Saturday, June 28, 2014

SEKITAR REVOLUSI MENTAL

Kolom Ibrahim isa
Jum'at, 27 Juni 2014
------------------------------


---------------------------------------------
SEKITAR REVOLUSI MENTAL
---------------------------------------------




Pagi ini kubaca di FB:
Pencerahan dari Mbak Nursyahbani ----
Terima kasih kpd Mbak Nursyahbani atas pencerahan yang CES PLENG cekak aos

*    *    *

Begini bunyi pencerahan tsb  a.l :

 . . . . . .  . . . Columbus, yg saya kira berhasil mengubah pandangan mainstream wkt itu yg menolak Galileo bhw dunia ini bundar, . . . . .

. . . . .  sebel banget sama orang yg bilang REVOLUSI MENTAL itu konsep komunis, sepahamanku, revolusi mental menjadi kata kunci u perubahan dlm segala tingkatan. Kata itu, dalam terminilogi atau istilah yg berbeda, dan konteks yg beda, digunakan siapa saja yg menghendaki perubahan.

Bung Karno misalnya menggunakan istilah character building untuk mengubah mental rakyat bekas jajahan menuju masyarakat merdeka dan siap menyongsong tatanan dunia baru. Soeharto menggunakan kata revolusi mental untuk mengubah dr Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila ( yg prakteknya sangat otoriter itu).

Dlm konteks sekarang, bagiku revolusi mental berarti mengubah mental korup ke mental jujur, dlm arti se- luas2 nya. Jika menolak menyelesaikan masalah HAM, itu juga sama dg mental korup.

Perlu revolusi mental juga untuk berhenti melakukan kampanye hitam.

*    *    *

Pesan Penting Untuk JOKOWI -- (2) “LUKA BANGSA LUKA KITA”




Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 26 Juni 2014
-----------------------------

Pesan Penting Untuk JOKOWI -- (2)
LUKA BANGSA LUKA KITA”

* * *

Di Bagian-2, --- Tulisan mengenai buku Romo Baskara, berjudul “LUKA BANGSA LUKA KITA”, kita fokuskan pada bagian Penutup buku. Disitu penulis Baskara menggaris-bawahi arti penting REKONSILIASI sebagai jalan keluar bangsa ini dari kegelapan sejarah yang disebabkan oleh pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965.

Sedangkan penerbit Pustaka Galang Yogyakarta, menekankan dengan kuat sekali, agar disadari sedalam-dalamnya oleh setiap warga, bahwa:

Banyak negara di dunia memiliki rekam jejak buruk, terkait kolektif dan pelanggaran HAM pada masa lalu. Sebut saja, Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan dan Argentina. Begitu pula Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang berani mengakui, mengolah, dan menmuntaskan kejahatan terhadap kemanusiaan, Indonesia sepertinya masih berjalan di tempat.

* * *

Dalam kata penutup bukunya, Baskara menyimpulkan arti penting REKONSILIASI bangsa, sebagai jalan keluar. Bukan untuk melakukan balas dendam. Proses seperti yang telah berlangsung di Palu, Sulawesi Tengah, menunjukkan bahwa usaha rekonsiliasi telah membuat langkah permulaan. Suatu langkah menuju REKONSILIASI NASIONAL yang di luar dugaan banyak orang. Tetapi nyatanya telah terjadi. Halmana menunjukkan bahwqa bangsa ini, punya kemampuan dan kesabaran untuk menyelesaikan masa lampau kekerasan yang telah melanda bangsa.

Yang bersalah mengakui kesalahannya dan minta maaf. Ini dilakukan oleh Wali Kota Palu. Para korban mendengarkan dan memberikan maaf. Para korban yang tidak bersalah itu wajar dipulihkan nama baiknya. . . dst.

Baskara T. Widjaya: “Kiranya peristiwa langka seperti itu bisa menjadi contoh baik yang selanjutnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang di tingkat lokal maupun nasional.”

Baik kita ikuti dengan seksama kesimpulan jalan keluar yang disarankan oleh
Baskara dalam bukunya. Ini bisa dibaca a.l dalam KATA PENUTUP bukunya, sbb:

PENUTUP
Pembaca budiman, di awal buku ini telah dikatakan bahwa salah satu tujuan penerbitnya adalah agar kit bnisa mendapatkan gambaran yng lebih jelas mengeni pelanggaran HAM yang berat terkait Peristiwa 1965-1966, dan menjadi lebih paham mengenai apa saja sebenarnya yang terjadi pada waktu itu, berikut dampaknya. Untuk itu, pada bagian depan buku ini, telah kita simak bersama gambaran umum dan konteks yang kurang lebih melatarbelakangi terjadinya Tragedi '65. Kemudian melalui Laporan Komnas HAM telah kita lihat pula bagaimana tragedi itu berlangsung dengan segala dampak yng diakibatkannya. Kita lihat disitu, tindak kekerqasan kolektif ternyata terjadi hampir secara merata di berbagai tempat di penjuru tanah air, meskipun pembantaian yang paling massal terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.

Dari laporan akhir Tim Pengkajian Pelanggaran HAM berat Soeharto yang disusun oleh Sub- Tim Pengkajian Kasus 1965 juga bisa kita lihat bahwa pembantaian massal itu disertai dengan berbagai bentuk pelanggaran HAM lain yang tidak hanya merata, melainkan juga sistimatik. Pelanggarannya tidak hanya dalam bentuk siksaan fisik atau penghilangan secara paksa, melainkan juga melalui sistim politik yang represif dengan segala jenis aparat pendukung yang menjadi impelimentornya. Sebagaimana ditunjukkan dalam dua tulisan Aswi Warman Adam berikutnya, selama bertahun-tahun rakyat Indonesia berada dalam kungkungan rezim yang bengis seperti itu. Waktu itu, banyak orang berpikir bahwa sepertinya tak ada lagi harapan untuk menemukan jalan keluar.

Untunglah pikiran seperti itu tak sepenuhnya benar. Betapapun represifnya rezim pemerintahan yang berkuasa, ternyata harapan tetap ada. Kini, harapan itu bahkan semakin berkembang. Tulisan Stanley Adi Prasetyo dan Yosef Djakababa telah mengajak kita untuk tetap memiliki harapan itu, bahkan mencari jalan keluar serta menemukan alternatif atas situasi yang demikian. Harapan itu bisa diwujutkan salah satunya dalam bentuk usaha penulisan sejarah alternatif yang berbeda dari narasi resmi yang sarat kepentingan. Bisa juga dalam bentuk-bentuk lain.

Salah satu dari bentuk-bentuk lain itu adalah menyalakan kembali dan menjaga nyala api rekonsiliasi. Di bawah terang api rekonsiliasi ini para mantan pelaku dan para mantan korban diharapkan bisa saling bertemu, saling menceriterakan peristiwa tragis masa lalu itu dari pandangan dan pengalaman masing-masing, lalu bersama-sama mencari jalan keluarnya. Tujuannya bukan untuk melakukan balas dendam. Bukan pula untuk menuntut dilakukannya hal-hal yang tidak mungkin dilakukan. Tujuannya adalah untuk sekadar saling membuka diri sejujur-jujurnya. Yang bersalah diharapkan mengakui kesalahannyta; sedang yang waktu itu telah menjadi korban tanpa salah, segera dikemblikan nama baiknya. Sebagaimana telah kita lihat dalam tulisan Nurlaela Lamasitudju, pertemuan seperti itu sangat mungkin terwudjut. Dalam kasus di Palu, Sulawesi Tengah, Pak Wali Kota bahkan tak segan-segan mengakui kesalahannya dan meminta maaf secara publik. Para korban pun memahami dan memberikan maaf kepada Pak Wali Kota. Kiranya peristiwa langka seperti itu bisa menjadi contoh baik yang selanjutnya bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang di tingkat lokal maupun nasional.

