Thursday, April 4, 2013


*Kolom IBRAHIM ISA*
*Kemis, 04 April 2013*
*---------------------*




*MENGAPA MENULIS “MEMOAR”?*


Hari ini, Kemis pagi, 04 April 2013 --, atas insiatif Historikus Muda *Bonnie Triyana*, Pemred Majalah Historia, telah dilucncurkan buku *MEMOAR Ibrahim Isa*. Lokasi: Ruang Serbaguna 4101 FIB*Universitas Indonesia, Depok*. Bertindak sebagai narasumber: *Wilson Obrigado*s (Sejarawan) dan*Bonnie Triyana. Hendri F Isnaenti*, Jurnalis Maj. Hisoria, sebagai moderator.



Berita tentang *“Diskusi buku “Kabar Dari Seberang: Memoar Ibrahim Isa*, kuterima hari ini dari sahabat karibku BONNIE TRIYANA. Kusampaikan banyak-banyak terimakasih kepada Bonnie Triyana, dan sahabat-sahabat karibku Wilson Obrigados dan Hendri F. Isnaeni.



* * *



*Mengapa menulis Memoar? *

Pertanyaan ini diharapkan sedikit terjawab dalam bagian-bagian tertentu dari buku MEMOAR, yang disiarkan di bawah ini:

*Semacam Pendahuluan:*


Memoar juga sering disebut BIOGRAFI. Umumnya ditulis sendiri. Tetapi sering juga oleh penulis lain. Contoh yang menyolok tentang BIOGRAFI, OTOBIOGRAFI atau MEMOAR, yang*tidak* ditulis sendiri, adalah buku OTOBIOGRAFI, berjudul : *SUKARNO AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adams.* Sepenuhnya kata-kata dan kalimat Bung Karno yang tertera di situ, tetapi penulisannya oleh seorang penulis Amerika: *Cindy Adams.*


Buku-buku otobiografi, biografi atau memoar, adalah pertumbuhan dan perkembangan baru dalam ragam publikasi literatur di Indonesia setelah kemerdekaan. Otobgiografi/memoar yang paling otentik, lengkap dan sangat baik bagi pendidikan politik kesedaraan berbangsa, --- adalah yang dituturkan oleh Bung Karno kepada dan ditulis oleh penulis Amerika, Cindy Adams: SUKARNO AN AUTOBIOGRAPHY, As Told to Cindy Adams, <1965>. Penerbit The Bobbs-Meirill Company, Inc. New York. Menarik diperhatikan bahwa pada penerbitan pertama buku otobiografi Bung Karno itu, tertera bahwa copyright penerbitan pertama itu ada pada Cindy Adams.


*Setelah ketahuan oleh historikus Asvi Warman Adam*, bahwa di awal periode Orba, dengan sepengetahuan (mungkin juga atas perintah Suharto), edisi Indonesia *buku Bung Karno itu dipalsu*, copyright buku Bung Karno itu jatuh pada Yayasan Bung Karno.


* * *


Biografi, otobiografi ataupun memoar,*bila *ditulis (sejauh mungkin) dengan jujur, obyektif dan tidak rekayasa, maka buku-buku tsb merupakan aset, warisan sejarah yang bernilai dan berharga bagi generasi berikutnya maupun pembaca umumnya di mancanegara.


Salah satu contoh obyektifitas, adalah yang ditunjukkan oleh *Barac Obama,* dalam bukunya, (semacam otobiografi sekaligus memoar), adalah yang bersangkutan dengan Indonesia. Ia menulis setidaknya 9 halaman mengenai Indonesia. Meskipun sudah menjadi anggota Kongres AS dan berrencana jadi calpres, --- namun ia tak segan-segan mengungkap. Obama dengan terus terang menulis bahwa AS tidak suka politik luarnegeri Indonesia yang tidak sesuai dengan strategi Perang Dingin AS. *Maka AS merencanakan menggulingkan Sukarno melalui perwira-perwira TNI yang pro-AS.* Juga dikemukakannya bahwa kampanye anti-komunis dan anti-Kiri yang berlangsung di bawah Jendral Suharto menimbulkan korban amat besar dan merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia.


* * *


Pada periode rezim Orba, penulisan biografi dan 'memoar' jadi populer. Dimulai oleh semacam memoar juga, adalah biografi yang ditulis tentang Suharto (“The |Smiling Genedral”) . Lalu penulisan biografi Adam Malik, Sultan Yogyakarta Darojatun, para mantan wapres Orba dan sementara jendral serta tokoh-tokoh masyarkat lainnya.


Terutama sejak jatuhnya rezim Orde Baru muncul biografi maupun memoar orang-orang yang hanya setelah jatuhnya Suharto, bisa menerbitkan biografi atau memoarnya di Indonesia. Antara lain mantan Ketua Baperki Siauw Giok Tjhan; mantan Menteri Oei Tjoe That; mantan pimpinan G30S, Letkol Latief; mantan Waperdam dan Menlu Dr Subandrio; mantan Panglima AURI Laksamana Udara Omar Dani; mantan Gubernur Militer kota Madiun, 1948, Sumarsono; mantan Brigjen Suharyo (Haryo Kecik); mantan Dubes RI di Havana, A.M. Hanafi; mantan anggota DPR Francisca Fanggidaey, dll. Beberapa jendral Orba tak ketinggalan menuliskan biografi atau memoarnya.


* * *


Yang kutulis ini, populernya disebut*MEMOAR*.


Pada umumnya terdapat pengertian yang bersamaan. Baik kita lihat di Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa; (Edisi Keempat; Departemen Pendidikan Nasional. Cetakan Pertama Edisi IV, 2008). Menurut kamus ini, MEMOAR, artinya .

    -- Kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau
    menyerupai otobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat,
    kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan
    tentang tokoh yang berhubungan dengannya.

    -- Catatan atau rekaman tentang pengalaman hidup seseorang.

    Cukup jelas yang diterangkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Kita kuak apa yang ditafsirkan oleh Wikipedia. Sbb:

Dalam kebudayaan Perancis, kata *mémoire , *seperti halnya pada kata *un mémoire*tak ada terjemahan langsung dlm bahasa Inggris. Memoire digunakan untuk tulisan pendek, yang memberikan peluang pada penulisnya untuk mengemukakan pendapatnya atau pandangannya mengenai hal tertentu. Dalam bahasa Inggrisnya – essay.

*Sering dikatakan MEMOAR adalah karya penulis mengenai kenangannya dalam periode tertentu dalam hidupnya. Dikatakan juga bahwa MEMOAR berbeda dengan otobiografi.*



** * **



Apa yang akan kutulis ini, kira-kira seperti yang dijelaskan. Bahkan lebih banyak merupakan catatan *peristiwa yang paling banyak memberikan kesan dan pengaruh terhadap jalan hidupku selanjutnya*. Dan tentu merupakan suatu cara untuk menyatakan pendapat dan pandangan mengenai ha-hal yang terjadi dalam hidupku. Terutama yang menyangkut bangsa dan tanah air kita, INDONESIA TERCINTA.



Dikatakan bahwa pada umumnya memoar berbeda dengan otobiografi. Karena, sebuah memoar kebanyakan kurang menekankan tentang diri penulisnya sendiri. Tetapi banyak bicara mengenai lainnya. Oleh karena itu, umumnya, sebuah memoar itu, tidak semata-mata menulis tentang jalan hidup penulisnya. Tetapi lebih banyak meliputi periode tertentu dari riwayat penulis. Tidak mesti suatu cerita. Mungkin juga dalam bentuk serentetan catatan yang terpisah satu sama lainnya.

*MEMOAR ini kutulis atas usul banyak tema. Khususnya dari editor bukuku “BUI TANPA JERAJAK BESI”. Historikus muda, Bonnie Triyana. *



* * *


*Pendahuluan: BUNG KARNO*


Dalam perjalanan hidupku, (sejauh aku mampu mengenangkannya kembali) sejak berumur 10 tahun, ketika abang iparku, Oom Djamin membawa aku ke suatu Pertemuan Kaum Nasionalis Indonesia, di Gg Kenari, Jakarta, – – – sejak itu haridepan kegiatanku rupanya sudah ditentukan: *TERJUN DALAM KEGIATAN, PERJUAGAN DAN PERGOLAKAN BANGSA INI*, Untuk menjadi seuatu bangsa merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.


Sejak itu pula terutama pada periode pendudukan Jepang (1942-1945), aku selalu berusaha hadir dalam rapat-rapat umum yang diadakan dimana tampil sebagai pembicara utama dan tunggal: *BUNG KARNO*. Kemenakanku Zainal Abadin, putra tertua guru Uyub (salah seorang kemenakan Ibu) yang ketika itu tinggal di Djati Petamburan, Jakarta, selalu memberitahukan kepadaku kapan dan dimana Bung Karno akan bicara di rapat raksasa. Kebetulan pula Abidin bekerja di kantornya Bung Karno, maka ia tahu kapan dan dimana Bung Karno akan bicara di rapat umum.


Rapat rakasasa! Memang puluhan ribu orang datang berduyun-duyun dari segenap penjuru untuk mendengar*WEJANGAN BUNG KARNO*. Tempat rapat raksasa biasanya di Lapangan Ikada, Jakarta. Isi wejangan yang meresap di kalbuku adalah: *SEBAGAI BANGSA INDONESIA, harus bersatu, bersatu, bersatu dan bersatu untuk mencapai cita-cita dan tujuan kita bersama*. Bersatu dan berjuang! Aku selalu mengajak kawan-kawanku sepermainan untuk bersama-sama hadir dalam rapat raksasa dimana Bung Karno bicara. Kami jalan kaki saja dari Salemba menuju Lapangan Ikada, atau tempat lainnya dimana Bung Karno bicara.


Dalam pidato-pidatonya Bung Karno terus-menerus menekankan arti penting mencintai tanah air dan bangsa. *BUNG KARNO ADALAH PEGANGAN KITA*. Suara Bung Karno yang menggelegar, memecah keheningan, bergelora dan berapi-api, berkumandang jauh, dan selalu menyemangati setiap pendengarnya.


Ketika pada tanggal 17 Agutus 1945, Republik Indonesia diproklamasikan, proklamasi kemerdekaan itu disambut serentak dengan seruan MERDEKA, MERDEKA,SEKALI MERDEKA TETAP MERDEKA. Mengapa demikian spontan dan gegap gempita sambutan massa rakyat? Tidak lain, tak bukan, karena massa rakyat sudah tidak asing lagi dengan SANG PROKALAMATOR: BUNG KARNO.


Di sepanjang jalan perjuangan bangsa, jatuh bangun baik dalam pertempuran-pertempuran melawan tentara Jepang, serdadu-serdadu NICA, tentara Inggris dan akhirnya 120.000 tentara Belanda yang didatangkan dari Holland, pegangan politik dan penyuluh bangsa adalah BUNG KARNO, adalah Presiden Republik Indonesia, SUKARNO. Hati dan tekad bangsa Indonesia begitu mantap dan kokoh dipersatukan , berkat a.l didikan politik yang diberikan Bung Karno, yang intensitasnya meningkat terus selama pendudukan Jepang atas Indonesia.


Demikian pula halnya dalam perjuangan berliku-liku melawan subversi, agresi dan intervensi asing yang hendak menggoyahkan bahkan menumbangkan Republik Indonesia dalam peristiwa kudeta Kapten KNIL Westerling dengan tentara Ratu Adilnya; pemberontakan separatis RMS maupun dalam pemberontakan separatis PRRI/Permesta ---- pegangan dan penyuluh serta pimpinan bangsa adalah BUNG KARNO.


