Monday, April 28, 2014

B e r t e m u l a g i d e n g a n PRAMUDYA ANANTA TOER

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 28 April 2014
---------------------------

Sahabatku Ariel Haryanto, mengingatkan, bahwa lusa, 30 April tepat sewindu meninggalnya PRAMUDYA ANANTA TOER. Ia lahir di Blora, 08 Februari, 1925 – meninggal 30 April, 2006, di Bogor.

Tulisan di bawah ini dimaksudkan sebagai KENANG-KENANGAN TAK TERLUPAKAN PADA PRAMUDYA ANANTA TOER

* * *

B e r t e m u   l a g i   d e n g a n
PRAMUDYA ANANTA TOER

* * *

I.
Sejak dilangsungkannya Sidang Biro Pengarang Asia-Afrika di Den Pasar, tahun 1963, baru 36 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Juni 1999 y.l, saya jumpa lagi dengan Pramudya Ananta Toer di Schiphol, Amsterdam. Ia datang dari perlawatannya ke Amerika dan Canada.Ia berkunjung ke Belanda bersama istrinya Maimunah dan Ucup . Pada hari itu, puluhan kawan-kawan Indonesia yang ada di Belanda, termasuk teman-teman Belanda, datang menjemput. Beberapa teman ada yang membawa poster besar bertuliskan :'Selamat Datang'. Ucup sangat terkesan dengan sambutan yang hangat itu: " Luar biasa", katanya pada saya.

Sedangkan saya sendiri, yang ikut menyambut Pramudya c.s. , karena keterlambatan dari Singapore Airline yang mereka tumpangi, sudah merasa tidak sabaran lagi. Kok, lama sekali mereka tidak muncul-muncul. Begitu mereka muncul dari pintu duane, saya sungguh amat gembira bercampur heran, melihat Pram begitu sehat tampaknya. Tapi kemudian kesan ini tidak lengkap. Sebab, menurut pemeriksaan dr. MayLie Siaw yang oleh panitia penyambutan di Holland diminta untuk memperhatikan kesehatan Pram, Pramudya dan juga Ucup betul-betul harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kesehatan mereka. Mereka sudah tidak muda lagi. Saya yakin di Jerman dan Paris nanti, kawan-kawan di sana juga akan sangat memperhatikan kesehatan Pram dan rombongannya. Tokoh Pramudya Ananta Toer, sudah menjadi aset nasional berharga yang amat langka. Maka, kesehatannya perlu dijaga baik-baik.

Ben Anderson, tokoh ilmuwan Amerika, pakar tentang Indonesia, dalam salah satu wawancaranya belum begitu lama, ketika ditanyakan wartawan siapa tokoh Indonesia yang bisa dikatagorikan pahlawan, mengatakan bahwa dia tidak gampang menilai siapa pahlawan di Indonesia. Tetapi Ben mengagumi tiga tokoh yang punya karakter, punya moralitas, punya integritas. Ketiga orang itu, menurut Ben Anderson, pertama adalah Pram, lalu Soe Hok Gie, dan Mr Yap Thiam Hien. Ben bilang Pram adalah orang yang tidak pernah tunduk pada penindasnya.. Dengan segala penderitaannya Pram toh bisa menciptakan karya sastra yang luar biasa. Ben selanjutnya menandaskan bahwa ia juga angkat topi kepada temannya yang sudah lama meninggal, Soe Hok Gie. Yang walaupun aktif melawan PKI, tetapi pada waktu pembantaian masal, penangkapan dan pengiriman ke Buru, dia satu-satunya orang yang pada waktu itu berani mengatakan di pers bahwa ini salah. Dia satu-satunya orang yang menyatakan begitu pada tahun 60-an. Yang ketiga, tentunya almarhum Pak Yap. Dia bersedia membela orang-orang yang sudah pasti akan dihukum mati. Yang notabene adalah lawan politiknya. Tapi dia berusaha keras membela mereka sebaik mungkin. Walaupun karena itu dia sendiri tentu rugi. Karena jadi dibenci oleh penguasa. Demikian Ben Anderson.

Uraian Ben, teristimewa mengenai Pram, itu benar sekali. Memang, begitulah saya mengenal Pram sejak dulu .

Ketika kami omong-omong sebentar di ruangan istirahat di Rode Hoed pada tanggal 6 Juni 1999 , Pram masih ingat betul peristiwa di Bandung pada akhir tahun limapuluhan, ketika diadakan Musyawarah Nasional Untuk Perdamaian. Disitu hadir pula wakil dari World Peace Council (Wina, Austria), seorang penulis berbangsa Irak.. Pimpinan Munas Untuk Perdamaian minta kepada saya, yang waktu itu kebetulan duduk di Komite Perdamaian Indonesia Pusat, untuk mendiskusikan dengan Pram, yang hadir dalam Munas sebagai salah seorang utusan, bagaimana kita bersama melanggengkan dan mensukseskan jalannya Munas. Ketika Pram memperlihatkan pidato yang akan dibacakannya, memang di dalam teks pidatonya itu, ada bagian-bagian yang mengkritik keras fihak militer ketika itu. Memang, waktu itu tentara sudah lama bertindak otoriter dan opresif terhadap rakyat. Tentara (Angkatan Darat) menggunakan kedudukannya sebagai penguasa SOB (Staat van Oorlog en Beleg, UU Darurat Perang), untuk main kuasa, main tangkap, main berangus, dsb. Kritik Pram terhadap fihak militer itu sepenuhnya benar. Tetapi pinpinan Munas minta pertimbangan Pram, bagaimana caranya agar bagian-bagian yang bersangkutan dari pidatonya itu jangan sampai bisa digunakan sebagai dalih oleh fihak tentara untuk mengganggu bahkan menghentikan samasekali sidang. Tetapi Pramudya keras bertahan untuk tetap menyatakan dimuka forum Munas Perdamaian, kritiknya terhadap tentara yang sewenang-wenang.

Betul saja, seusai Pram berpidato, tentara mancarinya dan kalau tidak salah sesudah diinterogasi, Pram ditahan. Terhadap fihak militer Pram tetap mempertahankan pendiriannya, tetap mengkritik tentara. Saya lupa berapa lama tentara menahan Pram ketika itu. Peristiwa yang saya alami
sendiri itu, membenarkan observasi Ben Anderson bahwa Pram memang orang tidak pernah mau tunduk terhadap penindasan.

II.
Kunjungan Pram ke Holland, akan disusul kemudian ke Jerman dan Paris, dipenuhi oleh acara yang padat sekali.Saya khawatir, mungkin tidak ada waktu lagi bagi saya untuk dengan leluasa ngomong-ngomong dengan Pram. Saya merasa ingin sekali bertukar fikiran dengan Pram. Ketika pada tanggal 6 Juni dilangsungkan pertemuan di Rode Hoed, Keizersgracht 102, Amsterdam, yang diselenggarakan oleh Komite Penyambutan Pramudya di Holland, dengan mengundang sampai tiga ratus lebih tamu, saya hnya ada sedikit kesempatan, barangkali hanya beberapa menit, bicara dengan Pram. Dalam dialog kami itu , Pram juga menekankan tentang keharusan untuk bisa mendengar orang yang punya pendapat berbeda dengan kita. Sampai disitu saja pembicaraan kami, karena pertemuan segera dimulai lagi.

Dalam pertemuan tanggal 6 Juni itu, saya tidak ada kesempatan untuk ambil bagian dalam diskusi mengenai pembicaraan Pramudya.. Mengingat dari publik begitu banyaknya yang ingin bicara dalam diskusi.

Pembicaraan Pram pada hari itu, yang amat menjadi perhatian saya ialah kepedulian Pram yang amat besar terhadap masalah "nation-building". Pram menandaskan betapa pentingnya nasion Indonesia meninjau kembali, mengadakan pengkoreksian, melakukan pelurusan terhadap budaya dan sejarahnya sendiri. Karena selama lebih dari 30 tahun, Orba telah melakukan pembohongan dan pemalsuan sejarah yang paling besar dalam kehidupan Republik Indonesia. Pengkoreksian terhadap kebohongan sejarah itu belum pernah dilakukan hingga saat ini. Hanyalah atas dasar pelurusan sejarah dan pengkoreksian atas kebohongan-kebohongan Orba, bisa dilakukan penulisan sejarah yang benar, atas dasar mana dilanjutkan usaha "nation building" dengan dasar yang sehat.

