Monday, January 20, 2014

Sekitar “NOMINASI OSCAR” Film "THE ACT O F KILLING” – “JAGAL”

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 18 Januari 2014
------------------------------

Sekitar “NOMINASI OSCAR” Film
"THE ACT O F KILLING” – “JAGAL”

Tadi malam aku “share” artikel yang ditulis sahabat karibku Max Lane di “Facebook”, sekitar nominasi Oscar Award untuk film karya Joshua Oppenheimer:”The Act of Killing”. Pada bulan Mei tahun lalu telah kutulis lagi kolom sekitar film “The Act Of Killing”, bagaimana tanggapan a.l media Belanda (De Volkskrant). Tulisan tsb dikutip kembali di bawah ini.

Respons Sutradara/Produser film, Joshua Oppenheimer, terhadap nominasi a.l. Sbb:

Diplihnya film Jagal dalam nominasi piala Oscar adalah sebuah kehormatan besar bagi kami, para awak film Indonesia karena hal ini adalah sebuah pengingat atas segala yang terlupakan dan disembunyikan sepanjang sejarah gelap kemanusiaan.

“Di Indonesia, kami berharap bahwa nominasi ini menjadi pengingat bagi khalayak luas bahwa kebenaran belum lagi diungkapkan, keadilan belum lagi ditegakkan, permintaan maaf belum lagi dikatakan, korban belum direhabilitasi--apalagi mendapatkan kompensasi. Diskriminasi terhadap para penyintas dan keluarga korban masih berjalan, sementara sejarah yang diajarkan di sekolah masih bungkam mengenai kekejaman--bahkan menggambarkan pembantaian yang kejam terhadap mereka yang dituduh komunis itu sebagai perjuangan heroik. Semoga nominasi ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu arsitek pembantaian massal masih mungkin akan diangkat sebagai pahlawan nasional tahun ini.

Semoga film ini dan nominasinya mengingatkan kita semua bahwa semua hal tersebut dibuat agar rakyat menjadi lumpuh dalam ketakutannya, sehingga rakyat banyak tak berani dan tak bisa berbuat banyak untuk menggugat korupsi yang menjalar ke seluruh penjuru di segala bidang.

Kami berharap nominasi ini akan mengingatkan kita, umat manusia di dunia, untuk selalu melawan lupa.

* * *

Max Lane menutup artikelnya dengan analisis dan anjuran penting bagi pembca sbb:
Menjawab pertanyaan ini ( . . bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri seperti Indonesia?) mungkin pekerjaan yang akan digarap di film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di Indonesia.

“Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING), menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia - jangan lupa, kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..



* * *
Di bawah ini, adalah artikel Max Lane selengkapnya:
Film JAGAL (THE ACT OF KILLING)
Oleh Max Lane, 17 Jan 2014

Film JAGAL (THE ACT OF KILLING) yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer bersama Anonymous sudah masuk daftar nominasi untuk Academy Award. Saya tidak percaya kepada penghargaan-penghargaan seperti itu, tetapi saya berharap fim ini akan menang. Kalau menang profil film ini dan pesan-pesannya akan lebih membesar dan akan menjangkau penonton lebih luas.

Film ini memperlihatkan dengan sangat tajam dan hidup, serta tepat dan benar, sifat lumpen dari elit yang berkuasa di Indonesia sejak kontra-revolusi 1965. Secara meyakinkan film ini membuktikan kebenaran berbagai kesaksian dari korban kekerasan 1965-68 tentang pembunuhan, banjir darah dan kekejaman yang mereka alami. Film ini membuktikannya dengan cara menyajikan pengakuan dari para pembunuh itu sendiri. Orang-orang yang bersolidaritas dan bersimpatipun dengan para korban mungkin terkadang berpikiran bahwa para korban melebih-lebihkan ceritanya – ternyata tidak.

Tetapi mungkin yang lebih penting ialah bahwa film ini dengan tajam menggambarkan betapa majoritas elit yang berkuasa sejak 1965 sampai hari ini bersifat lumpen. Gambaran realitas ini adalah sangat penting karena membuat semakin jelas bagi kita bahwa perubahan progresif di Indonesia harus datang dari luar elit ini, dan justeru akan bertentangan dengan mereka. Perubahan harus dimotori oleh kekuatan baru dan segar dari bawah. Dahsyatnya sifat lumpen – kebrutalan dangkal dan ketiadaan-kemanusiaan – kadang-kadang tampil seolah-olah “surreal” (seolah-olah dari sebuah dunia ghaib) tetapi yang digambarkan bukan adegan dari dunia ghaib melainkan dari atas bumi ini. Ini adalah kehebatan dari film ini: sutradaranya bisa menemui dan kemudian menggambarkan keghaiban yang nyata ini dengan menyakinkan. Kehebatan kedua dari film dan sutradaranya ialah bahwa mereka bisa menemukan dan kemudian bisa merebut sebuah kedekatan dengan para penjagal-penjagal di film ini – ini sebuah kesanggupan antropologis yang harus sangat dihargai.

Kelemahan atau keterbatasan dari filmnya ialah bahwa tidak ada penjelasan ataupun petunjuk simbolispun tentang bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri seperti Indonesia? Asal-usul, sebab atau ‘bagaimana’nya juga merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas dalam menggambarkannya. Tetapi keterbatasan ini mungkin juga adalah hasil tak terhindarkan dari proyek film yang memang fokus secara mendalam dalam menggambarkan satu aspek dari semua proses, yaitu mentalitasnya manusia yang menjadi alat dari elit lumpen yang sedang dan sudah merebut kekuasaan.

Tak apa. Menjawab pertanyaan ini mungkin pekerjaan yang akan digarap di film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di Indonesia.

Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING), menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia - jangan lupa, kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..

* * *

Di bawah ini a.l di Kolom Ibrahim Isa yang ditulis pada 23 Mei 2013, sbb:
Film Dokumenter “THE ACT OF KILLING”

Tiap hari Kemis, salah satu s.k nasional Belanda yang terbesar, “de Volkskrant”, memuat resensi film-film baru.

* * *

Terdapat enam halaman penuh rubrik resensi film tsb. Antara lain megomentari film thrilleryang dibintangi a.l oleh Robert Redford, “The Company You Keep”. Film itu diberi nilai 3 bintang. Tapi, film cerita-dokumentar produksi Joshua Oppenheimer, “The Act of Killing”, diberi nilai lima bintang. Dan jumlah ruangan bioskop yang mentayangkannya ada – 75. Film dengan Robert Redford sebagai peran utama itu diputar hanya di 5 ruangan zaal (ruangan cinema).

Penulis resensi “The Act of Killing”: Bor Beekman, memberitakan bahwa film “The Act of Killing” sudah dipertunjukkan awal tahun ini di sebuah festival film international “Movies That Matter”” , “Film yang berbobot”. Resensi yang ditulisnya singkat saja. “Not bad”, kata orang Inggris.
* * *

Film “The Act of Killing” telah menggondol banyak Award international . Antara lain: “Panorama Audience Award” dan “Prize of the Ecumenical Jury” di Festival Film International Berlin.

