Thursday, February 27, 2014

BUKU JUSUF WANANDI – “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”, Diluncurkan 20/2/2014 Dan Tanggapan Prof . Dr. Salim Said, dan, Prof Dr John Roosa,

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 26 Februari 2014
------------------------
-------

BUKU JUSUF WANANDI Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”, Diluncurkan 20/2/2014
Dan Tanggapan Prof . Dr. Salim Said, dan, Prof Dr John Roosa,


* * *
Buku Jusuf Wanandi (buku yang sudah lebih dulu diterbitkan di Singapur), yaitu –
Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”,
Diluncurkan di Jakarta pada tanggal 20/2/2014, paling tidak telah mengundang dua tanggapan menarik.
Satu dari Prof. Dr. Salimn Said, doktor ilmu politik dan gurubesar pada sejumlah perguruan tinggi Indonesia, dan mantan dubes RI di Praha (2004-2008).
Satunya tanggapan oleh sejarawan Prof Dr John Roosa.
* * *
Sementara pakar sejarah menyatakan sbb:
Menulis sejarah atau suatu peristiwa, seperti apa isinya, itu tergantung pada dimana penulisnya berdiri. Tempat berdirinya itu menentukan apa yang ia bisa dan ingin lihat. Yang ditulisnya adalah apa yang menjadi perhatiannya.
Tanggapan Salim Said dan John Roosa berbeda besar. Menunjukkan apa yang menjadi perhatian utama masing-masing.
Prof. Dr Salim Said yang di waktu y.l “dekat sekali” dengan aktivis-aktivis mahasiswa dan para jendral yang anti-PKI dan anti-Presiden Sukarno, para periode sejak G30S, memberikan komentar a.l. Sbb:
..”buku ini penting, amat berguna bagi kita yang berminat pada politik dan sejarah modern Indonesia, ditulis dengan baik dan karena itu enak dibaca.
Lalu, . .
Buku ini juga mengungkap sejarah politik Soeharto yang dengan instink politik dan ketrampilan yang canggih bukan saja bisa menyingkarkan Presiden pertama Republik Indonesia dengan cara yang amat canggih, tapi juga bisa berkuasa selama 32 tahun dan dengan saksama menyingkiran semua musuh-musuh politiknya. Patut dicatat, Soeharto adalah manusia  terlama  yang berkuasa di atas bumi Indonesia sejak wilayah ini diciptakan Allah. Juga jika dibanding dengan semua Gubernur Jenderal Belanda, para Raja  dan para Sultan sejak ratusan tahun sebelumnya. Demikian a.l tanggapan Salin Said.
* * *
Prof Dr John Roosa, sejarawan dan gurubesar mengungkapkan tanggapannya a.l. Sbb:
“Ia membantu Suharto berkuasa dalam tahun 1965 kemudian menyesal bahwa jendral (Suharto) begitu lama berkuasa. Ia membangun kembali Golkar dalam tahun 1970 -71 dan kemudian kecewa melihat orgnisasi itu menjadi alat kekuasaan pribadi Suharto. Ia memimpin kampanye internasional PR untuk membenarkan invasi terhadap Timor Timur 1975 kemudian menuding tentara melakukan taktik kontra-pemberontakan yang kejam.
Komentar diatas dimaksudkan untuk memperkenalkan siapa Jusuf Wanandi.
Di tahun 2000-an, seorang mantan aktivis PMKRI yang kemudian menjadi penyair dan jurnalis, dalam suatu perjalanan bersama ke Paris, pernah mengungkapkan padaku. Bahwa ia menyaksikan dan mengalami bagaimana PMKRI bersama gereja Katolik dan aktivis Partai Katolik, pada periode itu, dengan aktif melatih pemuda-pemuda untuk persiapan kampanye pembasmian dan pembantaian anggota-anggota PKI dan yang ianggap PKI serta pendukung Presiden Sukarno. Yang dipertanyakan sekarang ini: Apakah dalam bukunya itu Jusuf Wanandi bicara kongkrit tentang keterlibatan PMKRI , Partai Katolik dan Gereja Katolik dalam pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.>
Masih pendapat John Roosa:(Terjemahan bebas) . . .“Meskipun penulisnya bersedia mengakui penyesalannya, sulit utk menyimpulkan bersimpati terhadapnya. Bertahu-tahun lamanya ia bekerja di sisi yang gelap, membantu kediktatoran Suharto melakukan berbagai kejahatan, dan ia tetap saja bangga atas pekerjaannya sebagai anak-didik yang dilindungi dari pejabat intel tipuan-kotor yag paling menjkijikkan, Ali Murtopo. Catatan inside-nya mengenai penentu dari berbagai pembantaian sering bersifat pengabdian pribadi dan tidak akurat.

Pembantaian masal yang dimulai rezim pada permulaan 1965-1966 merupakan suatu 'kesalahan besar'. Tidak seperi kawan sebayanya di Orde Baru, yang membisu mengenai pembunuhan-pembunuhan atau membenarkan hal itu, Wanandi setidak-tidaknya mau melihat ada sesuatu yang salah: Kita tidak bisa melegimitasi, mengabaikannya, atau melupakan tindakan-tindakan itu'. Ia bahkan berseru untuk diadakannya investigasi lengkap yang bisa “mengungkap” – suatu penggunaan kata yang dipilih baik dengan bantuan pembukaan kuburan masal -- 'kebenaran mengenai kejadian tragis itu'.


. . “Namun, bagaimana ia bisa mengatakan pembantaian terhadap para tahanan yang tak bersenjata dan tak berdaya itu sebagai, 'suatu kesalahan', dan bukan sebagai suatu kejahatan? Ia bisa berbuat seperti yang ia tidak minta kita melakukannya. Ia melewatkannya begitu saja. Ia menjelaskannya dengan sebuah dongeng yang menimpakan kesalahan pda Sukarno. Katanya Bung Karno salah karena tidak segera melarang PKI pad awal Oktober. Rakyat 'telah bertindak aendiri', di beberapa daerah tentara 'mengambil inisiatif'. Cerita yang menyalahkan-Presiden ini telah diceriterakan lebih dulu. Notosusanto dan Saleh menghindangkannya di varian mereka yang terkenal mengenai Gerakan 30 September: 'masyarakat' , yang menununtut PKI dihukum, mengamuk ketika Sukarno mencoba 'melindungi partai' (maksudnya PKI, I.I.). Cerita seperti itu adalah omong-kosong. Suharto dan klknya, perwira-perwira tentara, menjegal Sukarno dan berindak malakukan apa yang sudah mereka rencanakan. Mereka bisa saja menggunakan larangan Presdien untuk melegitimasi serangan-serangan pembunuhan mereka, seperti halnyua mereka menggunakan Supersemar untuk melegitimasi kup Maret 1966 yang mereka lakukan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN:
Teman-teman Yth,
Kemarin siang (20 Feb) ada peluncuran buku Jusuf Wanandi (CSIS) di Jakarta. Saya mendapat kehormatan ikut membahas buku itu pada acara tersebut. Bersama ini saya lampirkan makalah yang saya sampaikan pada acara tersebut. Kalau ada di antara Anda yang sempat mengomentari makalah terlampir, saya tenatu senang sekali.
Bung Salim.

SALIM SAID:
Tentang Buku Jusuf Wanandi “Menyibak Tabir Orde Baru ”. Beberapa komentar singkat pada peluncuran buku 20 Februari 2014 di CSIS, Jakarta.

Kalau waktu yang dialokasikan kepada saya untuk mengomentari buku ini singkat, maka yang wajib saya katakan, buku ini penting, amat berguna bagi kita yang berminat pada politik dan sejarah modern Indonesia, ditulis dengan baik dan karena itu enak dibaca.

Ini adalah buku tentang politik dan perpolitikan Indonesia pada tahun-tahun terakhir Orde Lama, jatuhnya Presiden Soekarno, hancurnya Partai Komunis Indonesia (PKI), naiknya Jenderal Soeharto, mapannya kontrol rezim Orde Baru hingga jatuhnya rezim Soeharto yang selama bertahun-tahun memanfaatkan ABRI, Korpri (Korps Pegawai Negeri Indonesia) dan Golkar sebagai alat kekuasaannya.

Harus saya tekankan, buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf Wanandi, terlibat langsung dalam bagian-bagian penting politik dan perpolitikan masa itu. Ini adalah sebuah memoar politik  penulis yang juga sejarah politik Indonesia sekitar setengah abad terakhir.
Ini juga sebuah buku tentang CSIS (Centre for Strategic and International Studies),  riwayatnya, perannya yang amat penting pengaruhnya dalam mendukung – bahkan acap kali malah menentukan—arah kekuasaan Soeharto pada awal dan bagian terpenting masa berkuasanya. Juga tentang ketegangan CSIS dengan kelompok kritis terhadap Orde Baru. CSIS adalah lembaga think tank pertama di Indonesia dalam sejarah intelektual serta sejarah politik negeri ini. Tapi  dari penuturan Jusuf Wanandi, CSIS juga sebuah lembaga  yang berperan sebagai lembaga lobby politik yang untuk waktu cukup lama berfungsi amat efektif.