Masalah lainnya yang dikemukakan Pram, yang bagi saya merupakan hal baru, ialah tentang sifat Indonesia sebagai negeri maritiem. Bila Indonesia diurus sebagai suatu negara maritiem sebagaimana seharusnya, maka akan terhindarlah Indonesia dari ulahnya angkatan darat yang menjadi penguasa tunggal itu. Kan aneh, kata Pram, masa negeri maritiem diurus oleh angkatan darat. Sebagai negara maritiem , seyogianya diatur sesuai dengan sifatnya sebagai negeri maritiem. Maka lautan akan memainkan perannya sebagai penghubung dan pemersatu diantara pelbagai
bangsa dari nasion Indonesia. Karena negara maritiem diurus oleh angkatan darat, maka lautan telah berfungsi sebagai pemisah dan rintangan untuk persatuan dari pelbagai pulau dan bangsa di Indonesia.

Mengenai masalah bangsa, Pram mengajukan stelling bahwa adalah lebih tepat mengatakan bahwa Indonesia adalah suatu nasion, dan bukan suatu bangsa. Ini juga baru bagi saya. Ini mungkin cara berfikir yang bisa membantu untuk memahami apa itu nasion Indonesia, agar bisa memberikan sumbangan masing-masing dalam usaha 'nation building'.Yang namanya bangsa itu, menurut Pram, adalah Jawa, Sunda, Bugis, Minang, Aceh, Batak, Minahasa, Ambon, dll. Kesatuan dan keutuhan dari bangsa-bangsa di Indonesia, itulah namanya nasion Indonesia. Nasion Indonesia adalah suatu nasion yang "Bhinneka Tunggal Eka", berbeda-beda tetapi satu. "Unity in Diversity".

Salah satu stelling Pram: Proses "nation building" Indonesia belum selesai. Dalam hal ini Bung Karno adalah pemimpin pertama Indonesia, yang paling memberikan perhatian besar pada masalah ini. Memang, Saya ingat betul betapa Bung Karno, selama tiga tahun lebih, ketika Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang, menggunakan semaksimal mungkin kesempatan yang ada padanya, untuk melakukan pendidikan politik pada rakyat Indonesia dalam rangka usaha 'nation-building' itu. Bung Karno telah meriskir dituduh 'kolaborator fasis Jepang', demi memperoleh konsesi politik dari Jepang, untuk menggembleng rakyat Indonesia mengenai pentingnya berbangsa, bernegara dan melakukan pembagnunan nasion Indonesia. Beliau melakukan perjalanan keliling sampai ke pelosok tanah air untuk memenuhi misinya sebagai "nation-builder".Sejak proklamasi kemerdekaan Bung Karno sebagai Presiden RI, tidak mengendorkan, tetapi bahkan mempergiat usaha "nation building" itu. Setiap kesempatan beliau gunakan untuk mendidik seluruh bangsa Indonesia ke tujuan tsb.

Lalu dalam pembicaraannya itu, Pram menekankan berulangkali, tentang arti penting dan keharusan adanya k e b e r a n i a n bagi setiap orang yang bercita-cita keadilan.. Bila tidak ada keberanian, maka akan sama saja dengan ternak, dan akan diperlakukan sebagai hewan, kata Pram. Keberanian perlu ditanamkan dalam diri setiap pencinta kemerdekaan dan demokrasi. Tanpa keberanian berjuang, cita-cita itu hanya tinggal harapan kosong belaka. Tentu, saya fikir, bukan saja harus berani, tetapi juga harus pandai berjuang. Hal itu merupakan kearifan pejuang-pejuang kemajuan pada masa lampau, yang telah terbukti keunggulannya.

Namun, ada beberapa hal yang dikemukakan Pram dalam pertemuan itu yang memerlukan pemikiran lebih mendalam.

Pertama mengenai pemilu kali ini. Pram sangat skeptis. Karena aparat yang melaksanakannya adalah birokrasi Orba yang lama itu. Sepintas lalu bisa saja dikatakan demikian. Sesudah jatuhnya Suharto yang disebabkan oleh menggeloranya gerakan reformasi dengan mahasiswa di barisan pendobraknya, seyogianya bisa dilihat dan dialami sendiri, bahwa ada perubahan tertentu dalam situasi politik Indonesia. Sementara kebebasan demokratik, yaitu kebebasan menyatakan pendapat, dicabutnya kekangan terhadap media cetak dan elektronik, kebebasan berorganisasi sampai
membangun partai politik sudah merupakan kenyataan kongkrit. Dalam pemilu kali ini 48 parpol ambil bagian, termasuk partai yang paling kiri dan progresif, PRD. Birokrasi Orba masih ada peranan dalam pemilu, tetapi lebih besar lagi adalah peranan parpol, LSM, KIPP dengan 300.000 aktivis dan sukarelawan, beserta ratusan pemantau dari masyarakat internasional. Ini adalah perbedaan yang nyata dibandingkan dengan pemilu-pemilu rekayasa zaman jaya-jayanya Orba. Rakyat juga antusias ambil bagian dengan aktif. Antara lain dengan dibentuknya posko-posko. Ini adalah suatu kemajuan yang perlu dinilai dengan tepat, disambut dan dikembangkan lebih lanjut. Ini bukan gejala yang membikin orang jadi skeptis. Bila jutaan massa rakyat ambil bagian dalam suatu kegiatan politik di mana terdapat sedikit banyak kebebasan demokratis, maka itu adalah suatu pertanda yang positif ke arah kemajuan.Untuk mencapai
pemilu yang sungguh-sungguh 'luber' dan 'jurdil' diperlukan adanya perjuangan lebih lanjut dan adanya kepercayaan pada massa rakyat yang luas, dan juga diperlukan optimisme.

Kedua, mengenai partai-partai yang tergolong kekuatan reformasi yang ambil bagian dalam pemilu. Memang, jika diukur dari kehendak subyektif yang mengharapkan situasi sudah jauh berubah , parpol-parpol yang ada yang digolongkan kekuatan reformasi itu, seperti PDI Perjuangan, PKB, PAN, PUDI, PRD dan mungkin masih ada lagi, dari segi tujuan dan program
politik, kwalitas pimpinan dan kader-kadernya maupun jumlah, belum ideal. Tetapi, biar bagaimanapun mereka adalah kekuatan yang punya potensi untuk mencegah kembalinya rezim Orba yang lama. Pemerintah yang sekarang ini, memang masih ORBA yang lama dengan tambal sulam di sana sini.. Tetapi bila kekuatan reformasi seperti yang disebut diatas, bisa
mencapai keunggulan atas Golkar dan kekuatan "Statusquo", jika mereka bisa bersatu dan kerjasama, termasuk mengadakan aliansi dan koalisi; maka tidaklah salah mengharapkan adanya pemerintahan yang lebih baik bagi Indonesia sesudah pemilu. Suatu pemerintah yang lebih demokratis, lebih transparan, lebih bersih. Dengan demikian peluang bagi kekuatan
yang betul-betul demokratis dan progresif, untuk lebih berkembang dan mengkonsolidasi diri menjadi lebih besar.

Dalam hal bersatu melawan kekuatan "Statusquo" dan retrogres, adalah arif berpedoman pada stelling, 'memperkecil sasaran sekecil mungkin , dan, memperbesar seluas mungkin kekuatan yang bisa dipersatukan'.

Ketiga, mengenai golongan cendekiawan dan angakatan muda. Pramudya mengkonstatasi, tidak ada satupun dari kaum intelektuil Indonesia yang berani tampil untuk memprotes rezim Suharto ketika terjadi pembantian massal pada tahun-tahun 1965-1966 dst, juga dalam peristiwa Tg Periok, Lampung, Aceh, Timor dll, dimana Orba dengan sewenang-wenang melakukan opresi dan pembunuhan masal terhadap rakyat sendiri. Seluruh kaum intelektuil Indonesia ketika itu 'tiarap' demi untuk kelangsungan hidupnya. Mereka menjadi kaum 'yes-man' , menjadi tawanan dari budaya 'panutan'.

Kemudian, sesudah ada reaksi publik dalam pertemuan itu, Pram mengubah sedikit stellingnya dengan mengatakan, kalaupun ada intelektuil yang berani, itu pengecualian, seperti Mokhtar Pakpahan.

Tanggapan saya ialah bahwa di mana saja di dunia ini, di dalam perjuangan revolusioner untuk kemerdekaan dan kebebasan , ataupun dalam perjuangan reformasi, demokrasi, dan hak-hak azasi menusia, kenyataannya sudah menjadi hukum, bahwa yang berani itu jumlahnya sedikit saja, minoritas. Yang banyak adalah yang ada ditengah-tengah. Yang reaksioner dan kepala batu, yang ngotot mempertahankan "Statusquo" itu juga adalah minoritet. Yang berani yang jumlahnya sedikit itu, jika ulet dan pandai berjuang serta pandai bersatu dengan kekuatan yang patut
dipersatukan, dalam proses berangsur-angsurbertambah besar jumlah dan kekuatannya, sehingga akhirnya mengungguli kekuatan "Statusquo".