Kurasakan pendidikan kesedaran berbangsa yang diberikan oleh Bung Karno dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya, telah mendarah daging dalam tubuh dan fikiranku. Aku berkeinginan untuk meneruskan hal ini --*- KESADARAN BERBANGSA* – pada generasi selanjutnya. Sementara kawan baikku punya fikiran lain. *Satu dua orang kawan baikku mengatakan bahwa aku telah BERUBAH menjadi NASIONALIS. *


*Mereka salah tafsir! * Sejak sedikit-demi-sedikit sadar politik, kesadaran itu adalah KESADARAN CINTA TANAH AIR DAN BANGSA. Kesadaran patriotisme dan nasionalisme. Itulah imbauan dan dorongan nuraniku mengapa aku menceburkan diri dalam Revolusi Kemerdekaan, ambil bagian dalam BKR, Badan Keamanan Rakyat, TKR dan TRI. Itu pulalah yang mendorong aku mantap jadi guru, ambil bagian dalam kegiatan sosial seperti Gerakangerakan Perdamaian dan GERAKAN SOLIDARITAS RAKYAT-RAKYAT ASIA AFRIKA UNTUK KEMERDEKAAN NASIONAL.



Dalam MEMOAR ini, tempat khusus diperuntukkan bagi BUNG KARNO sebagai pemimpin dan pendidik bangsa dan sebagai pembela kesatuan bangsa dan tanah air, dari Sabang sampai Merauké.


* * *


Bukan sesuatu yang rahasia, bahwa Bung Karno menunjukkan, untuk mencapai suatu Indonesia yang bersatu, kuat, adil dan makmur, jalannya adalah *berjuang untuk SOSIALISME INDONESIA.*


Dalam kerangka ini dirasakan perlu menyiarkan kembali seutuhnya tulisan politik klasik Bung Karno mengenai MARXISME. Dengan alasan yang sama, demi kelengkapan bahan pertimbnagan bagi pembaca, disiarkan secukupnya tulisan-tulisan historikus generasi muda, Dr Asvi Warman Adam.


Sedangkan mengenai RELEVANSI peranan Bung Karno dan ajaran-ajarannya dikutip seccukupnya tulisan Dr. Peter Dale Scott, Asvi Adam, Bob Hering, Nico Schulte Nordholt, Jusuf Isak,dll.


Tulisan-tulisan mengenai Bung Karno yang disiarkan di sini sejauh mungkin mempertahankan judul , isi maupun teks aslinya, sejauh mungkin tidak di-edit kembali. Agar pembaca bisa dengan leluasa mempertimbangakan latar belakang situasi ketika tulisan tsb dibuat.



** * **




Kolom IBRAHIM /I/SA
Rabu, 03 April 2013
------------------------------


SEKITAR FILM JOSHUA OPPENHEIMER . . .

"THE ACT OF KILLING"


Kemarin kutulis tentang wawancara DUBES RI Untuk SWEDIA, setelah bersama masyarakat Indonesia di Swedia menonton film "The Act of Killing". Dalam wawancara itu, Dubes berusaha membawa perhatian pendengarnya untuk  m e l u p a k a n  masa lampau yang gelap itu.

Kejadian itu (pembantaian 1965) itu masa lalu.
Sekarang Indonesia, kan, sudah berubah. Sesudah Reformasi, situasi politik Indonesia sudah berubah. Sudah demokratis, dan bahkan dipuji oleh dunia internsional bahwa Indonesia berhasil dalam transisi ke Demokrasi>


 *    *    *

Dibanding dengan Dubes RI di Den Haag,  - - - -
Dubes RI di Swedia masih mau nonton film THE ACT POF KILLING. . . dan masih mau bicara . . .

Putrinya yang ikut nonton bersama ayahnya, malah menanggap film itu  . . . "good" . . . PEMERINTAH RI dan mereka-mereka yang mau lari dari tanggungjawabnya membantai dan mempersekusi manusia Indonesia yang tidak bersalah dalam tahun 65/66/67 . . . pontang-panting berdalih cari alasan untuk MELUPAKAN SEJARAH BANGSA SENDIRI.

Tetapi tak perduli cara apa yang mereka hendak gunakan untuk menutupi tindakan kriminil mereka sekitar Peristiwa 1965, - - - fakta-fakta sejarah itu akan semakin terungkap.

 ERA DIMANA SEJARAH DITENTUKAN OLEH PENGUASA, YANG MENANG.... SUDAH BERAKHIR. Sehubungan dengan Peristiwa 1965 dan pembantaian yang dilakukan terhadap warga sendiri tanpa presis hukum apapaun . . . . melihat film "THE ACT OF KILLING" , , ,,  preman dan jagal ANWAR CONGO dan kawan-kawannya . . . . lebih  " b e r a n i "  mengakui apa yang dilakukannya di masa lampau:  . . .


*    *    *
Ibrahim Isa
Selasa, 02 April 2013
--------------------------


WAWANCARA DUBES RI DI SWEDIA - - - SEKALI DIPLOMAT TETAP DIPLOMAT
==================================================================


Dubes RI di Swedia mau diwawancarai sehubungan dengan film "THE ACT OF KILLING" . . .

TENTU ITU BAIK-BAIK SAJA.

SAYANG, . . . .  PAK DUBES BICARA SEBAGAI "DUBES",
JADI . . . . IA BICARA SEBAGAI SEORANG DIPLOMAT . . . . .
SAYANG . . .

YANG INGIN KITA DENGAR . . . . . BAGAIMANA SUARA HATI NURANINYA . . .
MELIHAT DI FILM ITU SEORANG WAKIL MENTERI PEMUDA MENGAGUNG-AGUNGKAN TINDAKAN PEMBANTAIAN TERHADAP WARGA TAK BERSALAH, TIDAK DIADILI TAPI MALAH DIPUJI . . .

DAN MANTAN WAPRES JUSUF KALLA . . . IDEM DITO.

BAGAIMANA BISA MENANGGAPI KASUS KEMANUSIAAN INI DENGAN LANGGAM DIPLOMAT YANG DIPLOMATIS. . . . . KAN TIDAK NYAMBUNG . . . .

HJAL ITU HARUS DITANGGAPI DARI LUBUK HATI NURANI ANDA PAK DUBES . . . .

*    *    *
*Kolom IBRAHIM ISA*
*Senin, 01 April 2013*
*----------------------------*



*Di HOLLAND “YSBI” LUNCURKAN NOVEL-NOVEL PENULIS SINGAPURA -- MAY SWAN*



Benar --- Yang diluncurkan Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YSBI) di Gedung Schakel, Dieman-Zuid, hari Minggu kemarin itu, -- adalah buku-buku, karya sastrawan Singapura, *MAY SWAN*. Bisa dipertanyakan, -- mengapa YSBI meluncurkan karya-karya seorang penulis Singapura? . . .


Itu disebabkan. . . . . penulis May Swan, seorang warganegra Singapura, adalah seorang etnis-Tionghoa yang berasal dari Indonesia. Meskipun telah menjadi warga negara Singapura, kebanyakan tulisannya adalah novel-novel bersangkut-paut dengan Indonesia, negeri-asalnya. Karya-karya May Swan***ber*nafaskan semangat Indonesia, manifestasi kenangn dan kerindunnya pada negeri seribu-pulau ini.


Jarang suatu peluncuran buku (penulis bukan orang Belanda) -- yang diadakan di Belanda, mendapat perhatian sampai sedemikian jumlahnya seperti kemarin itu. Peluncuran buku-buku May Swan disaksikan hadirin yang memenuhi ruangan pertemuan Gedung Schakel. Kira-kira tujuh-puluhan peminat . . . Terutrama dari kalangan masyarakat Indonesia. Juga dari kalangan orang-orang Belanda Bulé. Jadi memang suatu peluncuran oleh YSBI yang sukses.


*Soelardjo, Ketua YSBI*yang membuka pertemuan berkenan memberikan penjelasan tentang YSBI dan kegiatannya selama ini. Juga menceriterakan siapa MAY SWAN.


* * *


*Penulis Chalik Hamid*, salah seorang anggota pengurus YSBI, yang memimpin peluncuran buku kemarin itu, menerangkan bahwa buku yang akan dibahas hari itu ada dua buah: “MONTMARTRE IN BANDOWOSO” dan SON AND DAGUHTERS OF BANGKA”. Pembahasan disampaikan oleh*Ibrahim Isa*, Sekretaris Stichting WERTHEIM.


* * *


Baik kita ikuti yang diuraikan *oleh May Swan*mengenai karya-karyanya. Teks selengkapnya adalah sbb:


*UCAPAN PENULIS*

Selamat pagi semua. Terima kasih atas kedatangan teman-teman. Telah sudi melapangkan waktu hadir dalam acara ini, sekalipun cuaca di luas masih sangat dingan, sedikitnya bagi saya yang biasa hidup di daerah panas.


Tentunya kita sangat berterima kasih kepada YAYASAN SEJARAH & BUDAYA INDONESIA di Amsterdam, khususnya kepada Bung Sularjo dan Bung Chalik Hamid telah banyak mencurahkan waktu dan tenaga demi berhasilnya pertemuan ini.


Special thank you saya ucapkan kepada Bung Ibrahim Isa telah sudi menulis book review “Montmartre In Bondowoso” dan “Sons and Daughters” Dua buku yang kita bicarakan hari ini.


Dalam halaman 123 “Montmartre in Bondowoso” terdapat dialoque antara 2 karakter; SOERONO dan Marjora dimana tercatat sebuah uraian sebagai berikut:


“You see, when you saw something beautiful, be it the innocent smile of a child, the glorious color of sun set or a stunning looking bird of paradise, and yet you're not affected, it means you'renot living. You might we well be dead”.


Melalui dialoque singkat diatas, penulis berusaha mengungkap rasa ketidak-puasan sekumpulan masyarakat exile yang hidup di luar negeri, perasaan konflik mendalam yang dirasakan oleh Soerono, sekalipun hidup dalam berkecukupan, dan telah mendorongnya menoleh ke Bondowoso dimana jiwanya berakar.


Jika ada yang mengatakan bahwa novel 'Bondowoso” adalah ceritera percintaan segi-tig belaka, itu berupa penghinaan yang sangat dangkal dan simplistic.


Tujuan penulis bukan fokus pada riwayat percintaan pribadi di luar perkawinan, sebaliknya menggunakan kasus yang berkembang sebagai refleksi keadaan menyeluruh, conflicting of loyalty yang tetap tumbuh diantara masyrakat diaspora.


Berkeaan dengan “Sons and Daughters of Bangka”, dalam halaman 98 terdapat ungkapan sebagai begikut: “No, he shouldn't direct his anger at Sin Kho. Sin Kho is not the traitor who betrayed him. Sin Kho is as much a victim just like himself and many others, unnamed, unseen and unaccounted for. They were all victims of a paradise gone wrong.“


Ungkapan singkat diatas memperlihatkan dengan jelas persepsi penulis mengenai Revolusi Kebudayaan kebrutalan berdasarkan kebodohan yang berawal dari perebutan kekuasaan pada pucuk pimpinan. Sebuah lembaran tragedi dalam sejarah Tiongkok modern. dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia keturunan Tionghoa yang ketika dipulangkah secara marglnal di Indonesia, berbondong-bondong berangkat ke Tiongkok menganggap dirinya sebagai the Prodigal sons and daughter kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Namun ketika berada di Tiongkok, mereka juga mengalami perlakuan yang menganggapnya sebagai orang asing yang tidak dapat dipercaya.


Karya May Swan senantiasa thought provoking merangsang perqasaan. Berani menerjang, membuka pintu yang tadinya terkunci rapat.


Namun karya May Swan juga bernuansa positive terhadap masa depan, setelah membuang kerikil yang tgerdapat dalam sepatu sejarah sepanjang perjalanan menanjak dan beliku-liku . .

Terima kasih


* * *


*Dalam pembahasannya Ibrahim Isa*a.l menyatakan sbb:


Hadir hari ini, Minggu 31 Maret 2013, --- dalam suatu pertemuan sastra dan budaya di Diemen, Holland, atas undangan YSBI, merupakan suatu kehormatan. Saya pencinta sastra, tapi bukan novelis. Tidak seperti penulis May Swan, Chalik Hamid, dan kawan-kawan penulis lainnya. Saya suka menulis, tapi bukan penulis.