Di Festival Dokumenter Madrid baru-baru ini “The Act of Killing” merebut kemenangan ganda, memperoleh “Jury Award” dan “Audience Award” sebagai film cerita-dokumenter terbaik.

Menarik untuk mengetahui bahwa film “The Act of Killing” diputar sedikitnya di 13 kota Belanda, seperti Amsterdam, Breda, Den Bosch, Den Haag, Deventer, Groningen, Haarlem, Hoorn, Maastricht, Nijmegen, Rotterdam, Tilburg dan Utrecht. Dan itu semua di bioksop umum.

Coba bandingkan dengan negeri kita, Indonesia. “The Act of Killing”, yang telah menjadi buah bibir (pujian) publik internasional . . . . di Indonesia masih belum bisa diputar terbuka untuk umum. Menurut infornasi yang bisa diandalkan, untuk mempertunjukkannya terbuka dimuka umum, harus melewati PANITIA SENSOR. Bisa dipastikan bila diajukan kepada Panitia Sensor, permintaan izin merilis film “The Act of Killing”, itu bisa nyangkut di situ. Dan entah berapa lama harus menanti sampai izinnya keluar.

* * *

Kiranya banyak yang sudah mendengar, meliha sendiri atau membaca bagaimana isi ceritera film dokumenter “The Act of Killing”.

Baik kita baca ringkasan yang dimuat oleh salah sebuah media mancanegara. Dokumenter ini adalah wawancara dari sejumlah pelaku pembunuhan orang-orang PKI, diduga atau sipatisan PKI. Kejadian itu berlangsung di tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.

* * *

“Begitu PKI dibubarkan oleh TNI tahun 1965, Anwar Congo dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.



“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.

“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.

“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.

Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.

“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.

“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”
“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.

“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.

“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.

“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.

“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.

“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.

* * *


"BELAJAR KENAL” DENGAN IDE-IDE ROSA LUXEMBURG (1)

Kolom IBRAHIM ISA
 Kemis, 16 Januari 2014
--------------------------------

"BELAJAR KENAL”  DENGAN
IDE-IDE ROSA LUXEMBURG (1)

* * *
Sering kedengaran, terutama dari kalangan aktivis dan simpatisan gerakan Sosialis dan gerakan menunut hak-sama kaum perempuan dengan kaum priya: SIAPA TIDAK KENAL ROSA LUXEMBURG, Mantan Presiden Sukarno, Bapak Bangsa Indonesia, mengagumi dan sering mengutip Rosa Luxemberg.

Belakangan muncul beberapa tulisan tentang ROSA LUXEMBURG, dalam rangka mengenangnya sebagai seorang pejuang revolusioner Marxis. Tanggal 15 Januari kemarin, adalah ultah ke-94 meninggalnya (15 Januari 1919), ROSA LUXEMBURG, tokoh pimpinan revolusioner Marxis Jerman, salah seorang pendiri Partai Komunis Jerman. Ia ditangkap dan diteror oleh penguasa reaksioner Jerman ketika itu. Rosa Luxemburg berusia 49th ketika ia meninggal.

* * *

Dari kegiatannya sebagai seorang revolusioner Sosialis-Marxis, dan tulisan-tulisannya, Rosa Luxemburg menjadi terkenal dan menjadi salah satu sumber inspirasi dan semangat juang kaum Sosialis dan Marxis di banyak negeri.

Setelah membaca Kolom MENGENANG PEJUANG REVOLUSIONER ROSA LUXEMBURG, seorang sahabat tertarik dan ingin tahu lebih banyak tentang Rosa Luxemberg. Diajukannya pertanyaan: Apa persamaan dan beda, antara Rosa Luxemberg dan V.I. Lenin, pemimpin Revolusi Oktober Rusia, yang menghasilkan berdirinya Uni Sovyet (Oktober 1917).

Suatu pertanyaan yang menarik! Bagi yang menaruh perhatian pada perjuangan kaum Marxis periode itu. Ada juga yang tertarik karena perhatiannya terhadap sejarah perjuangan kaum Kiri. Ada yang karena hasrat ingin belajar dari pengalaman perjuangan kaum Kiri, kaum Marxis di waktu lalu.

* * *

Betul, di Indonesia ada satu ketetapan MPRS, TAP MPRS No XXV, 1966, yang melarang kehadiran apalagi mempelajari Marxisme. TAP tsb belum dicabut, meskipun banyak tuntutan untuk menghapuskan TAP tsb. Namun, karena TAP tsb bertentangan dengn hak azasi manusia, bertentangan dengan Pancasila, maka TAP MPRS tsb tidak punya legitim, tidak digubris masyarakat, Nyatanya setelah jatuhnya Presiden Suharto entah berapa ratus  tulisan dan buku mengenai Marxisne yang telah diterbitkan di Indonesia. Dan Kejaksaan Agung tidak punya nyali untuk melarangnya.

* * *

Kedua tokoh revolusioner Marxis tsb: Rosa Luxemburg dan Vladimir I .Lenin, hidup dalam periode menjelang dan sesudah Perang Dunia I di Eropah.

Kedua pemimpin gerakan Marxis di Eropah ketika itu, Rosa Luxemburg (Jerman) dan Ilyitch Lenin (Rusia), pertama kali bertemu dalam tahun 1901. Mereka lebih saling mengenal pada periode ketika berkobarnya pemberontakan revolusioner di Rusia dan Eropah Timur (1905-1906).


Dalam perjuangan aktuil, Luxemburg dan Lenin menjalin setiakawan, dan saling mendengar pendapat masing-masing. Dalam proses selanjutnya ternyata pandangan mereka tidak sepenuhnya sama mengenai pemahaman dan penerapan teori Marxis, mengenai strategi dan taktik perjuangan. Demikian juga mengenai masalah kongkrit pembangunan partai revolusioner dan masalah kongkrit demokrasi dalam masyarakt dan demokrasi dalam organisasi revolusioner.


Ketidak-samaan pandangan dan pantrapan Marxisme dan masalah-masalah kongktit situasi dan perjuangan, sedemikian mendalamnya sehingga mereka terlibat dalam polemik yang sengit. Namun demikian mereka tetap saling simpati.


* * *
Sebagai misal, mengeni masalah nasionalisme, khususnya di negeri-negeri jajahan. Luxemburg memperingatkan Lenin, bahwa nasionalisme burjuis yang terdapat di negeri-negeri jajahan punya pengaruh negatif (perpecahan) di kalangan gerakan buruh setempat. Sedangkan Lenin menarik garis perbedaan yang jelas antara nasionalisme di negeri penindas dengan nasionalisme di negeri-negeri terjajah. Lenin berpendapat bahwa, Nasionalisme kaum penindas, termasuk imperialisme, harus dilawan. Sedangkan Nasionalisme di negeri-negeri terjajah yang berjuan demi hak menentukan nasib sendiri, untuk merdeka, --- harus disokong.