Di Indonesia ketika dilancarkannya pembantaian dan mau berlawan, yang mau menyatakan protesnya, sesungguhnya tidak sedikit. Tetapi mereka keburu dipenjarakan atau dibunuh. Teror rezim Suharto begitu ganas dan meluasnya sehingga mereka terpaksa menempuh
cara yang subtil dalam melakukan perjuangannya.

Yang akhirnya sempat menghindarkan diri dari pengejaran, pergi keluar negeri juga tidak tinggal diam, seperti Prof. Ernst Utrecht alamarhum, Siauw Giok Tjhan mantan menteri penerangan dalam kabinet zaman Revolusi Agustus, juga mantan Ketua Baperki; drs Go Gien Tjwan, mantan direktur Kantor Berita Nasional Antara, dll. Tidak sedikit yang kebetulan sedang di luarnegeri, dan tidak bisa pulang, tidak henti-hentinya melakukan kegiatan kontra propaganda melawan rezim Suharto dengan menggunakan berbagai organisasi dan forum iternasional. Dalam bulan Januari 1966, ketika sedang gencar-gencarnya Suharto membantai rakyat Indonesia, sebuah Delegasi Indonesia dalam Konferensi Trikontinental di Havana, setelah berhasil menyingkirkan "delegasi" kiriman dari Jakarta, yang dikuasai oleh militer, telah tampil di forum internasional tsb, dimuka
ratusan utusan dari Asia, Afrika dan Amerika Latin, menyatakan protes sekeras-kerasnya terhadap pembantaian massal yang dilakukan rezim Suharto-Nasution terhadap rakyat Indonesia, sekaligus Delegasi Indonesia menyerukan bantuan solidaritet internasional untuk rakyat Indonesia. Konferensi Trikontinental di Havana selanjutnya telah mengambil sebuah resolusi mengenai Indonesia yang mengutuk rezim Suharto dan menyerukan solidaritas rakyat sedunia terhadap perjuangan rakyat Indonesia .

Di dalam Delegasi Indonesia di Havana itu, terdapat sejumlah intlektuil yang patriotik dan mau serta berani berjuang demi keadilan.. Antara lain, Wiyanto SH, wakil Indonesia di Sekretariat Juris AA di Conakry, Guinea, yang datang bersama anggota Sekretaariat Juris AA lainnya, Fadiala Keita, Jaksa Agung Republik Guinea. Semua anggota Delegasi Indonesia di Konferensi Trikontinental dicabut paspornya, termasuk Wiyanto SH. Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi Trikontinental dicap oleh pemerintah Indonesia sebagai "pengkhianat bangsa". Ketika Wiyanto kembali ke posnya di Conakry sudah ditunggu oleh Dubes Indonesia di Guinea untuk dicabut paspornya. Halmana ditolak keras oleh Wiyanto dan fihak pemerintah Guinea.

Karena Sekretariat Juris AA senantiasa mengambil sikap yang tegas mengutuk rezim fasis Suharto dan pembantaian yang dilancarkannya, maka Suharto telah memerintahkan KBRI, untuk mengusahakan digesernya Wiyanto dari Sekretariat Juris AA dan menggantikannya dengan seorang Sekretaris KBRI, Hasyim Jalal. Tapi usaha itu gagal.

Sejumlah intelektuil Indonesia lainnya, yang kebetulan ada di luarnegeridan tidak bisa kembali, telah menerbitkan majalah berbahasa Inggris sperti a.l. "Indonesian Tribune" , "OISRAA Bulletin", dan yang berbahasa Indonesia:"Suara Rakyat Indonesia" Semua publikasi itu selama bertahun-tahun sejak berdirinya Orba telah menerbitkan tulisan-tulisan yang melawan tindakan-tindakan fasis dan pelanggaran hak-hak manusia Indonesia dari Orba.; serta menyerukan solidaritas internasional bagi
rakyat Indonesia. Kaum intelektuil ini melakukan perlawanan terhdap rezim Suharto menurut situasi dan keadaan mereka masing-masing, tapi mereka tetap melakukan perlawanan yang terus menerus.

Di atas tadi sudah dikutip penilaian Ben Anderson terhadap Pram sendiri, sebagai intelektuil, dan kepada intelektuil Soe Hok Gie dan Mr Yap Thiam Hien.Selanjutnya kita juga mengenal nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, Buyung Nasution, Arief Budiman, Gunawan Muhamad, G.J. Aditjondro, Bintang Pamungkas, dll. Mereka semuanya adalah intelektuil Indonesia. Ada dari mereka itu , yang semula bersama Orba, seperti Buyung Nasution dan Arief Budiman, kemudian menyadari adalah salah menyokong Orba, lalu membanting setir melakukan perlawanan terhadap Orba. Intelektuil seperti itu juga merupakan kekuatan demokratis yang perlu dipersatukan. Kesedaran itu mereka peroleh melalui praktek itu sendiri. Sebagaimana halnya banyak pejuang yang memperoleh kesadaran baru melalui praktek perjuangan itu sendiri.

Jadi, bukan tidak ada intelektuil Indonesia yang berani melakukan perjuangan. Bukanlah semuanya 'tiarap'. Kenyataan menunjukkan bahwa kekuatan pendobrak yang mendongkel Suharto sampai terguling dari kursi kepresidennya adalah kaum mahasiswa (tergolong intelektuil) dan intelktuil muda lainnya yang bermarkas di universitas-universitas di seluruh Indonesia. Maka seyogianya kita berpandangan optimis dan positif terhadap kaum intelektuil Indonesia, maksudnya di sini adalah intelektuil muda dan juga intetektuil yang lebih tua. Dalam perlawanan itu, mereka, seperti lapisan masyarakat lainnya, juga mengalami jatuh bangunnya perjuangan.

Demikianlah sedikit kesan dan tanggapan terhadap pembicaraan menarik dan berharga oleh Pramudya Ananta Toer, novelis Indonesia paling besar dewasa ini, dan yang berpandangan luas dan progresif. Pembicaraan Pramudya Ananta Toer pada hari tanggal 6 Juni itu, telah membuka fikiran yang lebih luas, serta telah juga memberikan inspirasi dan dorongan kepada pendengarnya, khususnya pada generasi muda.

Banyak-banyak terima kasih Pram!


* * *


--

---
Anda menerima pesan ini karena berlangganan grup "Jaringan Kerja Indonesia" di Google Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim email ke jaringan-kerja-indonesia+unsubscribe@googlegroups.com.
Untuk opsi lebih lanjut, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

TAN MALAKA – DISEMINARKAN LAGI DI LEIDEN . . . . “Tan Malaka: Mengapa Masih Kontroversial?” – Dr Harry Poeze


Kolom IBRAHIM ISA
Minggu, 27 April 2014
-----------------------------

TAN MALAKA – DISEMINARKAN LAGI DI LEIDEN . . . .

Tan Malaka: Mengapa Masih Kontroversial?” – Dr Harry Poeze

* * *

Kita baca di undangan yang disampaikan oleh KITLV – Siegers (dengan catatan – Mohon Daftar dahulu: siegers@kitlv.nl. --- sbb:

Seminar KITLV—PPI Leiden (Bahasa Indonesia) – Tan Malaka: mengapa masih kontroversial?”-- Oleh Dr Harry Poeze – Moderator: Prof dr. Gerry van Klinken.

Jum'at, 02 Mei – Pukul 15.00 – 17.00; Room 005, Lipsius, Universitas Leiden.

* * *

Pada bulan Januari 2014, diterbitkan Jilid 4 seri buku

Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia., Jilid 4 – September 1948-Desember 1948,

terjemahan judul Verguisd en Vergeten; Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie (2007).

Jilid ini membahas tentang kematian Tan Malaka, dan berupaya membongkar rahasia yang hingga kini masih menyelimuti ajalnya sebagai Pahlawan Nasional.

Pada bulan Januari-Februari 2014 yang lalu, Harry Poeze meluncurkan bukunya dengan melakukan perjalanan keliling Jawa. Total tigapuluh kali beliau menjadi pembicara di berbagai universitas dan lembaga dengan topik utama tentang pengembaraan Tan Malaka selama bulan-bulan terakhir hidupnya.

Tak disangka, perhatian dan animo yang ditunjukkan oleh para peserta sangat luar biasa, bahkan

perhatian lebih juga diberikan oleh Front Pembela Islam dan beberapa ormas lain yang berupaya mendesak pembatalan peluncurqan buku tersebut dengan segala cara.

