Friday, May 24, 2013

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 23 Mei 2013
------------------------------

DE VOLKSKRANT” Dan Resensi
Film Dokumenter “THE ACT OF KILLING”

Tiap hari Kemis, salah satu s.k nasional Belanda yang terbesar, “de Volkskrant”, memuat resensi film-film baru. Bahasa Indonesianya dari “de Volkskrant”, adalah “Harian Rakyat” -- Perhatikan: -- ”de Volkskrant” tak ada sangkut-pautnya dengan s.k. Indonesia, “Harian Rakyat”, organ PKI. “Harian Rakyat” diberangus pada hari-hari pertama Jendral Suharto berkuasa di Jakarta ( Oktoer 1965) –. Mungkin perhatian besar ini disebabkan a.l : -- pada saaat ini sedang berlangsung banyak festival film internasional, termasuk yang terpenting Festival Film Inernasional Cannes, Perancis.

* * *

Murti yang lebih dahulu membaca “de Volkskrant” hari ini, memberitahukan padaku, bahwa dalam rubrik resensi film koran tsb ada tulisan tentang film “The Act of Killing”. Pasti akan kubaca, kataku.

Betul saja, --- terdapat enam halaman penuh rubrik resensi film tsb. Antara lain megomentari film thrilleryang dibintangi a.l oleh Robert Redford, “The Company You Keep”. Film itu diberi nilai 3 bintang. Tapi, film cerita-dokumentar produksi Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing”, diberi nilai lima bintang. Dan jumlah ruangan bioskop yang mentayangkannya ada – 75. Film dengan Robert Redford sebagai peran utama itu diputar hanya di 5 ruangan zaal (ruangan cinema).

Penulis resensi “The Act of Killing”: Bor Beekman, memberitakan bahwa film “The Act of Killing” sudah dipertunjukkan awal tahun ini di sebuah festival film international “Movies That Matter”” , “Film yang berbobot”. Resensi yang ditulisnya singkat saja. “Not bad”, kata orang Inggris.

* * *

Media Belanda memberitakan bahw film “The Act of Killing” telah menggondol banyak Award international . Antara lain: “Panorama Audience Award:” dan “Prize of the Ecumenical Jury” di Festival Film International Berlin.

Di Festival Dokumenter Madrid baru-baru ini “The Act of Killing” merebut kemenangan ganda, memperoleh “Jury Award” dan “Audience Award” sebagai film cerita-dokumenter TERBAIK.

Menarik untuk mengetahui bahwa film “The Act of Killing” diputar sedikitnya di 13 kota Belanda, seperti Amsterdam, Breda, Den Bosch, Den Haag, Deventer, Groningen, Haarlem, Hoorn, Maastricht, Nijmegen, Rotterdam, Tilburg dan Utrecht. Dan itu semua di bioksop umum.

Coba bandingkan dengan negeri kita, Indonesia. “The Act of Killing”, yang telah menjadi buah bibir (pujian) publik internasional . . . . di Indonesia masih belum bisa diputar terbuka untuk umum. Menurut infornasi yang bisa diandalkan, untuk mempertunjukkannya terbuka dimuka umum, harus melewati PANITIA SENSOR. Bisa dipastikan bila diajukan kepada Panitia Sensor, permintaan izin merilis film “The Act of Killing”, itu bisa nyangkut di situ. Dan entah berapa lama harus menanti sampai izinnya keluar.

* * *

Kiranya banyak yang sudah mendengar, meliha sendiri atau membaca bagaimana isi ceritera film dokumenter “The Act of Killing”.

Daripada sendiri menulis ulang synopsis film “Jagal” – The “Act of Killing”, baik kita baca saja ringkasan yang dimuat oleh salah sebuah media mancanegara. Dokumenter ini adalah wawancara dari sejumlah pelaku pembunuhan orang-orang PKI, diduga atau sipatisan PKI. Kejadian itu berlangsung di tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

Tulisan yang di muat di Ensiklopedia Bebas Wikipedia mengenai film “The Act of Killing”, memang patut dibaca. Juga baik bila membacanya untuk kedua-kalinya. Tidak berat sebelah . .. .Cekak-aos, lancar, dan mengenai “sasarannya”. Silakan membacanya!

* * *

“Begitu PKI dibubarkan oleh TNI tahun 1965, Anwar Congo dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.
“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.



“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.



“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.



Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.



“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.



“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”



“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.



“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.



“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.



“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.



“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.



“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.



* * *



S.k. Belanda “de Volkskrant”, perhatikan ini . . ., adalah salah satu media Belanda, yang secara reguler meliput peristiwa-peristiwa penting bersangkutan dengan INDONESIA. “de Volkskrant” , adalah salah  satu koran Belanda dewasa ini yang menempatkan wartawannya di Indonesia. Michiel Maas, namanya. Ketika kasus pembantaian masal tentara Belanda (1947) terhadap penduduk Rawagede menjadi ramai dibicarakan, s.k. “de Volkskrant” paling banyak menyiarkan liputan yang ditulis oleh wartawannya, Michiel Maas.



Begitu juga peristiwa pementasan film dokumenter “The Act of Killing” mendapatkan perhatian cukupan s.k. “de Volkskrant”.



* * *



IBRAHIM ISA
Rabu, 22 Mei 2013
------------------
 

HARAP PERTIMBANGKAN DENGAN SERIUS KATA-KATA MUGIYANTO (IKOHI) DI BAWAH INI

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

". . . MAU BERJUANG KARENA MERASA KADUNG DEKAT DENGAN MEREKA, PARA KORBAN . . ."


Kasus-kasus pelanggaran HAM dijelaskan Mugiyanto, yang merupakan ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) itu, harus selesai karena peristiwa yang dialami para korban berdampak serius dalam kehidupan mereka.
Masalah-masalah itu terjadi pada rusaknya mental, ekonomi hingga fisik para korban. Lantaran melihat kenyataan itulah Mugiyanto mengaku tidaklah adil melihat mereka harus berjuang sendirian, apalagi ia juga pernah merasakan jadi korban penculikan pada tahun 1998.

“Saat ini, saya merasa kalau hidup saya ini adalah hidup yang kedua. Dulu ketika disiksa, lalu mata ditutup, saya merasa sudah mati, tapi ternyata masih hidup. Jadi saya merasa ini merupakan hidup kedua yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Lagi pula saya merasa dekat dengan keluarga korban, seperti mbak Sipon,” begitu pria yang dulu menempuh pendidikan sastra Inggris di Univesitas Gajah Mada (UGM) angkatan tahun 1992 itu.

Mugiyanto mengaku berjuang bersama IKOHI memang tidak ada keuntungan material. Meski begitu ia juga tak tertarik masuk dunia politik mengikuti jejak beberapa teman seperjuangannya di tahun 1998. Ia mau berjuang karena merasa kadung dekat dengan mereka, para korban.

“Saya ini tidak punya mimpi mewah-mewah. Saya ini berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak sejak dulu mengajarkan kesederhanaan. Bapak yang dulu bekerja sebagai mandor perkebunan negara di Jepara selalu bilang intinya manusia itu harus berbuat baik untuk sesama,” katanya.

Kasus-kasus pelanggaran HAM dijelaskan Mugiyanto, yang merupakan ketua IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia) itu, harus selesai karena peristiwa yang dialami para korban berdampak serius dalam kehidupan mereka.
Masalah-masalah itu terjadi pada rusaknya mental, ekonomi hingga fisik para korban. Lantaran melihat kenyataan itulah Mugiyanto mengaku tidaklah adil melihat mereka harus berjuang sendirian, apalagi ia juga pernah merasakan jadi korban penculikan pada tahun 1998.

“Saat ini, saya merasa kalau hidup saya ini adalah hidup yang kedua. Dulu ketika disiksa, lalu mata ditutup, saya merasa sudah mati, tapi ternyata masih hidup. Jadi saya merasa ini merupakan hidup kedua yang harus dijalani dengan sebaik-baiknya. Lagi pula saya merasa dekat dengan keluarga korban, seperti mbak Sipon,” begitu pria yang dulu menempuh pendidikan sastra Inggris di Univesitas Gajah Mada (UGM) angkatan tahun 1992 itu.

Mugiyanto mengaku berjuang bersama IKOHI memang tidak ada keuntungan material. Meski begitu ia juga tak tertarik masuk dunia politik mengikuti jejak beberapa teman seperjuangannya di tahun 1998. Ia mau berjuang karena merasa kadung dekat dengan mereka, para korban.

“Saya ini tidak punya mimpi mewah-mewah. Saya ini berasal dari keluarga desa yang sederhana. Bapak sejak dulu mengajarkan kesederhanaan. Bapak yang dulu bekerja sebagai mandor perkebunan negara di Jepara selalu bilang intinya manusia itu harus berbuat baik untuk sesama,” katanya. (Sumber Sinar Harapan 20 Mei, 2013)
*Kolom IBRAHIM ISA *
*Selasa, 21 Mei 2013**
----------------------*

*15 Tahun Lalu SUHARTO DIGULINGKAN, . . . What Next?*

**

* * *




Tanggal 22 Mei besok, pas 15 tahun yang lalu rezim otoriter Jendral Suharto, *dipaksa turun panggung. *Jendral Suharto membangun Orde Baru diatas lebih sejuta korban pembantaian warga tak-bersalah terdiri dari PKI, diduga PKI atau simpatisan PKI dan orang-orang Kiri lainnya pendukung Presiden Sukarno*. Setelah ditumbangkan, mantan Presiden Suharto diajukan ke Pengadilan Negeri atas tuduhan korupsi. Lalu . . . ? Tidak jelas kelanjutannya.*



Apakah peristiwa penggulingan Orde Baru itu, "mendadak"? Samasekali tidak! Jatuhnya Presiden Suharto dan bubarnya rezim Orde Baru, adalah akibat perlawanan masyarakat luas. Terdiri dari ribuan pelajar, mahasiswa, buruh, cendekiawan, wartawan dan massa rakyat luas ratusan ribu "wong cilik". Diantaranya terdapat sejumlah organisasi masyarakat, seperti LSM-LSM. Antara lain yang dibangun dan dipimpin oleh almarhum MUNIR, pejuang HAM dan Demokrasi. Mereka memainkan peranan penting meningkatnya kesadaran serta kemarahan masyarakat terhadap kesewenang-wenangan rezim Orba. Mereka mengungkap praktek korupsi besar-besaran, kolusi dan nepotisme penguasa . Di lain fihak mereka memberikan penerangan dan pencerahan pada masyarakat sekitar masalah demokrasi dan HAM.



Gugatan dan kemarahan serta perlawanan rakyat terhadap Orde Baru sudah dimulai tidak lama setelah lahirnya Orba. Ini tampak dari a.l peristiwa-peristiwa seperti, "Malari", Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lampung Selatan, perlawanan PDI dibawah pimpinan Megawati Sukarnopuri terhadap campur tangan penguasa dalam PDI, dll. Menonjol a.l.adalah pernyataan terbuka Megawati, bahwa ia bersedia MENGANTIKAN SUHARTO sebagai Presiden. Halmana sebelumnya tidak pernah ada politisi di bawah Orba yang berani terang-terangan menantang Suharto.