Apakah gagasan dan contoh-contoh yang ada dalam buku ini akan menginspirasi kita atau tidak; apakah akan kita biarkan berlalu begitu saja atau tidak, tentu semuanya terpulang kepada kita masing-masing. Namun demikian, apapun pilihan yang kita ambil, sekarang kita tahu bahwa bangsa kita pada masa lalu pernah melakukan tindak kekerasandan pelanggaran HAM secara massif dan sistematik terhadap wartanya sendiri, dan oleh sebqab itu perlu untuk segera mengambil langkah-langkah tertentu guna mengatasi dan mengolahnya. Jika tidak, bangsa kita akan terus-menerus beraqa dalam kegelapan dan dihantui beban sejarah kekerasan masa lalu, sehingga sulit untuk bisa melangkah maju dengan derap langkah yang penuh keyakinan. Kita mendukung setiap upaya untuk melibatkan sebanyak mungkin warga masyarakat dalam menarasikan kembaloi apa yang terjadi seputar Tragedi '65 dan setelahnya, serta mendorong setiap langkah menuju rekonsiliasi bangsa.”
Demikian KATA PENUTUP Baskara dalam bukunya tsb.

* * *

Banyak negara di dunia memiliki rekam jejak buruk, terkait kolektif dan pelanggaran HAM pada masa lalu. Sebut saja, Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan dan Argentina. Begitu pula Indonesia. Berbeda dengan negara-negara lain yang berani mengakui, mengolah, dan menmuntaskan kejahatan terhadap kemanusiaan, Indonesia sepertinya masih berjalan di tempat.

Jangankan sampai pada penuntasan, pada fase pengungkapan pun aktivis HAM seringkali menghadapi jalan buntu. Sebagai bukti, ketika Komnas HAM menyampaikan hasil penyelidikan dan kerja kersnya selama empat tahun kepqada pemerintah, laporan tsb langsung ditolak dan tidak pernah ditindaklanjuti. Upaya penuntasan masalah pelanggaran HAM pun akhirnya mengambang.

Buku ini hendak mengajak masyarakat mengupayakan penuntasan masalah pelanggran HAM di Indonesia bisa terrealisasi. Buku ini menyajikan Laporan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966, dan disertai laporan pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru. selain itu ditampilkan pula tulisan-tulisan mengenai konteks terjadinya pembunuhan massal tahun 1965-19667, kekeraan terhadap para tapol di Pulau Buru, dan gagasan mengenai bagaimana seharusnya penanganan dan jalan keluar masalah pelanggarqn HAM.

Buku ini sangat penting bagi para pejuang kemanusiaan dan semua elemen maswyarakat yang peduli terhadpnya tegaknya keadilan di negeri ini. Secara khusus, buku ini penting bagi generasi muda Indonesia yangingoin mengenal lebih dalam sejarah bangsa dari sudut pandang yang lebih luas.

* * *


Pesan Penting Untuk JOKOWI: -- (1) “LUKA BANGSA LUKA KITA”






Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 25 Juni 2014
-----------------------------

Pesan Penting Untuk JOKOWI: -- (1)
LUKA BANGSA LUKA KITA”

* * *

Luka Bangsa Luka Kita – Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi” adalah judul buku DR BASKARA T. WARDAYA, SJ. Terbit tahun ini. Penerbit GALANG PUSTAKA, Yogyakarta. Aku memperolehnya melalui sahabatku Sutriyanto, di Jakarta.

Baskara menyatakan bahwa bukunya tsb ditulis “Untuk para pejuang kemanusiaan di segenap penjuru tanah air”.

Dalam pembukaan buku berikut ini pesan Editor: “Buku ini mengingatkan kembali masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas HAM . . . untuk terus dipelajari, dan selanjutnya untuk dijadikan acuan bagi kerja-kerja kemanusiaan dalam rangka menuntaskan berbagai bentuk pelanggaran HAM masa lalu”.

* * *

Dalam rangka kampanye pilpres 2014, Jokowi berjanji bahwa masalah pelanggaran HAM harus diurus . . . Buku Romo Baskara ini merupakan 'handbook' yang baik sekali, khususnya untuk Jokowi dan Jusuf Kala, sebagai capres dan wacapres. Bila terpilih Jokowi diharapkan tidak melupakan komitmennya untuk mengurus masalah pelanggaran HAM masa lampau. Amat disarankan agar capres Jokowi dan cawapres Jusuf Kala, mempelajari dengan seksama buku Romo Baskara ini.

Mengapa Jokowi harus membaca buku ini? Karena, untuk memulai REVOLUSI MENTAL yang merupakan fundamen dan titik tolak program pemerintahnya, pertama-tama mengenai masalah HAM dan Rekosiliasi Bangsa harus jelas dan jernih terlebih dahulu. Ini terutama bagi pemerintah, lembaga hukum serta aparatnya. Untuk selanjutnya disosialisasikan ke masyarakat.

Revolusi Mental tidak akan mungkin dilakukan dengan baik selama masalah LUKA BANGSA, masalah REKONSILIASI tidak difahami, ditangani dan dituntaskan dengan seksama.

* * *

Dalam pengantar bukunya tsb, Romo Baskara menulis sbb:

Pembaca budiman, ketika pada bulan Juli 2012 Komisi Nasional Hak-phak Azasi Manusia ( Komnas HAM) mengumumkan laporan hasil penyeledikan Tim Ad Hoc-nya tentang pelanggaran HAM yang terkait dengan pembunuhan masal tahun 1965 -1966, masyarakat menyambut gembira. Baik di dalam maupun di luarnegeri, baik di media masa cetak maupun elektronik, sambutan gembira itu sangat terasa. Hampir semuanya memandang laporan ini sebagai sebuah langkah maju, bahkan sebagai sebuah babak baru dalam perjalanan bangsa Indonesia, ketika sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara telah berani untuk secara serius melakukan penyelidikan mengenai pelanggaran HAM berat masa lalu. Apalagi tim Komnas HAM tak segan-segan menghabiskan waktu selama empat tahun (2008-2012) untuk menyelidikinya. Pada akhir penuyelidikan tersebut, Komnas HAM bahkan telah bersedia menyusun laporan yang jumlahnya mencapai ratusan halaman.

Apa boleh buat, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Ketika laporan hasil penyelidikan itu disampaikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaaan Agung, tanggapan yang muncul (sebagaimana sudah dicurigai) amat mengecewakan. Dengan alasan teknis yang tidak mudah dimengerti, Kejaksaan Agung mengembalikan laporan itu ke Komnas HAM. Alasannya, karena belum lengkap. Tak terlalu jelas apa yang dimaksud dengan kebelum-lengkapan itu, yang mengakkibatkan laporan itu ditolak dan dikembalikan. Yang jelas, laporan itupun berhenti sebagai laporan. Tidak ada tindak lanjut. Dua rekomendasi penting yang disampaikan di akhir laporan itupun terbang ke udara tanpa seorangpun tahu kapan akan mendarat kembali ke bumi. Bahkan setahun setelah laporan itu diumumkan ke publik, tidak ada sesuatupun yang berarti yang telah dilakukan sebagai tindak lanjut dari laporan dan rekomendasi Komnas HAM itu. Sedikit demi sedikit orang mulai melupakannya.

Situasi demikian tentu membuat banyak pihak merasa kecewa. Pada saat yang sama, situasi ke-mandeg-an atau stagnan seperti inilah yang justru diharapkan oleh pihak-pihak tertentu, yakni pelanggaran HAM pada masa lalu - khususnya berkaitan dengan kekerasan dan pembunuhan masal tahun 1965-1966 (Tragedi '65) – tak akan pernah diselesaikan secara tuntas. Mungkin pihak-pihak ini khawatir jika masaalah ini dbuka dan dibahas secara publik, mereka akan dirugikan. Padahal kekhawatiran seperti itu tidak selalu beralasan. Situasi ini memberi kesan seakan-akan sia-sialah para anggota komnas HAM yang selama tiga tahun telah menghabiskan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk berkeliling ke Nusantara guna melakukan penyelidikan dan menyusun laporan.