Delam seminar yang diselenggaakan oleh PPI Leiden dengan bekerjasama dengan KITLV ini, Harry Poeze akan bercerita mengenai bukunya dan cuplikan perjalanannya ketika berkeliling Jawa.
Demikian isi surat undangan KITLV --

* * *

Benar-benar tidak pernah terfikirkan. Bahwa ada seorang Belanda, pakar sejarah Dr Harry Poeze, telah melakukan TIGAPULUH KALI PEMBICARAAN DENGAN BERBAGAI UNIVERSITAS DAN LEMBAGA, Inonesia. Dengan topik utama pengembaraan Tan Malaka selama bulan-bulan terakhir hidupnya. Mana ada pakar sejarah kita yang seperti itu dedikasi dan ketekunannya terhadap seorang tokoh sejarah Indonesia. Aku berterus terang: HARRY POEZE memang “fan” Indonesia.

Yang perlu diangkat dan disoroti di sini ialah betapa besarnya perhatian terhadap tokoh pergerakan kemerdekaan Tan Malaka, teristimewa rahasia yang hingga kini masih menyelimuti ajahlnya PAHLAWAN NASIONAL TAN MALAKA.

Pertama:
Menarik untuk mencatat: Fenomena semakin banyaknya kaum muda Indonesia yang menaruh perhatian pada sejarah bangsanya, khususnya pada tokoh Tan Malaka. Ini bisa dilihat pada kenyataan bahwa Harry Poeze, mengadakan pembicaraan di universitas-universitas dan lembaga-lembaga Indonesia SAMPAI 30 KALI BANYAKNYA.

Kedua:
Perhatian yang diberikan oleh media Indonesia, terhadap karya Harry Poeze Poeze mengenai Tan Malaka, 3 jilid – 2200 halaman dalam bahasa aslinya, bahasa Belanda.

Ketiga:
Masih adanya praktek kekerasan dan teror – cara “premanisme” yang berusaha meredam semakin besarnya perhatian kalangan intelektuil terhadap buku Harry Poeze, terhadap tokoh Komunis TAN MALAKA, yang selama ini dilupakan dan dihitamkan.

* * *

Ketika buku Harry Poeze tentang Tan Malaka, edisi Indonesia diluncurkan pada 17 Juli tahun 2012, kuingat ini yang a.l. kutulis:

Edisi Indonesia Buku Harry Poeze “TAN MALAKA . . . . ”

* * *

Beberapa waktu yang lalu, belum lama, gembira sekali aku bertemu lagi dengan sahabat-karibku Harry Poeze. Kutanyakan kepadanya perkembangan baru mengenai penerbitan edisi Indonesia bukunya berjudul :
Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949″
Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949)”.

Harry Poeze menyampaikan kepadaku, bahwa, edisi Indonesia dari bukunya itu, akan terbit dalam enam jilid. Dalam tahun 2008 telah diluncurkan di Jakarta, jilid 1, di bawah judul Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia. Sementara itu telah terbit tiga jilid,

Jilid 1: Agustus 1945- Maret 1946 –
Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947 (2009),
Jilid 3, Maret 1947 – Agustus 1948 (2010)

Bab mengenai Madiun sudah terbit dalam tahun 2011 sebagai: Madiun 1948; PKI bergerak”.

Dalam tahun ini akan terbit Jilid 4, a.l. sekitar eksekusinya dan tanda-tanya (yang saya berikan solusinya), mengenai kematiannya.
Demikianlah informasi yang kuterima dua pekan y.l dari Harry Poeze sekitar penerbitan edisi Indonesia dari bukunya tentang Tan Malaka.

* * *

Sampai hari ini tak habis-habisnya rasa kagum, hormat dan penghargaanku pada HARRY POEZE yang telah menggunakan PULUHAN TAHUN untuk melakukan studi mengenai salah seorang pemimpin nasional Indonesia TAN MALAKA. Sebegitu jauh belum kita jumpai ada historikus asing lainnya yang begitu rajin dan tekun dalam kepeduliannya terhadap SEJARAH BANGSA KITA, seperti yang dilakukan oleh Harry Poeze.

Saturday, April 26, 2014

IDENTITAS Untuk KEBANGKITAN --

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 25 April 2014
------------------------------

IDENTITAS Untuk KEBANGKITAN

* * *

Selasa lalu, aku berkenalan dan menjalin persahabatan dengan kawan baru, seorang wartawan fotografer LKBN Antara, Rosa Pangabean. Ia hendak membuat foto-foto sekitar para EKSIL Indonesia di sini. Apa saja kegiatan sehari-hari mereka, dsb. Publikasi seperti itu memang belum ada. Ia bertanya apakah aku bersedia membantunya dalam hal tsb.
Aku bilang: Setuju!

Kufikir --- Sekaligus memanfaatkan kesempatan cakap-cakap dengan wartawan yang langsung dari Indonesia ini, untuk menjelaskan apa saja kegiatan 'sehari-hari' para eksil Indonesia di Eropah.

Kataku: Yang jelas mereka itu, meski banyak yang sudah berkewarganegaraan asing, boleh dibilang umumnya, adalah orang-orang INDONESIA yang CINTA TANAH DAN BANGSANYA. Kami amat peduli dengan situasi, nasib dan perkembangan bangsa dan tanah air, jelasku. Dan melakukan bermacam kegiatan pribadi maupun dalam rangka organisasi, memberikan apa yang bisa disumbangkan menurut kemampuan masing-msing demi Tanah Air dan Bangsa.

* * *

CAS OORTHUYS <1908 1975="">
Yang hendak kututurkan berikut ini, ialah, sedikit sekitar 'oleh-oleh' buku yang diberikan Rosa Pangabean kepadaku berjudul “IDENTITAS Untuk KEBANGKITAN” < Penerbitan LKBN Antara-Ipphos dan wartawan fotografer Belanda Cas Oorthuys (1945-1950).

Buku foto-foto berhalaman 92 tsb, segera menarik perhatianku. Foto pada sampul muka buku membawa aku pada kenang-kenangan dulu ketika aku sekolah lagi di TAMAN SISWA, Jalan Garuda 25, Kemayoran-Jakarta --- (Setelah berlakunya Persetujuan Linggardjati antara Indonesia dan Belanda, Maret 1947).

Dan yang lebih lagi menarik dan merupakan 'surprise' menyenangkan ialah: Aku tahu persis siapa yang membikin foto yang jadi 'front-cover' buku 'Identitas Untuk Kebangkitan'. Foto yang menghias coper buku menunjukkan seorang murid sekolah Taman Siswa, dengn muka riang gembira dan memandang kedepan, membawa peta Indonesia yang besar setengah tergulung.

Dalam kata pengantarnya untuk buku tsb, historikus peneliti senior LIPI Asvi Warman Adam, mengomentari foto murid sekolah itu , menulis bahwa foto itu rmenampakkan .

Wajah yang polos, riang dan bersemangat seolah mewakili mereka yang sudah punya identitas baru sebagai manusia yang merdeka . .. “

* * *

Yang membuat foto itu, ---- adalah seorang wartawan fotografer Belanda, CAS OORTHUYS. Seorang wartawan yang pernah aktif dalam perjuangan di bawah tanah di Belanda, selama pendudukan tentara Jerman Hitler.

Dalam tahun 1947, dua bulan lamanya ia berkunjung ke Indonesia dengan pendirian PRO REPUBLIK INDONESIA. Aku tidak ingat, kunjungannya ke sekolah kami itu, apakah atas saran orang lain, ataukah karena Cas Oorthuys tahu bahwa, - Sekolah Taman Siswa di Kemayoran itu, adalah salah satu 'tumpuan' kami-kami kaum Republiken (RI), di daerah pendudukan Belanda di Jakarta.

Walhasil, -- aku masih ingat betul, Cass Oorthuys pada suatu hari berkunjung ke sekolah kami TAMAN SISWA. Kutanyakan kepada Pak Said, kepala sekolah kami. Siapa Belanda yang motret-motret murid-murid, guru dan sekolah kita. Jawab Pak Said dengan antusias: ”Dia wartawan potret Belanda YANG BAIK. Yang bersimpati dengan perjuangan kemerdekaan kita.

Kembali ke Belanda Cas Oorthuys menerbitkan buku foto EEN STAAT IN WORDING, A State in the making -- “Tumbuhnya Sebuah Negara”.