Manifestasi perlawanan penting lainnya adalah *berdirinya Partai Demokrat (PRD)*. Sebuah parpol terdiri terutama dari anak-anak muda, yang tampil dengan program progresif dengan tujuan menggantikan rezim Orba. PRD ketika itu ada dibawah pimpinan Budiman Sudjatmiko.



Semua itu adalah cetusan yang berkembang menjadi ledakan-ledakan yang merupakan kekuatan utama penyebab tergulingnya rezim Orde Baru. Gelombang kemarahan massa rakyat sekitar Mei 1998, yang menuntut turun panggungnya Presiden Suharto dan bubarnya Orde Baru merupakan arus gelombang besar kekuatan politik dahsyat gerakan Reformasi dan Demokrasi.



Kekuatan utama terbesar yang menggulingkan Suharto adalah perlawanan masyarakat itu sendiri.



* * *



Faktor lainnya adalah perbedaan, pertentangan dan konflik yang semakin gawat di kalangan penguasa. Masih terkesan dalam ingatan ketika di layar TV tampil sejumlah menteri dan tokoh Orba yang dipandu oleh mantan ketua Golkar (parpolnya Suharto) dan Menteri Penerangan Orde Baru, Harmoko. Tampak Harmoko menghadap Presiden Suharto. Mereka itu "minta" agar Presiden Suharto meletakkan jabatan. Aksi Harmoko cs tsb diikuti pejabat-pejabat elit Orba lainnya, yang tadinya adalah pendukung setia Presiden Suharto. Mengenai Harmoko mari lihat siapa dia: --



Terakhir, ia menjabat sebagai Ketua DPR/MPR periode 1997-1999. Harmoko termasuk paling depan agar MPR mengangkat Suharto selaku presiden untuk masa jabatannya yang ke-6. Namun dua bulan kemudian adalah Harmoko yang sama itu, meminta Presiden Suharto -- turun takhta, -- ketika gerakan rakyat dan mahasiswa yang menuntut reformasi tampaknya tidak lagi dapat dikendalikan.



* * *



Salah satu gejala yang menjadi perhatian peneliti dan fokus pembicaraan serta perdebatan di masyarakat, adalah sekitar terjadinya peristiwa *"kerusuhan Mei 1998"*, yang bernuansa rasis anti-etnik-Tionghoa. Peristiwa kekerasan itu telah menelan korban lebih 1000 jiwa manusia. Pelbagai analisis dan tafsiran diajukan melalui penulisan maupun diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh pelbagai stasiun TV dan Radio.



Cukup menarik "analisis" yang dikemukakan oleh*Fadli Zon*, Wakil Ketua GERINDRA. Ia berpendapat bahwa *yang menjadi penyebab "kerusuhan Mei 1998"*, *ialah faktor luar*. Kita jangan hanya "inward looking". Harus "outward looking", kata Fadli di sebuah diskusi TV dimana hadir Komisioner KomnasHAM Zamrotin, dan Ester Jusuf dari *Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)* sekitar Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998.

Penyebab utama "kerusuhan Mei 1998", menurut Fadli Zon, adalah suatu badan internasional --- International Monetary Fund", IMF. IMF adalah pemberi "kredit" utama Barat/AS kepada pemerintahan Suharto. Dikatakan Fadli, itu adalah cara IMF dimana-mana, khususnya didunia ketiga. Yaitu menciptakan syarat untuk digantikannya suatu rezim yang tidak lagi disokongnya. Sedangkan menurut Ester Jusuf dari TGPF, jelas adanya kekuatan (militer) yang terlibat, paling tidak "membiarkan" terjadinya kerusuhan Mei tsb. Demikian juga laporan KomnasHAM mengenai kerusuhan Mei 1998, mengindikasikan terlibatnya aparat, serta menunjuk pada tanggung jawab aparat dalam peristiwa kerusuhan tsb.



Fadli Zon berusaha menjelaskan bahwa laporan yang dikemukakan TGPF dan KomnasHAM adalah dugaan dan tafsiran belaka, tanpa bukti. Namun, Estter Jusuf maupun Zamrotin menandaskan bahwa laporan-laporan mereka bersumber pada penelitian lapangan, saksi dan bukti-bukti.



Tampak sekali usaha Fadli Zon, mmengalihkan perhatian dari fihak yang terlibat dan bertanggung jawab sekitar Kerusuhan Mei 1998. Yaitu fihak aparat keamanan negara. Fadli Zon menuding FAKTOR LUAR, IMF. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Fadli Zon yang menjabat Wakil Ketua Garindra itu, berusaha membela Prabowo Subianto, yang ketika terjadinya peristisa kerusuhan Mei 1998, menjabat sebagai Panglima Kostrad.



* * *



Sumber lain, saksi mata, menyatakan bahwa, aparat keamanan negeri berpeluk tangan saja ketika para penjarah beraksi merampok dan membakar, membunuh dan memperkosa warga, dengan sasaran utama etnis Tionghoa. Jendral-Jendral Wiranto, Prabowo dan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada di tempat. Ketika tejadi penjarahan toko-toko di daerah pertokoan Mangga Besar, polisi dan tentara yang ada di situ '"nonton" saja.



Di dalam laporannya TGPF menjelaskan bahwa Tentara telah gagal mengantisipasi akan terjadinya kerusuhan. Juga terdapat kekurangan pada komunikasi antara komando yang bertanggung-jawab dengan pasukan di lapangan. Sehingga TGPF tiba pada kesimpulan bahwa, --- kekerasan yang terjadi itu, merupakan "usaha menciptakan situsai kritis sehingga memerlukan dibentuknya kekuasaan in-skonstitusinil untuk menguasai situasi. *Dalam bahasa sehari-hari: menciptakan situasi untuk melakukan KUDETA.* Menurut TGPF, Jendral Prabowo Subianto adalah tokoh kunci dalam keterlibatan tentara dengan kerusuhan Jakarta itu.



Ester Jusuf menekankan bahwa terjadinya kerusuhan adalah pada waktu yang hampir bersamaan di Medan, Jakarta, Bandung, Makasar, Jogya, dll -- hal mana tidak mungkin bila tidak ada pengaturan menurut rencana yang sudah ditetapkan.



Fadli Zon dengan keras membantah tuduhan tsb. Dinyatakannya laporan TPGF itu adalah fitnah terhadap Prabowo Subianto.



* * *



Yang parah ialah bahwa pemerintah yang sekarang ini, samasekali tidak menunjukkan "political will" dan tindakan apapun untuk menangani kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998, menghukum yang bertanggung-jawab, dan para pelakunya serta mememberikan keadilan kepada para korban. Seperti dinyatakan oleh Komisioner KomnasHAM, Zamrotin, dalam diskusi tsb: -- Pada tahun 2004 KomnasHAM mengajukan pertanyaan kepada Kejaksaan Agung sekitar kerusuhan Mei 1998, tapi tidak menerima tanggapan.



* * *



Apa yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998, jelas menuruti suatu pola tertentu. Yaitu *KEKERASAN*. Yang disutradarai oleh aparat keamanan. Pola ini persis sama dengan apa yang terjadi menjelang berdirinya Orde Baru. Pola kekerasan mencirii Peristiwa Pelanggaran HAM berat yang paling luas dalam sejarah Republik Indonesia. Yaitu Peristiwa Pembantaian Masal 1965/66.



Sikap pemerintah dewasa ini terhadap Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan terhadap Peristiwa Pembantaian Masal 1965 dengan keterlibatan aparat keamanan negeri, adalah . . .*b u ng k a m !* "Let bygones be bygones". . . . "Mari bersama melihat kedepan". . . . . kata mereka-mereka itu. Bukankah sikap seperti itu merupakan usaha *UNTUK MELUPAKAN SEJARAH?*



* * *



Menanggapi sikap tidak bertanggung-jawab pemerintah ini seorang penulis, AYANG UTRIZA NWAY, mahasiswa S-2 sejarah "Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales" (EHESS) Paris, tergugah dan menulis a.l :



Kini, pemerintahan yang baru ini, apakah punya niat baik untuk merehabilitasi para korban PKI dan membuat tim pencari fakta korban pembantaian 65-66? Kita tidak tahu. Kita hanya bisa mengharap bahwa tragedi besar kemanusian ini segera diselesaikan. Kita hanya tak ingin negara ini berdiri di atas piramida korban kemanusiaan. Paling tidak, studi dan penelitian tentang korban pembantaian "65-66" harus terus dilakukan agar semakin jelas sejarah kelabu bangsa ini.



Pertanyaan serupa harus ditanyakan kepada pemerintah sekarang ini mngenai kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998:

Dan dengn tegas dan keras kita nyatakan: *Kita tidak ingin negara ini ini berdiri di atas piramida korban kemanusiaan.*



*What Next . . . . ?*

Jawaban tegas dan adil sudah diberikan, oleh salah seorang dari generasi muda: **

*Paling tidak, studi dan penelitian tentang korban pembantaian harus terus dilakukan agar semakin jelas sejarah kelabu bangsa ini.*



** * * *



Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 19 Mei - 2013
----------------------

"AMBA" KARYA LAKSMI PAMUNTJAK --


"SAYA HANYA INGIN MENCIPTA ULANG SEJARAH"


*    *    *

Menjelang  "HARI KEBANGKITAN NASIONAL", Kolom Ibrahim Isa,  --  kali ini  memfokuskan perhatian  pada sebuah novel terbaru sastrawan generasi baru LAKSMI PAMUNTJAK.

"AMBA"adalah Sebah roman berlatar belakar sejarah negeri ini. Karya seni Laksmi Pamuntjak ini, amat penting,  -----  justru karena ditulis oleh seorangsastawan/budayawanyang dilahirkan (1971) dandibesarkan di periode, -- dimana salah satu fundamen hak-hak azasi manusia, yaitu kebebasan demokratis, . . . . ditindas oleh rezim yang berkuasa. Termasuk di bidangmedia  pers  dan budaya,  segala sesuatu ditentukan, diatur dan diarahkan oleh penguasa.

Lebih 30 tahun Orde Baru melarang warga berfikir independen.Semua harus tunduk sepenuhnya pada "apa kata dan pengarahan Bapak". Namun semua kekangan dan penindasan mental itu --- tidak berhasil membunuh jiwa bangsa ini. Karya Laksmi Pamuntjak membuktikan bahwa di dalam tubuh bangsa ini tetap hidup jiwa bebas dan berani berfikir yang akan merupakan pendorong kuat bagi kelahiran kembali dan pengokohan KESADARAN BERBANGSA dan KEMAJUAN.