Buku Anda ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kerja keras para anggota Komnas HAM itu tidaklah sia-sia. Buku ini akan menunjukkan, apa yang telah mereka hasilkan melalui kerja keras dalam jangka waktu yang lama itu akan terus hidup dan menjadi acuan bagi penuntasan masalah pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia ini. Buku ini ingin kembali mengingatkan masyarakat akan pentingnya Laporan Komnas HAM tersebut untuk terus dipelajari, dan selanjutnya untuk dijadikan acuan bagi kerja-kerja kemanusiaan sekarang dan pada masa depan. Mengingat laporannya sendiri yag asli dan lengkap belum bisa diakses oleh publik (sebab secara legal, dokumen ini belum memiliki status sebagai dokumen pubik), apa yang bisa disampaikan untuk Anda disini hanyalah Ringkasan Eksekutif dari laporan tersebut. Ringkasan Eksekutif telah menjadi dokumen publik karena pernah dijadikan bahan untuk konferensi pers. Meskipun bentuknya hanya Ringkasan Eksekutif, kita berharap bahwa darinya kita bisa mendapatkan gambaran yang cukup mengenai apa yang telah dilakukan oleh tim Komnas HAM dan apa yang ditemukannya berkaitan dengan Tragedi '65 itu.

Dengan maksud untuk memperkaya pemahaman kita atas Ringkasan Eksekutif tersebut, serta untuk meletakkannya dalam konteks yang lebih luas, dalam buku ini disertakan dokumen serupa, yakni hasil penelitian dan laporan yang pernah dilakukan oleh sebuah tim penyelidik pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Presiden Suharto (2003). Ditambahkan pula dalam buku ini tulisan-tulisan lain yang terkait, seperti tulisan mengenai konteks domestik dan internasional yang melatarbelakangi terjadi Tragedi '65; dan mengenai upaya-upaya konkret dalam rangka rekonsiliasi atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lampau.

Diharapkan dengan terbitnya buku ini, Anda dan kita semua bisa dapat gambaran yang lebih jelas mengenai pelangga 1965-1966, sejauh hal itu tercermin dalam Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Komnas HAM tersebut dan tulisan-tulisan lain yang menyertainya. Selanjutnya diharapkan pula bahwa kita akan menjadi lebih mengerti apa yang sebenarnya yang terjadi pada waktu itu, sejauh mana dampak dari peristiwa itu terhadap masyarakat, serta hal apa saja yang kiranya bisa dan perlu kita lakukan dalam rangka memperjuangkan hak-hak azasi setiap warga negara di negeri yang kita cintai bersama ini.

Ucapan terima kasih ingin kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkenan terlibat dalam penerbitan ini, khususnya kepada teman-teman kami di Komnas HAM periode 2007-2012 maupun periode 2012-2017 yang telah memberikan dukungan bagi penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepda kontributor yang telah meluaskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menulis dan mengirimkan tulisan untuk buku ini. Secara khusus, terima kasih kami sampaikan kepada Dr Asvi Warman Adam yang telah menyerahkan naskah Laporan Akhir Tim Pengkajian Pelanggaran Ham Berat Suharto (Sub-Tim Pengkajian Kasus 1965) untuk disertakan dalam buku ini . Tak lupa, terima kasih sebesar-besarnya kami tujukan kepada teman-teman kami di Penerbit Galang Pustaka Yogyakarta yang selain menyumbang gagasan awal juga telah bersedia memberikan dukungan tenaga dan biaya sehingga buku Anda ini menjadi kenyatan.

Semoga niat dan usaha baik yang yang telah kita tempuh bersama ini menghasilkan buah yang berguna bagi sebanyak mungkin orang di negeri ini. Terutama, semoga berguna bagi mereka yang masih memiliki harapan atas ditegakkannya kebenaran dan keadilan di Indonesia. Semuanya tentu demi masa depan bersama yang lebih baik.

Baskara T. Werdaya SJ, Editor.

* * *

Ketika Soeharto dipaksa turun dari jabatannya (1998) banyak dari saksi maupun korban mulai berani membuka suara dan berbicara tentang apa yang mereka alami. Namun demikian, ada jauh lebih banyak lagi yang belum berani membuka diri. Oleh sebab itu, mereka ini perlu dibantu agar berani dan rela menceritakan pengalaman dan keasaksian mereka untuk membantu memahami Tragedi '65 di Indonesia secara lebih utuh”.

--Baskara T. Werdaya, SJ.
(Bersambung)

* * *





MENGGUNAKAN RELIGI SEBAGAI KOMODITI demi KEKUASAAN

Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 23 Juni 2014
------------------------------
MENGGUNAKAN RELIGI SEBAGAI KOMODITI demi KEKUASAAN

Kepercayaan, agama, religi digunakan sebagai komoditi --- sebagai barang dagangan, sebagai reklame – untuk mencapai kekuasaan politik negeri, dan atau untuk mempertahankan kekuasaan golongan sendiri, dengan menzholimi golongan atau fihak lawan (politik). . . . . Sering bicara atas nama agama, mengangkat diri sebagai jurubicara tunggal kepercayaan tertentu --- mengatas-namai Yang Maha Kuasa, --- sedangkan hakikatnya adalah untuk merebut kekuasaan atau mempertahankannya bagi golongan sendiri --- .
ITU SEMUA ADALAH FAKTA-FAKTA SEJARAH.
Tanpa menjadi seorang historikus, siapa saja yang mau membuka catatan sejarah, akan menemui fakta-fakta dan kejadian-kejadian serupa itu. Bisa peristiwa itu terjadi di Irlandia Utara, Libanon, Nigeria, Mesir, Central Afrika atau Sudan Selatan--- bisa terjadi di Irak atau Syria, Mesir atau Israel, di India atau Pakistan; Birma atau Muangthai . . . . . . . . tidak sulit untuk mengetahuinya.
Menjadikan religi sebagai komoditi --- Untuk merebut kekuasaan – – – kasus seperti ini – – – Indonesia mengalaminya sendiri. Konflik kekerasan dalam negeri dengan mengatas-namai agama yang banyak makan korban pernah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Misalnya sekitar peristiwa DI/TII. Juga pernah terjadi di Maluku di tahun-tahun permulaan Reformasi dan Demokratisasi, ketika terjadi konflik Islam – Kristen. Serta di berbagai tempat lainnya. Halmana nyaris menghancurkan samasekali keharmonisan dan langgam hidup rukun berdampingan dengan tenteram antara penganut kepercvayaan Kristen dan Islam.
* * *
Abdillah Toha, adalah salah seorang pendiri dan mantan Ketua PAN, Partai Amanat Nasional. Ia memberanikan diri menganalisis hal- hal yang terjadi sekitar kampanye pilpres 2014, dimana kepercayaan, agama, religi 'dijual demi kekuasaan'.
Abdillah Toha mencanangkan bahaya yang terkandung dalam cara-cara yang menggunakan agama demi kekuasaan. Ia juga mengingatkan pembaca bahwa kaum Muslim Indonesia adalah kaum yang toleran terhadap kepercayaan dan agama lainnya. Toha mencanangkan sekitar transaksi menjual agama dengan cara yang paling berbahaya demi meraih kekuasaan. Berbahaya karena isu agama adala isu sara yang sangat peka dan berpotensi memecah belah bangsa.


* * *

Silakan telusuri tulisan Abdillah Toha sekitar digunakannya agama demi kekuasaan (huruf tebal di tulisan di bawah ini oleh penulis kolom):

Abdillah Toha ( lahir1942):

Menjual Agama DEMI KEKUASAAN

Saya sebenarnya segan membahas topik ini. Namun karena masalahnya sudah berkembang terlalu jauh belakangan ini, saya merasa harus ikut urun rembug sebagai bagian dari tanggung jawab saya sebagai warga negara dan sebagai bagian dari muslim Indonesia.

Muslim Indonesia? Ya, muslim yang berbeda karakter dari muslim di banyak negara lain, khususnya di beberapa negara Timur Tengah yang sedang dilanda perang antar muslim demi merebut kekuasaan dan mendirikan "Islam yang murni". Muslim Indonesia berbeda, karena kita adalah muslim yang toleran, menghargai perbedaan, serta sangat luwes dalam mengadaptasikan keislaman kita dengan kearifan lokal.