Buku ini juga mengungkap  sejarah politik Soeharto yang dengan instink politik dan ketrampilan yang canggih bukan saja bisa menyingkarkan Presiden pertama Republik Indonesia dengan cara yang amat canggih, tapi juga bisa berkuasa selama 32 tahun dan dengan saksama menyingkiran semua musuh-musuh politiknya. Patut dicatat, Soeharto adalah manusia  terlama  yang berkuasa di atas bumi Indonesia sejak wilayah ini diciptakan Allah. Juga jika dibanding dengan semua Gubernur Jenderal Belanda, para Raja  dan para Sultan sejak ratusan tahun sebelumnya.

Soeharto berangkat dari Kostrad.
Nasib Soeharto mengalami pasang naik bermula ketika secara mendadak sejumlah Jenderal, para pimpinan Angkatan Darat, dibantai oleh gerakan para perwira  yang dikendalikan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada subuh satu Oktober 1965. “Calon”  Presiden kedua R.I. memegang jabatan Panglima Kostrad waktu itu.

Berbeda dengan Kostrad zaman sekarang yang  mempunyai pasukan  sebanyak dua divisi tempur, pasukan yang dipimpin Soeharto waktu itu berada di berbagai Komando militer (KODAM) yang baru akan dikerahkan ke bawah kontrol Kostrad jika ada tugas khusus dari pimpinan Angkatan Darat. Maka tidak mengherankan jika ketika tiba-tiba muncul pada satu Oktober pagi sebagai Panglima yang berani melawan usaha kudeta Gestapu, orang bertanya-tanya: Soeharto Who? Dengan kondisi itulah, Soeharto tampil dan dalam waktu dua tahun dia telah berhasil menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.

Siapa Soeharto? Pertanyaan inilah yang – antara lain — dijawab oleh Jusuf Wanandi.

Dari posisinya yang amat dekat kepada Soeharto dan lingkungannya di sekitar Kostrad dan kemudian kantor kepresidenan, Wanandi menjelaskan siapa Soeharto. Pengamatan dan interaksi Wanandi dengan Soeharto, membawanya pada kesimpulan, Pangkostrad itu bukan Jenderal yang fobia komunis. Dan PKI jelas tahu dia bukan bagian dari lingkungan Panglima Angkatan Darat, Letnan TNI Jenderal Achmad Yani. Di mata PKI, bahkan di mata Presiden Soekarno, Yani dan kelompokmya di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) adalah orang-orang  “keras kepala”  yang anti Komunis dan anti Nasakom. Bukti dari sikap PKI itu adalah terjadinya dua kali kunjungan Kolonel Latif kepada Soeharto di rumah kediaman Pangkostrad dan di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) beberapa jam sebelum operasi Gestapu dilancarkan.

Apa yang dipercakapkan Latif dan Soeharto pada kedua pertemuan tersebut diungkapkan sendiri oleh keduanya. Di kediaman Soeharto, menurut cerita sang Pangkostrad, Latif melaporkan adanya Dewan Jenderal yang akan menyingkirkan Soekarno, sang Presiden. Pada pertemuan di RSPAD, karena keterbatasan waktu, tidak banyak yang mereka bicarakan. Meski ada dugaan Latif melaporkan operasi akan segera dimulai “mengambil” para Jenderal yang sebelumnya secara publik sudah dikampanyekan Soekarno sebagai “tidak loyal” kepada Pemimpin Besar Revolusi.

Menurut rencananya, para Jenderal yang dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal tersebut akan diambil untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno. Di depan Sukarno para Jenderal dari MBAD akan  didaulat  disingkiran dari MBAD  dan posisi mereka  diberikan kepada Jenderal yang mudah diatur oleh Sukarno. Latif berharap (menurut pengakuannya pada Mahkamah Militer yang mengadilinya di Bandung) Jenderal Soeharto yang akan naik menggantikan  Pangad Jenderal Yani.

Kita tidak mempunyai informasi apakah harapan Kolonel Latif tersebut disampaikan kepada Soeharto pada pertemuan di RSPAD malam itu. Yang kita semua  ketahui kemudian, pada pagi esoknya para Jenderal terbunuh, Soeharto mengamuk, orang-orang PKI kemudian banyak yang terbunuh di samping sejumlah besar dipenjarakan. Termasuk Latif. Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pembunuhan massal di banyak tempat itu?

Menurut Wanandi, baik Soeharto maupun Sukarno, sampai batas tertentu, harus iku bertanggungjawab. Tapi Sukarno pertama-tama yang harus bertanggungjawab. Waktu itu dia masih Presiden. Soeharto, menurut Wanandi, seharusnya berusaha meyakinkan Soekarno meredakan ketegangan dan histeri massa yang menyebabkan pembunuhan massal itu.

Menurut ceritanya sendiri, beberapa kali Soeharto  meminta PKI dibubarkan, tapi Sukarno berkeras dan selalu berusaha meminta massa tenang sembari menunggu komando Pemimpin Besar Revolusi. Histeria yang nyaris merata, ketakutan kepada PKI yang sudah dipersepsikan sanggup dan telah melakukan pembunuhan keji dan sadis, hanya menyebabkan seruan dan himbauan Sukarno ikut tertiup angin menjauh dari masyarakat yang “histeris”. Pembunuhan berlanjut hingga yang harus dibunuh nyaris sudah habis. Menurut Wanandi, yang memicu terjadinya pembantaian adalah karena tidak adanya otoritas yang berwibawa mencegah dan menghentikannya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur pembantaian merupakan kelanjutan berdarah dari ketegangan yang sudah berlangsung lama, antara lain sebagai akibat aksi sepihak PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Tidak disebutkan Wanandi trauma Peristiwa Madiun 1948 yang sebenarnya juga menjadi salah satu akar pembantaian tersebut. Seperti diketahui Gestapu terjadi hanya 17 tahun setelah Pristiwa Madiun.

Masih tentang siapa Soeharto, Jusuf Wanandi mengungkapkan pengalamannya mendampingi  pemimpin tertinggi Indonesia yang baru itu.  Ternyata  acuan sejarahnya terbatas pada sejarah kerajaan Jawa . Berbeda dengan Sukarno sebelumnya, dunia gagasan Soeharto berputar dan hanya berakar pada budaya Jawa, termasuk gagasan kekuasaan  Jawa yang diketahuinya kebanyakan dari pengalaman dan cerita wayang. Sukarno sejak muda membaca luas tentang berbagai gagasan politik, ideologi dan sejarah dunia. Bagi seorang Soeharto yang memulai karir militernya sebagai pada  tentara Hindia Belanda (Knil), wacana dan sejarah gagasan yang setiap hari menjadi “suguhan” Soekarno lewat sejumlah pidatonya yang bagaikan tidak kunjung habis itu, adalah barang asing. 
Dengan latar belakang seperti itulah kita harus mengerti peran CSIS dan Jusuf Wanandi, Harry Tjan dan teman-temannya terhadap Soeharto dan periode awal pemerintahan Orde Baru. CSIS berdiri pada saat dan waktu yang tepat.Mereka yang mendirikan CSIS sudah bergiat di zaman Orde Lama ketika mereka menghadapi PKI. Di sana para pastor Jesuit ikut memainkan peran penting. Salah seorang di antaranya adalah Pater Beek. Sayang dalam buku Wanandi ini peran Beek sama sekali tidak muncul secara semestinya.