Namun, hari ini saya diminta untuk memberikan kesan sepatah dua kata mengenai dua buah buku novelis wanita *MAY SWAN*, asal Bangka, Indonesia. Yang sekarang menyandang paspor Singapur. Ya, ini dia MAY SWAN duduk disamping . . .


* * *


*May Swan*, adalah seorang penulis, novelis, asal etnik-Tionghoa, --- turunan Tionghoa Indonesia yang sekarang berdomisli di Singapura. Ia telah menulis, paling tidak 8 novel. Yang saya bicarakan pagi ini dua buah diantaranya, yaitu *MONMARTRE In BONDOWOSO*, dan*SONS AND DAUGHTERS OF BANGKA*. Apa yang saya sampaikan hari ini adalah kesan dan pemahaman salah seorang penggemar literatur sastra, khususnya Indonesia.


Bicara tentang novel atau sering dibilang sebuah “roman”, maka perhatian terutama tertuju pada pensajian sebuah cerita, sebuah drama. Dalam hal ini sebuah cerita tentang hubungan antar-manusia, dalam hubungan kehidupan masyarakat. Biasanya tercakup di situ cerita yang dramatis dan bahkan tragis, memilukan, tanpa penutupan yang “happy end”. Pembaca disilahkan untuk bikin penutupan dan penyimpulan sendiri atas cerita tsb.


Satu hal yang pasti, dalam novel itu ceritanya berlatar belakang suatu periode dan tempat tertentu. *Dalam hal ini novel “Montmartre in Bondowoso”*, berlatar belakang Paris dan Bondowoso di periode sebelum Peristiwa 65. Sekitar migran para eksil, orang-orang Indonesia yang terhalang pulang, yang pspornya dirampas rezim Orba. Sedangkan “*SON AND DAUGHTERS OF BANGKA”*, sekitar pemuda-pemudi Indonesia asal Tionghoa di Bangka.


Yang menarik ialah yang menyangkut latar belakang Indonesia, sekitar peiode itu. Bagaima penulis May Swan mensajikan situasi di Indonesia ketika itu, dan sekarang ini sesudah Reformasi. Demikian pula halnya penyajiannya sekitar Tiongkok, khususnya dalam periode RBKP dan sekarang ini.


* * *


Semua itu menunjukkan bahwa penulis May Swan, telah mengadakan studi dan riset mendalam tentang lokasi, sejarah dan situasi kongkrit dan masa lampaunya. May Swan menulis bukan “asal menulis” yang “asbun- asal bumyi”. Apa yang ditulisnya menyangkut lokasi dan situasi adalah riil,sesuai dengan pengetahuan kita mengenai hal itu. Lagipula ada hal-hal yang sesudah membaca karya May Swan, --- dari tidak tahu kita menjadi tahu. Bertambah apresiasi dan horizon kita mengenai hal-hal yang diceriterakannya dalam bukunya.


Juga menarik ialah pengkisahan yang mendetail dan hidup mengenai keadaan Bangka/ Belitung dan penduduknya. Patriotik dalam perjuangan Indonesia melawan Belanda untuk kemerdekaan nasional. Dan progresif dalam periode sebelum munculnya Orba.


Kita diperkenalkan dengan situsi fisik dan mental kaum emigran eksil Indoensia di Paris .


Juga diungkap tentang khusus peranan Bangka dalam perjuangan melawan Belanda, khususnya penyelundupan yang dilakukan untuk memperoleh senjata dan obat-obatan dari Singapura. Apa peranan Banga dalam hal ini.


Dan bagaiman peduli dan perhatian penduduk Bangka khususnya yang turunan Tionghoa terhadap keadaan Bung Karno dan rombngan ketika dibuang Belanda ke Bangka (1949).


Kita juga berkenalan dengan situasi kebiasaan dan adat istiada orang-orang Indonesia keturunan Tinghoa. Antara lain yang betul-betul baru bagi saya, yang menyangkut disediakannya peti mati untuk anggota keluarga, orangtua, untuk pemakaman nanti. Itu dianggap suatu penghormatan pada orangtua yang bersangkutan. . . . .


* * *


Ada hal yang memang perlu disebut sebagai suatu kekuarangan mengenai karya sastra May Swan, – – -- kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris. Namun itu juga merupakan suatu keunggulan. Yang saya tau Indonesia memiliki tiga penulis yang menulis karya sastranya dalam bahasa Inggri, yaitu:*Laksmi Pamuntjak, Noor Djaman dan MAY SWAN.*


Merupakan suatu kekurangan karena sebagian besar orang Indonesia tidak mengerti bahasa Inggris apalagi bahasa Inggris suatu roman. Dengan demikian sebagian besar pembaca Indonesia tidak bisa membacanya.


Namun ditulisnya novel-novel itu dalam bahasa Inggriss merupakan suatu keunggulan karena itu MEMPROPMOSI SASTRA INDONESIA DI LUARNEGERI.





* * *












*Kolom IBRAHIM ISA*
*Kemis, 28 Maret 2013**
----------------------*


*BATALKAN Keputusan MPRS Yang MENCAP Presiden SUKARNO Sebagai PENGKHIANAT !!!*


|Melalui suatu komplotan rekayasa kudeta merangkak yang canggih, -- -- -- Jendral Suharto dkk dari TNI-AD, memaksa Presiden Sukarno mengeluarkan Supersemar. Halmana terjadi di bawah todongan tiga orang Jendral, yaitu , M. Jusuf, Amir Mahmud dan Basuki Rakhmat. Mereka-mereka itu diutus Jendral Suharto "menemui" Presiden Sukarno di Istana Bogor:


Begitu memperoleh "Surat Perintah 11 Maret", Jendral Suharto langsung m e n g k h i a n a t i Presiden Sukarno -- dengan siasatnya menyalahgunakan Supersemar menjadi legitimasi kudeta merangkak yang sedang berlangsung terhadap Presiden Sukarno. Melalui peidato-pidatonya yang diucapkannya sesudah keluarnya Supersemar , Presiden Sukarno, berusaha menjelaskan bahwa Supersemar bukan suatu "transfer of authority", bukan suatu pengalihan kekuasaan pemerintah dan negara kepada Jendral Suharto, --- (baca buku REVOLUSI BELUM SELESAi, Sukarno, Jilid 1 dan II). Pidato-pidato Presiden |Sukarno ketika itu di "black out" oleh Jendral Suharto yang telah membungkam pers Indonesia dan hanya mengizinkan s.k Angkata Bersenjata dan s.k. Berita Yuda. Dan Presiden Sukarno, yang sedang dalam jabatan sebagai Presiden RI dan Pangti ABRI, berakhir di tahanan rumah, ditutup rapat dari segala hubungan dengan dunia luar, dengan perlakuan buruk sekali, sampai beliau meninggal dunia sebagai tahanan rezim Orba dalam keadaan merana dan tersiksa.


Melalui suatu sidang MPRS yang sudah dibongkar-pasang, Jendral Suharto dan Jendral Nasution, behasil menggerakkan Sidang MPRS mencap Bung Karno sebagai pengkhianat.


* * *


Menurut informasi susulan yang dapat diandalkan kebenarannya, pada tanggal 02 Oktober 1965, Jendral Suharto SUDAH mengkhianati Presdien Sukarno, dengan mengeluarkan serentetan instruksi kepada bawahannya dan pendukungnya untuk menangkapi, menmenjarakan, menghilangkan dan membunuh siapa saja yang PKI, dianggap pendukung PKI dan pendukung Presiden Sukarno. Itu dilakukannya atas nama Komando Keamanan dan Ketertiban, yang ketika itu belum ada samasekali.


* * *


*GUGATAN RACHMAWATI SUKARNOPUTRI*


*Salah seorang putri Bung Karno, -- -- bukan Megawati yang mantan Presiden RI, -- bernama Rachmawati Sukarnoputri, beberapa hari yang lalu mempertanyakan cap 'pengkhianat' terhadap Bung Karno. *



*Tribunnews.com - Senin, 25 Maret 2013, *memuat berita sbb: Putri Bung Karno Pertanyakan Cap Penghianat Terhadap Ayahnya. Ia mempertanyakan gelar pahlawan yang diberikan pemerintah kepada ayahnya.


Menurutnya sangat aneh Bung Karno, diberikan gelar pahlawan sementara dicap sebagai 'penghianat' dalam Ketatapan MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno.

"Orang yang dicap penghianat bangsa justru dikasih gelar pahlawan dua kali. Saya ingin tahu dimana seorang penghianat diberikan gelar pahlawan nasional," ujar Rachmawati, usai persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/3/201. Tap MPR tersebut memberikan ekses negatif kepada keluarga Bung Karno secara politik dan hukum.Akibatnya, lanjut Rachmawati, keluarga mereka sering mendapat intimidasi, teror, perampasan hak misalnya sulit memperoleh pendidikan formal karena diklaim komunis.

Rachmawati menilai pemerintah tidak serius dalam memberikan gelar pahlawan kepada Bung Karno karena belum menghapus Tap MPR tersebut."Saya tidak tahu ada agenda pragmatis apa hingga pemerintah mempermainkan TAP MPRS ini," tandasnya.

Sebelumnya, Rachamwati dan Universitas Bung Karno serta Partai Pelapor mengajukan gugatan terhadap Pasal 6 angka 30 TAP MPR/2003 tentang peninjauan terhadap status materi dan status hukum ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan 2002.



* * *



Juga Merdeka.com (25 Maret 2013), memberitakan, bahwa Putri mantan Presiden Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri mempertanyakan cap 'pengkhianat' yang disematkan negara pada ayahnya seperti tertuang dalam *Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP-MPR) Nomor 1/MPR/2003.*


Pemerintah tidak memiliki itikad dalam menetapkan Presiden Soekarno sebagai pahlawan, karena tidak menghilangkan cap pengkhianat tersebut. *Rachmawati curiga ada kepentingan tertentu di balik pemberian gelar tersebut. *"Saya tidak tahu ada agenda pragmatis apa, hingga pemerintah mempermainkan TAP MPRS ini," Demikian Rachmawati.


* * *


Tentu , --- orang akan bertanya-tanya, adakah Megawati Sukarnoputri, putri tertua Presiden Sukarno, ketika beliau menjabat Presiden Republik Indonesia, .yang ke-IV, p e r n a h mempertanyakan masalah cap penkhianat yang dijatuhkan oleh Jendral Nasution (yang ketika itu sudah didongkrak penguasa militer menjadi Ketua MPRS) dan Jendral Suharto, ketika itu penguasa pemerintah dan negara melalui penyalahgunaan Supersemar, --- atau mempersoalkan cap pengkhianat terhadap Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia?


* * *


Pemimipin mailist GELORA.45, Chan CT, menulis sebagai reaksi terhadap gugatan Rakchmawati, sbb(27/3/2013):


Yaaa, betul juga, setidaknya Rachmawati sudah berani berucap yang benar dan seharusnya. Tapi bagaimana dia melangkah lebih maju untuk merubah apa yang dikatakan menjadi kenyataan? Bagaimana dia akan menghadapi Pemerintah berkuasa yang tetap akan mempertahankan Jenderal Soeharto sebagai Pahlawan sedang Soekarno tetap sebagai pesakitan, Presiden yang patut digulingkan dan diganti oleh Soeharto.


Seandainya Soekarno TIDAK dinyatakan BERSALAH dalam mempertahankan PKI yang dituntut dibubarkan, bagaimana pula bisa membenarkan Soeharto pantas menggantikan Presiden RI ketika itu? Lalu, kalau sebaliknya jenderal Soeharto dinyatakan yang bersalah, bagaimana pula bisa membenarkan kekuasaannya yang telah berlangsung selama lebih 32 tahun itu? Bukankah tempo hari juga sudah ada yang menyatakan bahwa hakekat kekuasaan jenderal Soeharto selama lebih 32 tahun itu tidak sah! Karena diawali dengan main mengganti persona anggota MPRS yang resmi dari hasil pemilihan sah.