Sayang sekali karakteristik dan perilaku tasamuh muslim Indonesia yang sudah berjalan ratusan tahun ini belakangan menghadapi serangan kelompok garis keras yang sebenarnya minoritas tetapi militan, fanatik, dan agresif. Toleransi atau tasamuh dianggap sebagai tanda kelemahan. Orang-orang ini dihinggapi penyakit kejiwaan yang bisa disebut sebagai paranoid, yakni selalu merasa ketakutan kepada segala sesuatu yang berbeda dan diluar diri atau kelompoknya. Pihak luar ini dipersepsi oleh mereka sebagai ancaman terhadap eksistensinya. Inilah kelompok yang hanya mengenal dua warna, hitam dan putih. Tidak boleh ada warna lain diantara keduanya.

Kelompok Islam garis keras ini tidak hanya terjangkit bayangan ancaman dari penganut agama lain tapi justru belakangan ini dia juga khawatir terhadap apa yang dipersepsinya sebagai ancaman atas benteng akidah mereka dari muslim sendiri yang tidak sealiran dengan mereka. Maka satu-satunya jalan adalah melakukan pre-emptive strike kepada lawannya yang dikhawatirkan akan menjadi besar bila dibiarkan.

Mereka bergerak dalam semua front, dari masjid-masjid sampai ke pengajian, selebaran, tabloid, media sosial dan bahkan ke kehidupan politik. Pukulan mereka belum sampai kepada menggorok leher lawan seperti yang terjadi di beberapa negara Timur Tengah, tapi sudah dalam bentuk pengusiran dari rumah tinggal korban, ancaman pembunuhan, intimidasi, provokasi, sampai kepada penyebaran berita-berita bohong dan fitnah. Modus operandi yang terakhir ini, penyebaran berita bohong dan fitnah, sudah diterapkan dalam kampanye pilpres kali ini dalam rangka menjauhkan konstituen muslim dari memilih lawan politik mereka. Capres Jokowi, seorang muslim yang taat, adalah salah satu korban yang dikampanye hitamkan sebagai penganut kristen dan keturunan Tionghoa yang membahayakan umat Islam Indonesia.

Yang menyedihkan adalah bahwa kampanye hitam yang sistematis ini ternyata cukup efektif. Banyak kalangan Islam yang percaya, dan yang mengherankan pula, tidak kurang dari kalangan warga muslim terdidik yang termakan oleh isu ini, walau berbagai sanggahan telah disampaikan secara lisan, tulisan, dan dalam bentuk video yang menafikan kebenaran dari tuduhan itu. (lihat video :
http://m.youtube.com/watch?v=0fRJZIBDztc&sns=tw ). Tuduhan dan sanggahan saling bergantian ini seakan membuat ramalan Amien Rais tentang "Perang Badar" dalam pilpres kali ini menjadi sebuah kenyataan.

Mereka lupa akan adanya hadis Nabi yang setengah mengutuk pengkafiran sesama muslim secara tidak benar. Muhammad SAW bersabda  " Dan barangsiapa yang menuduh seseorang dengan panggilan “kafir” atau “musuh Allah” padahal dia tidak kafir, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh". ( Dari Abu Dzar di Shahih Bukhari)

Kasus yang mirip dengan ini pernah pula dialami oleh presiden Amerika Barack Obama yang sempat difitnah ketika menyalonkan diri sebagai presiden. Lawan politiknya, termasuk Hillary Clinton, menyebar luaskan isu bahwa Obama sesungguhnya adalah seorang Muslim yang berkehendak menguasai Gedung Putih di negeri yang mayoritas warganya beragama Kristen. Isu ini disebarkan antara lain dengan menunjuk kenyataan bahwa nama tengah Obama adalah Husein. Untunglah pada akhirnya Obama tetap terpilih sebagai presiden Amerika.

Inilah salah satu strategi menghalalkan cara demi memenangkan calon yang didukungnya. Inilah pula transaksi menjual agama dengan cara yang paling berbahaya demi meraih kekuasaan. Berbahaya karena isu agama adala isu sara yang sangat peka dan berpotensi memecah belah bangsa.


Bila sesungguhnya hal ini tidak dilakukan oleh tim sukses resmi capres Prabowo tapi oleh para pendukungnya yang fanatik, maka sejauh ini kita tidak mendengar pernyataan tim sukses mereka dan partai-partai Islam pendukungnya yang mengecam kampanye hitam jenis ini. Ketiadaan kritik atau kecaman itu bisa dipersepsi sebagai restu resmi atas cara-cara tidak terpuji itu.

Tulisan ini tidak bermaksud mengatakan bahwa andaikata tuduhan itu benar maka Jokowi tidak layak menduduki jabatan presiden di negeri yang mayoritas penduduknya muslim.

Konstitusi kita menjamin setiap warga negara, apapun agama dan keyakinannya, hak pilih dan hak untuk dipilih dalam semua jabatan.

Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kita bahwa betapapun keras dan ketatnya persaingan dalam pilpres kali ini, sebagai warga negara yang bertanggung jawab kita harus tetap menjauhkan diri dari cara kampanye yang memojokkan lawan lewat disinformasi, kebohongan, apalagi fitnah.

Abdillah Toha
22-06-201



SEDAP DAN SEGAR MEMBACA URAIAN MAYJEN SAURIP KADI

Kolom Ibrahim isa
Jum'at, 20 Juni 2014
-----------------------------



SEDAP DAN SEGAR MEMBACA URAIAN MAYJEN SAURIP KADI


Silakan baca dan renungkan uraian singkat Mayjen (Purnw) Saurip Kadi.

Jarang ada jendral bicara demikian jelas dan b e r a n i ..


Pasti beliau tidak takut dituduh 'jendral-Kiri'. . . atau SUKARNOIS . .


* * *

Mayjen (Purn) Saurip Kadi:
Omong Kosong Pasal 33 Bisa Diterapkan


Jumat, 20 Juni 2014 http://www.bergelora.com/nasional/politik-indonesia/683-mayjen-purn-saurip-kadi-omong-kosong-pasal-33-bisa-diterapkan.html

JAKARTA- Deklarator Gerakan Renaissance Indonesia, Mayjen Saurip Kadi menegaskan dalam sistim yang mengabdi pada kepentingan kapitalisme yang berlaku di Indonesia seperti saat ini omong kosong pasal 33 dari Undang-undang Dasar 1945 bisa diterapkan.

Menurutnya, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tidak terjadi di Indonesia.

“Memang dikuasai negara, tetapi setelah itu dijual-jualin kepada kapitalis dalam maupun luar negeri. Untungnya dikorup sendiri. Rakyatnya terus digusur dan diperas dan gak pernah bisa makmur,” ujarnya dalam Forum Publik bertemakan "Ketahanan Bangsa dan Pemilu 2014" yang diadakan oleh Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) dan Departemen Dalam Negeri di Jakarta, Kamis (19/6).

Ia menjelaskan bahwa pasal 33 dari Undang-undang Dasar itu bernafas sosialis dan hanya berhasil dijalankan di Republik Rakyat Tiongkok.

“Di Cina semuanya dikuasai negara, dikelola negara, hasilnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesehatan gratis. Sekolah gratis. Rakyat dikasih tempat tinggal layak. Rakyat semua bisa makan cukup. Transportasi massal modern. Pasal 33 bisa diterapkan karena sistimnya memungkinkan,” ujarnya kepada Bergelora.com ditengah forum publik itu.

Dalam sistim yang liberal seperti saat ini, pemerintah menurutnya membiarkan rakyat yang lemah harus bersaing dengan kapitalis yang kuat. Sehingga rakyat selalu akan dikalahkan oleh kapitalis yang kuat.

“Agama itu hanya untuk orang-orang yang berakal sehat. Di Indonesia gak ada yang berakal sehat. Kambing dijadikan satu dengan macan, disuruh bertarung,” salah satu deklarator Gerakan Renaissance Indonesia itu.

Arbitrase Internasional

Sementara itu dalam forum yang sama, peneliti Institut For Global Justice (IGJ), Salamuddin Daeng menjelaskan bahwa bangsa Indonesia menghadapi ancaman yang sangat berat.

“Situasi dalam negeri semakin panas. Ancaman dari luar menyangkut keselamatan bangsa dan negara. Sedangkan dari dalam harus mengatasi berbagai persoalan akibat salah kelola,” ujarnya.