Kelompok politik cum intelektual yang paling siap pada awal sejarah Orde Baru adalah kelompok yang kemudian berumah dalam CSIS. Para Jenderal yang mendadak berkuasa itu memerlukan  sejumlah gagasan bagi mengelola negara. Hanya CSIS waktu itu yang siap. Pada CSIS itulah bertemu kepentingan politik kelompok Katolik tertentu, kekuatan politik sekuler, peranakan Tionghoa tertentu, Ali Murtopo, Sujono Humardani dan Soeharto sebagai konsumen berbagai gagasan dari lembaga tersebut.
Buku ini menjelaskan secara gamblang peran besar CSIS waktu itu, dan  peran pribadi Jusuf Wanandi serta Harry Tjan Silalahi. Itu terjadi pada periode Soeharto masih “perawan” dalam dunia politik. Yang sejak awal dipunyai mantan Pangkostrad itu terutama hanya instink politik yang  hebat dan kemampuan taktis yang prima serta ramalan seorang guru tentang hari depan Soeharto sebagai orang yang akan punya peran penting dan kuasa besar. Sebagai seorang yang pada dasarnya cerdas, Soeharto cepat belajar. Menurut cerita banyak orang, kalau pada tahun-tahun  pertama masa berkuasnya dia mencatat ketika para teknokrat menjelaskan kebijakan yang harus diputuskan,  sekian tahun kemudian para Professor – dikenal sebagai Berkely Mafia —yang mencatat jika Soeharto menguraikan pikiran dan rencananya. Kalau pada awal masa berkuasanya Soeharto mendengarkan secara saksama  taklimat yang diberikan Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi, di kemudian hari CSIS dan para pendukungnya (Ali Murtopo dan L.B. Moerdani) dicampakkan begitu saja oleh Bapak Presiden. Soeharto merasa  sudah tahu semua. Pengalaman hidupnya sejak masa kecil mendidik dirinya tidak mudah tergantung pada siapa saja.  Juga tidak kepada ABRI, yang merupakan  modal kekuasaan utamanya pada awal kekuasaannya. Maka tidak sulit dimengerti jika CSIS juga dicampakkan akhirnya.

Belajar dari pengalaman tragis Sukarno yang berkuasa tanpa dukungan solid satu partai (dan karena itu terpaksa bergantung pada PKI untuk “mengimbangi” Angkatan Darat), Soeharto memerlukan partai yang akan ditugaskannya menduduki kursi-kursi di parlemen untuk melegitimasi kekuasaan otoriternya. Karena itu dia menolak gagasan Wanandi dan teman-temannya yang merencanakan membuat partai yang betul-betul akan menjalankan peran sebagai penyalur aspirasi masyarakat, sekaligus pendukung pemerintah. Soeharto memilih Sekretariat bersama (Sekber) Golkar, merombaknya untuk kemudian mengontrolnya dengan menempatkan para Jenderal yang gampang dikendalikannya.

Meski tidak terlalu terlihat, sejak awal dan secara berangsur, Soeharto mempersiapkan Golkar tergantung padanya sembari secara perlahan menghindarkannya dari ketergantungan kepada ABRI. Hal ini dengan bagus digambarkan oleh Wanandi. Ujung dari kebijakan Soeharto ini adalah konflik Presiden dengan ABRI yang merasa makin dijauhkan dari kekuasaan. Konflik antara Soeharto dengan ABRI mulai  terbuka pada masa kepanglimaan L.B. Moerdani. Tapi jika diamati secara saksama akan terlihat, latar belakang konflik yang berhulu pada pristiwa  Malari.

 Jenderal TNI Soemitro, Pangkopkamtib.
Pristiwa Malari (Malapetaka Januari) 1974 memperhadapkan Ali Mutopo dan kelompoknya (CSIS dan Opsus) dengan Jenderal TNI Soemitro, sang Pangkopkamtib yang juga Wakil Panglima ABRI. Polarisasi di kalangan kekuasaan waktu itu sebenarnya merupakan konflik antara para Jenderal di lembaga-lembaga militer (dipersonifikasihan oleh Soemitro) dan Para jenderal politik di sekitar Soeharto, dengan Murtopo dan Sujono Humardani sebagai contoh spesialnya. Diperhatikan secara saksama, sesungguhnya waktu itu tidak ada di antara para Jenderal tersebut yang merupakan potensi ancaman terhadap pusat kekuasaan Soeharto. Kompetisi yang terjadi lebih kurang masih pada tingkat rebutan mendekati kuping Soeharto sang Raja.

Kompetisi  tak terkendali pada suatu saat, lalu meledak menjadi huru hara ketika Perdana Menteri Jepang sedang berkunjung ke Indonesia. Di mata Wanandi, demonstrasi demi demonstrasi mahasiswa masa itu adalah gerakan untuk menyerang Soeharto. Barangkali memang ada golongan mahasiswa dengan latar belakang politik tertentu yang berusaha memanfaatkan kesempatan dengan mendesak Soemitro menyingkirkan Soeharto. Tapi Soemitro dan kelompoknya, para tentara professional di Dephan dan Kopkamtib, belum punya rencanaa sejauh itu. Kesimpulan  Wanandi  mengenai adanya ancaman terhadap Soeharto barangkali lahir lebih dari ketakutan tokoh CSIS itu dan klompoknya yang cemas apa yang bakal terjadi pada mereka jika kelompok Soemitro berhasil menyingkirkan Ali Murtopo. Secara militer kelompok Soemitro memang lebih kuat. Tapi sebenarnya dan kenyataannya yang paling kuat dan akhirnya keluar sebagai pemenang adalah Soeharto juga. Sebagai akibat Malari, Soemitro pensiun dini dari ABRI dan Ali Murtopo secara berangsur dijauhkan  dari lingkungan istana kekuasaan Soeharto.

Khusus tentang Soemitro, saya mendapat akses luas kepada mantan Pangkopkamtib yang berbadan subur itu setelah saya menyelesaikan pendidikan saya di Ohio. Karena disertasi saya mengenai peran politik TNI, saya sering berjumpa dengan Soemitro, selain dengan sejumlah Jenderal senior lainnya. Sejak  akhir tahun delapanpuluhan dan berlanjut ke tahun sembilanpuluhan. Dari berbagai diskusi dan wawancara, saya berkesimpulan Pak Mitro itu padasarnya politically naïve. Tindakan- tindakannya dalam “konfrontasi” dengan Ali Murtopo adalah tindakan politik, suatu hal yang  tidak disadarinya. Dia punya rencana reformasi politik, perubahan politik, tapi tidak pernah menyadari bahwa setiap perubahan pasti menguntungkan satu pihak dan merugikan golongan lain. Baik Ali Murtopo, juga Soeharto akan dirugikan oleh agenda perubahan Soemitro. Kalau gagasan Soemitro berhasil dijalankan, kekuasaan tentara bertambah, Ali dan kelompoknya tersingkir, dan kontrol Soeharto secara perlahan akan berbagi dengan  Mabes ABRI. Untuk mencegah “ancaman” Soemitro itu,  Soeharto segera menyingkirkannya. Menarik untuk dicatat, gagasan Soemitro sebagian besar kelak menjadi garis perjuangan ABRI dalam menghadapi Soeharto, terutama sejak masa kepanglimaan L.B. Moerdani. Nasib Moerdani juga berakhir , lebih kurang sama, dengan  nasib  tragis yang menimpa Soemitro.

 L.B. Moerdani.
Bagaikan sebuah pagelaran wayang kulit, ketika  “wayang”  Soemitro masuk kotak secara mendadak, ki Dalang mengeluarkan  “wayang” Benny Moerdani dari kotak. Secara mendadak juga.  Moerdani yang sedang bersiap-siap berangkat Ke Negeri Belanda   sebagai Duta Besar, secara mendadak ditarik dari Seoul ke Jakarta. Dengan kekuasaan besar yang diberikan Soeharto kepadanya, Moerdani tampil lebih berkuasa  dari Soemitro. Menurut Wanandi yang amat dekat dengan Moerdani, perwira komando itu (pangkat terakhir di RPKAD, mayor, Komandan Bataliyon) pada  dasarnya  lebih seorang  tentara dari pada politisi. Pada hal pengangkatan dan pekerjaannya sebagai pejabat intel sangat sarat politik. Tugas Moerdani bukan hanya menjaga keamanan pisik Soeharto dan keluarganya, tapi terutama kekuasaan dan kontrol Bapak Presiden atas negara.

Seperti Soemitro sebelumnya, Moerdani juga kemudian mengembangkan visi politiknya  di dalam dan di sekitar kekuasaan Soeharto. Berada di sekitar Soeharto selama bertahun-tahun, Benny tiba pada kesimpulan, perkembangan pengelolaan negara dan politik yang dilakukan Soeharto sudah mencapai tingkat membahayakan negara.  Gagasan Moerdani, kekuasaan harus dikembalikan kepada ABRI yang pada awal Orde Baru menaikkan Soeharto. Jalan pikiran Moerdani yang demikian tidak berbeda jauh dengan pendapat Soemitro sebelumnya. Seperti Soemitro, Moerdani juga disingkirkan Soeharto. Dengan kata lain, Moerdani juga mengulangi nasib tragis seniornya.