* *    *

Gerakan Reformasi dan Demokrasi yang bergelora sejak 1998, telah mendorong lebih lanjut benih fikiran bebas yang terdapat dikalangan
generasi muda, khususnya LAKSMI PAMUNTJAK.

Novel "Amba"menyadarkan semua, bahwa fikiran dan jiwa bebas berdikari yang terdapat di bangsa kita, betapapuntidak bisa dikekang dan ditindas. Pada saatnya ia muncul kembali dalam manifestasi yang sesuai dengan suasana dan arah perkembangan kemajuan jiwa dan kesedaran bangsa.

Kepada sebuah stasiun Jerman Deutsche Welle, dengan singkat cekak-aos Laksmi Pmauntjak mengatakan mengenai bukunya ":
"Sebuah novel bukan untuk mengoreksi Sejarah. Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah,"

Kata Laksmi memulai wawancaranya a.l :

Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang dilakukan militer pada waktu itu 'benar' karena apa yang mereka lakukan adalah memburu "sang musuh negara." Sementara rekonsiliasi masih jauh dari angan -- generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu, /human rights violations/ yang disponsori negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi, ada generasi baru yang sama sekali buta sejarah. Survey /The Jakarta Globe/ tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!



        *    *    *

Silahkan menelusuri sebuah tulisan yang pagi ini baru saja diterimalewat GELORA45, sbb:

*Laksmi Pamuntjak: *


Manusia dalam Kemelut Sejarah `65

Sebuah novel berjudul AMBA tentang gejolak 65 dan pulau Buru terbit 15 tahun setelah reformasi. Inilah buku tentang manusia yang tergerus kemelut sejarah kelam Indonesia.

Sejarah kadang dan bahkan sering menempuh jalan tak terduga.

AMBA bercerita tentang sejarah kekerasan di Indonesia.

Apa yang terjadi setelah orde baru mengirim ribuan tahanan politik ke Buru? Pulau itu berubah: bukan komunisme tapi hamparan sawah. Dataran Waeapo yang dulu adalah tempat "permukiman" para tapol, kini menjadi lumbung padi Maluku.

Lebih dari tiga dekade, orde baru mencekoki para pelajar tentang bahaya laten Komunisme. Hasilnya? Tidak melulu prasangka, meski tentu saja masih banyak orang Indonesia yang membaca 65 dengan kacamata orde baru. Tapi ada banyak pula orang dari generasi itu yang "melenceng" dari cita-cita orde baru, paling tidak itu terjadi pada Laksmi Pamuntjak, yang baru saja menerbitkan novel "AMBA".

Laksmi Pamuntjak, lahir pada tahun 1971, ketika tahanan politik atau tapol golongan ketiga tiba di pulau Buru. Dia lahir pada masa ketika anak-anak diajari mendaras versi sejarah 1965-1966 yang ditulis oleh sang pemenang: orde baru. Tragedi yang oleh dunia disebut sebagai salah satu pembantaian massal paling biadab di abad-20.

Bertahun-tahun, generasi saya hidup dengan versi sejarah yang sepihak dan normalisasi kejahatan. Begitu terus -- hingga bohong dan bungkam menjadi bagian dari watak kehidupan di Indonesia," kata Laksmi Pamuntjak kepada /Deutsche Welle/.

*    *    *

WAWANCARA DENGAN  Radio Jerman "DEUTSCHE WELLE"

"Sebuah novel bukan untuk mengoreksi Sejarah. Saya hanya ingin mencipta ulang sejarah dengan huruf s kecil, tentang kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Tentang mereka yang tidak terlibat, tapi hidupnya berubah dilimbur arus sejarah," kata Laksmi.

*DW:* /Mengapa anda menulis tentang 1965?/

*Laksmi Pamuntjak:* Mengapa TIDAK? Sekarang, hampir 48 tahun setelah tragedi itu, kita melihat kemunduran. 13 tahun setelah (Presiden-red) Gus Dur secara terbuka meminta maaf kepada para korban, dan Komnas HAM mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini, sejumlah ulama NU malah menolak minta maaf dan meminta Presiden mengikuti jejak mereka. Menko Polkam Djoko Suyanto menolak hasil investigasi dan bersikukuh bahwa apa yang dilakukan militer pada waktu itu 'benar' karena apa yang mereka lakukan adalah memburu "sang musuh negara." Sementara rekonsiliasi masih jauh dari angan -- generasi penerus akan semakin berjarak dari 65 dan berpikir tindakan seperti itu, /human rights violations/ yang disponsori negara, sah dilakukan, karena toh itu sebuah tugas negara. Belum lagi, ada generasi baru yang sama sekali buta sejarah. Survey /The Jakarta Globe/ tahun 2009 menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa Jakarta, sama sekali tak pernah mendengar tentang adanya pembantaian massal 1965-1966. Jadi, bagi saya, lebih banyak orang yang mengangkat tema 65 semakin baik!

*DW:* /Kenapa anda tertarik untuk menulis cerita tentang pulau Buru?/

*Laksmi Pamuntjak:*

Laksmi Pamuntjak: tugas novel bukan untuk mengoreksi sejarah.

Yang jelas bukan untuk mengoreksi sejarah atau menafsirkan siapa yang bertanggungjawab atas pembantaian massal 65. Ketika menjalin persahabatan dengan eks tapol, saya melihat sejarah bukanlah sebuah narasi besar politik, atau Sejarah dengan S besar, tapi sejarah adalah kisah-kisah manusia biasa yang tidak tercatat. Novel membuka kemungkinan untuk menampung ruang-ruang kecil yang sering luput dari Sejarah. Saya merasa terpanggil untuk memanggil ulang ingatan kolektif, bagaimana memahami sejarah kelam di mana saudara dan tetangga saling membunuh. Masa ketika yang menguasai adalah praduga, amarah, dendam dan kebencian. Ketika mendengar kisah (tapol-red) Buru saya terharu, karena seiring derita, ketakutan, putus asa dan rasa sakit, masih ada humor. Kadang-kadang di antara mereka ada rasa syukur atas sebentuk kebaikan atau keindahan yang tak terduga-duga, sesuatu yang menolak dari dendam dan kebencian. Apa yang saya lakukan dengan berbagai bahan dan kenangan yang dibagi secara murah hati oleh mereka yang telah mengalami Buru adalah dengan mendengarkan mereka. Mencoba menyelami seperti apa rasanya diam dibungkam, memendam perasaan begitu lama. /All the silences around you/. Itu juga bagian dari duka itu sendiri. Sumber utama saya adalah Amarzan Loebis (wartawan senior TEMPO dan eks tapol-red) yang dikirim ke pulau Buru pada November 71. Juga kepada Hersri Setiawan dan Kresno Saroso, sebagai orang-orang yang pada siapa selain Pram, saya berhutang budi.

*DW:*/Ketika pertama datang ke pulau Buru, apa yang anda lihat?/

*Laksmi Pamuntjak:* Saya kaget, karena saya membayangkan begitu banyak hal menyeramkan. Tetapi ketika sampai di sana yang ada adalah padi di mana-mana. Kesuburan yang merupakan buah kerja keras dan keringat eks tapol yang membuka lahan dan menjadikan Buru sebagai mini Jawa. Tak ada lagi sisa Tefaat (Tempat Pemanfaatan istilah yang dipakai untuk pemukiman tapol-red), kecuali sebuah gedung kesenian yang kalau tidak diberi konteks bahwa ini bagian dari era itu, maka kita samasekali tidak mengerti nilai sejarahnya.

*/DW: /*/Dari karakter para tapol yang anda pelajari, apakah anda melihat para survivor ini berhasil ditundukkan oleh kekuasaan lewat pulau Buru?/

*Laksmi Pamuntjak:* Saya melihat ada perbedaan dari masing-masing /survivor/. Ada yang merasa bahwa mereka menang dengan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan dan mempertahankan harga diri dengan mengadakan berbagai ritual sendiri seperti mengubur surat-surat di dalam tabung bambu dan menyembunyikannya di bawah pohon. Mereka punya cara sendiri untuk melawan. Tapi ada hal menarik yang diungkapkan bekas Asbintal (Asisten Pembinaan Daerah Militer-red) yang juga bekas Kepala Pengawal di Tefaat Buru yang dikenal baik, berpikiran terbuka, dan sering membawa majalah TIME atau TEMPO bagi para tapol. Kami kebetulan bertemu, saat dia ingin mengadakan semacam reuni dengan eks tapol yang tetap tinggal di Buru. Asbintal itu bercerita, saat reuni, tiba-tiba para eks tapol ini berbaris dan /body language/nya seperti orang-orang yang dikuasai. Padahal Asbintal ini, dulunya bukan simbol dari kekuasaaan yang paling buruk di pulau Buru...apalagi kini konteksnya berbeda karena para eks tapol ini sekarang manusia bebas dan setara (dengan Asbintal-red), jadi /the power game/-nya sudah berubah. Tapi /body language/ para eks tapol begitu kental, seperti lapis kulit kedua. Mereka kembali ke insting-insting lama. Jadi sulit mengatakan apakah para survivor Buru ini menang atau kalah. Saya selalu menyadari, bahwa saya menulis tentang sebuah masa lalu yang bukan merupakan "masa lalu" saya. Apapun empati yang tercakup dalam novel, tak pernah akan bisa mereplikasi penuh emosi yang terkandung dalam pengalaman para survivor.

*DW: *Saat membaca AMBA saya membayangkan Zulfikar adalah Amarzan Loebis. Apakah karakter dalam novel ini terinspirasi dari orang-orang dekat anda?

*Laksmi Pamuntjak:* Secara tipe mungkin ya. Misalnya saya selalu bisa membayangkan dengan mudah siapa orang yang senang membaca seperti karakter Bhisma (yang di dalam novel adalah kekasih AMBA-red). Orang-orang yang selalu mengalami dilema dan tidak pernah bisa berpihak. Tidak pernah /belonging/. Dia selalu berada di tengah-tengah dan selalu gelisah mengenai ide-ide dan kenyataan di depan batang hidungya. Tapi di antara karakter yang paling kental memang Zulfikar.

*/DW: /*/Menurut anda, apa yang membedakan anda dengan Pramoedya Ananta Toer dalam melihat tragedi 65?/

*Laksmi Pamuntjak:* Sulit ya... karena dia (Pram-red) terlibat. Sementara saya bisa menulis AMBA justru karena berjarak, dan menggunakan pengalaman orang seperti Pram sebagai titik tolak untuk memahami 65. Ego atau ke-Aku-an saya tidak besar, karena (AMBA-red) tidak datang dari sudut pandang saya sendiri. Soal /style/ beda, karena dasarnya saya punya tempramen puitis. Saya juga selalu suka apa yang tidak hitam putih, yang selalu di tengah-tengah, yang remang-remang. Mungkin itu juga yang membuat saya menulis tentang 65, karena itu adalah episode sejarah kita yang remang-remang tapi selalu dihitam-putihkan.