Saat ini menurutnya berbagai perusahaan asing mengajukan tuntutan arbitrase internasional menggugat pemerintah Republik Indonesia. Sehingga pemerintah diwajibkan pengadilan internasional membayar ganti rugi pada perusahaan-perusahaan internasional yang katanya dirugikan di Indonesia.

“Di Kuta sebuah perusahaan Inggris minta ganti rugi 2 Milyat Dollar atau sebesar Rp 10 Triliun. Ini semua karena pemerintah kita wataknya calo, selalu obral konsesi. Sehingga saat akan beroperasi, perusahaan-perusahaan asing pasti berhadapan dengan rakyat. Semuanya tanah rakyat. Eh rakyatnya yang disalahin,” tegasnya. (Tiara Hidup)

JANGAN SEKALI-KALI BIARKAN LALU CANANG ITU!






Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, , 19 Juni 2014

------------------------------

JANGAN SEKALI-KALI BIARKAN LALU CANANG ITU!

*    *    *

Tulisan berikut ini bermaksud mengajak pembaca menyoroti -- dua masalah teramat penting. Dua masalah tsb bisa diikuti di media. Menjadi perhatian karena muncul (lagi) sehubungan dalam kampanye pilpres 2014,

Masalah Yang pertama, -- Ialah sebuah canang disiarkan oleh Editorial s.k berbahasa Inggris, ''The Jakarta Post”, tentang bahaya FANATISM. “The Jakarta Post”, menyatakan bahwa bangsa ini mengidap pandangan “Fanatisme” yang meracuni kehidupan berbangsa

Kedua, ialah tentang 'cakap-angin' (cerita dusta) yang dilontarkan oleh Suhardi, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Ia berucap bahwa masalah HAM , adalah masalah lampau yang sudah sangat basi. Isu hak asasi manusia dalam debat capres-cawapres sudah sangat basi untuk dibahas, kata Suhardi

*    *    *

Mengenai isu pertama: Masalah FANATISME. Siapa saja yang punya akses ke media internet, bisa membaca sebuah kiriman dari Abdillah Toha. Ingat nama itu? Belum lama ia bikin gempar dunia kampanye pilpres, dengan tulisannya: --- Mengapa ia memilih Jokowi.

Soalnya, -- Abdillah Toha adalah salah seorang pendiri parpol PAN, Partai Amanah Nasional. Pimpinannya, Hatta Rajasa berkoalisi dengan calpres Probowo Subianto, Ketua Dewan Pembina GERINDRA.

Kiriman itu adalah sebuah editorial s.k. Berbahasa Inggris di Jakarta, “The Jakarta Post”. Judul editorial amat menggelitik yang membacanya: “Are we all bigots”? Di Indonesiakan secara bebas: “Apakah kita-kita ini semuanya kaum fanatikus?”.

Editorial 'The Jakartga Post' mempersoalkan sikap penguasa dan juga publik serta persnya terhadap kampanye-fitnah anti-Jokowi yang menggunakan isu SARA. Fitnah itu disebarkan a.l di pesantren, lewat siaran 'Obor Rakyat'. Diuar-uarksn bahwa 'Jokowi adalah turunan Cina dan beragama Kristen.

Menurut 'The Jakarta Post', respons publik, sekadar menyatakan bahwa kampanye-fitnah/SARA itu, adalah suatu 'kampanye-hitam'. Padahal jelas sekali kampanye anti-Jokowi itu sarat dengan RASIALISME. Reaksi publik demikian itu, menunjukkan bahwa publik sudah keracunan pandangan 'fanatisme' agama.

Editorial kemudian mencanangkan bahwa masyarakat kita jangan sampai tidak peka terhadap isu rasialisme dan fanatisme agama.

Andaikata benar Jokowi adalah turunan-Cina dan beragama Kristen, lalu 'mau apa', tanya Editorial. Bukankah negeri ini punya falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Bukankah Wagub DKI, Ahok, adalah asal etnis-Tionghoa dan beragama Kriseten? Lalu mau apa? Begitu ditegaskan lebih lanjut oleh Editorial.

*    *    *

Masalah kedua, kasus HAM di Indonesia. Apakah benar seperti yang diuarkan oleh Ketua Gerindra, Suhardi, bahwa masalah HAM itu 'sudah sangat basi untuk dibahas'?

Siapa yang tidak tahu tentang Rekomendaasi KomnasHam 22 Juli 2012. Laporan dan Rekomendasi KomnasHam yang mencanangkan tentang keterlibatan aparat, tentara dan polisi, dalam pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 1965”. Siapa yang tidak terkejut, kecewa dan marah ketika Kejaksaan Agung RI, dengan alasan administratip, proseduril dan macam-macam dalih lainnya, TELAH MENOLAK REKOMENDASI KOMNASHAM tsb?

Sudah menjadi perhatian umum bahwa sampai saat ini pembunuhan atas aktivis terkemuka untuk HAM dan Hak-Hak Demokrasi, Moh. Munir, dimana tersangkut aparat intel negeri, sampai detik ini masih belum memperoleh perlakuan hukum yang adil. Siapa tidak tahu, bahwa janji Presiden SBY untuk menangani soal Munir, sampai detik ini, masih merupakan janji kosong belaka.

Siapa pula yang tidak tahu, bahwa sekitar 20 juta keluarga Korban Perisiwa Pembantaian 1965, masih belum direhabilitsi nama baik dan hak-politik, hak-hukum dan hak sipil mereka. Bahwa para KORBAN 1965, sampai sekarang hakikatnya masih didiskriminasi . . .

Selain itu masih ada serentetaan masalah pelanggaran HAM, dimana pelakunya adalah aparat keamanan negeri, yang terjadi di Aceh, Timor Timur, Papua dll tempat, dan masalah pelanggaran HAM di sekitar Peristiwa Mei 1998, yang melapuk dan penuh debu di dalam laci-laci dekomuntasi penguasa militer dan sipil.

*    *     *

Salah satu isu besar yang merupakan 'cacad fatal' calpres Prabowo Subianto, adalah resord pelanggaran HAM dimana ia terlibat langsung.
Dalam kasus Timor Timur, kasus Papua, dan kasus Mei 1998, teristimewa kasus penculikan, penghilangan dan pembunuhan 13 orang aktivis Reformasi/Demokrasi.

Jusuf Kala, sesungguhnya juga amat naif telah memberikan pujiannya terhadap Pemuda Pancasila. Seperti diberitakan Pemuda Pancasila terlibat langsung dalam pembunuhan/pembantaian sekitar Pertistiwa 1965 di Sumatra-Utara (Lihat film 'THE ACT OF KILLING', produksi Joshua Oppenheimer, dengan tokoh peran utamanya, sang jagal Anwar Congo) – Namun, belakangan JK menyatakan bahwa Prabowo sudah mengakui sekitar keterlibatannya dengan pelanggaran HAM. Ia sudah mengakuinya, kata JK, seperti pernah diberitakan media.

* * *

Masalah pelanggaran HAM dimana calpres Prabowo terlibat telah menyebabkan Prabowo, seperti dikatakan oleh tokoh pendidikan, Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan , sebagai tokoh yang 'punya masalah'.

KONTRAS, --- LSM - HAM, khusus mengenai orang-orang hilang, berkali-kali mengingatkan masyarakat, tentang keterlibatan Prabowo dengan pelanggaran HAM, dalam penculikan dan penghilangan para aktivis Reformasi dan Demokrasi, sekitar Mei 1998.

*     *     *

Dihadapkan pada kenyataan dipeti-eskannya oleh penguasa masalah pelanggaran HAM di negri ini, menunjukkn bahwa ocehan Ketua Gerindra, Suhardi, bahwa masalah HAM sudah basi, adalah 'cerita bohong' yang dimaksudkan semata-mata untuk mengecoh dan menipu masyarakat.

*         *        *

Marilah, --- Jangan sekali-kali membiarkan lalu canang tsb diatas!

*      *      *



Sunday, June 15, 2014

BRAVO . . BRAVO . . . . KEJUTAN DAN KEAJAIBAN DI KEJUARAAN SEPAKBOLA DUNIA . . . BRAVO . . . . BRAVO . . . KEJUTAN DAN KEAJAIBAN DI KEHIDUPAN PARPOL INDONESIA . . .

Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 14 Juni 2014
-----------------------------

BRAVO . . BRAVO . . . . KEJUTAN DAN KEAJAIBAN DI KEJUARAAN SEPAKBOLA DUNIA . . .

BRAVO . . . . BRAVO . . . KEJUTAN DAN KEAJAIBAN DI KEHIDUPAN PARPOL INDONESIA . . .

* * *

PARA KADER TINGGI “GERINDRA”, “GOLKAR”, DAN “PAN” MALAH AKAN PILIH . . . . JOKOWI/JK . . .

* * *

Tadi malam dunia persepak-bolaan digemparkan! Menurut koran Belanda: kemenangan kesebelasan Oranje itu adalah “EEN MONSTER ZEGE” (Suatu Kemenangan Monster) . . . …. Kesebelasan nasional Belanda, populer dengan nama ORANJE, telah menundukkan kesebelasan Spanyol dengan (tidak tanggung-tanggung) dengan angka 5 – 1 . Ini terjadi dalam pertandingan KEJUARAAN SEPAK BOLA SEDUNIA, yang dimulai tadi malam di Salvador, Brasil . . . . .

Seluruh Belanda meledak berpesta ria atas kemenangan 'revance' lawan Spanyol. : “Het is een wonder, . . onverklaarbaar, laten wij maar genieten” . . . . “Suatu keajaiban . . . tak dapat dijel;askan . . marilah kita nikmati saja'. . . . seru Robin van Persie, kapten Oranje yang ganteng itu.

Komentar diatas, . . . . ya, begitulah kiranya . . . sekadar menyambut kemenangan luar biasa Oranye atas keseblelasan Spanyol, kampiun Kejuaraan Dunia 2010 di Afrika Selatan, yang ketika itu dalam babak final telah mengalahkan kesebelasan Oranje. Untuk Belanda ini adalah BERITA BESAR dan merupakan suatu kejutan KEJUTAN . . ..

* * *

INDONESIA JUGA BIKIN KEJUTAN DAN “KEAJAIBAN”

Tapi bangsa kita, menjelang pilpres 2014, 09 Juli yad, belakangan ini juga membuat suatu . . . “KEJUTAN”! Paling tidak suatu kejutan dalam dunia perpolitikan Indonesia,. . .

Betapa tidak dibilang kejutan? Atau lebih baik dibilang suatu demonstrasi
KEBEBASAN MEMILIH, DEMONSTRASI PENGGUNAAN HAK MENYATAKAN PENDAPAT dalam arti kata yang sesungguhynya.

Bayangkan sementara kader tinggi Gerindra, Golkar dan PAN, yang mengusung pencalonan PRABOWO dan HATTA RAJASA, secara terbuka dimuka umum menyatakan JUSTRU AKAN MEMILIH calpres PDI-P --- JOKOWI – JK. Mereka-mereka itu justru tidak akan memilih Prabowo/Hatta Rajasa.

Ya, ya, ya, Mohamad Harris Indra, Ketua DPP Gerindra, Charles Bonar Sirait, dan Indra J. Piliang dari Golkar; dan Wanda Hamidah, PAN, mereka-mereka tidak akan memilih “orang-orang pilihan parpolnya”.

Inilah KEJUTAN dan bisa juga dibilang KEAJAIBAN KEHIDUPAAN PARPOL di Indonesia, yang menurut Prabowo, parpol di Indonesia itu bisa dibeli untuk dapat menguasai Indonesia.

* * *

Dan alasan yang mereka kemukakan tidak alang kepalang . . . Mereka pilih Jokowi/JK karena calon-calon itulah yang mereka yakini akan membawa perubahan dan perbaikan bagi Indonesia yang amat dipelukan itu.

Bravo Kebebasan Memilih di Indonesia.

Marilah kita nikmati KEBEBASAN MEMILIH di Indonesia kali ini!

* * *

"SANG KANCIL", . . . Salah Satu "TOKOH FOLKLOR RAKYAT"

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 13 Juni 2014
-----------------------------

"SANG KANCIL", . . .

Salah Satu "TOKOH FOLKLOR RAKYAT"
* * *

Dikatakan . . . Sang Kancil itu adalah Lambang Kecerdikan yg Tenang Menghadapi Kesukaran, Selalu Dapat Memecahkan Masaalah Rumit Tanpa Ribut-ribut, Tanpa Banyak Emosi . .


Benarkah demikain? .. . (Tanya Isnaeni . . .)

* * *

Sahabatku dari Redaksi "MAJALAH HISTORIA", Jakarta, Hendri F. Isnaeni, mengirimkan sebuah tulisan sekitar 'folklor' Indonesia. Menarik, berjudul : "Di Balik Cerdik Licik Si Kancil", Benarkah si Kancil mewakili tipe ideal orang Jawa atau Melayu-Indonesia?


Dalam tulisannya itu Isnaeni mengutip pendapat seorang pakar asing bernama Philip Frick McKean. A.l sebagai berikut:

“Menurut James Danandjaja, dari semua peneliti tentang dongeng Kancil, yang menarik adalah karya Philip Frick McKean, The Mouse-deer (Kantjil) in Malayo-Indonesia Folklore: Alternative Analyses and the Significance of a Trickster Figure in South-East Asia. McKean menyimpulkan bahwa ideal folk (cerita rakyat) Jawa adalah selalu mendambakan keadaan keselarasan. Dari isi dongeng-dongeng si Kancil dapat diambil kesimpulan bahwa Kancil mewakili tipe ideal orang Jawa atau Melayu-Indonesia sebagai lambang kecerdikan yang tenang dalam menghadapi kesukaran, selalu dapat dengan cepat memecahkan masalah rumit tanpa ribut-ribut, dan tanpa banyak emosi. Benarkah demikian?

Tidak jelas, apakah pertanyaan Isnaeni tsb berkaitan dengan situasi, di saat pemilih Indonesia akan menentukan (09 Juli 2014), siapa yang dipercayainya untuk menjadi presiden Ke-8 Republik Indonesia. Rasa-rasanya mungkin begitu. Pertanyaan itu ada hubungannya dengan situasi mencari tokoh Indonesia yang ideal akan memimpin bangsa dan negeri ini.

* * *

Ingatanku jadi melayang ke Indonesia puluhan tahun yang lalu. Sudah dimulai masa bocah, oleh orangtua atau neneknya, anak-anak Indonesia diperkenalkan dengan cerita atau dongeng, yang diambil dari khazanah "folklore". Anak-anak amat menyukai cerita-cerita folklore.

* * *

Isinya ada kalanya dongeng atau cerita tentang penghuni hutan belukar. Seperti antara lain yang populer adalah CERITA SANG KANCIL. Biasanya, dongeng itu mengisahkan tokoh 'baik', dan lawannya tokoh 'jelek'. Akhirnya yang 'baik' sealu menang.

Jelas, dongeng itu mendidikkan kepada anak-anak itu, bahwa dalam kehidupan ini selalu ada konflik antara yang 'baik' lawan yang 'jahat'. Dan bahwa akhirnya yang baik selalu pasti menangnya. Ini adalah semacam pendidikan akhlak, membina watak baik ketika masih anak-anak. Dari yang tua kepada yang muda.

Namun, dalam dongeng “Sang Kancil”, tokoh “Kancil”itu, bukanlah menunjukkan tokoh 'licik' atau 'penipu'. Tapi suatu tokoh yang cerdas, pandai, bijak, banyak akalnya. Itu semua diperlukannya untuk membela diri, untuk bisa 'suvive' dalam kehidupan dimana yang berlaku adalah 'hukum-rimba' di hutan belantara.

Tokoh “Sang Kancil”, menggmbarkan keharusan yang kecil dan lemah itu, harus luar biasa pandai, bijak dan berani.

* * *

Mertuaku, neneknya putri-putri kami, misalnya. Aku masih ingat. Sambil membobokkan cucunya Pratiwi, beliau bercerita tentang Yuyu Kangkang dan Klenting Kuning.