Benny cerdas, membaca banyak, berani dan punya pengalaman tempur yang nyaris tak tertandingkan di kalangan TNI.  Tapi kelemahannya sama dengan Soemitro, tidak canggih berpolitik. Moerdani tentara yang mumpuni dan  memulai karirnya di Jakarta -- setelah ditarik dari Korea Selatan -- sebagai loyalis tulen Soeharto. Tapi di kemudian hari, dia menderita  disillusi kepada sang Presiden yang bertahun-tahun diabdinya sepenuh hati. Seloyal apapun Moerdani, yang lebih penting bagi Soeharto adalah kekuasaannya. Kepada Wanandi,  Ali Murtopo pernah mengungkapkan, Soeharto tidak pernah percaya seratus persen kepada siapa pun. Bapak Presiden itu juga , menurut Murtopo yang mengenalnya sejak lama di Semarang, enggan bergantung kepada hanya satu kelompok. Maka ketika gagasan dan gerak-gerik Benny  sudah terlihat sebagai ancaman di mata Soeharto, dengan mudah Bapak Presiden mencampakkan sang loyalis, menggantikannya dengan kekuatan lain. Inilah cerita di balik apa yang umum dikenal kemudian sebagai “de-benny-sasi.”

Tanjung Priok dan Try Sutrisno dan L.B. Moerdani.
Dalam kasus Tanjung Priok yang mengakibatkan banyak korban, sebagai Panglima Kodam Jakarta, Try Sutrisno, menurut Wanandi, adalah yang bersalah dan seharusnya bertanggung jawab. Tapi Moerdani melindungi Try karena demikianlah kehendak Soeharto. Perintah kepada Moerdani, karir Try jangan rusak oleh kasus Tanjung Priok. Soeharto mempersiapkan Try Sutrisno menjadi Pangab. Moerdani sendiri juga mengharapkan Try Sutrisno menjadi peminpin ABRI karena,  menurut Wanandi, Benny punya rencana mengendalikan Try dari belakang.

Timur Timor dan Moerdani.
Selama ini pendapat umum di Indonesia terutama di kalangan militer senior, invasi pasukan gabungan  ABRI ke Timor Timur (Operasi Seroja) tujuh Desember 1975, adalah pekerjaan L.B. Moerdani sebagai Asisten Intel Mabes ABRI/Dephankam. Tapi menurut Wanandi penyerbuan besar-besaran bukan gaya Moerdani. Benny berlatar belakang intel, dan memang tidak bisa mengelak mengenai keterlibatannya. Tapi keputusan Operasi Seroja ditetapkan Dephankam/ABRI, bukan Moerdani. Kepala intel itu, menurut Wanandi, hanya merencanakan operasi intel dengan sekitar 300 pasukan yang akan bekerja sama dengan sejumlah pengunsi di perbatasan.
Pandangan lain  mengenai Operasi Seroja diceritakan oleh Letjen TNI (purn) Sayidiman Suryohadiprodjo dalam pengantar buku Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri. Timor Timur Untold Story.  Menurut Sayidiman, sebagai yang didengarnya dari  Jenderal TNI Maraden Panggabean, Pangab waktu itu, izin yang diberikan Presiden Soeharto kepada Moerdani sebagai pemimpin Operasi Seroja adalah operasi intel. Bagi Sayidiman, pada dasarnya satu operasi intelejen adalah tertutup (covert), bukan secara terbuka, bukan dengan penyerbuan oleh pasukan gabungan. Jadi, menurut Sayidiman lagi, melaksanakan operasi intelejen –seperti yang dilakukan Moerdani di Timor Timur -- dengan cara operasi  militer konvensional, jelas sebuah keganjilan, bahkan  kesalahan.

Soeharto dan Nasution.
Tidak kurang menarik pendapat Jusuf Wanandi mengenai hubungan Jenderal Soeharto dengan Jenderal Nasution. Menurut Wanandi, ketegangan antara kedua pembesar tentara itu bersumber pada  sikap Nasution yang “tidak pernah memaafkan Soeharto mengambil jabatan Presiden.” Dengan kata lain, Wanandi  berkesimpulan Nasution berambisi menjadi pangganti Sukarno dan gagal karena Soeharto. Kesimpulan ini terutama bersumber pada pengamatan Wanandi terhadap sidang MPRS 1968. MPRS waktu itu dipimpin Jenderal Nasution sebagai Ketua. Draf GBHN susunan Badan Pekerja MPRS yang dikontrol Nasution bersama dengan apa yang disebut Wanandi sebagai “golongan kanan,” berusaha mengganjal Soeharto dengan cara mempersulit hari depan kepresidenannya. Wanandi dan kelompoknya berhasil menggagalkan rencana Nasution tersebut.
Topik draf dari Badan Pekerja MPRS tersebut sampai kini secara terbuka  belum pernah secara obyektif dibicarakan. Bahkan dokumen-dokumen  draf Badan Pekerja itu kononnya sudah hampir tidak bisa lagi ditemukan. Sekarang sulit secara obyektif menilai apakah Nasution masa itu memang menjalankan kebijakan yang akan berakhir pada terbukanya kesempatan bagi dirinya menjadi Presiden.

Yang kita tahu sejak awal keributan Gestapu, Nasution tidak pernah menunjukkan minat menjadi Presiden menggantikan Sukarno. Nasution malah mendorong dan mendukung Soeharto menghadapi Sukarno dan akhirnya menggantikan Presiden pertama R.I. tersebut. Nasution tahu bahwa dia bukan orang Jawa dan waktu itu hanya orang Jawa yang bisa menghadapi Sukarno.  Seandainya Nasution berambisi menggantikan Sukarno, dia tidak akan menolak tawaran Pangkostrad Soeharto agar Nasution, perwira paling senior dalam ABRI waktu itu, memimpin “perlawanan” terhadap Gestapu dan kemudian Sukarno.
Selain watak Nasution yang terkenal peragu, Sukarno memang mengarahkan serangannya kepada Nasution yang dipandangnya “otak” kekuatan anti Komunis di dalam Angkatan Darat. Jadi kalau Nasution yang tampil kedepan, dan bukan Soeharto, perjuangan melawan Sukarno akan menjadi lebih sulit.

Sebagai seorang militer senior, Nasution juga  berpendapat, jangan sampai terjadi pergantian komandan pada saat operasi sedang berjalan. Ketika Nasution muncul di Kostrad dalam keadaan pincang dan kaki terkilir pada satu Oktober petang, Soeharto sudah memimpin operasi. Kebijakan  pertama Nasution, bantu Soeharto dan tolak  keputusan Sukarno mendudukkan Mayjen TNI Pranoto Rekso Samudro sebagai pejabat sementara Panglima Angkatan Darat.

Ketegangan  awal Soekarno-Nasution muncul ketika kedua Jenderal berbeda dalam cara menyelesaikan Gestapu. Nasution berkehendak Sukarno diadili, sementara Soeharto ingin urusan dengan Sukarno diselesaikan dengan jalan politik dan diplomasi. Di kemudian hari, ketika Soeharto sudah menjadi Presiden, ketegangan di antara mereka bersumber pada tafsiran atas konsep keterlibatan politik militer.Tafsiran Nasution sangat legalistik, sementara Soeharto lebih politis dan opportunistik.
Sebagai seorang ilmuwan politik yang mempelajari konsep dan sejarah peran politik tentara yang dicetuskan mula-mula oleh Nasution, saya berkesimpulan, Nasution cenderung lebih legalistik dari pada realistis. Pemikiran politik Nasution berkembang di masa pra Gestapu, ketika tentara hanya satu di antara  beberapa kekuatan politik di Indonesia. Pada masa pasca Gestapu, ketika militer (TNI-ABRI) sudah menjadi kekuatan politik tunggal, pemikiran Nasution tidak membahas perkembangan baru tersebut. Di sana Soeharto mengembangkan sendiri konsepnya sebagai militer (Seminar Angkatan Darat II) yang telah menjadi penguasa politik tunggal. Kritik Nasution terhadap Orde Baru dan terhadap Soeharto berputar di sekitar perbedaan tafsiran  terhadap konsep peran politik tentara tersebut. Dengan kata lain dan  secara singkat, harus  saya katakan, saya belum menemukan bukti untuk menerima kesimpulan Jusuf Wanandi bahwa “Nasution tidak pernah memaafkan Soeharto karena mengambil jabatan kepresidenan.”

Penutup.
Saya ingin menutup komentar saya atas buku Jusuf Wanandi  yang kita bicarakan sekarang ini dengan mengulangi pernyataan awal saya. Ini buku amat penting. Salah satu yang membuat buku ini amat penting adalah terungkapnya sejumlah hal yang sayangnya  belum sempat secara saksama diuraikan penulis. Tapi ini lalu harus ditafsirkan, Jusuf Wanandi, sadar atau tidak, memberi tugas kepada para peneliti politik dan sejarah agar meneliti dan mengungkapkan hal-hal tersebut.