*    *    *

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Jum'at, 17 Mei 2013*
--------------------


*PALESTINA FOCUS -- : *

*Moh. ASSAF “PERSATUKAN” . . . “GAZA” Dan “RAMALLAH”*


*
*

* * *

Seni - Kesenian – dan manifestasi Budaya lainnya . . . sering dikatakan punya kekuatan penerobosan tak terbatas. Seni, apakah itu sastra, musik, lukisan, pahatan atau lainnya, punya kekuatan lintas bangsa, lintas bahasa, lintas usia dan . . . tak jarang . . juga lintas perbedaan politik.



Tanpa disadari aku terkenang pada periode ketika kami, rombongan band-musik Indonesia di Jakarta, atas pengaturan Ibu Erna Djajadiningrat dari Komite Korban Politik yang beroperasi di daerah pendudukan Belanda (1949), – – - bisa dapat izin masuk pelbagai penjara Belanda.



Rombongan musik kami dapat “izin” fihak militer Belanda daerah pendudukan, untuk berkunjung ke pelbagai penjara untuk menghibur kawan-kawan kita (TNI, Laskar dll) yang ditawan Belanda di penjara-penjara derah Jakarta. Meskipun antara “mereka” dan “kami” suasananya cukup tegang, namun sikap anggotga-anggota Koninklijke Leger, KL, yang bertugas disitu, tidak kaku dan tidak bermusuhan. Kamipun mengambil sikap biasa-biasa saja.



* * *



Kami mulai main musik dan menyanyi bersama kawan-kawan yang dipenjarakan di situ. Suasana kaku berubah jadi santai dan gembira. Di luar dugaan, serdadu-serdadu KL itu “minta izin” ikut main musik dan bernyanyi bersama kami. Tanpa ragu kami sambut. Suasana berubah meriah. Kami, yang main musik, kawan-kawan yang ditawan Belanda dan para anggota tentara Belada itu menyanyi dan bermusik bersama. Sejenak hilang seperti ditiup angin kencang, perasaan bahwa sebenarnya Belanda itu musuh kita. Serdadu-serdadu Belanda itu juga seakan-akan lupa bahwa kami-kami itu adalah lawannya berlaga di medan tempur.



Itulah contoh kecil, betapa, dalam hal ini seni musik itu , bisa menerobos sekat politik dan bangsa di penjara ketika itu. Meski tidak lama, sebentar sekali . . . tapi hal itu tokh terjadi. Itu yang kualami sendiri, 63 tahun yang lalu.



* * *



Pagi ini kuterima masukan sebuah “youtube” dari Sari Amalia, cucu kami, yang bekerja sebagai sektetaris di Kedutaan Besar Palestina di Jakarta. Isinya (The Straits Time Entertainment, 17 Mei 2013): --WATCH: “Arab Idol's first contestant from Gaza grabs spotlight”. “Kontestan Idola Arab pertama dari Gaza merebut perhatian publik”



Terima kasih sekali kepada Sari Amalia. Dari kiriman itu bisa dinikmati suara merdu pemuda Palestina dari Gaza, MOH. ASSAF, (22). Assaf^. mempersembahkan lagunya. Lagu Arab. Dan ia bernyanyi tanpa berpakaian jubah dan sorban. http://bit.ly/12FNDsy
>



Aduh Mak, merdunya suara Assaf mengalun merasuk sanubari.



Kenanganku melayang ke puluhan tahun yang lalu ketika kami sekeluarga berdomisili di Cairo, Mesir. Pada waktu-waktu ketika kami sekeluarga, dengan asyik mendengarkan penyanyi ulung dan terkenal di Mesir dan dunia Arab,*Um Kalthum*, bernyanyi di muka ribuan orang yang disiarkan lewat TV dan Radio. Um Kalthum terkenal sering menyanyikan lagu-lagu patriotik rakyat Arab yang melawan feodalisme dan imperialisme.



* * *



Moh Assaf adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan inggi di Gaza, Palestina. Ia menjadi terkenal di dunia Arab dan Timur Tengah ketika ia ambil bagian dalam kontestan “Arab Idol”, di Cairo, Mesir. Bukan saja suaranya yang merdu dan mengalun, tetapi, --- mungkin ini lebih-lebih lag --- , karena ia menyanyikan lagu-lagu patriotik Palestina. Moh. Assaf amat populer di kalangan keluarga-keluarga Palestina di West Bank (Tepian Barat) Palestina, maupun di Gaza, Palestina.

Potretnya terpajang dimana-mana. Di kedai-kedai, restoran-restoran, hotel-hotel, di tempat-tempat pertemuan dan di rumah-rumah para keluarga Palestina, Assaf telah menjadi Idolanya orang-orang Palestina dan banyak negeri di Timur Tengah.



Tidak mudah bagi Assaf sebagai penduduk Gaza yang berada di bawah pemerintahan dari Partai Islam Hammas, yang berlawanan dengan pemerintahan Palestina di bawah Presiden Abbas di Tepian Barat. Assaf harus melintasi daerah perbatasan Israel Mesir untuk tiba di Cairo dan ambil bagian dalam kontest “Arab Idol” di Cairo. Ia tidak punya visa untuk melintasi perbatsan. Tetapi para pejabat Palestina di Gaza dan Ramallah, membikin pengaturan khusus untuk memungkinkan Assaf masuk Mesir dan berkontes ti Cairo. Perjalanan yang berjarak 403 km dari rumahnya di Gaza sampai ke Cairo itu ditempuhnya dalam dua hari – dua malam. Tetapi semua kendala bisa diatasinya.



Itu adalah berkat adanya simpati dan kerjasama antara berbagai pejabat di Gaza dan Tepian Barat serta di Mesir. Assaf orang-orang Palestina di Tepian Barat dan di Gaza bisa juga b e r s a t u: --- membantu Assaf agar bisa ambil bagian dalam kontes di Cairo.



Komentar MBC menunjuk pada keberhasilan Mohammad Assaf, mendekatkan para pejabat di Gaza dan Ramallah (ibukota Tepian Barat Palestina), suatu hal yang belum bisa dicapai oleh para politisi di kedua wilayuah Palestina yang bertentangan. Negeri-negeri dan rakyat-rakyat mancanegara yang selama ini terus mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk suatu PALESTINA MERDEKA, bebas dari pendudukan Israel, ---- sangat mengharapkan agar kedua pemerintahan Palestina, yang di Gaza dan yang di Tepian Barat, bisa bersatu dan berjuang bersama untuk cita-cita bersama rakyat dan bangsa Palestina.



Sari Amalia, tepat sekali berkomentar: Assaf dengan agu-lagu Palestina patriotik yang disuarakannya BERHASIL. Tulis Sari: *“Breaking all the barriers.. . . . .music is indeed universal”. Musik telah mendobrak semua rintangan . . . . . musik itu sungguh universal!!*



Ketika menilpun Assaf dari Ramallah, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan bahwa ia menegaskan dukungannya kepada penyanyi Assaf . Abbas mengatatakan bahwa, *Assaf telah membikin bangsa Palestina bangga memberikan dukungan dan suranya untuk Assaf.*



* * *




Thursday, May 16, 2013

*Kolom IBRAHIM ISA*
*Kemis, 16 Mei 2013**
--------------------*

*Sahabatku CHALIK HAMID (75)*



Pernah sambil gurau kubilang kepada sahabatku Chalik Hamid: Bung tahu enggak apa artinya "Chalik"? Serta-merta Chalik menjawab: "Ya, tau!" Apa arti kata itu, tanyaku lagi? Chalik menengadah ke atas! Aku sela: "TUHAN yang Maha Kuasa", kataku. . . . . Ya, saya tahu, kata Chalik senyum. Chalik mengerti dan menyambut gurau akrab tsb. Orangnya memang suka gurau, periang dan jenaka pula!


* * *


Hari ini ketika kubuka komputer dan mengklik "Postvak In", salah satu berita yang masuk berjudul *"AKU 75 TAHUN".* Berita ini dikirim oleh "the King himself". Chalik sendiri yang menigirimkannya. Jarang aku membaca sajak yang demikian mengesankan dan mengharukan. Juga jarang orang merenung sedemikian rupa ketika usianya bertambah satu tahun lagi.


Chalik melukiskan masa kecilnya nun jauh di kampung halaman. Itu membikin banyak pembaca (pasti) juga mengenang masa bocahnya. . . . .


"/sembahyang dan mengaji di mesjid tua /

/mencuri jambu dan melempari mangga, . . . dst./


Ya, ya, . . . . sembahyang dan mengaji lalu mencuri jambu dan melempari mangga,

milik orang lain tentunya. Suatu ungkapan masa bocah yang betul-betul "kena".


Namun, yang paling megesankan memberikan inspirasi dan semangat, adalah

sikapnya sebagai pejuang dan patriot Indonesia yang cinta dan tanah air dan bangsa dimanapun ia berada.


Sering wartawan atau peneliti yang mewawancarai "orang eksil" bertanya: Bagaimana perasaan bapak, begitu lama menjadi warganegara asing, di negeri jauh dari tanah air.


Chalik memberikan jawaban yang "cespleng dan mantap":


"/Hari ini ulangtahunku ke 75 /

/tubuh di negeri orang hati di kampung halaman, /

/dan perjalanan masih panjang /

/di atasnya terbentang cita-cita dan harapan, /

/suatu ketika pasti terwujudkan /

/oleh generasi muda mendatang. /


* * *


Dari Murti dan aku:


*SELAMAT BER-ULTAH BUNG CHALIK *

*TERIRING DOA DAN HARAPAN TERBAIK UNTUK BUNG DAN ISTRI, AISYAH .*



Berikut ini sajak Chalik Hamid ketika ia terinspirasi menulis sajak mengenangkan

perjalanan hidupnya, . . . . . . sebagai pejuang.


* * *


*Chalik Hamid:*

Aku 75 tahun



Langit biru masih tetap seperti dulu

kadang dilindungi awan bergumpal putih,

degup jantung tak pernah henti

mengikuti gerak putaran bumi.



Hari ini aku 75 tahun

tubuh mengelana di negeri orang

hati merayap ke kampung halaman

menjelajahi lorong dan tepian sungai

merasuk ke pepohonan dan suara beduk tua.



Di kampung ini makam ayah dan bunda

di sini terkubur seluruh keluarga

sungai kampung ini menghanyutkan korban enam lima

tak dikenal entah mayat siapa.


Kenangan mengalir bagaikan air

ke masa kanak-kanak belum dewasa

sembahyang dan mengaji di mesjid tua

mencuri jambu dan melempari mangga,

berenang-renang ketika banjir tiba

berbaur bocah peria dan wanita,

berjalan kaki pergi sekolah

payung daun keladi ketika hujan,

bunyi klom yang membisingkan,

berteduh di bawah pohon pisang

menyusun angan setinggi kayangan,

duduk di pelaminan menjelang sunatan

menerima hadiah dari keluarga handai-tolan.