Menarik kalau pemerintah RI selama ini ternyata dinyatakan TIDAK SAH!


* * *


Mempersoalkan, ----- dengan tujuan meluruskan pencatatan sejarah masa lampau, mau dimulai dari mana saja, --- akan tiba pada kesimpulan seperti yang diungkap oleh Chan CT: Bukankah tempo hari juga sudah ada yang menyatakan, bahwa *hakekat kekuasaan jenderal Soeharto selama lebih 32 tahun itu tidak sah*! Karena diawali dengan main mengganti persona anggota MPRS yang resmi dari hasil pemilihan sah.


* * *


Apalagi bila penulusuran fakta-fakta sejarah, dimulai dari pembangkangan Jendral Suharto terhadap keputusan Presiden Sukarno, menetapkan Jendral Pranoto Reksosamudro menjadi pimpinan care-taker Angkatan Darat, karena dibunuhnya enam orang Jendral pimpinan Angkatan Darat dalam peristiwa G30S? Apalagi bila menelusuri kejadian saaat-saat ketika Istana Negara dikepung "pasukan tak dikenal" (kemudian ternyata adalah pasukannya Jendral Kemal Idris di bawah Jendral Suharrto) ketika Presiden Sukarno memimpin sidang Kabinet dimana Suharto absen dengan dalih "sakit"!


Dari mana saja hendak memulai penelusuran faktaa-fakta sekitar perubahan pemerintahan Republik Indonesia di bawah Presiden Sukarno, --- ke suatu rezim Orde Baru di bawah Jendral Suharto, --- tidakbisa-tidak akan tiba pada FAKTA-FAKTA KERAS, sejarah bahwa apa yang terjadi ketika itu adalah suatu KEDUTA MERNAGKAK terhadap pemimpin negara dan pemerintahan Presiden Sukarno.


* * *


Harapan kita ialah agar Rachamawati Sukarnoputri dan kekuatan pro-Demokrasi, pro-Reformasi dan Pro-HAM di dalam masyarakt,*konsisten* dalam kegiatan dan perjuangan menuntut agar pemrintah Indonesia yang sekarang ini mengungkap kebenaran dan memberlakukan keadilan di sekitar PERISTIWA 1965.


*Tragedi nasional ini hanya bisa ditangani, diurus dengan tuntas, diperlakukan melalui PENGUNGKAPAN KEBENARAN DAN KEADILAN!*


* * *


*Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 26 Maret 2013
---------------------*


*Kemarin Seminar di Leiden – Hari ini, Diskusi Dng Saskia Wieringa . . . . .*


* * *


Hari Senin sore kemarin, 25 Maret, 2013, sore hari, --- KITLV mengadakan kegiatan penting (untuk Belanda). Bertempat di Kamar 3, Lipsius Building, Celeveringaplaats 1, Leiden.

*Penting*kataku . . . . karena sore kemarin itu *STANLEY ADI PRASETYO*, mantan anggota KomnasHAM, memberikan ceramah dengan fokus pada*perubahan*yang terjadi di Indonesia dalam historiography mengenai “1965”. Dan Laporan KomnasHAM 23 Juli 2012. Stanley ssndiri terlibat langsung dalam penyusunan Laporan KomnasHAM tsb, Sekitar Pelanggaran HAM berat dimana terlibat aparat keamanan negara.



Hadir sekitar limapuluhan, a.l profesor, dosen, aktivis dan mahasiswa-mahasiwa Indonesia. Untuk memberikan suasana tema pembicaraan, ditayangkan lebih dahulu sekilas cuplikan sekitar film “The Act of Killing” (sutradara dan film-maker Joshua Oppenheidmer). Orang bisa berkomentar, kok sedikit ya? Yang hadir? Namun, -- di Belanda, jumlah yang hadir dalam seminar seperti itu, jumlah limapuluhan sudah termasuk banyak.



A*langkah baiknya catatan seminar-seminar seperti ini mengenai tema Indonesia, direkam dan disimpan baik-baik oleh KITLV sebagai penyelenggara seminar. Untuk kemudian dimanfaatkan kepada siapa saja yang peduli Indonesia dan yang berkepnetingan lainnya.*



* * *



Kemarin itu Stanley menyatakan dalam uraiannya, bahwa REFORMASI di Indonesia tidak mencapai hasil. Alias . . . . GAGAL dalam tujuan utamanya: – Transisi ke Demokrasi dan kesedaran HAM.



Kaum yang berkuasa dewasa ini adalah “the old guard”, yang dulunya pada zaman Orba bersimaharajela. Yang itu-itu juga. Kepentingan utama mereka-mereka itu adalah mempertahankan kekuasaannya dan meneruskan kultur dan kegiatan korupsi dan kolusi. Melahap kekayaan negeri dan bangsa sejadi-jadinya, untuk hidup mewah turun-temurun. Mengikuti MENTOR mereka, dinasti CENDANA dkk!



* * *



Selain itu dengan cukup rinci Stanley menguraikan lahirnya Laporan KomnasHAM 23 Juli 2012. Lalu taktik dan siasat penguasa (Kejagung dan pemerintah) dalam berusaha mencegah pelaksanaan yang dituntut oleh Laporan. Yaitu agar Kejaksaan Agung menindak-lanjutti penanganan pelanggaran HAM Berat sekitar 1965 dll.



* * *



Tergugah oleh uraian Stanley aku ajukan pertanyaan kepada Stanley: Anda memberikan uraian dengan kesimpulan bahwa TRANSISI REFORMASI yang dimulai sejak jatuhnya Suharto, tidak mencapai tujuannya, alias GAGAL. Di lain fihak KomnasHAM berhasil membuat sebuah Laporan yang ku-anggap WONDERFULL. Bagaimana? Apakah kita bisa terus dengan KomnasHAM sekarang ini?



Atas pertanyaan itu Stanley menegaskan bahwa KomnasHAM dengan pengurus sekarang ini, tidak memberikan harapan. Mereka sibuk soal fasilitas dan kepentingan dirinya sendiri.



*NAMUN, SAYA TETAP OPTIMIS*dalam kegiatan dan perjuagan ini, kata Stanley. Di hadapan kita, sekarang ini adalah momentum yang hars digunakan sebaik-baiknya. Yaitu situasi akan diadakannya Pemilihan Presiden 2014. Agar segenap ormas dan LSM serta para aktivis memusatkan kegiatan a.l mengkampanyekan perlu dipilihnya seorang -- *PRESIDEN YANG BERSIH *--. Yang berani dan mampu melaksanakan tuntutan yang disampaikan di dalam Laporan KomnasHAM 23 Juli 2012. Maksudnya agar kegiatan kita difokuskan pada AKSI KEKUATAN MASYARAKAT!! Untuk dilaksanakannya Rekomendasi KomnasHAM 23 Juli 2012.



Mendengar uraian Stanley tsb aku AJUKAN DUA JEMPOLKU KE STANLEY. Memang begitulah seyogianya dan seharusnya SEMANGAT GENERASI BARU. Rawé-rawé rantas, malang-malang putung – Gugur Satu Tumbuh Seribu . . . Patah Tumbuh Hilang Berganti . . .. MAJU TERUS PANTANG MUNDUR!!



* *



Undangan untuk menghadiri *DISKUSI WIERINGA & PRASETYO**, 26 Maret yad di UvA, Amsterdam. Lengkapnya (dalam bahasa Inggris, sbb:

*SEMINAR Announcement*
Location: Kloveniersburgwal 48, East Indies House room E.02, VOC hall (see http://g.co/maps/vm5k7); AMSTERDAM.


Date 26 March, 4-6 PM with possible extension to 7.30 PM
*Stanley Prasetyo In discussion with Saskia Wieringa *
Followed by scenes from The Act of Killing by Joshua Oppenheimer

The Indonesian 1965/6 genocide is one of the most silenced mass murders in modern world history.  Although several scholarly publications have appeared that pointed to an intra-army conflict which was manipulated by General Suharto and turned into a purge of progressive people, the perpetrators have never been brought to court. Recently the National Human Rights Commission has produced a report which clearly demonstrates that this is a case of gross human rights violations and of a crime against humanity. However the government immediately declared that the murders (possibly one million people) were necessary for the wellbeing of the nation. One of the commissioners involved in the production of this report, Stanley Prasetyo, will discuss with Prof Saskia Wieringa the production of the report and the present political situation.

After the discussion scenes will be shown of his recent film 'The Act of Killing', by Joshua Oppenheimer, followed by a discussion. See attachment for a recent interview with Joshua Oppenheimer.

This film is shown in the Movies that Matter Festival 21-27 March 2013. In this film a group of perpetrators enact the murders they carried out, and explain how they experienced that period. They are still proud of their behaviour at the time. None of them has been persecuted.



  *

    * *

    Diterjemahkan (bebas) ke dalam bahasa Indonesia. Jadinya kira-kira sbb:

    *WIERINGA DISKUSI dengan PRASETYO.*

    Tanggal 26 Maret, 2013 -- jam 4-6 sore, mungkin diperpanjang sampai
    jam 07.30.
    Diskusi akan dilanjuti dengan pemutaran film "THE ART OF KILLING" --
    "JAGAL", produksi Joshua Oppenheimer.

    Genosida Indonesia 1965/6 adalah salah satu dari pembunuhan masal
    yang paling dibungkamkan dalam sejarah moderen. Walaupun beberapa
    publikasi ilmiah telah muncul yang mengarah pada suatu
    konflik-intern angkatan darat yang dimanipulasi oleh Jendral
    Suharto, dan berubah menjadi suatu pemusnahan terhadap orang-orang
    progresif, para pelakunya tak pernah diajukan ke pengadilan.

    Baru-baru ini KomnasHAM mengeluarkan sebuah laporan yang dengan
    jelas menunjukkan kasus tsb adalah suatu pelanggaran berat HAM dan
    merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

    Namun pemerintah serta merta menyatakan bahwa pembunuhan itu
    (mungkin berjumlah sejuta orang) diperlukan demi kebaikan bangsa.

    Salah seorang Komisioner yang terlibat dalam pembuatan laporan ini,
    STANLEY PRASETYO, akan berdiskusi dengan Prof Saskia WIERINGA,
    tentang pembuatan laporan tsb. Dan mengenai situasi politik dewasa
    ini (di Indonesia).

    * * *

    Pemeduli perkembangan politik dan sejarah Indonesia tidak akan
    melepaskan kesempatan berlalu mengikuti dan hadir dalam DISKUSI
    POLITIK PENTING tentang INDONESIA di Amsterdam. Bagi kita sudah
    tidak asing lagi nama-nama Prof. Dr Saskia Wieringa dan Stanley
    Prasetyo.

    Namun, aku tertarik pada perumusan dalam undangan mengenai apa yang
    terjadi sekitar awal oktober 1965. Perhatikan uraian dalam undangan
    sbb:

    *Genosida Indonesia 1965/6 adalah salah satu dari pembunuhan masal
    yang paling dibungkamkan dalam sejarah moderen. Walaupun beberapa
    publikasi ilmiah telah muncul yang mengarah pada suatu
    konflik-intern angkatan darat yang dimanipulasi oleh Jendral
    Suharto, dan berubah menjadi suatu pemusnahan terhadap orang-orang
    progresif, para pelakunya tak pernah diajukan ke pengadilan. *



** * **

    *MARI SORE INI HADIR DI DISKUSI WIERINGA – STANLEY ADI PRASETYO*

    * * *




chen*Kolom IBRAHIM ISA*

*Minggu, 24 Maret 2013**

-----------------------*


”*1965, KEBENARAN & REKONSILIASI”*

*< Menyongsong Seminar di KITLV, Leiden, 25 Maret besok, dengan pembicara utama Stanley Prasetyo, Tema: *

*< “1965, Truth and Reconciliation” >*


** * **


*M*enjelang “Sebelas Maret”, 2013, kutulis sebuah kolom dengan judul

“*BONGKAR MANIPULASI SEKITAR “SUPERSEMAR” *

*TEGAKKAN INDONESIA JADI “RECHTSSTAAT”. *


Tulisan terfokus pada masalah penegakkan negara hukum, seperti diungkapkan dalam kalimat-kalimat ini:

“Dengan sendirinya, segala sesuatu yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legeslatif dan yudikatif sesudah  manipulasi Supersemar tsb., adalah ilegal dan samasekali bertentangan dengan UUD 1945; bertentangan dengan prinsip-prinsip  konstitusional manapun. Pertama-tama adalah kekuasaan Orba yang didirikan atas dasar manipulasi Supersemar itu,  juga sepenuhnya ilegal dan inkonstitusional.