Begitulah, menurut yang empunya cerita, suatu ketika adalah seorang perjaka gagah dan muda belia yang hendak mencari pasangan hidupnya. Mendengar itu beberapa gadis siap-siap menuju tempat Sang Pemuda. Mereka harus menyeberang sebuah sungai. Seekor Yuyu raksasa, bernama Yuyu Kangkang, siap-siap menyeberangkan gadis-gadis itu. Tetapi ia tidak mau diantara gadis itu ada yang terpilih menjadi istri sang Pemuda yang gagah perkasa itu. Sang Yuyu Kangkang sendiri yang ingin memperistri gadis itu.

Maka ketika menyeberangkan gadis itu Yuyu Kangkang ambil kesempatan mencium gadis itu. Karena sudah dicium Yuyu Kangkang, sang gadis gagal terpilih.

Kleting Kuning, adalah gadis cantik dan cerdas serta bijak. Ia memiliki sebuah cemeti 'istimewa'. Dengan sekali pecut, air sungai mengering, dan Kleting Kuning dapat melewati sungai tanpa 'bantuan' Yuyu Kangkang.

Akhirul kalam Yuyu Kangkang yang jecea dan marah itu lari terbirit-birit sambil melolong; “Kang, kang, kang, kang . . . . .

Dan Kleting Kuning terpilih oleh sang Pemuda nan gagah belia, sebagai istrinya.

Cerita tentang Yuyu Kangkang dan Kleting Kuning, mengisahkan bahwa 'yang jahat' bisa dikalahkan oleh 'yang baik'.

* * *

Bagaimana sebenarnya kedudukan, fungsi, pengaruh dongeng-dongeng dan cerita-certa dari 'folkore' kita.

Prof .Dr. James Danandjaja, gurubesar dalam imu antropologi dan folklore pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI pernah menulis buku berjudul “Folklore Indonesia; ilmu gosip, dongeng, dan lain lain, 1984.

Antara lain ditulisnya sbb: Definisi secara keseluruhan: folklore adalah sebagian kebudayaan secara kolektif, yang tersebar dan diteruskan turun-temurun, diantqra kolektif macam apa saja, secara tradisionil dalam versi yang berbeda, baik, dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingt (mnemonic device)”. Demikianlah rumusan seorang sarjana.

Sedangkn penerbit buku folklore tsb, Grafitipers, menyatakan, s.l.:

Tidak kenal maka tak sayang, begitu bunyi sebuah ungkapan. Dalam arti positif, niscaya ungkapan ini berlaku pula dalam upaya kita untuk memupuk kecintaan terhadap bangsa dan negara dengan segala keanekaragamannya. Artinya, semakin dalam pengenalan kita semakin besar pula keintaan kita terhadapnya.
Bagainakah pengenalan itu bisa dilakukan? Salah satu cara adalah dengan mempelajari bentuk-bentuk folklor yang terdapat dalam masyarakat kita”.

Direktur Jendral Kebudayaan ketika itu, Prof Dr Haryati Subadio, menyatakan:

Saya berharap buku ini dapat menggalakkan perhatian terhadap folklore Indonesia untuk dijadikan pokok penelitian dan penulisan, sehingga bahan folklor kita itu akan dikenal di kalangan luas sebagai bagian dari warisan budaya nasional bangsa”.

* * *

Diharapkan tulisan kecil ini bisa menggugah anak-anak bangsa untuk dengan gairah meneliti, menstudi dan menulis mengenai folklor bangsa kita. Dengan demikian menimba kebijakan dari budaya bangsa sendiri.

Sekaligus membantu memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh Hendri F. Isnaeni, dalam tulisannya itu.

* * *



TOMAGOLA: “PENAMPILAN JOKOWI BUKANLAH CAPRES BONEKA"

Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 11 Juni 2014
----------------------------


DEBAT CAPRES 2014 ---

TOMAGOLA: “PENAMPILAN JOKOWI
BUKANLAH CAPRES BONEKA"
    
*     *      *

Pagi ini, --- Rabu, 11 Juni --- bisa dibaca berita Antara News liputan mengenai DEBAT PERTAMA (9 Juni) antara JOKOWI/JK  dan PRBOWO/HR
yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, dengan tema Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum.

Pilihan tema, adalah SESUAI dengan situasi dan suasana serta harapan masyarakat akan PERUBAHAN dan PERBAIKAN. Paling tidak sudah sejak berakhirnya rezim Orde Baru, rakyat mengharapkan dan terus memperjuangkan dengan berbagai cara, dibangunnya dan diberlakukannya hak-hak demokrasi yang telah dipasung selama 32 tahun oleh rezim Suharto.

Seirama dengan itu semakin tegas dan santer tuntutan diteruskan dan dikonsewenkannya penanganan dan pemberantasan korupsi, serta ditegakkannya Kepastian Hukum.

* * *

Dari Thamrin Amal Tomagola, sosiolog UI, sudah kedengaran respons atas yang dikemukakan oleh Jokowi dalam Debat Capres tsb. Apresiasi Tomagola:

"Dia (Jokowi) benar-benar seperti Singa Asia. Sementara Prabowo yang disebut-sebut Macan Asia justru tidak terlihat. Jokowi maupun JK tetap berpijak di bumi dengan memberikan argumentasi berupa fakta-fakta.
Jokowi dan JK bisa saling melengkapi satu sama lain, sehingga yakin, jika kelak terpilih maka Jokowi-JK akan menjadi yang membumi, bukan yang cuma pandai berpidato atau berretorika”

Thamrin menegaskan, malam itu tidak melihat Jokowi seperti yang dikesankan banyak orang. Jokowi malah percaya diri dan bisa mengungkapkan visi, misi dan programnya dengan lancar.

Menurut Antara beberapa pihak menilai penampilan Jokowi saat debat menunjukkan bahwa mantan Wali Kota Solo itu bukanlah capres boneka karena memiliki konsep yang jelas.

* * *

Di bawah ini disajikan rekaman sekitar DEBAT CAPRES:


http://www.antaranews.com/pemilu/berita/438382/jokowi-tampil-seperti-singa-asia-di-podium

Jokowi tampil seperti
Jakarta (ANTARA News) - Penampilan pasangan capres dan cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla saat menyampaikan visi misi disertai contoh konkret dalam debat calon presiden dan wakil presiden mendapat ...
antaranews.com|By Catur Ujianto
LikeLike · · Share

IN MEMORIAM Rt. ELS SALECHA TAHSIN SASTRADIWIRIA

Ibrahim Isa 
Jum'at, 06 Juni 2014
----------------------------


IN MEMORIAM Rt. ELS SALECHA TAHSIN SASTRADIWIRIA


Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Ra'jiun

Terkejut dan sedih kami mendengar berita duka meninggalnya  ZUS ELS, pada tanggal 04 Juni 2014. Begitulah sapaan akrab terhadap Rt. Els Salecha Tahsin - Sastsradiwiria. Semoga arwahnya di terima di sisi Allah SWT.

Pada hari-hari duka ini mengharapkan seluruh keluarga yang ditinggalkan melaluinya dengan tabah dan tawakkal.

ZUS ELS, ----- Orangnya selalu optimis, periang, ramah, dan amat murah hati. Dalam keadaan apapun keluarga Els Tahsin selalu siap membantu kawan yang memerlukannya. Ini salah satu ciri UNGGUL keluarga Zus Els. Dengan tangan terbuka dan dada lapang menyingsingkan lengan baju untuk ambil bagian dalam pelbagai kegiatan sosial dan budaya masyarakat Indonesia.


Dalam pergaulan  beliau amat menyenangkan!

* * *

Zus Els bersama suaminya Edi Tahsin, kami kenal sejak dari Jakarta, ketika suaminya Edi Tahsin memimpin s.k. “Bintang Timur”.


Ketika itupun Zus Els selalu aktif dan giat dalam kehidupan dan kegitan masyarakat para istri dan keluarga wartawan di Jakarta. Keluarga Zus Els kemudian pindah ke Bamako, Mali, Afrika Barat, dengan diangkatnya suami, Edi Tahsin, menjadi Dutabesar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Mali.