Berikut ini beberapa pertanyaan menarik yang menantang para peneliti:
Menyangkut CSIS, pertanyaannya,  siapa yang meladeni siapa? Siapa yang paling berkepentingan memanfaatkan CSIS? Ali Mutopo yang punya ambisi kekuasaan dan memerlukan tanki pemikir? Kelompok-kelompok cendekiawan Katolik yang lebih memilih hijau tentara karena takut pada hijau Islam? Kelompok pebisnis Tionghoa perantauan yang memerlukan perlindungan kekuasaan?

Penting untuk diketahui, Jenderal Soemitro menyebut Ali Murtopo (sebagai pemimpin Opsus) sebagai tokoh yang mendirikan CSIS untuk kepentingan operasi politiknya.

Menyangkut kepercayaan Wanandi,”Nasution tidak pernah memaafklan Soeharto karena mengambil jabatan Presiden,” perlu penelitian terhadap proses sidang MPRS 1968 serta dokumen-dokumen Badan Pekerja MPRS yang kabarnya sekarang sudah sulit ditemukan. Penelitian tersebut jangan sampai dipisahkan dari perkembangan hubungan Soeharto-Nasution sejak satu Oktober sore di Kostrad hingga naiknya mantan Pangkostrad itu menjadi Presiden kedua R.I.

Rapat para Jenderal pada tahun 1978 yang menunjukkan sikap kritis kepada kebijakan Soeharto. Momentum ini membuka kesempatan kepada Menteri Perindustrian, Jenderal Muhammad Jusuf, mempertontonkan kesetiaan dan pembelaannya kepada Presiden Soeharto.  Beberapa waktu kemudian Jusuf menjadi Panglima ABRI. Bagaimana sebenarnya jalannya rapat para Jenderal tersebut? Apa yang dibicarakan di sana?  Bisakah disimpulan Jenderal Jusuf (waktu itu sudah 14 tahun meninggalkan kegiatan militer aktif) menjadi Pangab karena pameran loyalitasnya tersebut, atau merupakan rencana lama Soeharto memberi “anugerah” kepada salah seorang yang berhasil mendapatkan dokumen Supersemar?

Peneliti yang jeli masih akan menemukan lebih banyak lagi topik menarik untuk diteliti dari membaca buku Jusuf Wanandi ini.***

Salim Said, doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, Ohio, USA , Guru Besar Ilmu politik pada Universitas Muhammadiah Malang (UMM), Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan pengajar tetap pada  Sesko TNI, Sesko AD, Sesko AL. Menulis sejumlah buku mengenai peran politik TNI, Salim Said juga pernah ditugaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi  Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko (2006-2010).

* * *

JUSUF WANANDI'S MEMOIR ALLOWS GLIMPSES INTO THE MINDSET OF SUHARTO-ERA OFFICIALDOM
John Roosa

At times one comes close to feeling sorry for Pak Wanandi. So little in his life worked out as planned. The book, unlike so many je ne regrette rien autobiographies of Suharto-era officials, is filled with misgivings. He helped bring Suharto to power in 1965-66 and then regretted that the general stayed in power for so long. He rebuilt Golkar in 1970-71 and was later disappointed to see the organisation become the tool of Suharto’s personal power. He led the international PR campaign justifying the 1975 invasion of East Timor but then lamented the army’s brutal counterinsurgency tactics.

As a Chinese Indonesian, Wanandi particularly regrets the Suharto dictatorship’s blocking of his community’s access to government jobs. He changed his name from Lim Bian Kie in the spirit of assimilation only to be treated as part of a quasi-alien nation. Wanandi’s initial enthusiasm for the Suharto regime – with its promises of economic growth, political stability, and cultural tolerance – waned in the 1980s as its personalised, nepotistic, and racist character became entrenched.

Despite the author’s readiness to profess regrets, it is difficult to summon up any sympathy for him. He laboured for years on the dark side, helping the Suharto dictatorship commit a variety of crimes, and he remains proud of his work as the protégé of one of its most loathsome dirty-tricks intelligence officers, Ali Moertopo. His insider accounts of the decision-making behind various massacres are often self-serving and inaccurate.

The mass killing with which the regime began in 1965-66 was a ‘horrible mistake’. Unlike many of his New Order peers, who have either remained silent about the killing or offered full-throated justifications of it, Wanandi is at least willing to see something wrong: ‘We can never legitimise, gloss over, or forget those acts’. He even calls for investigations that can ‘bring up’ – a nicely chosen verb invoking excavations of mass graves – ‘the truths about those tragic events’.

Still, how can he call the slaughter of unarmed, defenceless detainees ‘a mistake’ rather than a crime? He can by doing what he asks us not to do. He glosses over them. He explains them with a fanciful story that blames, of all people, Sukarno. Bung Karno is supposedly at fault for not immediately banning the PKI in early October. People ‘took matters into their own hands’; in some regions, the army ‘took the initiative’. This blame-the-president story has been told before. Notosusanto and Saleh presented it in their famous 1967 tract on the September 30th Movement: ‘the public’, demanding the PKI be punished, ran amok when Sukarno tried ‘to protect the party’. The story is nonsense. Suharto and his clique of army officers sidelined Sukarno and proceeded to do what they had already planned to do. They would have used a presidential ban to legitimate their murderous assaults, just as they used his Supersemar to legitimate their March 1966 coup.

Wanandi nearly concedes as much. He claims, with remarkable frankness, that the ‘killing campaign’ in Central Java ‘was led by Sarwo Edhie’, the RPKAD commander sent there to attack the PKI in mid-October. Wanandi unfairly casts him as the sole agent of extermination. He omits Suharto’s role. And he seems oblivious to the perversity of his depiction of Sarwo Edhie’s motivations: ‘He had a personal grudge against communists to avenge the death of Achmad Yani, his friend and patron.’ Tens of thousands of ordinary civilians in Central Java, people who had nothing to do with Yani’s murder at Lubang Buaya, had to be slaughtered because Sarwo Edhie wanted to avenge the death of his old buddy from Purworedjo? Was the current president’s father-in-law that pathological? Wanandi does not mention that the student movement in Jakarta, of which he was a prominent leader, feted Sarwo Edhie as a great war hero when he returned after the killing spree.

Wanandi’s account shows how closely the student movement worked with the army. The students knew in early October that they were in no danger. The PKI put up no resistance as they rampaged through the streets, ransacking and burning houses, offices, and schools. But still they pretended as if they were brave heroes at war risking their lives. Wanandi notes in passing, without an expression of regret, that the students of the Indonesian Student Action Front (KAMI) forced people to join their demonstrations: ‘We would send civil defence (Hansip) personnel around to people’s houses, advising them that they would be regarded as PKI if they did not attend our meetings.’

Wanandi doesn’t explain precisely how and why Ali Moertopo, whom he calls Pak Ali, recruited him. He mentions that he first met him at a Kostrad ‘seminar’ in 1963 at which army officers declared that China and the PKI were their main threats, not the Western imperialist powers that Sukarno identified. (With such views being expressed, it must have been a secret, invitees-only gathering.) It was a fateful meeting: ‘I was not to know then what a great influence he was to have over my life.’

His account of Moertopo’s Opsus, the secret organisation inside Kostrad, to sabotage Konfrontasi, is as revealing as it is confusing. He claims Opsus began in mid-1965 during a meeting between Moertopo and Suharto (of Kostrad) and Yani, the army commander. But then he claims that Moertopo began contacting Des Alwi and other Socialist Party of Indonesia (PSI) figures, living abroad after their support for the failed 1957-58 rebellion, in September or October 1964. Perhaps the meeting with Yani was in mid-1964. He casually mentions, as if it was a routine matter, that Moertopo smuggled ‘rubber and other goods’ to generate money for Opsus and accumulated $17 million in banks in Singapore and Malaysia. Was the PKI’s term ‘capitalist bureaucrat’ (kabir) entirely inaccurate?

Moertopo appears in this book as a clever servant of Suharto’s. In the film about an English manor, Gosford Park (2001), a servant explains that she has to anticipate, to know what the masters want ‘before they know it themselves’. Wanandi saw Moertopo’s ‘strength’ in his ability to anticipate: ‘He always felt he had to prepare the old man [Suharto] in advance, before events happened.’

Wanandi joined Moertopo’s staff in 1967 just as the colonel became Suharto’s point man for Papua. For two years, starting in mid-1967, Wanandi was involved in the preparations for the holding of the Act of Free Choice in Papua. The strategy, according to him, was seduction. He brought in boatloads of tobacco and beer so that the Papuans would look kindly upon Indonesia. Wanandi does not discuss the coercive and deceitful tactics to win the vote, avoiding an engagement with the kind of documentation found in John Saltford’s 2003 book The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969: The Anatomy of Betrayal, and remains silent on the terrors that Indonesia has inflicted on the Papuans since 1969. (Much of the section on Papua has already appeared in an essay Wanandi published in Inside Indonesia in 2009.