Sikap dan pendirian Cas Oorthuys tidak aneh,. Ia anggota partai Komunis Belanda , CPN, Communistische Partij Nederland. Politik CPN tegas menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yang menyolok, ialah bahwa yang bertanggungjawb atas penerbitan buku “Identitas Untuk Kebangkitan”, tidak menyebutnya samasekali, bahwa Cas Oorthuys adalah anggota partai Komunis Belnda. . . . . Bahkan di dalam buku itu dinyatakan bahwa Cas Oorthuys adalah seorang Sosialis. Enak saja memulas sejarah! Di Belanda ketika itu, belum ada partai sosialis. Yang ada partai sosial demokrat, partai katolik , partai Komunis, CPN – Communisische Partij Nederland, dll. Partai Sosialis Nederland baru berdiri tahun 1972, sebagai pecahan dari KPMNL

Main sulap dengan fakta-fakta sejarah! Mungkin hal itu bisa dimengerti jugalah. Meskipun sudah sepuluh tahun Orde Baru tumbang dan Indonesia memasuki periode Reformasi dan Demokratisasi (2008) ketika buku itu terbit banyak orang, teristimewa kalangan penguasa dan para pendukung rezim Orde Baru, masih kejangkitan penyakit 'lupa sejarah'. Lebih parah lagi, masih berusaha memulas fakta sejarah.

* * *

Selain sambutan dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI ketika itu, Mohammad Nuh, Kepala Informasi Publik Dep. Komunikasi dan Informatika RI, Suprawoto, -- Dirut Kantor Berita Antara,Ahmad Mukhlis Yusuf, terdapat pengantar/sambutan oleh ASVI WARMAN ADAM. Sangat menarik membaca pengantar yang ditulis oleh historikus Asvi Warman Adam.

Antara lain , sbb:

FOTOGRAFI KEMERDEKAAN DAN KEMERDEKAAN FOTOGRAFI

Coba bayangkan seandainya tidak ada Frans Soemarto Mendur di Pegangsaan Timur 56 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945? Apakah proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dapat diyakini benar-benar terjadi? Sebagai fotografer ia mengabadikan peristiwa yang teramat bersejarah bagi bangsa Indonesia dengan jumlah plat film yang terbatas. Ironinya belakangan diketahui bahwa plat film foto proklamasi itu tidak ditemukan lagi. Namun foto itulah yang diproduksi dalam buku-buku bersejarah sebagai saksi dan bukti bahw kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan.

Itu bisa dibandingkan dengan rekaman pidato Proklamasi itu sendiri yang memang tidak ada dalam peristiwa tsb. Kalau kita sekarang mendengar melalui radio atau televisi suara lantang Bung Karno, itu direkam kemudian pada tahun 1950-an., Jusuf Ronodipuro membujuk Bung Karno untuk melakukan rekaman yang pada mulanya ditolak. Prokalamasi itu hanya sekali dan tidak diulang lagi, tukas Bung Karno. Tetapi ini perlu penting bagi sejarah terutama pada generasi muda, ujar Jusuf Ronodipuro.

* * *

Asvi juga mengungkap pemelintiran fakta sejarah sekitar foto-foto yang diambil pada periode itu. Pelaku pemelintiran fakta tsb adalah pakar sejarah rezim Orde Baru, Prof Nugroho Notosusanto.

Ini a.l yang ditulis oleh Asvi:

. . . menyangkut buku Nugroho Notosusanto, “Pejuang dan Prajuirit” yang terbit tahun 1984. Dalam foto pengibaran bendera tanggal 17 Agustus 1945 wajah Sukarno tidak terlihat. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menuding bahwa ini pemalsuan sejarah. Apalagi dikaitkan dengan upaya desukarnoisasi yang dilakukan rezim Orde Baru.

Namun pihak penerbit Sinar Harapan mengatkan bahwa itu masalah teknis karena foto yang diberikan terlalu kecil ketika diperbesar maka wajah Bung Karno terpotong. Yang jelas dalam cetakan kedua buku itu tahun 1986, wajah Sukarno sudah ada kembali. Namun kalau diperhatikan dengan seksama, ukuran foto pada cetakan pertama dan kedua ternyata sama saja. Jadi tidak ada yang diperbesar atau diperkecil. Kalau begitu mana yang benar?”, tanya Aswi.

* * *

Yang, benar adalah bahwa sang profesor sejarah rezim Orde Baru, Nugroho Notosusanto, jelas mencoba memulas fakta sejarah – dalam hal ini ia 'mengkotak-katik' foto sejarah. Dengan tujuan 'menghapuskan' foto Bung Karno dari dokumentasi peristiwa penaikan bendera Merah Putih, pada hari Proklamsi 17 Agustus 1945.

* * *




"Komnas HAM, Keluarkan Daftar Capres dan Caleg Penjahat Kemanusiaan”

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 23 April 2014

"Komnas HAM, Keluarkan Daftar Capres dan Caleg Penjahat Kemanusiaan”


* * *


Berbeda-beda dan bervariasi ketika seorang jurnalis membuat 'heading' –- kepala berita yang diturunkannya. Jelas tujuan kepala berita itu dimaksudkan sebagai 'surprise' dan lebih-lebih sebagai 'breaking news'. Wartawan Kompas.com, 12 Jan, 2013, misalnya menulis kepala berita, sbb:

Komnas HAM, Keluarkan Daftar Capres dan Caleg Penjahat Kemanusiaan”.

Dibaca dengan kecepatan biasa, pasti timbul kesan, “Heibat ! --- KomnasHam mulai 'unjuk-gigi' sebagai lembaga pembela hukum. Akan mengeluarkan semacam 'daftar hitam', yang memuat nama-nama para capres dan caleg, pelaku kejahatan kemanusiaan.

Sejenak kemudian, setelah dibaca terus, orang jadi kecewa dan mésem meringis – nyatanya berita itu sekadar 'sebuah saran' oleh Haris Ashar, kordinator KONTRAS- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan. Ia menyatakan Komnas HAM harus mengeluarkan daftar capres dan caleg yang termasuk penjahat kemanusiaan. Hal itu bertujuan agar Komisi Pemilihan Umum selektif dalam meloloskan capres dari parpol tertentu.”

Jelas Ashar selanjutnya, “Komnas HAM harus mengeluarkan daftar capres dan caleg yang termasuk penjahat kemanusiaan. Hal itu bertujuan agar Komisi Pemilihan Umum selektif dalam meloloskan capres dari parpol tertentu.”

. . . . daftar itu berguna agar politisi busuk tidak dapat mencalonkan dirinya lagi pada Pemilu 2014. Komnas HAM memiliki kewenangan untuk merinci daftar politikus yang pernah melanggar HAM. Pelanggaran HAM tersebut, tidak hanya sebatas kejahatan militeristik, namun juga korporasi.



"Bayangkan kalau setengah direksi Lapindo mencalegkan diri. Implikasinya akan sampai menghambat demokrasi. Selain itu, akan memuluskan rezim totalitarian di Indonesia,"


Masih dalam rangka saran Ashar:
. . . beberapa capres dari kalangan militer akan terganjal oleh hal ini. Salah satu contohnya adalah capres dari Gerindra, Prabowo Subianto, yang mendalangi penculikan aktivis 97/98 dan kerusuhan Mei 98.
Selain Prabowo, nama capres dari Hanura yaitu Wiranto tidak dapat dilepaskan dari pelanggaran HAM berat. Wiranto, menurutnya, bertanggung jawab atas peristiwa Semanggi I dan II, dan Timor Leste.



Selain itu, capres dari Golkar yaitu Aburizal Bakrie atau Ical juga tidak dapat dilepaskan dari pelanggaran HAM. Ical, menurutnya, bertanggung jawab atas luapan lumpur Lapindo. "Kalau rezimnya berubah buruk, Komnas HAM makin sulit. Makin mentok, keluarkan mandat," demikian Haris Azhar mengkahiri sarannya.

* * *

Saran Kordinator “Kontras”, disampaikan lebih setahun yang lalu. Entah bagaimana respons KomnasHam, tidak jelas.

Tetapi betapapun, . . saran tsb adalah sebuah saran yang bagus. Seyogianya di 'follow-upkan'. Diperjuangkan terus agar saran tsb menjadi kenyataan.

* * *

Meskipun, KomnasHam, tampaknya hingga kini, belum mengeluarkan sebuah 'daftar hitam' pelaku kejahataan kemanusiaan, sudah terbaca sebuh berita situs SOEDOET PANDANG, tentang KESAKSIAN SUMITRO TENTANG PRABOWO. Tulisan itu Dicuplik dari buku Aristides Katoppo, dkk., Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Jakarta: Sinar Harapan, 2000), Bab 46, dengan judul asli “Soal Prabowo”.

Isinya sebuah pembelaan dari sang bapak (Soemitro Djojohadikusumo), untuk 'membersihkan'nama puteranya, Prabowo Subianto.