*“Maka, untuk menegakkan negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, sebagai suatu “rechtsstaat”,  yang benar-benar konstitusional dan legal,   yang paling awal harus dilakukan adalah -- dibongkarnya manipulasi SUPERSEMAR serta perombakan segala sesuatu yang berawal dari manipulasi tsb. “.*


* * *


Pada tanggal 11 Maret itu, aku menerima e-mail kiriman sahabat-karibku, *Dr Asvi Warman Adam**. Isinya: “TINJAUAN “ tentang buku yang baru terbit ditulis oleh *Nani Nurachman Sutoyo*, putri Jendral Sutoyo, ( dibunuh dalam Peristiwa G30S, 01 Oktober 1965).
Judul buku Nani Nurachman Sutoyo, adalah: "*Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah dan Tragedi 1965".

Dalam tinjauannya itu Asvi Warman Adam menekankan tentang arti penting buku Nani N Sutoyo dalam memhami “PENTINGNYA ARTI REKONSILIASI.”


* * *


*Pada tanggal 25 Maret, 2013, yad, KITLV - Leiden, mengadakan seminar dengan pembicara utama STANLEY PRASETYO, Tema: “1965, Truth and Reconciliation” , bahasa Indonesianya – ”1965, KEBENARAN & REKONSILIASI”. Seminar tampaknya akan berlangsung dalam bahasa Inggris.
*
*Stanley Prasetyo*adalah mantan anggota KomnasHAM. Ia terlibat dengan Laporan KomnasHam mengenai masalah 1965/66. Dijelaskan dalam undangan KITLV tsb bahwa laporan KomnasHam tsb (tertanggal 23 Juli 2012), didasarkan atas investigasi di pelbagai tempat di Indonesia, termasuk wawancara-wawncara dengan 349 saksi-mata dan telah diajukan kepada Kejaksaan Agung dalam tahun 2012. Atas dasar laporan tsb KomnasHAM minta kepada Jaksa Agung untuk melakukan infestigasi resmi mengenai pelangaran hak-hak mansia dalam thaun 1965.


Jaksa Agung Basrief Arief menolak permintaan itu, dengan mengatakan bahwa “bukti-bukti yang dikumpulkan oleh KomnasHAM, tidak cukup untuk dilakukannya insfestigasi hukum yang resmi. Demikian penjelasan KITLV dalam undangannya itu.


ktlv@kitlv.nl
. Tel: o71-527 2295.>


* * *


Beberapa hari yang lalu *Yefta Tandyo*, sahabatku dari Magelang, memforwardkan kepadaku sebuah tulisan penting: berjudul;*GM vs PRAM.*Isinya adalah *SURAT TERBUKA GOENAWAN MOHAMMAD kepada PRAMUDYA ANANTA TUR, dan jawaban Pram, berjudul SAYA BUKAN NELSON MANDELA, *Tanggapan buat Goenawan Mohamad”. Komentar Yefta Tandiyo a.l. " Silang pendapat yang menggugah hati, jiwa dan pikiran, tapi juga bisa medidih.. "


*Surat terbuka Goenawan Muhamad ini dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam *buku //Setelah Revolusi Tak Ada Lagi//(2004).


Sedangkan tnggapan Pram atas surat Goenawan itu, tidak jelas kapan itu disiarkan.


Teks lengkap SILANG PENDAPAT GM DENGAN PRAM dilampirkan di bawah ini.


* * *


Berlangsung terusnya kegiatan penulisan sekitar SUPERSEMAR, sekitar PERISTIWA 1965, semua itu bukan sesuatu yang kebetulan. Latar belakang penyebabnya: --- Masalah besar yang dihadapi bangsa ini, belum dijamah dan diurus baik, -- dikarenakan -- MASIH BELUM BERREKONSILIASI DENGAN SEJARAHNYA SENDIRI. Lebih tepat barangkali bila dikatakan, bahwa, ,*“bangsa ini masih belum berani membuka mata dan telinganya lebar-lebar mengenai sejarahnya sendiri, ”MASALAH PERISITIWA 1965. Belum berani atau belum mau melihat kenyataan, fakta-fakta yang terjadi dalam sejarahnya sebagai bangsa”.*


* * *


Lampiran 1.


*GM vs PRAM***Posted: 09/03/2013 in Esei <http://boemipoetra.wordpress.com/category/e

*Surat Terbuka Untuk Pramoedya Ananta Toer*

*oleh Goenawan Mohamad*


Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan

mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan

manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah

zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi

karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki.

Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena

sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta

penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis

(dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut manapun.


Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi

penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.


Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun

ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak

sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan

rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi

sang subjek.


Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu

bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia.akan menghabisi batas antara subjek dan

objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx:

karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme

ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah

dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya

korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia itu tak

terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang,

Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid

yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung

Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.


Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang

sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. *Bung Pram, saya ragu apakah Bung *

*akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung *

*nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung *

*menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di *

*sini Bung keliru.*


Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di

antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung.

Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika

berbicara untuk keadilan.*Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi *

*seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh *

*Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban *

*kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat *

*di pikiran banyak orang Indonesia.*


Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan

umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat

bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim

kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta

maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga

orang Islam lain – juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah –

telah terlibat dalam sebuah kekejaman. *Mengakui ini dan meminta maaf sungguh *

*bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.*


Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir

seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak

dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau

bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? *Seandainya pun pimpinan PKI *

*bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada *

*tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan *

*partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap *

*warganya dibantai atau diperbudak.*


*Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan *

*dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur *

*hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: *

*bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak *

*banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram.* Tak gampang untuk seperti

itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya

berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965.

*Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk *

*mempelajari Marxisme-Leninisme*. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah

masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya

komunis” adalah menyembunyikan *kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.*


Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur

tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin

masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah

dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang

bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru

penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi,

dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa

keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam

menunggu giliran seorang korban yang baru.


Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup

pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan

dihentikan oleh masa lalu.


Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri

sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan

setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di

masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus,

sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung

mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu

“Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak

menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih

penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia

terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh,

membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan

dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung

Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban

Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada

perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di

mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang

ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?


Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara,

biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru

setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam

sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil

ada hierarki kesengsaraan.


*Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah *

*dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan *

*mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir.* Tapi seperti setiap klaim

kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur

mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung

akan bersikap sama. *Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan *

*dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun *

*lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.*


** Tulisan GM ini dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam *

*buku //Setelah Revolusi Tak Ada Lagi// (2004).*


* * *

Lampiran II:

“*Saya Bukan Nelson Mandela” *

*(Tanggapan buat Goenawan Mohamad)*

*Oleh Pramoedya Ananta Toer*

***


Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika

Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden

Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit

putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat

menghormati Mandela. *Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.*


Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih

terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia.

Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat

menindas kulit cokelat. *Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur *

*dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf *

*setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.*


Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa

harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya,

kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden,

kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam

kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini

mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan

MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.


*Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang *

*seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini *

*urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu *

*sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.*


Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang

Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di

Amerika, tapi di Indonesia dilarang. *Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun *

*dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan *

*siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang *

*luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi *

*ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan *

*hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT *

*tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.*


Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara

mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi

untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.


*Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat *

*hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta *

*maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. *

*Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 *

*saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi *

*justru menangkap saya.*


Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak

terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa*. Dalam buku *

*saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 *

*tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.*


*Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga *

*Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya *

*tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para *

*intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka *

*semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut *

*bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.*


Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam.

Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya,

termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.


*Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda *

*sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan *

*hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh *

*darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.*


* * *

Sementar reaksi:



*IHSANUL FIKRI, boemipoetera, 09 maret 2013 – 10.03.2013*

JURNAL SASTRA INDEPENDEN, 10.03.2013

Begitu kuat pernyataan dari penebusan dosa yang disampaikan Oleh GM, bisa jadi ini tameng sirkuite yang menginginkan pemaafan dari luka yang tergores di masa lalu.


*GM mewakili spirit idealis sedang PRAM sebagai Materialis: Bahwa sejarah bukan barang usang yang bisa diwariskan begitu saja dengan perkataan maaf dan lalu semuanya menjadi berjalan normal, linear, tanpa dosa dan penyesalan. TIDAK!*



** * **


*Yefta Tandyo, Magelang*

Komentgar Yefta Tandiyo a.l.*" Silang pendapat yang menggugah hati, jiwa dan pikiran, tapi juga bisa medidih.. "*



** * **


Kolom IBRAHIM ISA - ”1965, KEBENARAN & REKONSILIASI”,,< Menyongsong Seminar di KITLV, Leiden, 25 Maret besok, dengan pembicara utama Stanley Prasetyo, Tema:,,< “1965, Truth and Reconciliation” >

Kolom  IBRAHIM ISA
Sabtu, 23 Maret 2013

--------------------

--  MENSOSIALISASIKAN PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA . . . .

--  MELALUI RILIS FILM DOKUMENTER  "THE ACT OF KILLING" . . . . .

--  SUATU KEGIATAN YANG PATUT DIHARGAI . . . .


*    *    *

Bung Djie y.b.,

Bermanfaat sekali Bung mengedit dan menyiarkan berita-berita seperti ini.

Sangat informatif untuk teman-teman Belanda yang belum tahu atau yang misinformed mengenai situasi sekitar "Peristiwa 1965"   . .. dan situasi pemahaman mereka tentangperiode ini di Indonesia.

Bukankah sampai dewasa ini pemerintah Indonesia  m a s i h   ...  BELUM MAU MENGAKUI KEJAHATAN HAM BERAT, yang berlangsung ketika itu? Bukankah para "jagal" seperti Anwar Congo dkk, --  masih dianggap "pahlawan".

Bukankah sikap ini setali tiga uang denganmereka-mereka yangmendesakkan kehendaknya agar SUHARTO DINOBATKAN JADI PAHLAWAN NASIONAL?

*    *

Hari ini, saya mengirimkan berita ini ke banyak kawan-Belanda saya.


Trima kasih atas kiriman Bung tsb.
Suatu kegiatan yang BRAVO!

* *    *

----------------

**Op 22-3-2013 19:32, k.djie schreef:
*

* Subject:**Act of Killing op Nederlandse TV (links)   http://www.nrc.nl/breedbeeld/2013/03/22/kijken-het-verhaal-achter-een-miljoe

n-doden-in-indonesie/#more-453725

  http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded

&v=THh1krqYwo4#!

Correspondent Elke Schouten over de film

http://omroep.vara.nl/media/219093
Kijken: het onderbelichte verhaal achter een miljoen doden in Indonesië

act_of_killing_rechthoek_w460

door Annemarie Coevert



De documentaire The Act of Killing   van Joshua
Oppenheimer gaat over de communistenjacht in Indonesië in 1965-66, de
zwartste bladzijden uit de geschiedenis van het land. In Indonesië is de
schokkende film met veel moeite te bekijken, in Nederland is deze in de
bioscoop te zien.

http://cdn.teads.tv/img/ir/mention_nl.png

  De moord op de honderdduizenden communisten wordt in de documentaire
besproken op een manier die tot een paar jaar geleden totaal onbespreekbaar
was. In Indonesië kun je niet zomaar een kaartje kopen voor de film. Je moet
eerst uitvogelen wanneer een zeldzame voorstelling gehouden wordt. Dan moet
je je via Facebook aanmelden. Alleen een officiële op naam gestelde
uitnodiging verschaft toegang tot de filmzaal.