The ‘success’ in Papua emboldened Suharto’s men to attempt a similar strategy in East Timor. One of the longest sections of the book concerns Wanandi’s role in annexing East Timor in 1974-75. He is desperate to clear his name, especially now that the country has won independence, two truth commissions have issued reports exposing the Indonesian military’s atrocities and some Australian embassy files referring to his role have been declassified.

He insists that his strategy was again, merely seduction. Moertopo’s group started Operation Komodo in April 1974 for ’gathering intelligence and peddling pro-Indonesia propaganda‘ and training East Timorese to fight Fretilin on their own. They hoped to annex East Timor ‘through diplomatic means’ and then hold some kind of act of self-determination, after about seven years, once Indonesia had prepped the East Timorese so that they would vote the right way, as in Papua. The East Timorese would come to see that ‘the only logical path was to become part of Indonesia’.

As his story goes, their strategy lost out as General Benny Moerdani, the military intelligence chief, started Operation Flamboyan in early 1975, which sent Indonesian-trained East Timorese across the border to take the country by force. Then that operation lost ground to Operation Seroja in August 1975, when the military commander, Panggabean, proposed to use Indonesian troops to take East Timor. It was, Wanandi opines, a ‘stupid’ plan. Fretilin’s military victory and its declaration of independence in November provoked Suharto into opting for Panggabean’s plan. ‘The whole thing went haywire.’

While depicting Moerdani and Panggabean as the villains, Wanandi unintentionally indicts himself. At no point did his Moertopo faction envision a genuine act of self-determination for the East Timorese. The plan from the start was to annex East Timor and the debate with the other factions was only over the method.

Once the Indonesian troops launched a full-scale invasion in December, Wanandi made the diplomatic rounds: ‘It was a PR job, and not a nice one, because we didn’t agree with what was happening.’ He was in Washington DC coaching the people Indonesia sent to testify to the US Congress, explaining to them how they could not admit that the troops had ‘invaded’.

Wanandi has the remarkable ability to acknowledge a crime and then blame the victims for it. He admits Indonesian troops shot and killed five foreign journalists in Balibo to eliminate witnesses to the invasion: ‘it could not be known that they were invading’. So here is a clear admission to a war crime: the deliberate murder of non-combatants. Then he blames the journalists themselves for putting themselves in a war zone: ‘They thought it would be a picnic and of course they were shot.’ Of course.

This memoir allows us some glimpses into the depraved mindset of Suharto-era officialdom. Wanandi and his fellow Golkar leaders engineered electoral victories every five years by intimidating people. They sent civil defence personnel house-to-house to inform people that a vote against Golkar would be construed as a vote for the PKI. They organised a civil servants association as a ‘tool of Golkar to win elections’. They mobilised street toughs, the preman. Wanandi is proud of the electoral victories and is not troubled by the underhanded methods to achieve them. Pak Ali assigned him tasks and he completed them successfully. Asal bapak senang (as long as the boss is happy). Moertopo famously called commoners ‘a floating mass’; they had to be manipulated and directed because they were too stupid to think for themselves. Wanandi takes that premise for granted.

Moertopo arranged the funding for Wanandi’s think-tank, CSIS, in 1971 by calling up various Chinese Indonesian businessmen, cukong (a term Wanandi euphemistically translates as ‘patron’), and asking for money: ‘that was all that was needed’. With CSIS, Wanandi styled himself as an intellectual and cultivated contacts with foreign academics, all the while serving as a Golkar boss and intelligence operative. CSIS was another seduction strategy, this time targeting foreigners who were influential in shaping international opinion about the Suharto regime. It was also a way to monitor and punish the recalcitrant ones, like Benedict Anderson. (Anderson has written about his run-ins with Wanandi in his 1996 article in the journal Indonesia, ‘Scholarship on Indonesia and Raison d’État’.)

Wanandi would like readers to think he has a heart; that his work on the dark side has only left him streaked with grey and not dyed jet black. He recounts his lobbying in the 1970s to get political prisoners released and allow the Red Cross into East Timor. This work seems to have been greatly motivated by the need to placate foreign criticisms of the regime.

I was surprised to find Wanandi flattering my book about the September 30th Movement ‘as the best explanation of who was behind the coup and why it failed’. The praise is accompanied by a silence on my condemnation of the army’s reaction to the movement. As is his habit, he blames the victims. The movement was ‘a terrible blunder that opened the floodgates to retribution’. The PKI was responsible for the violence against it. He invokes the old cliché: the atmosphere of the time was ‘kill or be killed’. That specious depiction of the time conveniently exonerates the perpetrators who cowardly executed people who were already tied up and then made them disappear. As the recent film The Act of Killing (2012) reveals, the best way to dispel the perpetrators’ myths is to let them describe precisely what they did.

Wanandi ends his book in Candide-like fashion, bereft of the optimism that animated his early enthusiasm for the Suharto regime, writing about his think-tank as the little garden he cultivates. By the end of the book I felt like going outside and cultivating a real garden as a relief from reliving the grey-on-grey nightmare of Suharto-era officialdom.

Jusuf Wanandi, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998 (Singapore: Equinox, 2012).

John Roosa (jroosa@mail.ubc.ca) is Associate Professor of History at the University of British Columbia and author of Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (Madison: University of Wisconsin Press, 2006).



THE ACT OF KILLING” has won best Documenary Film at the “2014 BAFTA Awards”

IBRAHIM ISA'S FOCUS
Sunday, 23 February , 2014
------------------------------------

    Items From Foreign news agencies and Websites>
* *     *     *

THE ACT OF KILLING” has won best Documenary Film at the “2014 BAFTA Awards”
    Filmmaker and Director of “The Act of Killing” Joshua Oppenheimer:
    "The media and public are talking about the moral catastrophe" of the genocide in Indonesia . . . .

* * *
    "It is helping to catalyse a change in how Indonesia talks about its past,"
    MORE INTERNATIONAL ATTENTION ON 1965/1966 GENOCIDE IN INDONESIA

* * *

Joshua Opppenheimer's acceptance speech also included this section:

I urge us all to examine ourselves, and acknowledge that we are all closer to perpetrators than we like to believe. The United Kingdom and United States helped to engineer the genocide, and for decades enthusiastically supported the military dictatorship that came to power through the genocide. We will not have an ethical or constructive relationship with Indonesia (or so many other countries across the global south) going forward, until we acknowledge the crimes of the past, and our collective role in supporting, participating in, and, ultimately, ignoring those crimes.

Note:

The British Academy of Film and Television Arts (BAFTA) supports, promotes and develops the art forms of the moving image - film, television and video games - by identifying and rewarding excellence, inspiring practitioners and benefiting the public.
As the leading charity in the UK supporting the art forms of the moving image, BAFTA ensures that the very best creative work can be accessed and appreciated by the public.


* * *
Joshua Oppenheimer's documentry “THE ACT OF KILLING” has won bes documenary filmt at the 2014 Bafta awards.


"It is helping to catalyse a change in how Indonesia talks about its past," said Oppenheimer in his acceptance speech, adding that "the media and public are talking about the moral catastrophe" of the genocide in Indonesia the film depicts.

The Act of Killing
  1. Production year: 2012
  2. Countries: Rest of the world, UK
  3. Cert (UK): 15
  4. Runtime: 115/159 mins
  5. Directors: Christine Cynn, Joshua Oppenheimer
  6. Cast: Hajif Anif, Syamsul Arifun
He highlighted British and American involvement in the crimes of the country's warlords, saying they have "collective responsibility" for "participating in and ignoring" the crimes. He thanked only his anonymous co-director, who couldn't appear because of the secrecy needed to protect him.
The Act of Killing was voted the best of 2013 by Guardian critics, and is up for two awards at this year's Baftas: best documentary and best foreign-language film.

It is considered a frontrunner for the best documentary film awards at the Oscars on 2 March.

* * *

The Act of Killing wins 2014 Best Documentary BAFTA

February 16th, 2014

The 2014 BAFTA AWARD FOR BEST DOCUMENTARY IS WON BY THE ACT OF KILLING!

At a star studded ceremony in London tonight, Dogwoof's The Act of Killing went home with the BAFTA Award for Best documentary film, beating off stiff competition from The Armstrong Lie, Blackfish, Tim's Vermeer and We Steal Secrets: The Story of Wikileaks. Director Joshua Oppenheimer was in London to collect the award. Joshua thanked everyone who had worked on the film in the UK, Denmark and in Indonesia and talked about how the film is starting to catalyse a change for how Indonesia talks about its past, and asking governments to take responsibility. Joshua dedicated the award to his Anonymous Indonesian co-director.