Soal lainnya. Mengenai IMPERIALISME.
Meskipun dalam karya mereka masing-masing, Luxemburg dalam “Akumulasi Kapital”, dan Lenin dalam “Imperialisme Tingkat Tertinggi Kapitalisme”, mereka menilai sama, bahwa sistim imperialisme inheren dengan politik dan tindakan imperialis dan kekerasan, Namun, bertentangan dengan Lenin, Luxemburg tidak melihat imperialisme sebagai tingkat tertinggi kapitalisme, atau sebagai sesuatu yang muncul pada akhir abad ke-19, yang disebabkan oleh konsolidasi korporasi-korporasi multinasional di bawah pengaruh kapital finans.
Karena hal itu telah ada sebagai suatu bagian yang integral dari kapitalisme sejak semula.( Lihat Paul Blanc)


* * *
Masalah Organisasi:
Perbedaan besar lainnya adalah masalah organisasi revolusioner. Luxemburg tidak sependapat dengan orientasi organisai Lenin tentang masalah organisasi. Luxemburg mengeritik karya Lenin “Selangkah Maju, Dua Langkah Mundur', yang menjelaskan perpecahan yang terjadi antara kaum Bolsjewik dan Mensjewik di dalam Partai Buruh Sosial Dempokrat Rusia (PBSDR). Luxemburg menunjuk pada orientasi ultra-sentralis dan otoriter, yang berusaha untuk menjamin “kemurnian revolusioner”. Halmana akan mengarah berubahnya organisasi revolusioner menjadi suatu sekte yang tidak relevan.


Namun pada tahun-tahun 1905-1906, berhubung perubahan situasi dengan meletusnya pergolakan dan pemberontakan revolusioner di Rusia, Rosa Luxemburg mengubah pandangannya. Ia malah membela kaum Bolsjewik terhadap kritik-kritik yang diajukan oleh kaum Mensjewik, Kritik kaum Mensjewik tsb serupa dengan kritik-kritik yang diajukan oleh Luxemburg terhadap Lenin. Tetapi Luxemburg tetap menentang perpecahan yang terjadi di dalam PBSDR. Dan menganjurkan persatuan kembali.

Meletusnya Perang Dunia I serta kemenangn Revolusi Rusia di bawah pimpinan Partai Bolsjewik (yang dengan bersemangat dibela mati-matian oleh Luxemburg), -- telah membuka fase baru dalam pemikiran Luxemburg. Ini termanifesasi dalam sikapnya ambil bagian dalam didirikannya Patai Komunis Jerman pada awal 1919.

* * *

Analisis dan pandangan Rosa Luxemburg megnenai situasi kongkrit perjuangan dan selanjutnya, dapat ditelusuri dalam salah satu tulisannya, dimana a.l ia menyatakan, sbb:

Di satu fihak kita memiliki massa, di fihak lain, tujuan historisnya, yang terletak di luar masyrakat yang ada sekarang ini. Di satu fihak kita ada di tengah-tengah perjuangan aktual sehari-hari. Di segi lainnya, revolusi sosial. Demikian syarat-syarat dialektika pertentangan, melalui fase mana gerakan sosialis merintis jalannya.

Artinya gerakan ini bisa maju dengan baik dengan secara tepat bersikap terhadap dua bahaya, yang selalu dihadapinya. Satunya, ialah, hilangnya sifat massa luas; di segi lainnya, ditinggalkannya tujuan cita-cita yang hendak dicapainya. Satunya, ialah bahaya tenggelam kembali menjadi suatu sekte; lainnya, ialah bahaya menjadikannya suatu gerakan “reform sosial burjuis.

Menelaah situasi gerakan sosialis di pelbagai negeri dewawa ini, serta perkmbangannya, perbedaan-perbedaan strategi dan taktiknya serta keadaan kongkrit gerakan, dukungan masyarakat dan kemungkinan perkembangannya. . .. ANALISIS DAN PANDANGAN KE DEPAN ROSA LUXEMBURG mengenai GERAKAN SOSIALIS DUNIA .. . . MERUPAKAN SUATU RAMALAN YANG MENDEKATI KEBENARAN .

raian Paul Le Blanc, di Universitas Wuhan, 20-22 Okober, 2012).



MENGENANG PEJUANG REVOLUSIONER ROSA LUXEMBURG (05 -03 1871 - 15-01- 1919)

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 14 Januari 2014
------------------------------


MENGENANG PEJUANG REVOLUSIONER
ROSA LUXEMBURG (05 -03 1871 - 15-01- 1919)
-------------------------------------------------------


ROSA LUXEMBURG, seorang PEJUANG REVOLUSIONER, politikus, filsuf, Marxis, bersama Klara Zetkin dan Karl Libkkencht, dll, adalah para pemimpin revolusioner gerakan Buruh dan Sosialis - Maxis di Eropah Barat pada periode menjelang dan sesudah Perang Dunia II.

Pada malam 15 Januari 1919, Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht ditangkap oleh penguasa reaksioner, diinterogasi di Edenhotel Berlin, dekat Tiergarten, dan dibunuh.

Jenazah Rosa Luxemburg dibuang di kanal Landwehrkanaal. Di kanal ini pada minggu-nminggu berikutnya ratusan aktivis dan pejuang gerakan Sosisalis – Kiri (Spartakus) dibunuh dan dibuang.

Baru pada tanggal 19 Juni 1919, jenazah Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht dimakamkan di Pemakaman Zentralhriedhof di Berlin-Friederischfelde.

* * *

Bung Karno, seperti yang diuraikannya di dalam brosur “POKOK-POKOK AJARAN MARHAENISME. Menurut Bung Karno”, dengan antusias menulis mengenai peranan Rosa Luxemburg a.l :

"Pemimpin-pemimpin seperti Rosa Luxemburg, seperti Henriette Roland Holst, Spiridanova, Wera Sasulitch, Wera F, Nadeshda Krupskaya, Katharina Brechskovsky dll, tidak memanggul bendera perempuan sendiri, tidak "mewakili" proletar perempuan sendiri, tetapi memanggul benderanya seluruh tentara proletar, berjuang dalam gelanggang seluruh tentara proletar mengomandoi seluruh tentara proletar". . .

Bung Karno banyak terinspirasi oleh tulisan-tulisan para pemimpin Sosialis-Komunis, seperti Rosa Luxemburg . .

Di “Facebook” hari-hari ini bisa kita baca ucapan Rosa Luxemburg yang historis a.l --

Marxism is a revolutionary world-outlook that must always struggle for new revelations“

Marxisme adalah suatu pandangan dunia yang selalu harus berjuang untuk mengungkap pengetahuan baru . .”

* * *

Akan menambah wacana dan pengetahuan pembaca, teristimewa generasi muda kita , yang menaruh perhatian pada ajaran-ajaran Sosialisme, untuk menelaah, membaca dan mempelajari karya-karya politik Rosa Luxemburg.