Ah, semua mengalir dalam ingatan

di hari tua di negeri seberang

ketika tubuh semakin renta untuk bertahan,

kawan-kawan dibunuh dibantai dengan kejam

dipinjam lalu menghilang ditengah malam,

wanita-wanita cantik diperkosa komandan penjara

yang gajinya dibayar oleh negara,

sekolah disulap jadi tempat tahanan

kantor buruh berubah jadi milik tentara.


Hari ini ulangtahunku ke 75

tubuh di negeri orang hati di kampung halaman,

dan perjalanan masih panjang

di atasnya terbentang cita-cita dan harapan,

suatu ketika pasti terwujudkan

oleh generasi muda mendatang.



Amsterdam, 16 Mei 2013.


* * *


Kemudian responsnya Chalik Hamid:


Teman-teman dan para sahabat,


Saya mengucapkan banyak terimakasih atas ucapan selamat ulangtahun saya yang ke 75 ini. Semoga kita semua selalu sehat dan panjang umur serta bisa menyaksikan kemenangan-kemenangan yang dicapai di Indonesia, betapa pun kecilnya. Antara lain: Keputusan Komnas HAM yang menyatakan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Orba Suharto atas pembantaian 1965/66. Adanya pengakuan para jagal di Medan Sumatera Utara, dalam pembunuhan kader-kader PKI dan para pengikut Bung Karno lainnya. Pengakuan ini sudah mereka nyatakan dalam sebuah film ´´The Act of Killing/ Jagal yang dihasilkan produser/sutradara Joshua Oppenheimer.

Perlahan-lahan semua kejahatan Orba itu akan terungkap dan sejarah akan memihak rakyat tertindas Indonesia.

Salam: Chalik Hamid.


* * *



*IBRAHIM ISA'S FOCUS: *
*Wednesday, May 15, 2013*
*-----------------------*


*LABOUR UNIONS *

*TAKING THE MILITANT WAY*

 

*    *    * 


*--- Taking the Militant Way*

*--- Workers Commemorate May Day*

*--- May Day, Not Mayday*

*--- Marsinah's Unfulfilled Dream*

*--- Workers Need MoreThan a Holiday on May Day *




** * **


  Said Iqbal: Taking the militant way


Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, May 01 2013,

*(Courtesy of Said Iqbal)*

With his charismatic leadership, Said Iqbal, the chairman of the Confederation of Indonesian Workers Union (KSPI) undoubtedly convinced other labor unions to hold a national labor action.

The workers will still go on strike on Wednesday in observance of May Day, despite a recent meeting with President Susilo Bambang Yudhoyono at the Presidential Palace.

Iqbal has already checked with organizing committees in the regions. At least a million workers are set to rock millions more in Jakarta and other cities in North Sumatra, Riau Islands, West Java, Central Java and East Java.

"The national strike will be a reminder to tycoons and the regime. It is a necessity because justice will not come down from the sky but must be fought for," he told The Jakarta Post recently.

The strike, organized by several confederations grouped under the Indonesian Labor Union Council (MPBI), has won support from other unions and civil society groups in their efforts to reform the employment and remuneration policies.

Iqbal, also a member of the National Tripartite Forum and the National Wage Committee, gave a nod to the importance of militancy, not extremism, amid the deadlocked negotiations between employers and the government. "A strong labor union movement can be an agent of change to lift up the economic livelihood of workers."

"Labor unions have forcibly taken the militant way because other ways and roads to settle unresolved major labor issues have been closed down."

Labor relations deteriorated between 2011 and 2013, as hundreds of thousands of workers have staged national strikes each year. The ensuing chaos has led regional heads to increase local minimum wages
significantly.

Union organizers have also launched a sweeping movement against 14 of 122 companies that have attempted to introduce outsourcing for part of their core businesses in Bekasi and Cikarang, West Java.

The movements, which have included paralyzing blockades of strategic state assets such ports and toll roads, have sparked strong protests from executives, since they took place under the nose of security guards.

Iqbal, who claimed he was still working as a manager at PT Panasonic Health (PHCI) in Cibitung, said that he was questioned three times by the National Intelligence Agency (BIN). He told agents that he was true lover of the state ideology, Pancasila, to counter charges that he was left-wing socialist or a Communist.

"We are fighting just for a little justice. Our struggle is to have employers provide better jobs and pay a decent wage to workers amid good economic growth of six percent. Workers will demand nothing if the country is in a deep economic downturn."

Iqbal said that unions were fighting for better remuneration and for the implementation of the national healthcare scheme by January 2014, and were demanding that the government drop plans to raise subsidized fuel prices for private cars on fears of follow-on increases for in the price of basic commodities and rental prices.

To avoid prolonged industrial conflict, local executives should learn from Japan, South Korea and US and bargain with unions as equals, Iqbal said.

"Executives should bear in mind that workers have great solidarity and will remain loyal if management sticks to transparency, accountability and equal partnership in industrial relations," he said.

The way Iqbal has led the Federation of Indonesian Metal Worker Unions (FSPMI) and the KSPI has made him a strong candidate for the prestigious Ebee Elizabet Award given by the government of the Netherlands. Previously the Netherlands Labor Union (FNV) brought the story of Iqbal's militancy to the big screen, hoping that a film about him would inspire Dutch union members.

Iqbal, born in Jakarta in 1968 and graduating as an engineer from the University of Indonesia, conveyed his thanks to Panasonic Group boss Rachmat Gobel, who has allowed him and three other organizers to take an active part in the union movement while working at the company.

"[Rahmat] sets a good example as to what business tycoons should do to create harmonious industrial ties and maintain worker loyalty and productivity," Iqbal said.

On mushrooming labor unions, Iqbal said that, based on lessons that his has learned from the establishment of the International Free Trade Union (ICFTU) in Europe and the merger of the AFL-CIO in the United States, he has an obsession to merge the nation's 98 major labor unions to offer a powerful united front in negotiations with employers and the government.

"Aside from the merger issue, the labor unions should find common ground and objectives for workers. They have to stay independent, but not neutral because they take workers' side. They must be free from political intervention from the outside and must forge strong political bargains to fight for their common interests," he said.

According to Iqbal, labor unions should not be elitist and should rely on financing from members to cover their operations. "The FSPMI and KSPI have actively supported industrial strikes because they collect Rp 4 billion [US$412,000] and Rp 200 million annually respectively from their members' monthly dues."

Iqbal, who unsuccessfully ran as a legislative candidate for the Prosperous Justice Party (PKS) in 2009, confirmed that he no longer had an obsession to become a politician and would dedicate his life to his career at Panasonic, labor unions and his family.



* * *


  Workers Commemorate May Day


The Jakarta Post | May 02 2013,

International Workers Day, or May Day as it is more popularly called, was commemorated differently across the archipelago on Wednesday, ranging from entertaining performances to street rallies demanding improved working conditions and wages.

In Pekanbaru, Riau province, local workers and those from surrounding regencies including Siak and Kampar gathered at Politeknik Caltex Rumbai Square to watch an art performance and to participate in various traditional games.

The same fanfare was also evident in Dumai city, where workers held social activities and strolled along PT Pelindo Dumai's Pier D. Local unions had agreed not to stage rallies but instead organize positive activities, such as donating to workers' families or orphanages.

"This is our way of showing joy for the raise in the province's sectoral minimum wage [UMS]," said the Riau coordinator of the Federation of Indonesian Prosperity Trade Unions (FSBSI), Patar Sitanggang, referring to an 8.6 percent wage hike.

Workers in other regions protested on the streets. In Batam, Riau Islands, sweeps by unions to force workers to take part in rallies prompted engineering and construction company PT McDermott to send home its 3,000 workers, some of whom joined protestors at Alun-Alun Engku Putri Square.

In Palembang, South Sumatra, workers demanded the government ban outsourcing that disadvantaged workers and urged the Indonesian Employers Association (Apindo) to withdraw its challenge against province's minimum wage (UMP) at the Palembang State Administrative Court (PTUN).

In Yogyakarta, workers distributed flowers to female manual workers. "We expect a wage increase to meet our daily needs," said Tinah, one of the workers, adding that she usually worked from 5 a.m. to 4 p.m. and earned a daily average of Rp 30,000 (US$3.09).

In Samarinda, East Kalimantan, workers called for better work safety and demanded local administrations force companies to implement the health and work safety program.

In Palu, Central Sulawesi, non-governmental organizations and workers grouped under Central Sulawesi People's Struggle Front staged a rally to demand the government revoke the licenses of recalcitrant oil palm plantation companies and those without environmental impact analysis (Amdal) documents.

In Semarang, Central Java, workers marched on the city's main streets, rejecting fuel price increases and demanding decent wages and a ban on outsourcing.

Separately, journalists in the city urged media companies to pay more attention to the welfare of their journalists, especially those working as contributors and correspondents in the regions.

Protest coordinator Arif Nugroho said contributors and correspondents received low wages. The same call was made by dozens of journalists in Bandung, West Java.

Alliance of Independent Journalists' (AJI) Bandung chairman Zaky Yamani said many mass media outlets in the city violated the law.

"They pay their journalists less than the city minimum wage, lower than others working in other fields, despite the fact that their jobs is high risk while at the same time their companies do not give them health and accident insurance," Zaky said.



* * *


  May Day, not Mayday


The Jakarta Post, Editorial , May 01 2013,

Today, the world, including workers in the nation's major cities and industrial centers, are commemorating May Day. Jakarta's residents are bracing themselves and hoping that the congestion will not be too bad; although memories of previous May Day rallies blocking toll-road entrances remain fresh.

*Union leaders have warned of "1 million" protesters on Jakarta's streets alone on Wednesday, if the government shows no sign of granting the unions' wishes --- such as ending the cheap labor policy and abusive outsourcing practices, and canceling any plan to raise fuel prices. *

Employers have said such demands are unrealistic, arguing that the government will continue the subsidies for low-income people once the price of gasoline is increased. But workers say only scrapping the fuel-price hike will enable them to avoid the usual skyrocketing commodity prices that accompany every price increase of vital goods.

*Despite the arduous process of seeking common ground between workers and employers, it is clear that the nation's estimated 120 million workers need a clear voice to represent their demands to employers. *Recently the Indonesian Employers Association (Apindo) met with President Susilo Bambang Yudhoyono, requesting among other things that the government verifies the labor unions so they would have a clearer understanding of who they should be talking to. True, the post-Soeharto years have seen a mushrooming of unions to the point where it can be confusing even for the workers themselves; workers can --- at least in theory --- choose a union in a specific sector, such as the metal workers' or bus drivers' unions, or one affiliated to their personal political party or religion. Other union members, however, have been labelled preman or hoodlums.

Whoever leads the unions, employers have reiterated their concerns about the lack of legal certainty; indeed, a number of mayors and regents have backed down and changed local ordinances on the regional minimum wage increases, a measure that is feared will set a precedent for future wage decisions.