Om die reden is de invloed van de documentaire in het land zelf nog beperkt.
De Engelstalige krant Jakarta Globe schat dat er sinds de première ruim 260
besloten voorstellingen zijn gehouden met in totaal tienduizend bezoekers,
oftewel 0,004 procent van de Indonesiërs.

Buiten Indonesië vestigt de documentaire de aandacht op een van de
gruwelijkste moordpartijen uit de moderne geschiedenis. De film ging
gisteravond in Nederland première op het Haagse filmfestival Movies That
Matter   en tourt de komende weken
door het land. Gisteravond gaf gisteravond in Pauw en Witteman uitleg over
de film.

De moordenaars vertellen zelf wat er gebeurde

Welke schokkende feiten legt de documentaire precies bloot? Onze huidige
correspondent Melle Garschagen wist de film te bekijken en schrijft er
vandaag in NRC Handelsblad over:

"Oppenheimer legt bloot dat de communistenjagers geen helden zijn die het
jonge Indonesië hebben behoed voor de gevolgen van een gevaarlijke
ideologie. Op verbluffende wijze laat hij de aanstichters van het geweld een
beeld van henzelf schetsen. Het waren verveelde gangsters die moordenaars
werden door mensen af te slachten zonder enige vorm van bewijs of proces.

De mannen die de gruwelijkheden pleegden werden actief gesteund door
maatschappelijke organisaties die in een functionerende maatschappij
tegenwicht zouden moeten bieden aan dit soort heksenjachten.

Oppenheimer heeft het over een miljoen slachtoffers: 'Het is een van de
ergste massamoorden van de twintigste eeuw, samen met de pogroms in de
Sovjet-Unie, de nazimoorden tijdens de Tweede Wereldoorlog en de maoïstische bloedbaden in de vroege jaren vijftig'."

The Act of Killing gaat over geschiedenis, maar toont ook een duistere zijde van de Indonesische samenleving die nog steeds relevant is: massahysterie, zo vervolgt Garschagen:

"Hoe diep de moordenaars ook graven, een echt antwoord op de vraag waarom ze deden wat ze deden geven ze niet. Indonesië-expert Schwarz noemt dit 'the beast within'. Nog steeds steekt dat beest, weliswaar in bescheiden vorm, zijn kop op."

Geplaatst in:

Algemeen

Lees meer over:

documentaire
Indonesië
The Act of Killing, gisteren in première in Den Haag, is een schokkende film over een Indonesisch bloedbad. In Jakarta is hij alleen te zien op verzoek.

Horror, maar dan waargebeurd
Hoofdpersoon Anwar Congo (rechts) toont in de film hoe hij rond 1965
eigenhandig honderden communisten doodde. Jakarta.

Dooronze correspondent Melle Garschagen  | pagina 12 - 13


Het kan wel, op zijn Indonesisch met een sateetje bij Bioskop Blitzmegaplex
in Jakarta naar de documentaire The Act of Killing kijken. Eenvoudig is dat
niet. De documentaire van de Amerikaan Joshua Oppenheimer over de
communistenjacht in Indonesië in 1965-66 ligt gevoelig, omdat de zwartste
bladzijden uit de Indonesische geschiedenis worden behandeld op een manier
die tot een paar jaar geleden totaal onbespreekbaar was. Daarom moet je
eerst uitvogelen wanneer een van de zeldzame voorstellingen wordt gehouden.
Dan moet je je via Facebook aanmelden. Alleen een officiële uitnodiging op
naam verschaft toegang tot de filmzaal.

Oppenheimer laat zien dat de communistenjagers geen helden zijn die het
jonge Indonesië hebben behoed voor de gevolgen van een gevaarlijke
ideologie, waar Vietnam en Cambodja wel voor vielen. De Amerikaanse
documentairemaker laat op verbluffende wijze de daders van het geweld een
beeld van henzelf schetsen. Het waren verveelde gangsters, die moordenaars
werden en mensen afslachtten zonder enige vorm van bewijs of proces. De
mannen die de gruwelijkheden pleegden, werden actief gesteund door
maatschappelijke organisaties die in een functionerende maatschappij
tegenwicht zouden moeten bieden aan dit soort heksenjachten, zo blijkt uit
de documentaire. Oppenheimer laat een hoofdredacteur van een krant op
Sumatra aan het woord die vertelt hoe hij op zijn typemachine op de
redactiezaal verhoren afnam. Als hij overtuigd was dat het een communist
betrof, gaf hij een seintje aan de moordenaars dat de executie voltrokken
kon worden.

Buiten Indonesië vestigt de documentaire de aandacht op een van de
gruwelijkste moordpartijen uit de moderne geschiedenis. Oppenheimer heeft
het over een miljoen slachtoffers. Een rapport van de CIA houdt het op
driehonderd- tot vierhonderdduizend doden, zo schrijft Indonesië-expert Adam Schwarz in zijn boek A Nation in Waiting. "Het is een van de ergste
massamoorden van de twintigste eeuw, samen met de pogroms in de Sovjet-Unie, de nazimoorden tijdens de Tweede Wereldoorlog en de maoïstische bloedbaden in de vroege jaren vijftig", aldus de Amerikaanse veiligheidsdienst.

In Indonesië zelf is het effect van de documentaire beperkt. De Engelstalige krant Jakarta Globe schat dat er sinds de première ruim 260 besloten voorstellingen zijn gehouden met in totaal tienduizend bezoekers. Op een bevolking van 248 miljoen inwoners betekent het dat 0,004 procent van de Indonesiërs de film heeft gezien. Discussies over de documentaire blijven beperkt tot de Engelstalige of intellectuele media. Politici en
regeringsfunctionarissen reageren terughoudend. Op de vraag of de
bekentenissen van hoofdrolspelers als Anwar Congo reden zijn om vervolging
in te stellen, antwoordde de Indonesische advocaat-generaal vorig jaar dat
hij de film niet had gezien en eerst de wet wilde bestuderen.

Het is lastig voor de schokkende en prachtig gefilmde documentaire van
Oppenheimer om het geldende discours over communisten bij te stellen.
Indonesië is een jong land. Nog geen 20 procent van de bevolking is ouder
dan 50 en heeft de massamoorden bewust meegemaakt, terwijl de bevolking op
school wel massaal de onder Soeharto geldende anticommunistische doctrine
ingepeperd heeft gekregen.

Na de val van het autocratische regime in 1998 en de democratisering van
Indonesië is de officiële retoriek getemperd. Maatschappelijk wordt
communisme nog steeds maar mondjesmaat geaccepteerd, waardoor het voor
slachtoffers moeilijk blijft over de verschrikkingen te praten.

Oppenheimer laat dit zien in een scène waarin twee van de gangsters, die
bezig zijn een film te maken over hun daden, in een buurt op zoek gaan naar
figuranten. Niemand wil voor communist spelen, zegt een van hen. Dat komt
doordat ze hier vroeger allemaal communisten waren, antwoordt Anwar Congo.
Vijftig jaar later blijft de argwaan bestaan.

The Act of Killing gaat over geschiedenis, maar toont ook een duistere zijde van de Indonesische samenleving die nog steeds relevant is: massahysterie. Hoe diep de moordenaars ook graven, een echt antwoord op de vraag waarom ze deden wat ze deden geven ze niet. Indonesië-expert Schwarz noemt dit 'the beast within'. Nog steeds steekt dat beest, weliswaar in bescheidener vorm, zijn kop op. Gisteren werd in Bekasi, een voorstad van hoofdstad Jakarta, een katholieke kerk met bulldozers verwoest omdat er geen vergunning voor het gebouw was. Een deel van de lokale islamitische bevolking moedigde de vernieling aan. Ze scandeerden leuzen en maakten de katholieken uit voor ongelovigen. Bekijk sommige scènes uit de film van Oppenheimer en je weet hoe dat er ongeveer uitziet.

Dit artikel werd gepubliceerd inNRC Handelsblad op Vrijdag 22 maart 2013,

pagina 12 -- 13 (Buitenland)




*
*Kolom IBRAHIM ISA*
*Senin, 18 Maret 2013**
-----------------------*

** *Di CHILI Referendum JATUHKAN Diktator PINOCHET*

*Di INDONESIA AKSI-MASSA Gulingkan Diktator SUHARTO*

** * **

*Baik CHILE – Maupun INDONESIA . . . .*

*Dasarnya: -- Kekuatan Massa Yang Bangkit Bergelora . . .*


** * **


Sahabatku *Yanti My*, seorang dosen di Universitas Hamburg, memberikan kesannya tentang sebuah *film berjudul “NO”.* Film *yang disutradarai Pablo Larrain* dan dibintangi Gael Garcia Bernal (Mexiko) bercerita tentang kemenangan rakyat Chile dalam referendum 1989. Hasil referendum: menolak Pinochet sebagai satu-satunya calon presiden untuk Pemilu Chile tahun 1990.


Saran Yanti My tegas dan jelas -- Untuk para pemerhati sejarah, film ini sangat wajib untuk ditonton.Tulis Yanti My selanjutnya: Melalui fim inilah saya baru tersadarkan bahwa di Chile pernah ada referendum semacam ini, sebuah referendum yang telah menjatuhkan seorang diktator kuat militer. Saya kira, inilah satu-satunya referendum di dunia yang telah berhasil menjatuhkan seorang doktator.


Selengkapnya tulisan Yani My:

*YANTI MY -- Di FB*

18 Maret 2013

Di Indonesia setelah adanya resesi ekonomi dan demontrasi besar-besaran para mahasiswa yang didukung sebagian besar rakyat, Soeharto jatuh tahun 1998 setelah berkuasa selama 32 tahun (1966-1998).

Di Chile melalui sebuah referendum nasional pada tahun 1989, Pinochet ditolak rakyat Chile sebagai calon presiden tunggal dalam Pemilu 1990. Setelah referendum untuk kemenangan pihak 'No', Pinochet kemudian kalah dalam Pemilu berikutnya, setelah berkuasa selama 17 tahun (1973-1990).

Baik Soeharto maupun Pinochet sampai akhir khayatnya berhasil selamat dari semua tuntutan untuk diadili di depan meja hijau. Seluruh pelanggaran HAM yang dituduhkan kepada keduanya berhasil mereka bawa ke liang kubur tanpa harus mendekam di penjara dulu.

*Film 'No' yang disutradarai Pablo Larrain* dan dibintangi Gael Garcia Bernal (Mexiko) bercerita tentang kemenangan rakyat Chile dalam referendum 1989 yang menolak Pinochet sebagai satu-satunya calon presiden untuk Pemilu Chile tahun 1990.

Untuk para pemerhati sejarah, film ini sangat wajib untuk ditonton.
Di Jerman sejak beberapa minggu ini film 'No' sedang diputar, diantaranya di bioskop Abaton - Hamburg. Melalui fim inilah saya baru tersadarkan bahwa di Chile pernah ada referendum semacam ini, sebuah referendum yang telah menjatuhkan seorang diktator kuat militer. Saya kira, inilah satu-satunya referendum di dunia yang telah berhasil menjatuhkan seorang doktator.

Seperti di fim-film lainnya, aktor Gael Garcia Bernal tampil meyakinakan dalam film, berperan sebagai salah seorang motor utama dalam kubu 'No'.

Perlawanan kubu 'No' dan kubu 'Si' berjalan dengan penuh adu iklan televisi yang cukup menarik. Dengan perjuangan yang penuh pengorbanan dan sarat dengan ancaman teror dari pihak kubu Pinochet, akhirnya kubu 'No' menang dengan suara di atas 50 %. Maka di Pemilu berikutnya, beberapa capres muncul, tidak lagi hanya Pinochet. Demikian kesan Yanti My tentang film “NO”.