* * *

Sunday, January 19, 2014

DIALOG INTERAKTIF Di “FACEBOOK” Sekitar Skandal Kebudayaan Akademi Jakarta

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 11 Januari 2014
-------------------------------------

DIALOG   INTERAKTIF   Di   “FACEBOOK”
Sekitar   Skandal   Kebudayaan   Akademi   Jakarta
Kiranya tidak sedikit pembaca di media inernet yang belum sempat mengikuti berita-berita peristiwa SKANDAL KEBUDAYAAN 2013 yang disulut oleh “Akademi Jakarta”.
SKANDAL KEBUDAYAAN tsb terjadi dengan diambilnya tindakan oleh “Akademi Jakarta” yang telah “mencoret”, membatalkan nama penulis MARTIN ALEIDA, dari nama-nama calon yang diajukan oleh Dewa Juri untuk memperoleh Penghargaan Akademi Jakarta 2013.
Padahal Dewan Juri itu yang membentuknya adalah Akademi Jakarta.
* * *
Respons dari yang langsung bersangkutan, yaitu penulis Martin Aleida, terhadap kebijakan Akademi Jakarta itu, dan reaksi pelbagai fihak yang disampaikan, adalah a.l seperti di bawah ini:
Martin Aleida:
Persahabatan tulus yang Dolo . . . (Nama lengkapnya Dolores Sinaga, yg menyatakan a.l : “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.I.I.) . . .tunjukkan kepada saya lebih berharga dari penghargaan Akademi Jakarta yang anggotanya sudah begitu banyak yang mengundurkan diri. Ya, rupanya kesewenang- wenangan sedang dipahatkan di situ.


* * *
Sedangkan mantan anggota Akademi Jakarta, penulis Goenawan Mohammad, a.l merespons, sbb:
Membatalkan keputusan dewan juri yang mereka bentuk sendiri, Akademi Jakarta memang telah melakukan sesuatu yang tak patut.
* * *
Berikut di bawah ini sekadar catatan ringkas Dialog Interaktif yg berlangsung di “Facebook”. Disajikan untuk mempermudah pembaca mengikuti perkembangan peristiwa yang dinyatakan sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN DI PENGHUJUNG 2013.
* * *
IBRAHIM ISA :
MANIFESTASI KEBOBROKAN DAN KEBEJATAN
Pelaku: Akademi Jakarta (AJ)

* * *

Salah satu siaran di e-mail dan juga di Facebook tampil dengan berita mengenai peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Suatu SKANDAL kebudayaan. Pelakunya adalah sebuah lembaga di Jakarta bernama AKADEMI JAKARTA. Ketua Akademi Jakarta (AJ) adalah Taufik Abdullah.

Sekali tempo ada diberitakan bahwa Taufik Abdullah sebagai intelektuil budaya dan sastra, pernah “menganalisis” bahwa seorang penyair (dulunya Lekra) bernama Mawi Ananta Joni, sudah mengetahui sebelumnya akan meletusnya peristiwa yang kemudian terkenal sebagai G30S. Sungguh suatu “analisis” yang lebih banyak berbau fitnah ketimbang suatu hasil pemikiran seorang cendekiawan.. . . . Diberitakan bahwa Taufik Abdullah memperoleh gelar kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yoyakarta(1961). . . . .Bayangkan . . Taufik Abdullah adalah sarjana jurusan Sejarah dan Sastra & Budaya . . .

Yang ditulis di pers sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN itu pasalnya adalah “pembatalan” oleh Akademi Jakarta (AJ), atas keputusan Dewan Juri Memberikan Penghargaan AJ 2013 pada Martin Aleida , bersama seorang lagi, I Gusti Kompiang Raka. Tanpa penjelasan AJ menentukan I Gusti Kompiang dan membatalkan putusan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri, dan menolak Martin Aleida.

* * *

APA ITU YANG PASANG MÉRÉK -- “AKADEMI JAKARTA”
Akademi Jakarta (AJ) adalah suatu Dewan Kehormatan bagi Seniman dan Budayawan, juga sebagai Dewan Penasihat bagi Gubernur DKI Jakarta di bidang seni dan budaya. AJ didirikan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970 untuk jangka yang tidak ditentukan.

Rapat Dewan Juri yang diadakan pada tanggal 15 November 2013 di Kantor AJ di TIM, mengambil keputusan secara bulat memilih Martin Aleida sebagai penerima Penghargaan AJ 2013. Nah, keputusan bulat Dewan Juri yang memilih MARTIN ALEIDA sebagai penulis yang diberikan Penghargaan AJ 2013, inilah yang “dicoret”, “dibatalkan” secara sewenang-wenang tanpa alasan ataupun penjelasan apapaun.

Berhubung ulah-polah sementara piminan AJ yang berlawanan dengan “visi dan misinya”,maka konon, tahun 2011 Ignas Kleden pernah terdengar mau mengundurkan diri, tahun 2012 kabarnya Goenawan Mohamad telah mengundurkan diri. Dan yang lebih dahulu mengundurkan diri adalah Tatiek Malayati.

Dalam sebuah analisisis dinyatakan bahwa: .. “Aktualisasi pemberian Penghargaan AJ ini tidak memperlihatkan kepedulian pada pemikiran-pemikiran yang aspiratif dalam mendorong kesadaran masyarakat pada nilai-nilai sejarah, perlawanan, dan pembelaan atas pencapaian karya yang membawa pencerahan dalam perkembangan kesenian dan kebudayaan”.

Sesungguhnya dengan skandal yang dilakukannya itu pentolan-pentolan tertentu di AJ, seperti Taufik Abdulah dengan gamblang mencerminkan keboborokan dan kebejatan moral mereka.


* * *

Salah satu sumber media mengenai karya-karya MARTIN ALEIDA, a.l menulis:

Cerpen-cerpen karya Martin Aleida kerap mengangkat tema tentang kejadian-kejadian tahun 1965 dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman para korbannya. Kini Martin Aleida menjadi salah satu anggota dari Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.

* * *

Salah seorang kritikus sastra, cendekiawan budayawan bernama DR Katrin Bandel, dosen pada Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, menulis tentang penulis MARTIN ALEIDA, a.l sbb:

Di Indonesia masa kini spanduk bertuliskan “Waspadai Bahaya Laten Komunis” dan slogan sejenisnya tetap bermunculan di jalan-jalan raya. Media massa dan buku pelajaran kembali menggunakan singkatan “G30S/PKI”.



Sastra tampaknya sampai saat ini masih relatif bebas dari “penertiban” ideologis semacam itu. Tapi sampai kapan? Dan bagaimana kita mesti menilai kenyataan bahwa tema 65 begitu jarang dijadikan fokus utama dalam karya sastra Indonesia seperti yang saya katakan di awal tulisan ini? Sebagai tanda ketidakpedulian? Tanda ampuhnya brainwashing yang dilakukan Orde Baru? Atau sebagai tanda terjadinya usaha terselubung untuk mengesampingkan pelurusan sejarah?