The Act of Killing director Joshua Oppenheimer accepts the BAFTA
The Act of Killing team all dressed up for the ceremony: Signe Byrge Sørensen, Joshua Oppenheimer, Andre Singer and Shusaku Harada.

In this chilling and inventive documentary, executive produced by Werner Herzog, Errol Morris and André Singer, the unrepentant former members of Indonesian death squads are challenged to re-enact some of their many murders in the style of the American movies they love. In the 1960’s Anwar Congo was a leader in Indonesia’s pro-regime paramilitary the Pancasila Youth who, along with his band of dedicated followers, was amongst those who participated in the murder and torture more than a million alleged Communists, ethnic Chinese and intellectuals.

Proud of their deeds and completely unpunished, Anwar and his pals are delighted when the film’s director ask them to re-enact these murders for their documentary – in any genre they desire. Initially Anwar and his friends enthusiastically take up the challenge using hired actors, making elaborate sets and costumes and even using pyrotechnic, but eventually as the movie violence is played out and reconstructed, Anwar finally begins to feel unease and remorse.

Joshua Oppenheimer's THE ACT OF KILLING is now out on both DVD and Blue-rqay.  Both the DVD and Blu-ray come packed full of extras - including content from producers Errol Morris and Werner Herzog! The film is also now available to watch on iTunesand on Dogwoof. TVfor members to watch.

* * *

by SCOTT MACAULAY
in Film Makers Video, Filmmaking
on Feb 16, 2014

The radical documentary, The Act of Killing, won yesterday the Best Documentary prize at the 2014 BAFTA Awards 2014 on Sunday night.

In his speech , director Oppenheimer thanked his anonymous co-director, who is not able to publicly reveal his or her role in the film, and said the picture “is helping to catalyze a change in how Indonesia talks about its past…”

But one section of Oppenheimer’s speech was omitted from the video, above, that BAFTA posted online.

His acceptance speech also included this section:
The role of the CIA and State Department in the Indonesian genocide are discussed in “The Murders of Gonzagno” an essay by the film’s executive producer, Errol Morris, at Slate. Morris interviews Bradley Simpson, a Princeton University professor and author

Simpson:

The CIA was hoping to use black propaganda and some disbursements of money to try and maneuver the Indonesian Communist Party into a position where they would be tempted to do something stupid—given that the U.S. was actually incredibly weak in Indonesia in 1964 and 1965, and had very few cards to play.

The paper trail is a lot clearer and the U.S. role is better documented in terms of what the U.S. knew, how much they were encouraging the Indonesian army, and the degree to which they were providing weapons and econ3

* * *

2014-02-16

THE ACT OF KILLING wins BAFTA Award for Best Documentary Film

At a star studded ceremony in London "The Act of Killing" went home with the BAFTA Award for Best Documentary Film, beating off stiff competition from The Armstrong Lie, Blackfish, Tim's Vermeer and We Steal Secrets: The Story of Wikileaks.

Director Joshua Oppenheimer was in London to collect the award. Joshua thanked everyone who had worked on the film in the UK, Denmark and in Indonesia and talked about how the film is starting to catalyse a change for how Indonesia talks about its past, and asking governments to take responsibility. Joshua dedicated the award to his Anonymous Indonesian co-director.

* * *












Friday, February 21, 2014

HARRY POEZE SAHABATKU SAHABAT SEJATI RAKYAT INDONESIA

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 20 Februari 2014
-------------------------------

HARRY POEZE SAHABATKU
SAHABAT SEJATI RAKYAT INDONESIA

* * *

HARRY POEZE SAHABATKU - - - --
ANDA ADALAH SAHABAT SEJATI RAKYAT INDONESIA . .

Tanpa mempedulikan ancaman dan intimidasi, sorak-sorai parau mereka-mereka yang jiwanya sudah menjadi kerdil dan mandul . . .

Dr Harry Poeze JALAN TERUS DENGAN PELUNCURAN BUKUNYA "TAN MALAKA" (Edisi Indonesia Jilid 4 ).. .

* * *

Harry Poeze lebih dari pakar lainnya telah memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia, tokoh KIRI INDONESIA, YANG DILUPAKAN --

TAN MALAKA SEORANG TOKOH PEJUANG KEMERDEKAAN INDNESIA YANG TANGGUH . . . .

* * *

Berbarengan dengan itu Harry Poeze mengkaji kembali jalannya REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA. SEHINGGA BUKUNYA ITU MENJADILAH BUKU SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA UNTUK MENCAPAI KEMERDEKAAN . . . .

Banyak terima kasih HARRY POEZE . .

Anda memberikan teladan bagaimana seorang sejarawan melaksanakan tugasnya . . .

Anda memberikan kesan mendalam SEBAGAI SAHABAT SEJATI RAKYAT INDONESIA ..

* * *

MULTATULI --- CISEEL, BANTEN -- Dan Ubaidilah Muchtar.......

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 19 Februari 2014
---------------------------------

MULTATULI --- CISEEL, BANTEN -- Dan Ubaidilah Muchtar.......


* * *

Nama Dr EDUARD DOUWES DEKKER, alias MULTATULI - "AKU YANG BANYAK MENDERITA" -- sudah menjadi sejarah. Sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Sejarah Multatuli adalah kisah gugatan seorang pejabat kolonial dan cendekiawan Belanda di Lebak, Serang, Banten, terhadap feodalisme di Banten, menggugat pemerintah Hindia Belanda yang kekuasaannya di Indonesia bersandar pada sistim feodal.
Sikap masyarakat Belanda, khususnya budayawan dan sastrawannya, dalam proses sejarah mengalami perubahahan yang cukup besar. Dalam tahun 2002, `Maatschappij der Nederlandse Letterkunde´, menyatakan bahwa Dr Eduard Douwes Dekker alias MULTATULI, adalah seorang SASTRAWAN TERBESAR DALAM SEJARAH BELANDA. Dalam tahun 2004 Belanda mencantumkan nama Dr Eduard Douwes Dekker sebagai salah satu dari ORANG BELANDA TERBESAR. Hal ini bisa terjadi di negeri Belanda . .. seorang penulis mantan pejabat kolonial yang menmggugat kolonialisme Belanda dan menulis buku yang terkenal menggugat kolonialisme dan feodalisme di Jawa, seorsang penentang pemerintah Belanda ketika itu, . . . . . dewasa ini dihormati dan diangkat demikian tingginya . . . oleh masyrakat Belanda itu sendiri. Sesuatu yang patut diteladani. . . MENGAKUI FKATA KENYATAN SEJARAH BANGSA SENDIRI.
    * * *

    Russel Shorto, seorang jurnalis Amerika yang `jatuh cinta` pada kota Amsterdam, dan menulis buku "AMSTERDAM", khusus melakuksn studi sejarah kota Amsterdam, dan dengan itu sekaligus menstudi sejarah Belanda. Judul asli buku tsb adalah "A HISTORY OF THE WORLD'S MOST LIBERAL CITY ". . . . . Lain kali kita bisa bicara lebih banyak mengenai buku Russel Shorto, "AMSTERDAM", yang sesungguhnya merupakah sebuah buku tentang SEJARAH BELANDA. Demikian populernya buku itu, sehingga dalam jangka waktu 4 bulan (September - Desember 2013) telah mengalami SEPULUH kali cetak ulang.
    Tentu Russel Shorto tidak melewati cerita tentang Eduard Douwes Dekker. Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli, tulis Russel Shorto, seperti dikatakan oleh penulis-penulis Belanda, adalah seorang yang hadir pada awal perlawanan terhadap kolonialisme. Sedangkan Karta Nata Negara adalah seorang bupati, penguasa feodal di Lebak, Banten, yang karena penghisapannya terhadap rakyat petani Banten, dan yang menjadi sandaran kolonialisme Belanda, telah menggugah dan mendorong Douwes Dekker, untuk menulis bukunya yang terkenal : MULTATULI.
Setiap orang Indonesia yang peduli sejarah tanah airnya seyogianya mengenal siapa Dr Eduar Douwes Dekker.
Dalam hal ini, kiranya tidak ada orang Indonesia yang paling “getol”, paling serius dan gairah, amat tekun memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya, SIAPA MULTATULI.
Orang ini adalah UBAIDILAH MUCHTAR . . populer disapa KANG UBAI. Seorang guru yang menkhayati apa arti kata “guru”.
* * *
Ubaidillah Muchtar bersepeda motor dari Sawangan, Depok, menuju kampung
Ciseel, desa Sobang, Kabupaten Lebak, menempuh jalan ratusan kilometer.
Disitulah Kang Ubay memperkenalkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli
ke masyarakat Ciseel, yang langka fasilitas itu. Jalan menuju Desa Ciseel berlika-liku dan tak beraspal. Kesanalah Kang Ubay melakukan silaturahmi dengan masyarakat kemudian membentuk grup membaca dengan bacaan utama novel Max Havelaar.