* * *

Lalu, ada lagi yang bisa dikatagorikan sebagai 'breaking news”, “gebrakan”. Seorang mantan Laksda (AL), yang biasa menangani masalah intel TNI, tiba-tiba muncul dengan suatu IDE . . (sesungguhnya bukan ide baru).

Laksda (Purn) TNI Soleman B, Ponto, menyatakan, . . . . bila keadaan sesudah pemilihan caleg dan capres 2014, menjadi kacau, maka “TNI dapat melakukan kudeta . .. (yang kata sang mantan Laksda) kudeta konstitusional”. Muncullah istilah baru . . . 'kudeta konstitusional'. Katanya seperti yang terjadi di Mesir. Kok mudah sekali mengambil contoh dari Mesir??

Memang, -- – – tokoh-tokoh militer yang haus kekuasaan, pandai menemukan macam-macam istilah dan dalih seperti 'kudeta konstitusional', untuk membenarkan dan melaksanakan rencana perebutan kekuasaan pemerintah dan negara? Bukankah proses berdirinya rezim militer Orde Baru, merupakan pengalaman pahit berdarah yang diderita bangsa ini? Sekali militer mengangkangi kekuasan negara, maka yang pertama mereka lakukan, ialah meniptakan syarat untuk berlangsung terusnya kekuasaan yang diperolehnya melalui kudeta itu. Ini pengalaman sejarah bangsa.

* * *

Bila media cetak dan elektronik bertindak sesuai dengan saran Ashar, alangkah baiknya:



Menyusun sebuah 'daftar-hitam' mengenai para capres dan caleg yang terlibat dengan kehajahatan kemanusiaan. Akan merupakan pendidikan politik langsung dan berguna bagi pemilih, bagi seluruh masyarakat.

* * *



KONFERENSI ASIA-AFRIKA DI BANDUNG (1955) ADALAH TONGGAK SEJARAH YANG MEMBUAT SEJARAH!!

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 18 April 2014
------------------------------



KONFERENSI ASIA-AFRIKA DI BANDUNG (1955) ADALAH TONGGAK SEJARAH YANG MEMBUAT SEJARAH!!


Tanggal 19 April, 1955, – – – – 59 tahun yuang lalu, ----- kota Bandung menjadi pusat perhatian dunia. Terutama bagi negeri-negeri Dunia Ketiga, dan . . . dunia Barat. Wakil-wakil dan utusan dari 29 negeri dan wilayah benua Asia dan Afrika, yang sudah lama merdeka, yang baru merdeka, dan yang dalam proses memerdekakan diri dari kolonialisme, sedang berjuang melawan imperialisme, ---- berkumpul bersama, mengadakan musyawarah dan mufakat.


Pada akhir konferensi dideklarasikan DASASILA BANDUNG, 10 PRINSIP- PRINSIP BANDUNG (Bandung Declaration, 24 April, 1955).


* * *


Dunia tersentak! Terheran-heran menyaksikan suatu peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Terselenggaranya suatu konferensi yang terdiri dari bangsa-bangsa dan negeri-negeri merdeka, seperti Ethiopia, Mesir, Thailand, India, Burma, Indonesia dan Jepang; yang dalam proses merdeka, seperti Ghana dan Vietnam Selatan. Hadir di situ negeri-negeri yang terikat dengan pakta-pakta militer Barat SEATO, CENTO DAN NATO.


Bagaimana mungkin negeri-negeri yang begitu beraneka ragam politik luar negeri dan aliansi militernya, bisa berkumpul dan mencapai PERSETUJUAN BERSAMA?


Negeri-negeri Barat yang selama ratusan tahun menjadi penjajah mayorias negeri-negeri benua Asia dan Afrika, dan para juru-ramal mereka memprediksi dan mengharapkan bahwa Konferensi Asia-Afrika di Bandung itu akan berakhir dengan percekcokan dan kegagalan total. Di dunia ini tidak mungkin mengambil sikap bebas dan berdikari. “Kalau kalian tidak berfihak kami, berarti kalian menentang dan jadi musuh kami”! Begitu logika blok Barat yang dikepalai oleh Amerika Serikat, Inggris dan Perancis ketika itu. “If you are not with us, you are against us!” Begitu John Foster Dullers, Menlu AS pernah mengancam . . . .


* * *


Bangsa-bangsa Asia-Afrika yang berkumpul di Bandung selama seminggu itu, menyatakan bahwa mereka berhasrat dan bertekad untuk hadir di dunia ini sebagai kekuatan politik yang berjuang untuk bebas berdiri sendiri, tidak menjadi émbél-émbél blok-blok yang merupakan fihak-fihak terlibat dalam 'Perang Dingin'. Hal mana sesungguhnya merupakan fenomena baru yang muncul di dunia geo-politik internasional.


Apakah mungkin suatu negeri atau kelompok negeri-negeri untuk berdiri sendiri, tidak 'mihak sana' tidak 'mihak sini'? Bukankah di antara yang hadir di Bandung itu ada yang terikat dengan blok Barat, seperi Filipina dan Thailand yang anggota SEATO, yang dikepalai oleh AS? Bukankah Tiongkok dan Vietnam Utara, adalah bagian dari Blok Timur yang dikepalai oleh Uni Sovyet? Bukankah Turki anggota NATO, dan bukankah Irak anggota CENTO, yang dikepalai oleh AS? Selain itu terdapat negeri-negeri yang menemp;uh politk luarnegeri yang 'bebas dan aktif' , yang sering dikatakan 'netral', tidak mihak sana dan tidak mihak sini, seperti India dan Indonesia?


Bisakah negeri-negeri yang demikian berbedanya politik luarnegerinya, berkumpul dan berunding. Di tengah-tengah situasi berkecamuknya 'Perang Dingin'?


Tetapi bangsa-bangsa Asia dan Afrika, yang para wakilnya berkumpul di Bandung 59 tahun yang lalu, telah menciptakan KEAJAIBAN SEJARAH . Sutu FONOMENA LANGKA DALAM GEO-POLITIK INTERNASIONAL menjadi suatu kenyataan.



Para utusan dari negeri-negeri Asia Afrika itu bisa berunding, bisa musyawarah dan TELAH MENCAPAI KATA SEPAKAT. Mereka mewakili bangsa-bangsa dan negeri-negeri yang mendambakan kermerdekaan dan kebebasan, kerjasama, kemajuan dan perdamaian dunia. Musuh bersama mereka adalah kolonialisme dalam segala manifestasinya!



* * *


Muncullah pertanyaan berikut ini? Apakah DASA SILA BANDUNG, 10 PRINSIP BANDUNG masih relevan. Memperingati Konferensi Bandung (1955), bukankah itu NOSTAGIA SEMATA?


Nyatanya – – - dimulai dengan BANDUNG PRINCIPLES, tercipta gerakan dan persepakatan negeri-negeri NON BLOK, negeri-negeri yang NON-ALIGNED.. yang menempuh dan mempertahankan politik NON ALIGNMENT . . .Yang menolak berfihak ketika berkecamuk Perang Dingin, dan TETAP MEMPERTAHANKAN POLITIK LUAR NGERI YANG BEBAS BERDIRI SENDIRI.


Dalam situasi dunia yang bertambah rumit, masih terjadinya berbagai konflik kekeraasan serta munculnya kecenderungan baru hegemonisme pasca 'Perang Dingin', benarlah sikap Indonesia dan sementara negeri AA lainnya bahwa SEMANGAT BANDUNG dan 10 PRINSIP BANDUNG MASIH RELEVAN.


Menarik membaca ulang yang pernah ditulis oleh waratawan senior (mendiang) Rosihan Anwar tentang Konferensi Bandung:


'Dewasa ini ada orang yang bertanya apakah gunanya bagi kita
memperingati 50 tahun KAA Bandung, sedangkan dunia sudah berubah?
Sebagai wartawan yang meliput KAA dulu saya ingin menjawabnya dengan
mengemukakan bahwa betul dunia sudah berubah, namun kita mesti berusaha
menanamkan kesadaran sejarah kepada generasi muda Indonesia. Generasi
muda jangan sampai melihat sejarah bangsa kita seperti terputus- putus,
merasa hidup hanya dalam zamannya saja, bersikap bagaikan "muara
melupakan hilirnya". 50 Tahun yang lalu Indonesia tampil aktif di
gelanggang politik internasional dengan tujuan membebaskan bangsa
Asia-Afrika dari kolonialisme.

'Indonesia sukses menyelenggarakan KAA walaupun keadaannya masih sukar
dan pengalamannya masih kurang. Tapi, Indonesia tetap maju ke depan dan
aktif bergerak dalam human pilgrimage, perjalanan umat manusia.