Bagi saya karya-karya Martin Aleida sangat berarti sebagai bagian dari perjuangan melawan pemalsuan sejarah Indonesia yang terus berlangsung, sekaligus sebagai alternatif terhadap mainstream sastra Indonesia yang cenderung mengutamakan sensasi, seks, dan permainan bahasa tanpa makna dan tujuan yang jelas. Semoga karyanya tidak akan pernah mengalami penyensoran, dan mendapat penghargaan yang sepantasnya.***(cetak miring dan tebal, oleh I.I.)
* * *
Kesewenang-wenangan, kecerobohan tindakan Akademi Jakarta telah memperoleh kritik keras dari Dewan Juri yang pembentukannya adalah oleh AJ. Dewan Juri dengan tegas menyatakan bahwa AJ sepantasnya mensahkan pilihan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri. Bila AJ bersikeras dengan ksewenang-wenangananya maka Dewan Juri akan mengundurkan diri keseluruhannya, sebagai pernyataan protes keras.
Berikut ini a.l. Pernyataan Dewan Juri, sbb:
Kami menyadari bahwa kami diberi tugas sebagai juri, jadi kami melaksanakan tugas kami mengajukan dua nama tersebut sebagai penerima penghargaan. Jikalau Akademi Jakarta ternyata menganggap hanya boleh satu penerima penghargaan maka tim juri memilih sdr. Martin Aleida, karena nama inilah yang kami sepakati secara bulat sejak awal. Mengingat surat dari pihak AJ telah menetapkan pemberian penghargaan pada tanggal 28 Desember, kami memohon agar keputusan ini dikembalikan kepada pilihan awal kami yaitu sdr. Martin Aleida. Jika AJ menganggap pilihan kami tidak tepat, maka kita bersepakat untuk tidak sepakat dan dengan sangat menyesal tim juri mengundurkan diri dari ajang penghargaan ini dan meminta agar nama kami tidak dicantumkan sama sekali sebagai juri.
Semoga pihak AJ bisa saling menghormati keputusan kami. Terima kasih atas kerjasama dan perhatiannya.
 Hormat kami,

Sri Astari Rasjid (Ketua Juri)
Leila S. Chudori (Anggota Juri)
Ardjuna Hutagalung(Anggota Juri)
Marselli Sumarno(Anggota Juri)
Jamal D. Rahman (Anggota Juri)

* * *

Kasus penolakan, pencoretan nama penulis MARTIN ALEIDA sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2013, bukanlah semata-mata merupakan masalah pelanggaran terhadap hak seseorang penulis untuk memperoleh penghargaan sesusai keputusan Dewan Juri. Soalnya jauh l;ebih besar. Masaalahnya menyangkut pertanyaan sbb .. . . mau diarahkan kemana perkembangan sastra dan budaya kita?? Mau kembali ke periode rezim Orde Baru?

Tidakkah peristiwa skandal kebudayaan ini membangunkan, membangkitkan dan menggugah para sastrawan dan budayawan, jurnalis dan krtitikus sastra “kita” untuk meremungkan dalam-dalam dan mengambil sikap yang tegas. . . . melawan tindakan sewenang-wenang Akademi Jakarta terhadap penulis MARTIN ALEIDA.

Dengan demikian mendorong maju perkembangan sehat dan kritis kehidupan dunia sastra dan budaya kita.

* * *

Dolores Sinaga (Budayawan, Pematung-pemahat)
Awan Duka Di Dunia Kesenian dan Kebudayaan Menyeruak, --Penghargaan Akademi Jakarta Menuai petaka ---



RIMANEWS--Dunia Seni Sastra dan Budaya kita dewasa ini dirundung awan duka yang tebal dan berkepanjangan, kontroversi demi kontroversi menyeruak tiada henti.
Akademi Jakarta memberikan penghargaan kepada seniman tari I Gusti Kompiang Raka, akhir tahun lalu. Tetapi penghargaan ini menimbulkan polemik.Karena tim dewan juri yang ditugaskan memilih dan menentukan pemenang, mengajukan dua nama pemenang yakni Martin Aleida dan I Gusti Kompiang Raka. 
Keputusan Akademi Jakarta ini juga dipertanyakan oleh beberapa seniman, salah satunya Dolorosa Sinaga. “Buat apa ada dewan juri kalau mereka tidak melaksanakannya. Mereka melanggar etika dan bertindak sewenang-wenang,” ujar pematung ini kepada Tempo, Kamis malam, 9 Januari 2014.

Ketua Akademi Jakarta Taufik  Abdullah  menolak dikatakan sewenang-wenang. Menurutnya kewenangan juri hanya  memberi masukan  kepada Akademi Jakarta. "Mereka sebagai fungsi kontrol agar anggota Akademi Jakarta agar tidak memilih teman sendiri. Keputusan tetap pada kami," ujar Taufik ditemui usai rapat di kantor Akademi Jakarta, Jumat, 10 Januari 2014.


Kisruh pemberian penghargaan ini muncul setelah Akademi Jakarta yang diketuai sejarawan Taufik Abdullah menetapkan I Gusti Kompiang Raka. Mereka beralasan seniman Bali ini mempunyai prestasi lebih menonjol.


“Kami mengacu pada alasan yang dikemukakan tim juri juga, Kompiang sudah melahirkan ribuan anak didik selama lebih dari 45 tahun berkarya,” ujar salah satu anggota Akademi Jakarta, Ajip Rosidi kepada Tempo, Kamis, 9 Januari 2014. “prestasinya lebih meyakinkan.”

Keputusan ini membuat dewan juri yang meradang. Mereka mengajukan protes dan menuntut nama mereka tidak dicantumkan sebagai juri. Ketua tim juri, Sri Astari Rasjid mengatakan tugas juri yang diberi mandat untuk memilih pemenang, bukan calon pemenang. Dia menilai Akademi Jakarta menerabas kewenangan juri. 
Kami memberi dua nama yang menjadi juara, bukan untuk dipilih salah satu oleh Akademi Jakarta,” kata Astari, Kamis, 9 Januari 2014.
Astari menjelaskan awalnya tim juri memutuskan nama Martin Aleida, tetapi dalam rapat terakhir, anggota Akademi Jakarta Toeti Heraty mengatakan pemenang bisa lebih dari satu. Beberapa tahun lalu pemenang juga lebih dari satu nama. Akhirnya mereka mengajukan dua nama tersebut kepada Akademi Jakarta. Namun Martin ditolak.
Meskipun sudah diprotes, Akademi Jakarta tetap memutuskan satu nama, Kompiang Raka. Menurut Tim juri, jika Akademi Jakarta menginginkan satu nama, maka tim juri meminta dikembalikan pada keputusan awal mereka yakni Martin Aleida.
Kami tidak diajak berdiskusi, padahal kan bisa kalau dibahas lagi,” ujarnya.
Dalam surat balasan atas protes juri tertanggal 28 Desember 2013, Akademi Jakarta mengapresiasi kerja juri dan berkukuh tidak mengubah keputusannya. Mereka menilai Kompiang lebih layak menerima penghargaan dibanding Martin.
Menanggapi pembatalan sebagai penerima penghargaan, Martin menganggap hal ini tak lepas sebagai politisasi kebudayaan. Menurutnya hal ini terkait dengan aktivitas masa lalunya dan sikap Ajip yang membencinya.