Di desa itu dimulai cerita unik pada tanggal 23 Maret 2010. Pekan demi pekan, para peserta reading group belajar kenal dengan tokoh Max Havelaar dan perjuangannya di masyarakat Lebak. Suatu perlawanan terhadap kejahatan bupati bangsa sendiri kala itu..

Kini setelah setahun berlalu kegiatan tetap berlanjut dengan perkembangan mengagumkan karena edisi Max Havelaar dalam beragam bahasa mulai dibaca. Begitu kutulis hampir dua tahun yl di Kolom IBRAHIM ISA (Kemis, 29 Maret 2012), berjudul
TAMAN BACA MULTATULI" Di Sebuah Desa Banten . . . . .

* * *

Hari ini disajikan di bawah ini tulisan Ubaidah Muchtar, memperingqti ultang tahun ke 127 meninggalnya DR EDUAR DOUWES DEKKER alias MULTATULI.

* * *

Satu ikhtiar kecil untuk menghidupkan ingatan melalui bacaan”, 19 Februari, 2014
Oleh Ubaidilah Muchtar

127 tahun yang lalu ia meninggal. Sebenarnya belum begitu tua, dan cukup sehat, kecuali bahwa ia punya asma, dan levernya sudah sakit sejak di negeri Hindia, hingga warna mukanya kekuning-kuningan. Keadaannya adalah seperti seekor burung kenari.

19 Februari 1887 Multatuli meninggal di Nieder-Ingelheim, Jerman. Di sebuah rumah yang dibeli oleh pengagum-pengagumnya. Ia meninggal dalam posisi duduk di kursi. Dua bulan sebelumnya, tepat 11 Desember 1886, ia berucap, “Asmaku sangat mengganggu. Tidak selalu sama terus, tapi, kadang-kadang aku seperti mau berhenti bernafas.”

Tidak lama sesudah Multatuli meninggal, diketahui ia meninggalkan utang. Ada utang 120 Mark pada petani kol, 100 Mark pada beberapa toko buku, 140 Mark pada tukang daging, dan seterusnya, dan seterusnya. Inilah akhir hidup novelis masyhur kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 si “aku yang banyak menderita”.

Dalam suratnya yang terakhir (17 Agustus 1886) kepada sahabat lamanya Marie Anderson ia menulis: “Terus terang: aku tidak bisa hidup, artinya dalam hal keuangan. Bahwa kami hidup dalam rumah yang relatif bagus, lebih merepotkan daripada sepenuhnya. Disebabkan karena berbagai hal yang kebetulan aku sebetulnya tidak bisa tinggal di sini, namun aku tidak bisa pergi. Bagaimana nasib M. kalau aku mati, hal yang segera akan terjadi, aku kira, aku tidak tahu! Singkatnya, kami sering sangat tertekan. Ini membuat getir tahun-tahunku atau … bulan-bulanku yang terakhir.”

Multatuli, seorang pendahulu, adalah juga orang Belanda pertama yang dikremasi, di Gotha. Hanya beberapa orang Belanda yang hadir, di antaranya: Mimi dan saudaranya laki-laki, sahabatnya Braunius Oeberius dan istri, dan dua orang muda yang tidak dikenal dari Middelburg: Ghijsen dan Wibaut.
Abunya mula-mula disimpan oleh Mimi, kemudian bertahun-tahun disimpan di perpustakaan Universitas di Amsterdam. Tahun 1948 didirikan sebuah monumen di pemakaman Westerveld, kotak kaleng berisi abu Mimi dan Multatuli, dikuburkan dengan khidmat di situ. Monumen tersebut direncanakan oleh A.H. Wegerif. Diresmikan 6 Maret 1948. 

Di monumen tersebut tertulis ucapan Multatuli yang indah bunyinya: “Panggilan nurani manusia ialah untuk menjadi manusia.”

Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, si pemikir revolusioner, penyair, satirikus, kritikus, moralis, dan pembaharu adalah penulis terbesar, “satu-satunya pengarang Belanda yang lebih dari seratus tahun tetap menarik perhatian.” Demikian Willem Frederik Hermans mencatat. 

Pengaruhnya juga tertinggal di Indonesia, utamanya pada pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan. 

Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, masa itu, dalam kata pengantar Max Havelaar edisi pertama, 1972 (terj. H.B. Jassin) mencatat bahwa bagi bangsa Indonesia, Multatuli mempunyai arti yang khusus. Karena bukunya merupakan bahan dokumentasi yang penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Tetapi nilai yang tiada taranya, terletak pada segi-segi kemanusiaan, kesatriaan, dan pendidikan watak yang ditampilkannya.

Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempunyai kedudukan yang penting dalam sejarah bangsa kita, khususnya masa penjajahan Belanda. Seperti kita maklumi, dengan roman itu Multatuli telah berhasil membukakan mata kaum politik di negeri Belanda terhadap kebobrokan yang terdapat di daerah jajahannya. Akibatnya, sejak terbit karya itu pada tahun 1860 dimulai usaha-usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia lewat kebijakan ekonomi serta kesempatan pendidikan. Gagasan-gagasan dalam roman itu akhirnya juga bermuara kepada kebijaksanaan Politik Etika yang termasyhur itu yang memperhatikan kepentingan dan kemajuan bangsa Indonesia.” Subagio Sastrowardoyo mencatat hal tersebut dalam kata pengantar buku Willem Frederik Hermans, Multatuli yang Penuh Teka-Teki (1988).

Subagio juga mengingatkan bahwa, Multatuli memang penting bagi Indonesia, dan bagi pembaca Indonesia menariklah mengikuti riwayat hidupnya…. Tetapi kita tidak boleh silap, bahwa di dalam periode yang amat panjang sesudah gagasan-gagasan Multatuli didengar dan berpengaruh itu, di dalam masa-masa penjajahan yang suram dan menekan itu, Multatuli dengan Max Havelaar-nya makin lama makin Nampak sebagai tokoh yang makin susut sosok kepribadiannya di ufuk sejarah, yang berteriak sia-sia di tengah padang pasir yang tak memantulkan kembali kumandang suaranya.

Semangat Multatuli dalam Max Havelaar yang berisi semangat antikorupsi, melawan pembodohan dan pemiskinan, melawan kesewenang-wenangan dan eksploitasi. Roman dengan banyak hikmah yang harus terus kita renungkan. Roman dengan nilai-nilai yang menyentuh lubuk hati umat manusia. Semangat itu jangan sampai pupus. Membaca Max Havelaar kembali adalah satu upaya. Ya, membaca kembali Max Havelaar!

Max Havelaar, roman yang mempunyai kekuatan masyarakat. Roman yang merupakan hasil kesusastraan yang tinggi. Roman kepahlawanan, pembela rakyat tertindas. Meskipun sudah 153 tahun sejak pertama kali diterbitkan. Meskipun banyak kritik yang menimpanya.  Namun tetap pada keyakinannya: Ya, aku bakal dibaca!

Berikut ini ramalan Multatuli yang ia tulis dalam Max Havelaar:

Buku itu isinya aneka macam, tidak beraturan, pengarangnya mengejar sensasi, gayanya buruk, tidak Nampak keahlian; …. tidak ada bakat, tidak ada metode.”
Baik, baik ….. semuanya itu benar, ….tapi orang Jawa dianiaya!
Sebab orang tidak bisa membantah maksud utama karyaku.
Semakin keras orang mengeritik bukuku, semakin baik aku rasa, sebab lebih besar kemungkinan bakal didengar; --dan itulah yang aku mau.

127 tahun yang lalu Multatuli meninggal. Namun membaca Max Havelaar masih relevan dan harus terus diupayakan. Terus dihidupkan. Drs. G. Termorshuizen pernah menulis, “Pertemuan dengan dengan Havelaar tetap aktual: manusia Havelaar yang tidak terikat secara historis, individu yang berjuang melawan kepentingan diri kolektivitas. Terutama motif-motif manusiawi, itulah titik tolak Multatuli, yang menjadikan Max Havelaar mengandung tenaga yang begitu hebat.”

Kearifan ucapannya tetap bertahan. Membimbing kita agar selalu waspada pada praktik kekerasan dan eksploitasi, penyalahgunaan kekuasaan, dan penindasan. Juga bentuk feodal pemerintahan, serta tokoh-tokohnya yang rakus dan korup. 

Kearifan seperti: “Sebab kita bersukacita bukan karena memotong padi, kita bersukacita karena memotong padi yang kita tanam”. Tetap berlaku hingga hari ini.

Damai selalu di sana, Max! ***


Pondok Petir, 16 Februari 2014