For their part, workers do not see any relevance in verifying unions with their demands, maintaining that the demands will remain the same even if the hoodlums are identified and separated from the legitimate workers. Strikes, they say, are a last resort, with talks having almost collapsed regarding a remuneration system that they regard as fairer compared to the current "cheap labor" policy, and other demands.

Beyond the detested traffic congestion, people rarely get a close look at the lives of the country's workers. What they mostly see is the vibrant "informal sector", whose workers and owners are engaged in a wide range of economic activities throughout the day and night. However, people do not witness the daily toil of workers behind factory doors --- whose complaints are only rarely expressed if they can participate in protest rallies.

The problem is that despite the rowdy and occasionally intimidating unions, workers have little bargaining power precisely because of the informal sector, which is estimated to make up two-thirds of the workforce and whose workers are labelled "underemployed" because of the low income they earn despite their long working hours.

Workers' unions have seen the result of their clout, with so many mayors and regents changing agreements reached with employers over the annual minimum wage. However, this affects only those few million workers in the formal sector, raising questions as to the effectiveness of the unions.

Their strategy must take into account the majority of Indonesian workers who do not expect any part of the labor policy to benefit them.

If the rallies do prove to be a headache for many of us, it would at least be worthwhile to know they were held for the sake of the majority of Indonesian workers. Otherwise, the unions will urgently need to revamp their strategy or risk becoming merely loud, but not all that relevant.



  Marsinah's Unfulfilled Dream


The Jakarta Post,Editorial, May 08 2013,

Over the weekend 34 young workers finally regained their freedom, after being forced to work for two years at a factory in Tangerang, Banten. Police are still investigating the treatment of the men as it is alleged they were forced to work without pay, were crammed into a single bedroom and were subjected to torture.

This appears to be one isolated case that the police will hopefully resolve. Jakarta Police spokesman Sr. Comr. Rikwanto said investigators would probe allegations that military and police personnel were involved in the case. The perpetrators may be charged under the Criminal Code for the abuse.

A thorough investigation and trial to hold perpetrators accountable would be an achievement in this nation. Though it is just one case in one of the country's major industrial areas, resolving it would at least symbolize a gesture to end impunity, at least on the factory floor.

*Today Indonesia remembers another unresolved case, hidden deep in the closet --- the death of activist Marsinah on May 8, 1993. This case, in Sidoardjo, East Java, is now 20 years old and, thus, the case has expired. Two managers from her watch factory were convicted but alleged perpetrators from the Sidoarjo military command never reached court.*

*Marsinah was among the workers who led a protest against the management and the military command for abusing workers, following their demands for better pay and work conditions.
*
Activists today are demanding an official Marsinah Day while others earlier suggested moving International Workers Day, in Indonesia, to May 8 to honor her struggle.

The protest was held at the height of the New Order's power, where close collaboration between the management and the local military were the rule. As a woman Marsinah suffered even more --- an autopsy revealed she was sexually assaulted and her inner organs were severely damaged. Subsequent leaders promised to reopen the case but with the passing of today this is no longer possible.
*
Sweeping cases like Marsinah under the carpet maintains the legacy of impunity and continued abuse against vulnerable citizens because no one gets punished.
*
The Tangerang case also opens our eyes to the unmentioned practice of slavery-like treatment within the safe borders of our country. To improve the condition of servants, for many years activists have pushed for the domestic workers law, unfortunately, so far, it has been unsuccessful.

An anti-slavery law is needed for Indonesian employers, who think nothing of having lowly paid maids at their beck and call.

*Marsinah, at 24 years old, demanded the recognition of workers as humans. The least Indonesians owe to her is to ensure the end of slavery in the country.*



** * **


  *Workers Need MoreThan a Holiday on May Day***


Margareth S. Aritonang, The Jakarta Post, May 01 2013,

Labor activists have applauded the government's decision to make May 1 a national holiday starting next year but they called on the government to better uphold the rights of workers in the country.

President Susilo Bambang Yudhoyono is expected to officially proclaim May Day a national holiday on Wednesday. Chairman of the Confederation of Indonesian Workers Union (KSPI) Said Iqbal said the plan was just the first step in a long journey to improve the lives of workers in the country.

"After more than 10 years, the government will finally establish International Workers Day as a national holiday. It is of course symbolic because making it a national holiday would not directly improve the welfare of Indonesian workers. Nonetheless, it is important to show that the state actually recognizes the labor movement in this country," Iqbal told The Jakarta Post on Tuesday.

He said that the holiday would not affect workers' productivity. "I believe that on the contrary it will encourage workers to work harder because they will feel that their existence is recognized," Iqbal said.

Separately, member of the House of Representatives Rieke Diah Pitaloka of the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) urged the government to take immediate action to improve the lives of workers and not just stop at making May Day a national holiday.

"For one thing, the government should enforce the law against errant employers so that they will think twice before doing anything wrong to workers," Rieke said.

Rieke, who lost her bid for the West Java governorship recently, also urged Yudhoyono to prod his Democratic Party into supporting bills that would promote the rights of workers. "This will prove that the President doesn't only aim at polishing his or his party's image approaching the election. Prove that you actually care about workers," Rieke said.

Workers unions, including the KSPI, are set to stage rallies across Indonesia, protesting against, among other issues, cheap labor, union busting and the government's plan to increase fuel prices, which they claim will cause hardship for the country's workers.



* * *




*Kolom IBRAHIM ISA*
*Senin, 13 Mei 2013**
-------------------------------*

*Nama AHOK, Memang COCOK Dengan Julukan: *

*-- “(A)was (H)antu (O)rang (K)omunis” – *

*-- AHOK Jadi KALAP, Arogan Dan Provokatif *


* * *


Kasus seperti ini bisa terjadi di mana saja. Pada banyak gejala dalam kehidupan masyarakat yang sarat dengan berita-berita sensasi … sering di belakang ucapan, pernyataan, tulisan . .. . tersembunyi suata “permainan politik”. Para elite politik sipil dan militer, yang kuasa atau pernah ikut kuasa sering menggunakan cara ini. Mereka ada maksud tertentu yang menjadi motif sesungguhnya.


Mereka melemparkan sesuatu yang 'sensasionil' ke masyarakat. Seperti yang terjadi baru-baru ini. Suatu kelompok warga atau individu distigmtisasi, sebagai komunis, oleh seorang pejabat, Wagub, Ahok. Jika diteliti dan dianalisa lebih lanjut, bisa terungkap hakikatnya. Bahkan tidak jarang yang bersangkutan membuka dirinya sendiri dalam proses pembicaraan, kritik-kontra-kritik dan munculnya pengungkapan baru.


Apakah hal yang disinyalir diatas, seperti yang dilakukan AHOK itu --- “ngototnya” Ahok menggunakan cara “stigmatisasi komunis” terhdap penduduk Pluit yang “bandel” dan “berani” menyanggah sang Wagub, . . . . apakah karena mengandung motif lain di belakang pernyataan stigma itu? Perhatikan: --- Ahok kemudian memperluas sasaran ujung tombaknya ke KomnasHAM . . . apakah ulah Ahok itu semua, merupakan cara saja untuk sesuatu tujuan yang sebenarnya.? Menyangkut dua kasus diatas sikap Ahok, menampakkan watak pejabat yang kalap, arogan dan provokatif.


* * *


Ahok terus saja menuding para penghuni lahan di daerah Pluit, sebagai Komunis. Sikap Wagub DKI Ahok ini sekarang jelas!. Bukan karena ia latah, atau ngomong “kebablasan”. Bukan kebetulan! Itu memang sikap dan 'taktik politik”Ahok dalam “bernegosiasi.” *Bisakah diartikan Ahok begitu itu, adalah untuk “cari muka” pada jendral-jendral dan sementara elite politik di kekuasaan sekarang ini. Di peti arsenal mereka masih tersimpan rapi senjata stigma “hantu komunis” untuk mengintimidasi dan memojokkan lawannya. *


Dan tidak mustahil merupakan suatu pengungkapan sikap politiknya kepada kekuatan warisan politik Orba yang sekarang masih bercokol di eksekutif, legeslatif, yudikatif , media dan ekonomi. Ahok tampak getol menepuk dada:


*Sesungguhnya Ahok hendak memaklumkan: “– – – SAYA (Ahok) ANTI-KOMUNIS!” *



* * *


Dari sini bisa disimpulkan bahwa:


 1.

    Ahok tidak akan berhenti dengan cara menstigmatisasi sekelompopk
    warga, bila diperlukannya, ia akan lagi-lagi menaku-nakuti warga
    Pluit tsb (dan siapa saja yang dianggapnya lawan politiknya) dengan
    stigma “hantu-Komunis” !

 2.

    Sudah dipastikan dalam benak Ahok. bahwa Komunis itu 'perampas
    tanah'. Kata Ahok: "Kalau merebut lahan negara, itu namanya otak
    orang komunis. Itu ingetin kita ke cerita komunis yang merampok
    tanah orang. Kita harus tegas. Saya tidak menuduh Anda komunis loh
    tapi kalau Anda meminta begitu, berarti Anda otak komunis


** * **


Benarlah jadinya canang banyak orang ketika itu, bahwa Ahok menggunakan cara Orba. Yaitu suatu cara kotor, cara stigmatisasi, memburukkan, menjadikan komunis itu sebagai penjahat,

kemudian menuduh warga Pluit yang berani menggugat kemauan Ahok, sebagai pengikut ide Komunis.


Ulah Ahok menggunakan stigma “hantu-Komunis” dalam urusannya dengan penduduk Pluit yang akan digusur rumahnya, tidak berhenti di situ saja. Di satu fihak Ahok bersikeras, “ngotot”, meneruskan cara stigma Komunis untuk meredam kritik lawannya. Di lain fihak ia menngambil sikap provpokatif, arogan dan “berlagak pembesar” yang punya kuasa untuk bertindak sewenang-wenang. Telusuri saja tanggapannya terhadap undangan KomnasHAM pada Jokowi untuk membicarakan masalah penggusuran terkait.


* * *


Ahok 'mencak-mencak' menuding KomnasHAM, seperti dibritakan a.l oleh Indopos, sbb:

Sikap tidak bersahabat ditunjukkan Wakil Gubernur DKI Jakarta mengungkapkan ketidak senangannya pada lembaga negara yang telah memanggil Gubernur DKI Joko Widodo terkait rencana penggusuran warga di bantaran Waduk Pluit, Jakarta Utara.

’’KomnasHAM tak seharusnya memanggil Jokowi karena masalah ini. Kalau gitu tolong dudukin Monas sekalian. Iya dong, jadi nanti kalau saya kirim orang dari Belitung dudukin Monas nih, kalau diusir saya lapor Komnas HAM, melanggar HAM. Boleh gak? Terus minta ganti rugi dan bagi hasil tanah. Gimana?’’ Ujar Ahok, di Balai Kota Jakarta, kemarin (10/5).