Ajip juga menampik alasan Martin tak dipilih karena terkait aktivitas masa lalunya sebagai aktivis Lekra. “Tidak ada alasan kanan kiri, bagi saya yang penting kerjanya bener. Dia pernah jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta atas usul saya,” ujarnya. (Wrh/RM/tmp)




* * *
Martin Aleida:
Beribu terima kasih. Dolo. Persahabatan tulus yang Dolo tunjukkan kepada saya lebih berharga dari penghargaan Akademi Jakarta yang anggotanya sudah begitu banyak yang mengundurkan diri.
Ya, rupanya kesewenang- wenangan sedang dipahatkan di situ. Tabik
* * *
Roby Fuzi Apriansyah,
Meski tidak tercatat dalam buku "33 Tokoh Sastra Indonesia Berpengaruh" dan dibatalakan secara tidak adil dalam penghargaan "Akademi Jakarta 2013", Martin Aleida adalah tokoh penting dan pemenang bagi saya!!!



IBRAHIM ISA
TAUFIK ABDULLAH Dan AJIP ROSIDI

MASIH MAU PASANG MÉRÉK
 SASTRAWAN DAN SEJARAWAN??

* * *

Sebaiknya Taufik Abdullah dan Ayip Rosidi SEKALI INI TERUS TERANG SAJA DAN DENGAN JANTAN MENYATAKAN . ..

KAMI CORET NAMA MARTIN ALEIDA,
KARENA MARTIN . . . MAU MELURUSKAN SEJARAH. . .
KARENA MARTIN ORANG KIRI . ..
KARENA MARTIN TADINYA ORANG LEKRA,
TADINYA WARTAWAN HARIAN RAKYAT . . . DSB . ..

SEDANGKAN KAMI ANTI SEMUA ITU . . .
Kalau berani terus terang begitu kan tidak usah menempuh cara debat kusir . ..

Makin lama mereka berkepala batu --- benar-benar semakin menunjukkan kekolotan pandangan dan kebobrokan serta kebejatan moral dan etika . .

Tokh . .

Masih mau pasang merek sastrawan . . . sejarawan??




* * *
Adam Gottar Parra
TANGGUNG JAWAB MORAL-INTELEKTUAL TAUFIK ABDULLAH

Sejak SMA saya sudah membaca tulisan-tulisannya di majalah Tempo (di perpustakaan sekolah), kemudian beberapa bukunya di usia dewasa. Ketika bekas Direktur LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ini terpilih sebagai Ketua Akademi Jakarta (AJ) beberapa waktu lalu, saya pun ikut berbangga.

Oleh karenanya sungguh terkejut saya ketika cendekiawan sekelas Taufik Abdullah berhasil "ditundukkan" oleh Ajip Rosidi untuk membatalkan hasil keputusan Dewan Juri Anugerah Seni 2013 yang telah ditunjuknya bersama anggota AJ lainnya. Di mana tanggung-jawab moral dan intelektual seorang Taufik Abdullah? Hampir saja saya meragukan buku-buku yang telah ditulisnya.
Sebelum ini, salah satu intelektual Indonesia yang saya hormati adalah sejarawan Dr. Taufik




* * *
Goenawan Mohammad
Membatalkan keputusan dewan juri yang mereka bentuk sendiri, Akademi Jakarta memang telah melakukan sesuatu yang tak patut.

Tapi saya --karena sudah lama tak punya kontak dengan AJ -- belum dengar, apa alasan mereka tak mau memilih Martin Aleida, dan bagaimana respons mereka terhadap protes juri yang keputusannya danulir. Ada yang bisa bantu terangkan?

Ibrahim Isa
Ada yang semakin tua semakin berminyak . . . ada yang sebaliknya . . .tergantung pada naluri dan nurani masing-masing . . . that's life . . .
Saya pernah (beberapa tahun yang lalu) . . . . dalam satu diskusi berdialog dengan Ajip Rosidi di Universitas Amsterdam . .

Beliau bilang "Pancasila" itu MITOS . . Saya bilang negara kita ini Republik Indonesia. . landasan falsafahnya PANCASILA ...
Apa Republik Indonesia ini juga suatu mitos ??? . . . .

Waktu itupun Ayip belum bisa berfikir lurus, logis dan realis . . . Naluri dan nuraninya tidak di situ . . . tak peduli pernah jadi dosen di Jepang atau tidak . .

Atau malah . . . justru karena sudah pernah jadi dosen di suatu universitas di Jepang . . . fikirannya jadi macet seperti itu . . .

* * *
Adam Gottar Para:
Mas Goen salinan dokumen seputar proses seleksi penerima hadiah seni 2013 yang beredar di dunia maya sudah saya kirim dua hari lalu ke sejumlah Redaksi, dengan harapan akan menjadi berita, supaya ada titik-terang.

Tapi sampai hari ini rupanya belum ada koran yang mengangkatnya.

* * *
Irma Widyani
Semakin tua semakin berminyak, . . .sayangnya minyak jelantah.
* * *
Bilven Sandalista
Tembaklah, nyawa saya gratis!”
Kata-kata saya itu terlontar karena saya merasa sudah menjadi bagian dari ribuan orang kiri, yang buta huruf atau sadar politik, dibantai dihabisi di seluruh negeri.
Saya merasa sudah berada di dalam kubur bersama kewan-kawan saya yang malang, yang menghadap Tuhan dengan bekal pengabdian mereka kepada rakyat yang mereka bela. Mulialah kau kawan di alam baka. -- Martin Aledia.

Dian Sukma
Pembatalan penghargaan Sastra kepada Bapakku, adalah penundaan untuk sesuatu yang lebih besar lagi, dari pada penghargaan dari Akademi Jakarta....



Saturday, January 18, 2014

MANIFESTASI KEBOBROKAN DAN KEBEJATAN Pelaku: Akademi Jakarta (AJ)

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 09 Januari 2014
--------------------------------

MANIFESTASI KEBOBROKAN DAN KEBEJATAN
Pelaku: Akademi Jakarta (AJ)

* * *

Salah satu siaran di e-mail dan juga di Facebook tampil dengan berita mengenai peristiwa yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Suatu SKANDAL kebudayaan. Pelakunya adalah sebuah lembaga di Jakarta bernama AKADEMI JAKARTA. Ketua Akademi Jakarta (AJ) adalah Taufik Abdullah.

Sekali tempo ada diberitakan bahwa Taufik Abdullah sebagai intelektuil budaya dan sastra, pernah “menganalisis” bahwa seorang penyair (dulunya Lekra) bernama Mawi Ananta Joni, sudah mengetahui sebelumnya akan meletusnya peristiwa yang kemudian terkenal sebagai G30S. Sungguh suatu “analisis” yang lebih banyak berbau fitnah ketimbang suatu hasil pemikiran seorang cendekiawan.. . . . Diberitakan bahwa Taufik Abdullah memperoleh gelar kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yoyakarta(1961). . . . .Bayangkan . . Taufik Abdullah adalah sarjana jurusan Sejarah dan Sastra & Budaya . . .