'Apakah pengetahuan sejarah tentang KAA itu tidak memberi inspirasi dan
optimisme bagi generasi sekarang untuk menatap masa depan? Saya yakin
ada, karena itu ada gunanya memperingati 50 tahun KAA Bandung. God bless
Indonesia.' Demikian Rosihan Anwar tentang arti sejarah Konferensi AA di
Bandung (1955).
*    *    *


Wakil Menlu Indonesia, Wardana pernah menyatakan: Saya memiliki keyakinan bahwa semangat Bandung tetap relevan dengan situasi global saat ini, kita bergabung untuk menciptakan tatanan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan kesejahteraan sosial.


* * *


Dibawah ini bisa dibaca lagi apa itu DEKLARASI BANDUNG?

Isi Dasasila Bandung

  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa
  3. Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil
  4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain
  5. Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB
  6. Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB
  9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama
  10. Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional



* * *



Artikel di bawah ini ditulis dalam suasana PERINGATAN SETENGAH ABAD KEONFERENSI BANDUNG. Berikut cuplikannya: (24 Maret 2005 yl )

* *

Akhir tahun limapuluhan, permulaan tahun 60-an --- , sebenarnya sudah dimulai sebelumnya, yaitu dengan pembatalan Persetujuan Konferensi Meja Bundar(KMB) dengan Belanda, yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah RI, dan dengan kembalinya Indonesia ke Undang-Undang Dasar RI 1945, --- kampanye pembebasan Irian Barat semakin gencar. Setiap Pidato 17 Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno sudah biasa menutup pidatonya yang berapi-api dan menyemangati hati rakyat kita itu, dengan kata-kata sbb: SEBELUM AYAM JANTAN BERKOKOK PADA TAHUN . . . . (maksudnya tahun sesudah pidato 17 Agustus itu) Irian Barat sudah berada dipangkuan Ibu Pertiwi. Sudah bebas dari penjajahan Belanda.

Yang diceriterakan kepadaku oleh kawanku wartawan KB Antara di Cairo, Saleh Bawazir pada suatu malam pertemuan di KBRI ketika itu, begini:

S. Bawazir: --- Nyatanya orang-orang Mesir yang saya kenal, khususnya para wartawannya, ada yang sikapnya sinis terhadap pidato Bung Karno tsb. Mereka bilang sudah berapa kali ayam jantan berkokok, . . . . tetapi Irian Barat masih saja ada di bawah kekuasaan Belanda. Masih harus berapa kali lagi ayam jantan itu harus berkokok! Saleh Bawazir sungguh jengkel mendengar (yang katanya sih) gurau kenalannya, wartawan Mesir itu. 

Catatanku: Secara umum, orang Mesir mengagumi Bung Karno, sebagai pemimpin besar dan kampiun perjuangan kemerdekaan bangsa, dan penegak nasion Indonesia. Bung Karno diakui sebagai tokoh penting Gerakan Kemerdekaan dan Solidaritas Asia-Afrika, teristimewa setelah KAA-Bandung. Belakangan, bersama Presiden Gamal Abdel Nasser, Nehru dan Tito, Bung Karno diakui sebagai tokoh dan pencetus Gerakan Non Blok, atau Non-Aligned. Namun, disela-sela pendapat umum yang positif itu, bisa dirasakan dan terdengar pendapat orang-orang Mesir yang mencerminkan cemburu mereka terhadap popularitas Presiden Sukarno di kalangan bangsa-bangsa dan negeri-negeri Asia-Afrika. Adalah suatu kenyataan bahwa  Mesir menonjol sebagai pelopor kemerdekaan Arab dan Palestina, yang mengusahakan persatuan Arab melawan dominasi asing – Barat - , Mesir diakui kepeloporan dan potensi intelektualnya sebagai bangsa Arab, serta kedudukannya yang strategis secara politik dan militer. Hal ini menyebabkan munculnya sikap “saudara tuaisme” terhadap bangsa-bangsa Arab lainnya, juga terhadap bangsa Afrika. Suatu sikap yang cenderung hendak mendominasi dan berhegemoni di kalangan bangsa-bangsa Arab dan Afrika. Dengan sendirinya “hegemonisme” Mesir seperti itu dilawan.

Ceritera S. Bawazir selanjutnya: Jelas isinya mengéjék. Saleh Bawazir tidak tahan lagi dan melakukan “serangan balas” sbb –

Saya jamin di depan kalian semua, bahwa Irian Barat akan bebas, s e b e l u m  rakyat Palestina bebas dari kekuasaan dan pendudukan Israel. . . . .
Di lihat pada saat sekarang ini, “jaminan”  Saleh Bawazir itu, ternyata benar juga. Irian Barat sudah lama kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, sebelum  rakyat Palestina bebas.



Mereka dengan gigih meneruskan perjuangan kemerdekaannya. Dan adalah kewajiban kita menyokong sepenuh hati perjuangan rakyat Palestina untuk berdirinya NEGARA PALESTINA MERDEKA.

* * *



Wednesday, April 16, 2014

IRIAN JAYA ATAU PAPUA ADALAH INDONESIA . . Asvi Warman Adam -- KEMBALIKAN IRIAN PADA BANGSA INDONESIA !

Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 15 April 2014
----------------------------

IRIAN JAYA ATAU PAPUA ADALAH INDONESIA . .

Asvi Warman Adam -- KEMBALIKAN IRIAN PADA BANGSA INDONESIA !


Minggu lalu aku menerima kiriman artikel yang ditulis oleh historikus Asvi Warman Adam. Judulnya sungguh menarik dan penting sekali: “KEMBALIKAN IRIAN PADA BANGSA INDONESIA!”


Dalam tulisannya itu Asvi Warman Adam mengkonfrontasikan dua fakta sejarah:


Yang satu: Terjadi pada tanggal 1 Desember 1961. Ketika itu 70 figur politik Papua (yang masih merupakan koloni Belanda) mengibarkan bendera Bintang Kejora, bersanding dengan bendera Merah-Putih-Biru (Nederland). Para elite Papua pengikut Belanda menyepakati nama Papua Barat untuk bangsa mereka. Juga diresmikan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, lambang negara “Burung Mambruk”dan semboyan “Satu rakyat, satu jiwa” (One People, One Soul).


Fakta sejarah satunya: Pemerintah Indonesia menganggapnya sebagai percobaan Belanda untuk mendirikan negara boneka Papua. Nieuw Guinea memang termasuk bagian Hindia Belanda yang status wilayahnya belum selesai dengan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Setelah itu dilakukan beberapa kali perundingan baik bilateral maupun di PBB, namun tidak membuahkan  hasil.


Sebagai penolakan pembentukan negara boneka Papua itu, (18 hari setelah percobaan Belanda membentuk negara boneka Papua) – Presiden Soekarno mencanangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Salah satu komando adalah mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat. Jadi yang akan direbut dari penjajah Belanda adalah Irian Barat bukan Papua.    


Dua fakta sejarah yang dikonfrontasikan oleh peneliti senior LIPI, Asvi Warman Adam. Yaitu percobaan Belanda mendirikan negara boneka Papua, pada tanggal 1 Desember 1961, dan, – – – – Komando Trikora Presiden Sukarno, tanggal 19 Desember 1961, untuk mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat. Inilah hakikat konflik Indonesia-Belanda setelah perginya Belanda dari Indonesia dan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat.


Konflik RI-Nederland ini berakhir dengan dibebaskannya Irian Barat melalui proses pelaksanaan perjuangan Trikora yang disusul dengan penyelesaian lewat PBB.


Bagi bangsa ini soalnya mengenai sengketa dengan Belanda sekitar Irian Barat, telah selesai dengan PEMBEBASAN IRIAN BARAT.


Namun, kolonialisme Belanda meninggalkan 'bom waktu' berupa persiapan dengan sementara figur politik Papua untuk membentuk negara boneka Papua.
'Bom waktu' ini beroperasionil dengan pembentukan dan kegiatan OPM yang bertujun sama denga pertemuan 70 figur politik Papua dengan penguasa Belanda di Irian Barat, ketika Irian Barat masih merupakan koloni Belanda.