* * *


Sekadar menyegarkan kembali peristiwa pergolakan di Chile, kusajikan di bawah ini sebuah tulisan yang kubuat pada tahun 2004: *Ibrahim |sa – --29 NOV. 2004.*

'BREAKING NEWS':
*CHILI KONGKRIT LURUSKAN SEJARAHNYA*

*"CHILI-KAN INDONESIA":*
Maksudnya ialah mari belajar dari Chili; dalam hal meluruskan sejarah, mencari
kebenaran, mengurus korban-korban pelanggaran HAM oleh pemerintahan lampau
(diktatur Jendral Pinochet), merehabilitasi hak-hak kewarganegaraan dan politik
mereka, memberikan kompensasi sebagai ganti rugi kepada rakyat yang tak
bersalah. *Pertama-tama negara, pemerintah harus mengakui bahwa di masa lampau
telah melakukan kejahatan pelanggaran HAM terhadap warganegaranya sendiri yang
tak bersalah.*

<"Chili-kan Indonesia", adalah suatu 'variant' dari judul Kolom IBRAHIM ISA,
"PINOCHET-KAN SUHARTO", yang kutulis pada tanggal 1 Des. 1998.>

*Jarak waktu enam tahun dalam sejarah tidaklah lama. Tetapi di Chili perjuangan
untuk meluruskan sejarah, untuk menegakkan HAM, dan yang terpenting, menghukum
pelanggar-pelanggar hukum, dan HAM secara menyeluruh, sejak peristiwa ditahannya
Jendral Pincochet di London, mengalami kemajuan yang lebih mendasar dan nyata
terbanding Indonesia. Boleh dikatakan suatu kemajuan yang mantap dalam
perjuangan untuk memberlakukan HAM di Chili dan di mancanegara.
*
Mudah-mudahan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkunjung ke Chili belum
lama berselang, bisa menarik pelajaran dari perkembangan di Chili, demi
perjuangan untuk HAM di Indonesia. Menarik pelajaran Chili, bahwa negara,
pemerintah lebih dahulu, mengakui kesalahannya diwaktu yang lalu melakukan
pelanggaran HAM yang paling serius dalam sejarah Indonesia, khususnya pada
periode Orba.

*Pemerintah Indonesia yang silih berganti, mulai dari Presiden Habibie,
pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid, sampai pemerintah Presiden Megawati
Sukarnoputri, --- belum mengakui kesalahan negara di waktu yl.
*
Bagaimana dengan pemerintah Presiden SBY sekarang ini. Di sinilah perlunya
dengan rendah hati belajar dari Chili, pertama-tama mengakui kesalahan negara di
waktu y.l.. Kemudian rehabilitasi dan kompensasi para korban tsb. Dengan
demikian merintis jalan ke pelurusan sejarah, mencarri kebenaran dan
rekonsiliasi nasional.

*Kekuatan utama dan paling konsisten di Chili adalah gerakan rakyat yang luas
untuk demokrasi dan kebebasan, yang dilakukan oleh rakyat Chili di bawah
mendiang Presiden Salvador Gossen Allende (pemimpin Partai Sosialis Chili), yang
dibunuh oleh tentara Chili di bawah Jendral Pinochet, ketika tentara Chili
dengan bantuan dan keterlibatan CIA/AS mengadakan perebutan kekuasaan negara
(September 1973).*

Dewasa ini di saat banyak dibicarakan mengenai Rekonsiliasi atas dasar Kebenaran
serta kaitannya dengan pelurusan sejarah. Telah pula dilakukan usaha sementara
organisasi dan tokoh masyarakat untuk menarik pelajaran dari Chili dan Afrika
Selatan misalnya.

Maka: Sekadar supaya ingat kembali: Pemerintah dan pers AS, yang berusaha
menutupi keterlibatan CIA dalam coup Jendral Pinnochet tsb.,tidak beda dengan
sikapnya terhadap coup Jendral Suharto terhadap Presiden Sukarno dan
keterlibatan CIA. Namun, lama-lama terbongkar juga yang hendak ditutup-tutupi
itu.


Pada tahun 1974 Michael J. Jarrington (D-MA) membocorkan bagian-bagian dari
kesaksian rahasia William Colby di muka Congres AS. Kita juga masih ingat, pada
penghujung tahun 1975 Komite Senat yg dikepalai oleh Frank Church mengeluarkan
laporan mengenai *"Aksi Rahasia di Chili, 1963-1973". *


Kemudian dalam tahun 1982 Hollywood membuat film yang menggemparkan dunia politik dan perfileman, berjudul *"Missing"*. Film itu disutradarai oleh Costa Gravas, dibintangi oleh Jack Lemon dan Sissy Spacek.


*Film itu menuturkan secara dramatis tentang nasib Charles Horman, seorang jurnalis free-lance AS berumur 30 th, yang ditahan fihak militer Chili, kemudian dieksekusi. Satu-satunya penyebab ia dieksekusi: Karena Horman memiliki bahan-bahan mengenai coup Jendral Pinnochet dan kekejaman-kekajamn pelanggaran HAM luar biasa yang dilakukan tentara terhadap pengikut-pengikut Allende dan rakyat yang berlawan terhadapnya.*

*"BREAKING NEWS" *- Berita ini disiarkan pers mancanegara hari ini, 29 Nov, 2004, a.l. oleh BBC, CNN, Reuter, Herald Tribune, atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan sebagai: "berita penjebolan", ialah tentang tindak politik Presiden terpilih Chili, *Ricardo Lagos,* yang "menjebol" dan merupakan "kejutan", terutama bagi pelanggar HAM di mana saja mereka berada.


Yang disebut "breaking news" itu ialah tawaran Presiden Lagos untuk memberikan pensiun seumur hidup (kira-kira US$ 185 seorang sebulannya) kepada 28.000 rakyat Chili, korban penyiksaan oleh agen-agen pemerintah militer Jendral Pinochet. Presiden Lagos menekankan bahwa sesungguhnya apapaun tidak memadai untuk menebus penderitaan para korban penyiksaan militer dan polisi. Kebijaksanaan Presiden Ricardo Lagos dari Chili ini betul-betul merupakan langkah penting dan kongkrit ke arah pelurusan sejarah, menemukan kebenaran dan rekonsiliasi nasional di Chili.

Kebijaksanaan Presiden Lagos ini keluar bersamaan dengan diumumkannya sebuah laporan resmi mengenai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah antara tahun 1973 - 1990, yaitu semasa pemerintah Jendral Pinochet.


*Presiden Lagos menyatakan bahwa laporan yang didasasrkan atas kesaksian korban-korban
yang masih hidup, membuktikan bahwa PENYIKSAAN ADALAH POLITIK NEGARA ketika itu.
*

*Korban penyiksaan itu mencakup 3.400 wanita dan bahkan anak-anak. Penyiksaan yang dilakukan agen-agen tentara dan polisi itu meliputi penenggelaman (kepala sang korban) dalam air, pelistrikan dan pemukulan berulang-ulang. Laporan tsb juga mengungkapkan bahwa banyak tindakan pelanggaran tsb dilakukan oleh tentara dan polisi Chili. Bahwa 12% dari korban yang disiksa itu terdiri dari perempuan dan anak-anak. Dari jumlah anak-anak yang ditahan, 88 adalah anak-anak berumur 12 tahun kebawah. Mereka diambil dari rumah-rumahnya pada malam hari, diangkut dengan truk, kemudian dijebloskan di lebih dari 800 tempat-tempat tahanan dan penjara.*

Presiden Lagos menyatakan bahwa: "Laporan tsb membuat kita harus menghadapi kenyataan politik yang tidak bisa dihindarkan, bahwa penahanan politik dan penyiksaan merupakan praktek yang inkonstitusionil oleh negara, yang sepenuhnya tidak bisa diterima dan asing bagi tradisi sejarah Chili."*Diungkapkan oleh Lagos bahwa banyak dari korban melakoni penderitaan tanpa buka mulut. Namun, akhirnya mereka tampil ke depan menuturkan ceritera penderitaan mereka.*

Seperti diketahui kompensasi yang diberikan negara kepada para korban tsb adalah tindakan terbaru dari banyak kebijaksanaan yang sudah diambil sebelumnya oleh tiga pemerintahan koalisi tengah-kiri di Chili, untuk mengkoreksi pelanggaran HAM di bawah pemerintah militer Jendral Augusto Pincochet.

*Chili sudah memberikan semacam ganti-rugi keuangan kepada para keluarga yang dibunuh atau 'hilang', dan para korban yang dipaksa untuk menjadi orang buangan, selama periode kediktatoran Jendral Pinochet.
*
*Presiden Lagos menekankan bahwa negara harus memberikan kompensasi, betapapun
harus menghemat, sebagai suatu cara mengakui tanggungjawabnya atas pelanggaran
itu.*

Pada saat-saat bangsa kita sedang bergumul dalam perjuangan sengit untuk menegakkan negara hukum Indonesia, bertindak terhadap KKN, terhadap pelanggaran HAM dan diskriminasi untuk mengakhiri kebudayaan "tanpa hukum", -----

Pada saat bangsa ini sedang memperjuangkan keadilan bagi Munir yang dibunuh karena perjuangannya sebagai penggiat HAM yang konsisten, adalah sesuatu yang sewajarnya bangsa ini, pemerintah sekarang ini, belajar dengan rendah hati dari pengalaman dan praktek Presiden Ricardo Lagos dari Chili.

*Pertama-tama pemerintah Indonesia harus mengakui kesalahan dan pelanggaran HAM
oleh negara, kongkritnya oleh Orba pada tahun-tahun 1965, 1966 dst, juga sampai saat ini. Akui hal ini secara terus terang dan terbuka. Pasti akan disambut oleh seluruh bangsa.

Kemudian pemerintah mengambil langkah-langkah kongkrit ke arah pengkoreksian
kesalahan tsb, kearah rehabilitasi dan kompensasi para korban.

Bila hal-hal itu dilaksanakan barulah ada syarat nyata untuk melangkah ke arah Rekonsiliasi Nasional, ke arah persatuan nasion yang hakiki.*


*****






Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 17 Maret 2013
---------------------

< 1 >

NOVEL LAKSMI PAMUNTJAK  *AMBA*  

Meningkatnya Kesedaran Berbangsa

*    *    *

Meningkatnya "kesedaran sejarah", "sense of history", oleh berbagai
analisis di kemukakan a.l tercermin dalam kasus-kasus pencerahan berikut
ini: Terbitnya novel terbaru sastrawan muda *Laksmi Pamuntjak*, berjudul "Amba". Kita berhadapan dengan Sastrawan Generasi Muda LAKSMI
PAMUNTJAK yang bukan saja memiliki KESADARAN SEJARAH, SENSE OF HISTORY
DAN AWARENESS MENGENAI SEJARAH .... tapi juga gairah dan militan.*


* * *
 
*AMBA"- Novel Baru Laksmi PAMUNTJAK -- < Paperback, 496
pages *Published October 2012 *Memasuki Cetakan Ketiga>mengisahkan
Amba dan Bhisma dengan latar belakang sejarah kekerasan tahun 1965: Amba
anak sulung seorang guru di Kadipura, Jawa Tengah meninggalkan kotanya,
belajar sastra Inggris di UGM dan bertunangan dengan Salwa Munir,
seorang dosen ilmu pendidikan yang mencintainya.


Pada suatu hari di Kediri, ia bertemu dengan Bhisma Rashad, seorang
dokter muda lulusan Universitas Leipzig yang bekerja di sebuah rumah
sakit. Percintaan mereka yang intens terputus mendadak di tahun 1965, di
tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah Peristiwa G30S di Kediri
dan Yogya.Bhisma tiba-tiba hilang---ketika Amba hamil.