Yang ditulis di pers sebagai SKANDAL KEBUDAYAAN itu pasalnya adalah “pembatalan” oleh Akademi Jakarta (AJ), atas keputusan Dewan Juri Memberikan Penghargaan AJ 2013 pada Martin Aleida , bersama seorang lagi, I Gusti Kompiang Raka. Tanpa penjelasan AJ menentukan I Gusti Kompiang dan membatalkan putusan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri, dan menolak Martin Aleida.

* * *

APA IYU YANG PASANG MEREK “AKADEMI JAKARTA”
Akademi Jakarta (AJ) adalah suatu Dewan Kehormatan bagi Seniman dan Budayawan, juga sebagai Dewan Penasihat bagi Gubernur DKI Jakarta di bidang seni dan budaya. AJ didirikan di Jakarta pada tanggal 24 Agustus 1970 untuk jangka yang tidak ditentukan.

Rapat Dewan Juri yang diadakan pada tanggal 15 November 2013 di Kantor AJ di TIM, mengambil keputusan secara bulat memilih Martin Aleida sebagai penerima Penghargaan AJ 2013. Nah, keputusan bulat Dewan Juri yang memilih MARTIN ALEIDA sebagai penulis yang diberikan Penghargaan AJ 2013, inilah yang “dicoret”, “dibatalkan” secara sewenang-wenang tanpa alasan ataupun penjelasan apapaun.

Berhubung ulah-polah sementara piminan AJ yang berlawanan dengan “visi dan misinya”,maka konon, tahun 2011 Ignas Kleden pernah terdengar mau mengundurkan diri, tahun 2012 kabarnya Goenawan Mohamad telah mengundurkan diri. Dan yang lebih dahulu mengundurkan diri adalah Tatiek Malayati.

Dalam sebuah analisisis dinyatakan bahwa: .. “Aktualisasi pemberian Penghargaan AJ ini tidak memperlihatkan kepedulian pada pemikiran-pemikiran yang aspiratif dalam mendorong kesadaran masyarakat pada nilai-nilai sejarah, perlawanan, dan pembelaan atas pencapaian karya yang membawa pencerahan dalam perkembangan kesenian dan kebudayaan”.

Sesungguhnya dengan skandal yang dilakukannya itu pentolan-pentolan tertentu di AJ, seperti Taufik Abdulah dengan gamblang mencerminkan keboborokan dan kebejatan moral mereka.


* * *

Salah satu sumber media mengenai karya-karya MARTIN ALEIDA, a.l menulis:

Cerpen-cerpen karya Martin Aleida kerap mengangkat tema tentang kejadian-kejadian tahun 1965 dengan penekanan pada pengalaman-pengalaman para korbannya. Kini Martin Aleida menjadi salah satu anggota dari Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.

* * *

Salah seorang kritikus sastra, cendekiawan budayawan bernama DR Katrin Bandel, dosen pada Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta, menulis tentang penulis MARTIN ALEIDA, a.l sbb:

Di Indonesia masa kini spanduk bertuliskan “Waspadai Bahaya Laten Komunis” dan slogan sejenisnya tetap bermunculan di jalan-jalan raya. Media massa dan buku pelajaran kembali menggunakan singkatan “G30S/PKI”.



Sastra tampaknya sampai saat ini masih relatif bebas dari “penertiban” ideologis semacam itu. Tapi sampai kapan? Dan bagaimana kita mesti menilai kenyataan bahwa tema 65 begitu jarang dijadikan fokus utama dalam karya sastra Indonesia seperti yang saya katakan di awal tulisan ini? Sebagai tanda ketidakpedulian? Tanda ampuhnya brainwashing yang dilakukan Orde Baru? Atau sebagai tanda terjadinya usaha terselubung untuk mengesampingkan pelurusan sejarah?



Bagi saya karya-karya Martin Aleida sangat berarti sebagai bagian dari perjuangan melawan pemalsuan sejarah Indonesia yang terus berlangsung, sekaligus sebagai alternatif terhadap mainstream sastra Indonesia yang cenderung mengutamakan sensasi, seks, dan permainan bahasa tanpa makna dan tujuan yang jelas. Semoga karyanya tidak akan pernah mengalami penyensoran, dan mendapat penghargaan yang sepantasnya.***(cetak miring dan tebal, oleh I.I.)



* * *



Kesewenang-wenangan, kecerobohan tindakan Akademi Jakarta telah memperoleh kritik keras dari Dewan Juri yang pembentukannya adalah oleh AJ. Dewan Juri dengan tegas menyatakan bahwa AJ sepantasnya mensahkan pilihan Dewan Juri yang dibentuknya sendiri. Bila AJ bersikeras dengan ksewenang-wenangananya maka Dewan Juri akan mengundurkan diri keseluruhannya, sebagai pernyataan protes keras.



Berikut ini a.l. Pernyataan Dewan Juri, sbb:


Kami menyadari bahwa kami diberi tugas sebagai juri, jadi kami melaksanakan tugas kami mengajukan dua nama tersebut sebagai penerima penghargaan. Jikalau Akademi Jakarta ternyata menganggap hanya boleh satu penerima penghargaan maka tim juri memilih sdr. Martin Aleida, karena nama inilah yang kami sepakati secara bulat sejak awal. Mengingat surat dari pihak AJ telah menetapkan pemberian penghargaan pada tanggal 28 Desember, kami memohon agar keputusan ini dikembalikan kepada pilihan awal kami yaitu sdr. Martin Aleida. Jika AJ menganggap pilihan kami tidak tepat, maka kita bersepakat untuk tidak sepakat dan dengan sangat menyesal tim juri mengundurkan diri dari ajang penghargaan ini dan meminta agar nama kami tidak dicantumkan sama sekali sebagai juri.
Semoga pihak AJ bisa saling menghormati keputusan kami. Terima kasih atas kerjasama dan perhatiannya.

Hormat kami,

Sri Astari Rasjid (Ketua Juri)
Leila S. Chudori (Anggota Juri)
Ardjuna Hutagalung(Anggota Juri)
Marselli Sumarno(Anggota Juri)
Jamal D. Rahman (Anggota Juri)

* * *

Kasus penolakan, pencoretan nama penulis MARTIN ALEIDA sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2013, bukanlah semata-mata merupakan masalah pelanggaran terhadap hak seseorang penulis untuk memperoleh penghargaan sesusai keputusan Dewan Juri. Soalnya jauh l;ebih besar. Masaalahnya menyangkut pertanyaan sbb .. . . mau diarahkan kemana perkembangan sastra dan budaya kita?? Mau kembali ke periode rezim Orde Baru?

Tidakkah peristiwa skandal kebudayaan ini membangunkan, membangkitkan dan menggugah para sastrawan dan budayawan, jurnalis dan krtitikus sastra “kita” untuk meremungkan dalam-dalam dan mengambil sikap yang tegas. . . . melawan tindakan sewenang-wenang Akademi Jakarta terhadap penulis MARTIN ALEIDA.