’’Kami tidak peduli, lagipula sejak Februari lalu pihak Pemprov DKI telah meletakkan alat berat di sekitaran Waduk Pluit,’’ tegas Ahok.


* * *


Ikuti sura-suara yang mengecam sikap dan pernyataan Ahok:



*Rudin Akbar Lubis, anggota DPRD DKI Jakarta*, menyayangkan sikap Ahok yang tidak menghormati Komnas HAM. Juga disayangkannya ketidak hadiran Jokowi memenuhi panggilam Komnas HAM.


Sebagai pemimpin yang dikenal taat hukum, harusnya mereka menghormati lembaga Komnas HAM. "Lagipula dengan memenuhi panggilan Komnas HAM, bukan berarti mereka melanggar HAM. Justru seharusnya mereka datang dan menjelaskan duduk persoalan penggusuran tersebut pada Komnas HAM."


* * *


*Seorang penulis berkomentar di FB* (12/5):

Wagub Jakarta Ahok masih hidup di abad lalu, dia kena sindrom Orde Baru. Istilah "komunis" digunakan oleh moralis kelas penguasa-penindas Orde Baru untuk pembenaran-diri dan penghancuran lawan politik... Jadi, "Komunisme Ahok" tidak ada kaitan dengan pemahaman terkini tentang tatakelola/governance lahan kota Global Selatan, termasuk Jakarta, yang mengakui istilah lahan "formal-informal" bagi kaum miskin kota BUKAN "legal-ilegal" karena, ternyata... warga miskin juga berhak akan kota!


* * *

*Bowo dari Indopos berreaksi* sbb:


Sikap Ahok yang sinis dan arogan itu seperti yang dikatakannya di |Balai Kota Jakarta (10/5), a.l.sbb:

’’Komnas HAM tak seharusnya memanggil Jokowi karena masalah ini. Kalau gitu tolong dudukin Monas sekalian. Iya dong, jadi nanti kalau saya kirim orang dari Belitung dudukin Monas nih, kalau diusir saya lapor Komnas HAM, melanggar HAM. Boleh gak? Terus minta ganti rugi dan bagi hasil tanah. Gimana?’’


Sebelumnya *Komisioner KomnasHAM Siane Indriani*mengatakan sekitar 30-an warga bantaran Waduk Pluit, Muara Baru, Jakarta Utara, mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI.


Menurut warga, selama ini belum ada pembicaraan mengenai rencana penggusuran tersebut sebelumnya. Pada Rabu (8/5) lalu Jokowi pun dipanggil oleh Komnas HAM untuk menyelesaikan kasus warga Muara Baru. Namun, Jokowi mangkir dari panggilan dengan alasan belum menerima surat panggilan dari Komnas HAM. Padahal, pihak Komnas HAM sejak 2 Mei lalu sudah melayangkan surat tersebut kepada mantan wali kota Solo tersebut.


*Menanggapi hal ini, anggota DPRD DKI Jakarta Rudin Akbar Lubis, *menyayangkan sikap Wagub Ahok yang tidak menghormati Komnas HAM. Ia juga menyayangkan ketidak hadiran Jokowi memenuhi panggilam Komnas HAM.


Menurut Lubis, sebagai pemimpin yang dikenal taat hukum, harusnya mereka menghormati lembaga KomnasHAM. "Lagipula dengan memenuhi panggilan KomnasHAM, bukan berarti mereka melanggar HAM. Justru seharusnya mereka datang dan menjelaskan duduk persoalan penggusuran tersebut pada KomnasHAM," tandasnya. (wok)


* * *


Sebagai penutup di bawah ini dilampirkan sebuah tulisan yang serius dan berargumentasi sekitar pernyataan Ahok tentang Koannya mengenai Komunisme. Sebagai pejabat pilihan penduduk Jakarta, ada baiknya Ahok membaca dan memperluas sedikit pengetahuannya tentang Komunis. Tulisan Coen tsb ada baiknya dipertimbangkannya secara serius.


Tulisan *Coen Husain Pontoh *di bawah ini baik dijadikan bahan pemikiran kembali oleh Ahok, dan mereka-mereka yang pandangannya kurang lebih sama dengan pandangan Ahok.


* * *


*COEN HUSAIN PONTOH : *


*M*/*ahasiswa Ilmu Politik di City University of New York (CUNY), a.l menulis sbb (4 /5):*/




DALAM beberapa waktu terakhir ini, media Indonesia memberitakan kasus tentang kemarahan warga Bantaran Waduk Pluit, Jakarta Utara, terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, karena menuduh warga tersebut sebagai komunis.

Di zaman Orde Baru, tuduhan komunis jelas bukan perkara main-main, karena itu bisa berarti kematian hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya bagi si tertuduh. Karena itu, setelah kejatuhan rezim orba, seluruh elemen pro-demokrasi berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggunakan kata komunis sebagai alat untuk memojokkan lawan-lawan politiknya.

/*Pertama*//,/karena faktor kesejarahannya yang berdarah dan brutal tersebut; dan/,/karena memang telah terjadi pemutarbalikkan dan penjungkirbalikkan yang luar biasa terhadap sejarah gerakan dan pemikiran komunis itu sendiri.

Tentu saja tetap ada yang getol menggunakan kata komunis untuk menyerang atau menyingkirkan lawan politiknya. Siapa mereka? Tidak lain adalah tentara dan kalangan Islam Politik. Tapi, sejauh ini tuduhan-tuduhan komunis itu sudah dianggap sebagai lelucon belaka, sebuah cara berpolitik yang tak beradab. *Mereka yang menuduh lawan politiknya sebagai komunis, pasti si penuduh dianggap sebagai politisi yang goblok dan tukang konspirasi.*

Karena itu, saya heran mengapa Ahok berani sekali mengumbar kata-kata komunis dalam pertemuan-pertemuan resminya. Apalagi, pemahaman Ahok akan komunisme itu sepenuhnya salah. Ia mendefinisikan komunis bukan berdasarkan pada sebuah telaah teoritik yang mendalam, melainkan hasil dari logika /utak atik gathuk-/nya. Logika /ngawur /Ahok itu begini:

A: Tanah milik negara (legal).

B: Warga menduduki tanah negara (legal) tersebut secara illegal.

A+B: Karena warga yang digusur menuntut ganti rugi atas tanah negara yang didudukinya secara illegal tersebut, maka warga (oknum, dalam bahasa Ahok) tersebut adalah komunis.

Kalau pinjam bahasa gaulnya Ahok, saya mau bilang, ‘/komunis nenekmu yang definisinya seperti itu.’/

Darimana Ahok belajar atau membaca buku bahwa komunis itu adalah seperti yang disebutkannya itu? Kalau melihat usianya, yang kira-kira sekitar 40an tahun, maka bisa dipastikan pemahaman Ahok akan komunisme itu hasil didikan rezim orba. Ia mungkin masih hapal betul buku-buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) produk sejarawan ABRI atau sejarawan yang bersekutu dengan rezim orba. Dan karena Ahok sudah tak punya waktu lagi membaca secara serius (sesuai pengakuannya), maka pemahaman yang salah itu tetap melekat di kepalanya. Omongan Ahok yang keliru ini menjadi masalah karena ia adalah pejabat publik yang kini lagi digandrungi oleh banyak orang, sehingga walaupun omongan itu salah secara akademik maupun politik, bisa dianggap benar oleh publik.

Lalu apa makna komunis menurut Karl Marx dan Friedrich Engels? Saya menggunakan definisi kedua orang ini, karena mereka adalah pendiri sekaligus teoritikus utama gerakan komunisme. Engels mengatakan, komunisme adalah sebuah doktrin mengenai kondisi-kondisi pembebasan proletarian (kelas pekerja). Artinya, ini doktrin yang secara sengaja diperuntukkan buat kelas pekerja, bukan buat seluruh kelas. Dengan kata lain, tidak mungkin kelas kapitalis akan menggunakan doktrin komunis ini dalam upayanya melindungi dan memenangkan kepentingannya sebagai sebuah kelas. Kenapa demikian?

Di sini, kita mesti lihat bagaimana Marx dan Engels menganalisa corak produksi kapitalisme. Menurut keduanya, esensi kapitalisme itu adalah adanya dua kelas yang sangat dominan dalam masyarakat, yakni kelas yang memiliki (mengontrol dan menguasai) alat-alat produksi yang disebut sebagai kelas kapitalis; serta kelas yang hanya bisa hidup jika ia menjual tenaga kerja (alat produksi satu-satunya) kepada kelas kapitalis. Intinya, masyarakat kapitalis itu adalah masyarakat yang dicirikan oleh sistem kerja upahan. Tentu saja masyarakat kapitalis tidak hanya terdiri dari dua kelas ini. Yang dikatakan Marx dan Engels bahwa dua kelas inilah yang paling dominan untuk mengatakan bahwa inilah ciri dari corak produksi kapitalisme.

Dengan demikian, selama kedua kelas ini eksis maka kapitalisme tetap eksis. Tetapi, walaupun keduanya berhubungan satu sama lain, tetapi hubungannya yang paling mendasar bersifat konfliktual. Si kapitalis ingin terus menindas buruh, sementara si buruh ingin bebas dari penindasan tersebut. Nah, dalam konteks itulah maka komunisme memberikan panduan teoritik kepada kelas buruh untuk membebaskan dirinya dari penindasan kelas kapitalis. Tujuan dari perjuangan kelas buruh itu adalah terwujudnya masyarakat komunis, yakni  masyarakat tanpa kelas, dimana tidak ada lagi kelas buruh dan kelas kapitalis. Karena ciri masyarakat berkelas adalah adanya kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi, maka dalam komunisme kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi harus dihapuskan. Mengapa harus dihapuskan? Karena kepemilikan pribadi itulah sumber dari tegaknya masyarakat berkelas.

