the imagination". It is an appropriate label for a movie that reveals the links between the human capacity for self-delusion and cinema's ability to reedit the past into comforting fantasy. The film within the film is conceived and directed by the killers, who play the roles of perpetrators and victims. On the surface this concept is grotesque, bordering on exploitation, but the documentary unfolds with surprising delicacy because the primary focus is not on the bloody reenactments, but on the way the killers see themselves and the way that they think the world sees them. We watch the killers watching re-enactments on video monitors and commenting on their own performances. "I did it wrong." We watch the killers selecting costumes for the reenactments. "I would never wear white." We watch the killers reflecting on the past as they put on make-up to stage a massacre. "The key is to find a way not to feel guilty." And when a man tells how his step-father was murdered, we watch the killers attempt to mask all emotion from their faces as they decide to leave the passage out of their film. "Your story is too complicated. It would take days to shoot." These scenes make it clear that the killers are editing their emotional responses to the past at the same time that they are editing their cinematic representation of how things happened. The killers are attracted to the idea of making a movie because their murder techniques were inspired by Hollywood films. "I was influenced by films starring Marlon Brando, Al Pacino," says Anwar Congo, a central figure in the documentary. Anwar initially bludgeoned his victims to death, but abandoned that method because it was too bloody. He decided that strangulation with wire would be more efficient. "And you know where I got the inspiration for it," he says. "I always watched gangster films where they always kill with wire. It's faster with wire." The killers are not the only ones editing the past to make it more palatable. The former vice president of Indonesia, Jusuf Kalla, is seen praising Anwar and his colleagues as heroes who saved the nation from a communist takeover. Kalla calls the killers "gangsters" and explains that the Indonesian term for "gangster" (preman) comes from the English phrase "free man." "This nation needs free men," continues Kalla. "We need gangsters to get things done." We see the killers are interviewed on a television talk show. The host introduces them as "gangsters making a film to commemorate their crushing of the communists." When Anwar explains that he borrowed his killing techniques from Hollywood gangster films, the host exclaims, "Amazing!" and the studio audience cheers. With support like this, it is not surprising that the killers envision themselves as movie heroes. "We were allowed to do it," says Adi Zulkadry, "and the proof is we murdered people and were never punished." The public glorification of the killings as anti-communist acts of heroism enables the "gangsters" to memorialize the murders without guilt. One scene in the film within the film depicts a murdered victim thanking his killer for sending him to heaven. The documentary highlights the significance of impunity in Indonesia's culture of corruption. We see one of the "gangsters" recounting how he killed many Chinese during the massacres. Then we see him extorting bribes from contemporary Chinese shopkeepers. Another "gangster" runs for the legislature and muses on how his elected position would enrich him through graft. The citizens he meets during the campaign demand bribes in exchange for their votes. The Act of Killing unravels a tapestry of impunity that suggests Indonesia's inability to accept responsibility for past crimes may be related to its inability to curb present lawlessness. It is a critique that is relevant to all countries where the powerful are not held accountable for the laws they break. Adi's defiant views about human rights echo the attitude of many unpunished criminals throughout the world. "War crimes are defined by the winners. I'm a winner, so I can make my own definition... not everything true should be made public... Even God has secrets." The writer, a former Guggenheim and Fulbright fellow and professor of theater at Wesleyan University, is the author of numerous books on Indonesia. He interviewed director Joshua Oppenheimer after the Toronto Film Festival in September./ **The Jakarta Post --- November 22, 2012 | Pangeran Siahaan** **'The Act of Killing' and Indonesia's Dark Past Nobody Talks About** 'The Act of Killing,' an award-winning documentary by British-based American filmmaker Joshua Oppenheimer, contains materials that are prone to disturb viewers, not to mention the historical facts that are still hard to accept to some people in Indonesia. (Photo courtesy of theactofkilling.com). I was 10 minutes late when I quietly sneaked in to a room crammed with people sitting tightly to their chairs. Their eyes fixed to the screen. I have been to many independent film screenings, but this one was not like any other. There was no sign whatsoever to indicate that there's a film screening inside. It was meant to be clandestine due to the nature of the film, entitled "The Act of Killing," an award-winning documentary by British-based American filmmaker Joshua Oppenheimer. From the invitation I received, it clearly said the screening is a closed event and not to be passed around. Prior to the screening, the attendees were asked not to spread the word on social media to avoid unwanted difficulties. "The Act of Killing" contains materials that are prone to disturb viewers, not to mention the historical facts that are still hard to accept to some people in Indonesia. "The Act of Killing" follows the life of Anwar Congo, who unashamedly claimed himself as a fearsome executor in Medan, North Sumatera, following the alleged abortive coup by the Indonesian Communist Party (PKI). As written in the history --- or unwritten --- the failed coup resulted in the witch-hunt against PKI members and alleged sympathizers. Many of them were captured, tortured and killed without legal trial. Once these alleged communists were detained, they would soon be handed to Anwar and his accomplices who would perform some of the gruesome executions ever imagined by mankind. I'm not an expert in cinematography, but what is so interesting about "The Act of Killing," apart from the obvious topic which remains untouched for a long time, is the way Anwar's story being told. Instead of the orthodox way of making documentary by combining interviews and footage, Oppenheimer creatively re-enacted what Anwar did in the past and shot them in the film. Anwar starred and acted in a film where he re-enacted all his mischievous deeds. It's like making a documentary about Adolf Hitler and asked Der Fuhrer to act as himself in a staged scene. During his heyday, Anwar was a movie buff and stated that he's a big fan of American actor John Wayne, so he had no problem acting in front of camera. For a street thug who had no formal background in drama, I was ever so surprised by how relatively decent Anwar's acting was. He mentioned how western movies inspired his way of execution. He said repeatedly that his favorite method of execution is strangling his victim with a wire a la Italian mafia. For those who have dug deep enough to learn more about this country's unwritten history, what is portrayed in "The Act of Killing" is nothing but a confirmation. We've heard of the witch-hunt against the communists and the public lynchings that are considered as taboo to talk about. What's different about this film is for the first time we've given the details by the perpetrators themselves. Some online comments I read accused Oppenheimer of tricking Anwar and his men in shooting this film without their acknowledgment. After all, Anwar was persuaded to make another film which glorifies his role in destroying the communists in Medan, but what comes out as a final product is some kind of the behind-the-scene story of that film. Ethics aside, Anwar and his henchmen admit their brutality and sadistic executions, but the thing is, they don't quite feel guilty about it. They see what they did as something that should be done. It's a matter of kill or get killed. Public demand for "The Act of Killing" to be screened in Indonesia is high since the film won an award in Toronto Film Festival and featured in Tempo magazine. But I cannot see this film goes beyond limited screenings, at least in the near future. Not only the topic is controversial and it contains grotesque reenactments, but some scenes in the film have some prominent government officers whom I shall leave nameless until you see it yourself. If one day "The Act of Killing" goes public -- let's say the film is available on Torrent or the pirated copies are being sold by street peddlers -- I can't see it not sparking controversy and dividing opinions. Some suggest that it would be better for now if it is kept limited so the closed circle of intellectuals and thinkers can make it as a learning object without the brouhaha it might cause if it's released publicly. I just wonder how we can make peace with ourselves as a nation and society if we keep on refusing to embrace the bitter truth of history. Our journey to reconciliation is far from over. * * * IBRAHIM ISA'S FOCUS,Wednesday, 02 Januay 2013 ---