Dengan demikian mendorong maju perkembangan sehat dan kritis kehidupan dunia sastra dan budaya kita.

* * *

Perhimpunan Persaudaraan INDONESIA Di Nederland Menyambut Dan Merayakan TAHUN BARU 2014

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 06 Januari 2014
-------------------------

Perhimpunan Persaudaraan INDONESIA Di Nederland
Menyambut Dan Merayakan TAHUN BARU 2014

* * *

Seolah-olah yang berkuasa mengatur cuaca di negeri Belanda ini, mengetahui dan merestui diselenggarakannya PERAYAAN TAHUN BARU 2014, yang diadakan oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland. . . . . . . . . . .

Nyatanya hari Minggu kemarin itu hari cerah. Tiada hujan – tiada angin yang biasa bertiup kencang pada musim dingin. Dengan demikian bagi mereka-mereka yang menggunakan kendaraan umum tidak usah khawatir akan kehujanan dan tidak perlu menyandang payung . . .

Sungguh suatu sukses besar! . . Pertemuan yang dilangsugkan di ruang pertemuan umum Aula “De Drecht”, di Holendrecht, Amsterdam, dihadiri oleh lebih dari 150 undangan. Mereka terdiri dari yang senior, yang setengah baya, yang muda-muda, anak-anak termasuk yang masih bayi.

Mungkin ada yang mengatakan, pertemuan itu itu adalah kumpul-kumpulnya ''masyarakat diaspora Indonesia”. Mereka berdatangan dari Utrecht, Zeist, Den Haag, Rotterdam, Rosendaal, Purmerend, Amsterdam, dan tempat-tempat laiinya . . . . . dan juga dari Dortmund (Jerman). Nama “diaspora Indonesia” , sesunguhnya baru-baru ini saja dikenal dan dibaca orang. Masyarakat Indonesia, termasuk orang-orang Belanda, yang beristrikan orang Indonesia, yang berkumpul kemarin itu, adalah yang diundang oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia. . .

Masih ingat kan . . . 15 Desember tahun y.l. Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland merayakan hari ultah mereka yang ke-25. Masyarakat itu sudah berdiri seperempat abad yang lalu. Dan kegiataannya meliputi terutama kegiatan budaya, saling bantu, kepedulian terhadap tanah air dan bangsa. Serta kegiatan sosial lainnya. Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland berdiri, ketika ratusan orang-oran Indonesia – – – paspor mereka dengan sewenang-wewenang dicabut oleh penguasa militer di Jakarta. Atas tuduhan yang dibuat-buat dan sepenuhnya melanggar hak kewarganegaran mereka-mereka itu.

Memang, Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland didirikan terutama atas inisiatif dan oleh warga Indonesia yang “terhalang pulang”. . . Namun, dalam proses selanjutnya organisasi Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland, meliputi dan mencakup warga Indonesia dari berbagai penjuru tanah air dengan masing-masing keyakinan politiknya yang berbeda-beda. Yang meskipun berada di luarngeri namun, tetap merasa orang Indonesia dan mengkhayati serta punya kepedulian besar terhadap perkembangan dan nasib bangsa dan tanah air Indonesia.

* * *

Sambutan Pengurus Perhimpunan Persaudaraan TAUFIK TAHRAWI

Dalan kata sambutannya, Taufik Tahrawi a.l menyatakan:

. . bagi kita yang berdomisili secara terpisah di berbagai kota dan berkegiatan berbeda, pertemuan seperti ini adalah satu sarana yang baik, untuk saling bertermu, bersilaturahmi, memperat persahabatan dan persaudaraan. Kami mengartikan pertemuan seperti ini sudah merupakan satu kebutuhan dan tradisi yang baik, usahakanlah terus agar ada kesinambungannya.

Tahun 2013 telah berlalu, sekarang kita menyongsong tahun 2014, dengan segala harapan terbaik untuk kita semua, semoga kesehatan bisa kita pertahankan agar kita bia terus berkreasi, bisa mencapai sukses-sukses baru dengan penuh inspirasi, semoga ada ketentraman, semoga ada ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan.

Rakyat Indonesia menyongsong datangnya Tahun Baru 2014 penuh dengan tantangan, sehubungan dengan akan diadakannya pemilu legislatif dan pemilihan Presiden dan wakil Presiden secara langsung.

Bangsa Indonesia sudah sangat kecewa dengan situasi seperti sekarang ini. Pemilu-pemilu nasional yang pernah dilaksanakan selama ini yang penuh dengan berbagai reklame dan pompositet, pemenangnya dalam praktek sampai sekarang tidak mendatangkan perubahan yang menguntungkan masyarakat luas, kecuali kelompok elit korup.

Aspirasi rakyat adalah, Indobesia yang demokratis dengan pemerintah yang bisa mengayomi rakyatnya, mensejahterakan, memakmurkan, memberi keadilan, kedamaian, ketenteraman, tidak diskriminatif dan menghargai hak-hak azasi manusia.

Mudah-mudahan aspirasi rakyat tsb bisa terwudjutkan kalau pemilu dilaksanakan dengan jujur, bersih, transparan, tanpa intimidasi, tanpa pemalsuan, tanpa praktek uang dan manipulasi, sehingga rakyat bisa dengan bebas memilih calon yang dikehendakinya, yang bisa memberi harapan untuk tercapainya aspirasinya .

Pertanyaannya apakah cara ini bisa betul mencapai aspirasi rakyat tersebut? Ini adalah pertanyaan mendasar yang belum bisa terjawab.”

Taufik Tahwawi menutup sanmbutannya dengan kata-kata berikut ini:

Pada kesempatan ini, kami juga sangat berterima kasih atas jerih-payah semua pihak yang telah bekerja sepenuh hati, untuk bisa terselenggaranya pertemuan ini. Trima kasih banyak juga kami sampaikan kepada adik-adik, saudara-saudari para penari-penyanyi , yang menyumbangkan berbagai pertunjukkan untuk memeriahkan acara kita.

Kunci dari acara memeriahkan pertemuan kita dengan moto “Dari kita untuk kita”, adalah adanya partisipasi yang luas, dari para hadirin untuk mengisi acara dan memeriahkannya, dengan umpamanya ikut menari, menyumbang nyanyi, ikut menyumbang sajak, dll.

Untuk komunitas kita, dalam mengisi pertemuan gembira, yang terpenting bukan kualitas tapi kwantitas, karena itu tak perlu ragu, tak perlu malu, mari tampil semua dengan berbagai apa yang bisa kita lakukan, mari menari, mari bernyanyi bersama, toch dari kita untuk kita.
Demikian Taufik Tahrawi mengakhiri sambutannya.
* * *

Perayaan Tahun Baru 2014 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Persaudaraan Indonesia di Nederland, telah berakhir dengan sukses dan memberikan kesan yang mendalam dalam usaha bersama demi mengokohkan perasaan dan kesadaran kebersamaan dan kepedulian kita semua terhadap Tanah Air dan Bangsa.

* * *