Ketika dalam perjuangan itu kelas pekerja berhasil menang, maka mereka harus membangun sebuah sistem kekuasaan yang bisa menjawab permasalahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada zamannya masing-masing. Marx dan Engels tidak berpretensi membangun sebuah sistem pemikiran yang telah lengkap dan sempurna dari A – Z, yang tidak boleh diubah oleh para pengikutnya. Yang dikemukakan keduanya bahwa dalam masyarakat pasca-kapitalis ini, hal pertama yang harus dilakukan oleh negara adalah menyediakan hak-hak paling mendasar bagi seluruh warga negaranya, seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan gratis; dan tidak boleh ada lagi orang atau kelompok orang menjadi kaya karena menindas orang atau kelompok lainnya. Namun, karena masyarakat baru ini lahir dari reruntuhan masyarakat kapitalis, maka pada tahap ini insentif berbasis pasar tetap berlangsung, dimana ‘setiap orang dihargai sesuai dengan hasil kerjanya//to each according their work.’ /

Sebagai contoh jika ada dua perempuan buruh, yang satu memiliki lima orang anak dan yang lain hanya dua orang anak, jika keduanya sama-sama bekerja delapan jam sehari, maka pada setiap akhir bulan keduanya akan mendapatkan gaji yang sama. Jika perempuan buruh dua anak itu bekerja 9 jam, maka ia digaji satu jam lebih banyak dari perempuan buruh dengan 5 anak tadi. Tetapi, ketika kerja bukan hanya sekadar alat untuk hidup, tapi telah menjadi medium realisasi potensi kemanusiaannya secara bebas, sehingga konsekuensinya level produksi menjadi meningkat, maka adalah mungkin masyarakat diorganisir melampaui mekanisme penghargaan pasar, dimana penghargaan//reward/ tidak lagi berbasis pada kerjanya (berapa lama dan apa jenis kerjanya), tetapi sesuai dengan kebutuhannya (/from each according their needs). /

Kembali menggunakan contoh kedua perempuan buruh tersebut, maka pada tahap lanjut masyarakat komunis perempuan yang memiliki lima anak harus memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari perempuan buruh yang hanya memiliki dua orang anak, walaupun jam kerja keduanya sama. Bukankah ini diskriminasi? Benar, ini diskriminasi dalam pengertian yang positif, bahwa penghargaan harus diberikan kepada mereka yang kebutuhannya lebih besar. Bagaimana jika seorang perempuan dokter dengan satu anak, apakah penghargaannya harus lebih kecil dari perempuan sopir bis dengan lima orang anak? Jawabannya adalah ya.

Dari prinsip inilah kemudian muncul kesalahpahaman yang luar biasa, bahwa komunisme itu bersifat totaliter karena tidak menghargai pencapaian individual; berprinsip sama rata sama rasa, karena semua orang, tanpa peduli kemampuan personalnya diperlakukan sama, yang artinya juga adalah totaliter. Saya mau menjawab kesalahpahaman ini: /pertama/ tudingan itu keliru karena setiap orang kebutuhan mendasarnya telah disediakan oleh negara secara gratis pada masa-masa awal pengorganisiran masyarakat pasca-kapitalis;



* * *



*Kedua*/*,*/**tidak ada lagi orang menjadi kaya karena menindas orang lain, yang berarti orang bekerja sesuai dengan keputusan personal yang bebas, karena kebutuhan dasarnya sudah sepenuhnya tersedia. Ia mau jadi dokter bukan karena adanya iming-iming uang segudang yang bakal diperolehnya, tapi karena ia memang senang menjadi dokter. Ini berbeda dengan masyarakat kapitalis, dimana keputusan untuk bekerja itu bersifat terpaksa karena suplai tenaga kerja jauh melampui kebutuhan pasar tenaga kerja, atau karena mimpi akan uang sekoper, sehingga orang bersedia kerja apa saja yang penting bisa punya uang untuk makan, bayar kuliah, bayar kontrakan, dsb.

*Ketiga*/,/ masyarakat komunis ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan keberadaannya sejak awal masyarakat pasca-kapitalis terbentuk. Tidak ada satu kalimat pun dari Marx-Engels bicara soal ini. Bagi keduanya, masyarakat komunis itu adalah sebuah proses historis, yang akan berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi historis pada masanya, seperti tingkat perkembangan teknologi, tingkat perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, perjuangan kelasnya, serta kebijakan pemerintah yang berkuasa. Tidak ada /sim salabim, abracadabra /di sini.



* * *






Saturday, May 11, 2013

*IBRAHIM ISA*
*Sabtu, 11 Mei 2013**
--------------------*


*SEJARAH - IRONI - DAN OPTIMISME PERJUANGAN*


*    *    *


Secara keseluruhan perkembangan sejarah, adalah perkembangan MAJU. . . .

Majunya perkembangan merupakan produk berlangsungnya perjuangan antara :


*progres vs retrogres . .. *

*antara revolusi vs kontra-revolusi; *

*antara progresif vs reaksioner; *

*antara rakyat tertindas melawan penguasa lalim . . . *

*antara kesewenang-wenangan vs keadilan . . . . *


* * *


Di negeri kita dewasa ini antara . . . .

REFORMASI, DEMOKRASI DAN HAM vs WARISAN ORBA YANG MASIH BERCOKOL. . . .


IRONI . . . . nyelinap diantaranya . . . . .


* * *


NAMUN . . . PERKEMBANGAN SEJARAH ITU ADALAH KEMAJUAN . . . .

TESE - ANTI-TESE - SINTESE . .


INILAH GERAK MAJU SEJARAH . . . dimana-mana!! . . . .


Makanya diatas segala-galanya pejuang-pejuang KEMAJUAN TETAP OPTIMIS . . !!!


* * *

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Sabtu, 11 Mei 2013**

--------------------*



“*NATIONALE MOLENDAG” Belanda – “Hari Kincir-angin Nasional” Mememupuk “History minded” Dan “Kesedaran Berbangsa”*


** * **


  *Orang Belanda adalah salah satu bangsa di dunia ini, yang memberikan
  perhatian secukupnya pada sejarah bangsanya. Mereka giat mendorong
  maju semangat “history-minded” dan cinta bangsa dan negeri, di
  kalangan masyarakat Belanda, melalui berbagai cara dan usaha. Sungguh
  inspiratif!*


  *Belum lama sudah dibuka kembali “Musium Kerajaan” di Amsterdam.
  Musium tsb selama 10 tahun ditutup karena dipugar yang menelan ongkos
  ratusan juta euro. Tapi orang Belanda tidak segan-segan mengeluarkan
  dana ratusan juta euro demi memlihara peninggalan sejarah bangsanya.
  “Rijksmuseum” di Amsterdam, dengan 200 ruangan pamerannya yang
  besar-besar itu, menghimpun, menyimpan, memelihara dan memamerkan
  kakayaan benda-benda sejarah dan seni Belanda. Juga terdapat
  benda-benda sejarah dan seni bangsa-bangsa Asia disitu.*



*Jumlah benda-benda sejarah dan seni yang dipamerkan di Musium Kerajaan bejumlah sekitar***1 juta buah***. Termasuk lukisan ***Rembrandt*** yang terkenal***“DE NACHTWACHT”.***Juga lukisan-lukisan terkenal lainnya seperti karya pelukis ***Johannes Vermeer, Jan Steen***dll. Luar biasa! Tidak cukup seminggu waktu untuk bisa melihatnya secukupnya.*



** * **


  *Hari Sabtu dan Minggu, 11 dan12 Mei, 2013, Belanda mengadakan
  “Nationale Molendag”. “Hari Kincir-angin Nasional”. Suatu cara
  tradisionil yang pandai dan santai untuk memperkuat “history-minded”,
  rasa identitas bangsa Belanda dan memupuk rasa kebersamaan dan
  kebangsaan. Sekaligus untuk mengenal perikehidupan bangsa dalam
  sejarahnya.*



*Hari-hari itu memberikan kesempatan jang jarang bagi warga Belanda, tua dan muda, juga untuk orang asing yang tinggal di Belanda maupun para turis, untuk menyaksikan “pabrik kecil” yang digunakan berabad-abad lamanya oleh nenek-moyang mereka untuk menggiling gandum dan lain-lain bijian. Juga untuk menyalurkan air bagi kepentingan pertanian. Kincir angin memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Belanda sejak dulu.*



** * **



*Beberapa tahun yang lalu, Murti, bersama seorang kemenakan kami yang kebetulan sedang berkunjung ke Belanda, diajak oleh sahabat lama kami Dr Joop Spijker dan istrinya, Tinneke, berjalan-jalan ke sebuah “desa-sejarah” tidak jauh dari Leeuwarden. Dalam kesempatan itu kami melihat-lihat sebuah “kincir-angin” yang masih 'bekerja' dengan angin sebagai sumber-dayanya. Sangat menarik. Betapa cerdiknya rakyat Belanda dimasa lalu memanfaatkan tenaga angin untuk mengabdi kehidupan ekonomi mereka. *



*Sekarangpun tenaga angin di Belanda secara berangsur-angsur dan semakin banyak dimanfaatkan untuk memproduksi tenaga listrik. Jadilah yang dinamakan “tenaga listrik bersih”. Tidak menggunakan bahan bakar yang menimbulkan polusi. *



*Pernahkah terfikir oleh pembaca, berapa banyak jumlah Kincir-angin di Belanda? Menakjubkan! -- Tidak kurang dari 900 buah bangunan kincir-angin yang dari jauh mudah dikenal. Bangunannya spesifik Holland dan tampak tidak kalah indah dengan bangunan lainnya. Malah dikota-kota penting seperti Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, Utrecht, Nijmegen, Maastricht, Leiden, Gronigen, Leeuwarden dan banyak kota lainnya, kita akan selalu menjumpai bangunan kincir angin yang berdiri di situ menambah keindahan pemandangan kota. *



*Pada hari “Nationale Molendag” para pengelola kincir-angin yang tersebar di seluruh negeri, membuka pintu kincir-angin mereka untuk dikunjungi masyarakat yang luas. Kecuali dengan indahnya menghiasi pemandangan di pedesaan, kincir-angin adalah benda sejarah yang dilindungi dan dipelihara baik di negeri ini. Bangunan serupa itu dikatagorikan sebagai “monumen nasional”. Telah didirikan pula banyak yayasan dan perkumpulan untuk mengelolanya. Yang dibantu oleh ratusan sukarelawan. *



*Perhatian masyarakat terhadap pemeliharaan kincir-angin merupakan salah satu indikasi bagaimana bangsa ini menghargai dan memelihara salah satu bangunan “monumen nasional” mereka. Tetapi juga merupakan suatu usaha untuk menanamkan semangat yang 'history minded' terutama di kalangan generasi baru. *



*Dewasa ini di sementra daerah di Belanda, di sekitar Kincir-angin yang tampak kuno itu, dibangun daerah parawisata yang mutakhair. Dengan demikian sambil bersantai mengingatkan kembali perjalanan sejarah bangsa.*



*Masyarakat Belanda belakangan ini tampaknya semakin besar perhatiannya terhadap kincir-kincir angin yang merupakan “benda sejarah” dan sering merupakan salah satu “logo” dari negeri Belanda. Timbullah prakarsa untuk mendirikan “Akademi Kincir-angin”, “De Hollandsche Molen Academie”. Pemrakarsanya adalah “Vereniging De Hollandsche Molen”. Akan dimulai tahun ini. Dari Akademi ini akan diorganisasi pelbagai pertemuan yang meliputi skla luas.Pertemuan-pertemuan itu memfokuskan pada pelimpahan pengetahuan, memberikan inspirasi, memperbesar ketrampilan dan jaringan-kerja.*



** * **



*Demikianlah, . . . . weekend ini, kalau berkenan, kita bisa bersantai mengunjungi salah satu “kincir-angin” Belanda, --- sambil sedikit-sedikit mengenal sejarah Belanda. Mengikuti salah satu acara dalam rangka memperingati “Nationale Molendag” yang ke-41.*




** * **