Beberapa tahun kemudian, setelah Amba menikah dengan seorang peneliti
keturunan Jerman, datang kabar bahwa Bhisma meninggal. Ia meninggal di
Pulau Buru. Rupanya selama itu, sejak sebuah bentrokan di Yogya, Bhisma,
dijebloskan dalam tahanan di Jawa, dan sejak akhir 1971 dibuang ke pulau
itu, bersama 7000 orang yang dituduh 'komunis' oleh pemerintahan Suharto.

Amba, yang tak pernah berhenti mencintainya, datang ke pulau itu dengan ditemani seorang bekas tapol, seorang lelaki Ambon. Ia berhasil
menemukan surat-surat Bhisma yang selama bertahun-tahun ditulisnya untuk
dia---tetapi tak pernah dikirimkan, hanya disimpan di bawah sebatang pohon.

Dari surat-surat yang selama bertahun-tahun disembunyikan ini terungkap
bukan saja kenangan kuat Bhisma tentang Amba, tetapi juga tentang
pelbagai peristiwa---yang kejam dan yang mengharukan---dalam kehidupan
para tahanan di kamp Pulau Buru.

* * *

Untuk menulis karyanya Laksmi Pamuntjak mengadakan penelitian
bertahun-tahun dan puluhan interview dan kunjungan ke Pulau Buru, Laksmi
menampilkan sejarah Indonesia yang bengis, tetapi justru dengan
manusia-manusia yang mencintai. Dalam sepucuk suratnya kepada ayahnya
Amba menulis:

Adalah Bapak yang menunjukkan bagaimana Centhini sirna pada malam
pengantin... Adalah Bapak yang mengajariku untuk tidak mewarnai duniaku
hanya Hitam dan Putih, juga untuk tidak serta-merta menilai dan
menghakimi. Hitam adalah warna cahaya. Sirna adalah pertanda kelahiran kembali.(less) <-www -published="" .goodreads.com="" 2012.="" 496="" book="" br="" october="" page="" paperback="">

Menurut penulisnya, "AMBA" Ingin Mempilkan Sejarah Tentang Orang-Orang
Biasa Yang Dilindas Arus Kekerasan di Indonesia.
AMBA adalah sebuah kisah tentang sejarah kekerasan di Indonesia. Yang terjadi
setelah Orba mengirim ribuan tahanan politik ke Buru. Pulau itu berubah:
bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran Waeapo yang dulu adalah
tempat "permukiman" para tapol, kini menjadi lumbung padi Maluku.

Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya
laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja
masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata Orba.

Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau
tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika
anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh
sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah
satu pembantaian massal paling biadab di abad-20.

Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak
dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam
menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia," kata Laksmi Pamuntjak
kepada /Deutsche Welle.

" Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang
kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak
terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah," kata Laksmi.

* * *

Agar pembaca memperoleh gambaran yang lebih lagi, silakan menelusuri dan
mengkhayati novel penting Laksmi Pamuntjak "Amba", silakan baca sendiri
wawancara penulisnya, Laksmi Pamuntjak dengan Radio Jerman DEUTCHE WELLE:
*The Jakarta Globe*/*tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari
separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang
adanya pembantaian massal 1965-1966.*

*Jadi,**Bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin
baik!*

* * *

*MENGAPA MENULIS TENTANG 1965 -- *

*Laksmi: MENGAPA TIDAK?*  

 
*Deutsche Welle:* 
Mengapa anda menulis tentang 1965? 
 
*Laksmi Pamuntjak:* 
Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita
melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara
terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan
hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak
minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam
Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang
dilakukan militer pada waktu itu 'benar' karena apa yang mereka lakukan
adalah memburu "sang musuh negara." Sementara rekonsiliasi masih jauh
dari angan -- generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan
berpikir tindakan seperti itu, human rights violations yang disponsori
negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi,
Survey The Jakarta Globe tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh
mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya
pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang
mengangkat tema 65 semakin baik!/
 
*Deutsche Welle: *Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang
pulau Buru?
 
*Laksmi Pamuntjak:*
 
Tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah. Yang jelas bukan untuk
mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang bertanggungjawab atas
pembantaian massal 65. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tapol,
saya melihat sejarah bukanlah sebuah narasi besar politik, atau Sejarah
dengan S besar, tapi sejarah adalah kisah-kisah manusia biasa yang tidak
tercatat. Novel membuka kemungkinan untuk menampung ruang-ruang kecil
yang sering luput dari Sejarah. Saya merasa terpanggil untuk memanggil
ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di mana saudara
dan tetangga saling membunuh. Masa ketika yang menguasai adalah praduga,
amarah, dendam dan kebencian. Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru
saya terharu, karena seiring derita, ketakutan, putus asa dan rasa
sakit, masih ada humor. Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur
atas sebentuk kebaikan atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu
yang menolak dari dendam dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan
berbagai bahan dan kenangan yang dibagi secara murah hati oleh mereka
yang telah mengalami Buru adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba
menyelami seperti apa rasanya diam dibungkam, memendam perasaan begitu
lama. All the silences around you. Itu juga bagian dari duka itu
sendiri. Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO
dan eks tapol-red) yang dikirim ke pulau Buru pada November 71. Juga
kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada
siapa selain Pram, saya berhutang budi./
 
*Deutsche Welle: *Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda
lihat?
 
*Laksmi Pamuntjak:*
 
Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak hal menyeramkan.
Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di mana-mana.
Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks tapol yang
membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada lagi sisa
Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk pemukiman
tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak diberi
konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak
mengerti nilai sejarahnya./
*Deutsche Welle: *Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah
anda melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat
pulau Buru?
 *Laksmi Pamuntjak:*/
 
Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing survivor. Ada yang merasa
bahwa mereka menang dengan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan dan
mempertahankan harga diri dengan mengadakan berbagai ritual sendiri
seperti mengubur surat-surat di dalam tabung bambu dan menyembunyikannya
di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri untuk melawan. Tapi ada hal
menarik yang diungkapkan bekas Asbintal (Asisten Pembinaan Daerah
Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal di Tefaat Buru yang dikenal
baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa majalah TIME atau TEMPO
bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat dia ingin mengadakan
semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal di Buru. Asbintal itu
bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol ini berbaris dan body
languagenya seperti orang-orang yang dikuasai. Padahal Asbintal ini,
dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling buruk di pulau
Buru...apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks tapol ini
sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi the power
game-nya sudah berubah. Tapi body language para eks tapol begitu kental,
seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke insting-insting lama. Jadi
sulit mengatakan apakah para survivor Buru ini menang atau kalah. Saya
selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang sebuah masa lalu yang bukan
merupakan "masa lalu" saya. Apapun empati yang tercakup dalam novel, tak
pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi yang terkandung dalam
pengalaman para survivor.

/*Deutsche Welle: *Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah
Amarzan Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari
orang-orang dekat anda?
 
*Laksmi Pamuntjak:*
 
Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa membayangkan dengan
mudah siapa orang yang senang membaca seperti karakter Bhisma (yang di
dalam novel adalah kekasih AMBA-red). Orang-orang yang selalu mengalami
dilema dan tidak pernah bisa berpihak. Tidak pernah belonging. Dia
selalu berada di tengah-tengah dan selalu gelisah mengenai ide-ide dan
kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di antara karakter yang paling
kental memang Zulfikar.
 
*Deutsche Welle: *Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan
Pramoedya Ananta Toer dalam melihat tragedi 65?
 
*Laksmi Pamuntjak:* 
Sulit ya... karena dia (Pram-red) terlibat. Sementara saya bisa menulis
AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan pengalaman orang seperti
Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego atau ke-Aku-an saya
tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari sudut pandang saya
sendiri. Soal style beda, karena dasarnya saya punya tempramen puitis.
Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam putih, yang selalu di
tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu juga yang membuat saya
menulis tentang 65, karena itu adalah episode sejarah kita yang
remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan. (Sumber : DEUTSCHE WELLE)/


* * *

< 2 >

*NOVEL LEILA S. CHUDORI " P U L A N G "

Terbitnya novel oleh *Leila S. CHUDORI*, berjudul "PULANG".

juga meupakan indikasi meningkatnya 'kesadaran sejarah".Mengapa?

Karena penulis Leila S, Chudori, (tutur sutradara *Riri Riza a.l)

*adalah sebuah karya yang merupakan salah satu tantangan besar karena menceritakan tahun-tahun bersejarah di Indonesia. "Ini sebuah tantangan menceritakan sebuah era sejarah Indonesia tahun 1965 dan 1998. Dan pada saat yang sama juga menceritakan tentang keluarga," .

 
Novel Pulang, -- menceritakan tentang Dimas Suryo, seorang eksil
politik Indonesia bersama tiga sahabatnya yang terhalang balik ke
Indonesia setelah meletusnya peristiwa 30 September 1965. Paspor mereka
dicabut. Latar belakang novel ini pun berganti ke bulan Mei 1968 tentang
gerakan mahasiswa yang berkecamuk di Paris. Kemudian berlanjut ke Mei
1998 di Indonesia dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa
selama 32 tahun. Novel ///Pulang///mulai ditulis pada 2006-2012. Leila
dua kali ke Paris untuk mewawancarai eksel politik yang mendirikan
Restoran Indonesia dan mendapatkan buku-buku serta literatur untuk
menyangga novelnya itu./

*Novel "Pulang", Menggugah Ingatan tentang Indonesia*

Novel Pulang adalah paparan mengenai kesadaran orang-orang Indonesia
yang tidak dihitung masuk himpunan Indonesia semasa Orde Baru. Mereka
adalah orang yang terus-menerus berjuang menjadi orang Indonesia di
tengah penolakan rezim Soeharto. Adalah eksil politik Indonesia di
Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh di negeri orang, diburu dan
dicabut paspor Indonesia-nya karena dekat dengan orang-orang Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang berafiliasi dengan Partai Komunis
Indonesia. Di Paris, mereka tetap mencintai Indonesia, bertahan hidup
layak sambil memberi manfaat bagi Indonesia dengan mengelola Restoran
Tanah Air, sebuah restoran Rue Vaugirard di pinggir Paris. Restoran ini
menyediakan makanan dan kegiatan yang mempromosikan Indonesia.

Tokoh utama dalam novel Leila, bukan semata keinginan dikubur di Karet
yang dimiliki Dimas, melainkan juga mempertahankan dirinya sebagai orang
Indonesia dan memiliki wewenang untuk mewariskan Indonesia.

* * *

Kisah tokoh-tokoh yang dimuat di dalamnya memberikan pemahaman kepada
kita bahwa keindonesiaan merupakan sebuah ikhtiar yang intensional. Ia
tak ditentukan oleh tempat kelahiran atau penerimaan pemerintah.
Keindonesiaan tak hilang ketika kita meninggalkan wilayah Indonesia.

Pulang, adalah "...sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta, dan
pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30
September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998. Dan itu semua
tersaji dalam narasi yang tertata apik. Leila S. Chudori berhasil meramu
unsur-unsur naratif secara meyakinkan dalam novel ini. . . .

. . . . . Membaca novel yang tergolong tebal ini saya mendapat
kenikmatan sekaligus pekerjaan tambahan. Saya menikmati jalinan
naratifnya yang tertata rapi dan memberi penghayatan baru. Tapi efek
yang ditinggalkannya membuat saya memikirkan lagi keberadaan dan
identitas saya sebagai orang Indonesia. . . . Seperti masuk ke kenangan
pribadi sekaligus sejarah Indonesia mutakhir dan menemukan banyak ruang
kosong yang gelap di sana, juga ruang kusut. Kenangan itu menggugah
saya, bahkan menggugat, untuk membenahinya. Tapi novel ini juga membantu
kita menemukan apa yang mesti dibereskan dalam ingatan kolektif
Indonesia untuk dapat menjawab apa makna menjadi orang Indonesia, apa
makna menjadi Indonesia. ( dari a.l. Tuisan **Bagus Takwin, ***pengajar
di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, dalam Tempo.co,
JakartaSelasa, 18 Desember 2012 > *
 
*    *    *