* * *    


Aswi Warman Adam mengungkap lebih lanjut, mendalami konflik yang terjadi di Papua dewasa ini. Tulis Asvi:
Sejak tahun 1969 telah dilakukan pembangunan fisik di bumi Irian yang sayangnya disertai dengan kekerasan dan tidak luput dari pelanggaran HAM Berat. Ini menjadi memoria passionis (masa kelam) masyarakat Irian. Oleh sebab itu menurut hemat saya berbagai pelanggaran HAM Berat yang terjadi di sana sepanjang Orde Baru sampai era Reformasi harus diusut tuntas. Kasus pembunuhan Theys Eluai hanya mengadili pelaku lapangan bukan antor intelektualnya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Irian perlu pula dibentuk


Aswi mengungkapkan:
1 Januari 2000 Presiden Abdurrachman Wahid mengubah kata Irian Jaya dengan Papua. Katanya untuk meredam konflik.
Penggantian kata tersebut tidak menyelesaikan masalah mendasar.
Persoalan orang Papua yang utama adalah menyangkut sumber daya alam dan kewenangan daerah. Otonomi Khusus harus dilakukan secara efektif demi kesejahteraan rakyat Irian bukan elitnya saja. Selanjutnya pemerintah Indonesia tidak berdaya menekan Freeport agar membangun smelter yang jelas menguntungkan dan membuka lapangan kerja di daerah. Kebijakan keamanan pun masih lemah


Asvi selanjutnya menandaskan, bahwa:


Penggantian nama Papua itu menghilangkan sejarah perjuangan merebut Irian Barat dari penjajah Belanda. Padahal perjuangan itu dapat disambungkan dengan benih persemaian nasionalisme di bumi Irian melalui para Digulis sejak tahun 1926/1927. Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia para tokoh Irian juga turut serta, Frans Kaisiepo, Martin Indhey, Silas Papare dan Abraham Dimara telah diangkat menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasa dan pengorbangan mereka untuk negara dan bangsa Indonesia. Bahkan ditarik lebih jauh lagi, sejarah Irian juga berhubungan dengan Tidore sebagaimana digambarkan dengan bagus dalam disertasi Muridan S Widjojo (alm) tentang perjuangan Pangeran Nuku  di Universitas Leiden.

* * *

Silakan pembaca membaca selengkapnya artikel penting Asvi Warman Adam, berikut ini:



Dimuat pada Koran Tempo, 10 April 2014
KEMBALIKAN IRIAN PADA BANGSA INDONESIA !
                                   Asvi Warman Adam


Tanggal 1 Desember 1961, 70 figur politik Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora (disebut juga Bintang Fajar, Sampari, atau The Morning Star) bersanding dengan bendera Belanda Merah-Putih-Biru. Para elite Papua pengikut Belanda itu juga menyepakati nama Papua Barat untuk bangsa mereka, lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”, lambang negara “Burung Mambruk”dan semboyan “Satu rakyat, satu jiwa” (One People, One Soul).

Peristiwa ini dipandang pemerintah Indonesia sebagai percobaan untuk membuat negara boneka Papua oleh pihak Belanda. Nieuw Guinea memang termasuk bagian Hindia Belanda yang status wilayahnya belum selesai dengan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Setelah itu dilakukan beberapa kali perundingan baik bilateral maupun di PBB, namun tidak membuahkan  hasil.
Sebagai penolakan terhadap pembentukan negara boneka Papua itu Presiden Soekarno mencanangkan Trikora (tri komando rakyat) di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Tanggal 19 Desember dipilih untuk mengingatkan tanggal agresi militer Belanda ke ibukota Yogyakarta tahun 1948. Salah satu komando adalah mengibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat. Jadi yang akan direbut dari penjajah Belanda adalah Irian Barat bukan Papua.    

Nama Irian (ada pula yang mengeja Iryan) diusulkan Frans Kaisiepo (sumber lain menyebutkan sepupunya Marcus Kaisiepo) dalam Konferensi Malino tahun 1946. Dalam bahasa Biak kata Irian berarti “negeri yang panas hawanya” atau juga “mentari yang menghalau kabut”. Ini bermula dari kisah nelayan Biak yang naik sampan menuju menuju Pulau Besar (daratan Papua). Jika melihat sebersit sinar mentari pagi, mereka berteriak “Irian”, artinya mentari akan menghalau kabut dan harapan mencapai pulau besar akan tercapai. Kaisiepo menegaskan dia tidak sudi lagi disebut "Papua", karena nama itu di Nieuw Guinea identik dengan "bodoh, malas, kotor".   

Residen Van Eechoud tidak senang dengan usulan Kaisiepo tadi. Tapi apa lacur? Jawatan Penerangan Belanda (RVD) di Batavia di mana bekerja J.H. Ritman mantan Pemred Bataviaasch Niuesblad dan H. Van Goudoever mantan Pemred De Locomotif sudah terlanjur menggunakan nama Irian. Bahkan di tengah masyarakat Biak beredar ungkapan bahwa  Irian ialah singkatan dari "Ikut  Republik Indonesia Anti-Nederland." Kelak Presiden Soekarno juga menggunakan sebutan Irian.
Setelah Trikora diumumkan, segera dibentuk Komando Mandala yang dipimpin Soeharto. Infiltrasi dilakukan oleh tentara Indonesia. Jos Sudarso gugur dalam pertempuran di laut Arafuru. Sementara itu di sisi lain, diplomasi Indonesia sangat menentukan. Soekarno melakukan perundingan dengan Presiden Amerika Serikat JF Kennedy. Menteri Luar Negeri Soebandrio berpidato di PBB.  A.H.Nasution bermanuver dengan rencana pembelian senjata kepada Uni Soviet. Akhirnya AS mendukung Indonesia dan memojokkan Belanda. Irian Barat kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi 1 Mei 1963 dan tahun 1969 dilakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang walaupun dilakukan tidak dengan sistem one man one vote, sudah diakui sah oleh PBB.

Sejak tahun 1969 telah dilakukan pembangunan fisik di bumi Irian yang sayangnya disertai dengan kekerasan dan tidak luput dari pelanggaran HAM Berat. Ini menjadi memoria passionis (masa kelam) masyarakat Irian. Oleh sebab itu menurut hemat saya berbagai pelanggaran HAM Berat yang terjadi di sana sepanjang Orde Baru sampai era Reformasi harus diusut tuntas. Kasus pembunuhan Theys Eluai hanya mengadili pelaku lapangan bukan antor intelektualnya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Irian perlu pula dibentuk. 

Tanggal 1 Januari 2000 Presiden Abdurrachman Wahid menyampaikan bahwa kata Irian Jaya diganti dengan Papua. Ini katanya untuk meredam konflik. Menurut hemat saya penggantian kata tersebut tidak menyelesaikan masalah mendasar. Persoalan orang Papua yang utama adalah menyangkut sumber daya alam dan kewenangan daerah. Otonomi Khusus harus dilakukan secara efektif demi kesejahteraan rakyat Irian bukan elitnya saja. Dewasa ini pemekaran kabupaten dan kota yang sudah berjumlah 33 buah ini di Irian lebih banyak menjadi masalah ketimbang solusi. Sementara itu pemerintah Indonesia tidak berdaya menekan Freeport agar membangun smelter yang jelas menguntungkan dan membuka lapangan kerja di daerah. Kebijakan keamanan pun masih lemah.

Penggantian nama Papua itu menghilangkan sejarah perjuangan merebut Irian Barat dari penjajah Belanda. Padahal perjuangan itu dapat disambungkan dengan benih persemaian nasionalisme di bumi Irian melalui para Digulis sejak tahun 1926/1927. Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia para tokoh Irian juga turut serta, Frans Kaisiepo, Martin Indhey, Silas Papare dan Abraham Dimara telah diangkat menjadi pahlawan nasional karena jasa-jasa dan pengorbangan mereka untuk negara dan bangsa Indonesia. Bahkan ditarik lebih jauh lagi, sejarah Irian juga berhubungan dengan Tidore sebagaimana digambarkan dengan bagus dalam disertasi Muridan S Widjojo (alm) tentang perjuangan Pangeran Nuku  di Universitas Leiden.  

Gus Dur tidak mengeluarkan Keputusan Presiden, namun penggantian nama tersebut terdapat dalam Undang-Undang no 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua. Tergantung kepada parlemen yang baru dipilih 9 April 2014 untuk merevisi Undang-Undang tentang Otonomis Khusus sehingga Papua kembali menjadi Irian. (Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI)

Demikian selengkapnya artikel Asvi Warman Adam.

* * *

Untuk menambah bahan sejarah selanjutnya sekitar IRIAN BARAT, atau PAPUA, baik kiranya membaca buku tulisan Koesalah Subagyo Toer, berjudul:

KRONIK IRIAN BARAT (Abad-abad Pertama Masehi Sampai 1965). Penerbit Teplok Pres, 2011.

Penerbit a.l berkomentar sbb:

Buku ini sangat berharga bagi siapapun yang ingin membangun pemahaman sosiologis-historis tentang Irian Barat. Penyusun kronik tentang Irian Barat oleh pemerhati budaya kawakan Koesalah Subagyo Toer ini sangat kaya akan informasi dari sumber-sumber tidak terduga dan jarang dipublikasikan karena semangat keberfihakannya. “

* * *






  



.