Di negeri Belanda kami 'dekat lagi'. Karena tinggal bertetangga dekat di daerah yang sama . . di Bijlmer. Tempat tinggal itupun, kami peroleh berkat Zus Els yang tak jemu-jemunya tanpa pamrih membantu kami sebagai keluarga yang baru datang
bermukim di negeri Belanda, dalam mencari rumah-sewa untuk domisili.

Sebagai seorang yang aktif dan lincah, Zus Els ambil bagian dalam kegiatan Komite Indonesia di negeri Belanda. Kemudian beliau meneruskan kegiatan membantu suaminya bahu-membahu dalam mengelola Toko Buku “Manus Amici” di Amsterdam, sebuah toko buku yang berafiliasi dengan penerbit buku bermutu di Jakarta, “HASTA MITRA”.

* * *

Zus Els telah tiada, beliau telah mendahului kita.

Namun, kenangan mengenai Zus Els akan selalu ada dalam ingatan kita, sebagai wanita dengan siapa persahabatan merupakan salah satu keunggulannya.

Kita akan selalu mengenangkannya ketika dalam kegiatan sosial-budaya masyarakat Indonesia di luarnegeri, yang selalu memperdengarkan suaranya yang merdu menyanyikan lagu-lagu Indonesia.

Pada saat-saat seperti  itu, Zus Els dengan suara merdunya, mengantarkan fikiran dan kenangan pendengarnya ke TANAH AIR TERCINTA, INDONESIA.

* * *



 

Thursday, June 5, 2014

( 3 ) "MENAMBAH PENGERTIAN YG LEBIH BAIK TTG SUKARNO. . . Dan Dengan Itu” “MENAMBAH PENGERTI

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 05 Juni 2014
-----------------------------

                                                              ( 3 )

 "MENAMBAH PENGERTIAN YG LEBIH BAIK TTG SUKARNO. . . Dan Dengan Itu”

MENAMBAH PENGERTIAN YG LEBIH BAIK TERHADAP INDONESIA TERCINTA”

. . . <”Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat'- Cindy Adams, Edisi Revisi – Penerbit -- Yayasan Bung Karno, Cetakan Kedua, 2011>

* * *

Berbagai cara publik memperingati dan menghormat Hari Ultah Ke-113 - Bung Karno – 06 Juni 2014.

Menunjukkan a.l bahwa popularitas SUKARNO sebagai pemimpin bangsa Indonesia, tidak terbatas hanya pada wilayah Indonesia saja.

* * *

Ketika bertugas di beberapa negeri Asia-Afrika, waktu itu, sering kualami langsung orang asing menanyakan:

Anda dari mana?

Kujawab: Aku dari Indonesia.
Penanya terdiam dan senyum . . Berfikir sejenak, kemudian berkata keras:

OOH, SUKARNO, SUKARNO. . . sambil mengacungkan jari jempolnya, lalu berseru:

SUKARNO, INDONESIA – INDONESIA SUKARNO!!

* * *

Salah satu mailist di media internet, misalnya menyiarkan. sbb:
"Chalik Hamid chalik.hamid@yahoo.co.id [sastra-pembebasan]" menulis:

Pada Kamis, 5 Juni 2014 3:04, ExLibris 1965 menulis:

Pembaca yang budiman,

Enam Juni adalah hari ulang tahun Bung Karno (Surabaya, 6 Juni 1901 - Jakarta 21 Juni 1970).

Mengenang beliau, kami kirim satu tautan yang memuat Kata-kata Mutiara dan Kisah-kisah beliau serta banyak foto-foto kegiatan beliau agar kita tak lupa akan jasa-jasanya terhadap negeri kita yang tercinta.

Wassalam
Pengelola ExLibris 1965


* * *

Merdeka.com, hari ini menyiarkan liputan: (Berita tsb dalam siaran ini disingkatkan, I.I.), sbb:

Cerita wartawan Antara dilepas tentara Mesir karena Bung Karno

* * *

Merdeka.com - Setelah sempat ditahan oleh tentara Mesir, Munawar Makyanie akhirnya dilepaskan. Siapa sangka wartawan Antara itu dilepas karena nama besar seorang Bung Karno, presiden pertama Indonesia.

Ceritanya, ketika Munawar selama sekitar tiga jam meliput pagelaran tank tempur di Jalan Salah Salim, jalan utama yang menghubungkan Bandara Internasional dan pusat kota Kairo, pada Jumat (16/8) silam. Ia saat itu hendak salat Jumat di Masjid Al Azhar di Distrik Hussein dan sedianya akan meliput aksi unjuk rasa pendukung presiden terguling Mohamed Moursi di Bundaran Ramses, pusat kota Kairo.

Ketika melintas di Jalan Salah Salim, ada peristiwa menarik untuk diliput, dan Munawar pun mengambil gambar barisan tank tempur tersebut setelah minta izin kepada seorang tentara di sekitanya, dan dipersilakan. Baru beberapa kali menjepret, seorang tentara yang agak senior berteriak dari jauh, "Mamnu tashwir" (dilarang motret)," sambil berlari ke arah Munawar.

Dia juga sempat membentak tentara yang mengizinkan Munawar untuk memotret. Tanpa bertanya, dia langsung dengan paksa menarik tangan Munawar dan dimasukkan ke mobil patroli.
. . . .
Dengan spontan Munawar berteriak balik ke arah sang pengawal, "Saya wartawan Indonesia. Ini kartu pers saya," sambil memperlihatkan dua kartu pers yang bergantung di leher. Dua kartu pers tersebut, masing-masing adalah dari Press Center Kementerian Penerangan Mesir, dan satunya lagi kartu pers dari Istana Presiden Mesir.

Sesaat kemudian, ia mengambil telepon genggam dari saku rompi untuk menghubungi Atase Pertahanan (Athan) KBRI Kairo.

"Saya wartawan Antara, Munawar Makyanie, ditahan tentara di Jalan Salah Salim," katanya kepada Athan Ipung.

. . . .

Munawar menceritakan, saat itu suasana semakin menyeramkan karena menjelang mobil patroli tentara yang mengangkutnya dan warga asing itu hendak bergerak ke arah yang tidak diketahui. Wajahnya ditutup dengan kain hitam. Sekitar satu jam perjalanan, ia diturunkan di suatu tempat, dan secara terpisah di ruang berbeda, kami diinterogasi oleh petugas. . . .

Namun, lagi-lagi tentara itu tak mau tahu, "Mafisy kalam, uskut!" (Tidak boleh ngomong, diam), bentaknya dengan mata melotot. . .

Pesan singkat berbahasa Arab itu isinya, "Apakah ini Munawar Makyanie, apa kabarnya? Saya adalah Atase Pertahanan KBRI Kairo. . . .

Membaca SMS itu, Bung Karno seolah-olah hadir sebelum diinterogasi.
Seorang petugas beruban,tampaknya pejabat senior, meminta identitas diri, dan Munawar pun menyerahkan semua dokumen identitas . . .

Saat membuka paspor Munawar, petugas tersebut spontan berucap, "Oh dari Indonesia ya, Soekarno, 'anaa uhibbu Soekarno' (saya cinta Soekarno)," sambil senyum takzim dan menunjukkan kedua jempol tangannya, dan dia pun keluar dari ruangan interogasi.

Di tengah interogasi, tiba-tiba datang seorang petugas berbeda lagi, berpakaian rapi dengan senyum ramah, meminta Munawar untuk ke ruang tamu.

"Mohon maaf, ini hanya salah pengertian saja. Bapak Munawar Saman Makyanie boleh kembali ke rumah", kata pria berdasi itu sambil menyerahkan kembali telepon genggam, dan semua dokumen identitas, serta kamera, tapi memory card kamera sudah dicopot.

Munawar pun diantar kembali ke tempat semula ditahan, yaitu Jalan Salah Salim, dalam posisi mata dan wajah kembali ditutup dengan kain hitam.

. . .

Ia mengaku, bisa sampai di rumah dengan selamat berkat "kehadiran" Bung Karno. Proklamator Kemerdekaan RI itu memang cukup disegani rakyat Mesir hingga sekarang yang dikenal sebagai sejawat paling akrab Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, pahlawan legendaris Arab.
sumber; teguhjuwarno

* * *