IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA
------------------------------------------------
Selasa, 25 Desember 2007
INTERMEZO (1)
Pada pagihari NATAL ini, alangkah sepi dan tenangnya keadaan sekeliling. Memancing orang untuk mengenang dan berfikir. Berfikir dan berfikir. Tapi lebih dulu baiklah dimulai dengan mengucapkan SELAMAT HARI NATAL, semoga di waktu-waktu mendatang keadaan dan situasi akan membaik dan lebih baik lagi untuk kita semua. Amien, ya rabul alamien.
* * *
Jum'at pagi minggu yang lalu, aku ada urusan harus keluar rumah. Di luar, . . . . aduh mak, dinginnya alang kepalang. Apalagi kalau keluar bersepedah. Aku lakoni juga bersepedah dalam cuaca dingin begini. Soalnya kalau berkendaraan umum, tokh harus tunggu bus atau metro, sama saja, dingin juga. Dengan pakaian yang cukup tebal dan pakai ' kopiah' rajutan dari benang acryl atau wool, insyaallah, suhu dingin yang menyusup sampai ke tulang belulang itu bisa teratasi. Dengan bersepedah itu, karena gerak yang intensif dan teratur, maka badan terasa hangat, dan nyaman serta .. gar, . . gar, . . gar . . . . .! Segar yang tak ada tandingnya. Segarnya cuaca musim dingin di udara terbuka.
Di Belanda, memang MUSIM DINGIN sudah berlangsung sebulan lebih. Musim ini juga memamerkan kebolehannya. Dingin tapi segar! Lebih-lebih lagi karena ada angin yang bertiup. Tidak besar, sepoi-sepoi basa. Tapi lain dengan sepoi-sepoi basanya cuaca musim panas di Indonesia tercinta. Dingin. . . , dingin sekali! Tetapi dingin di Amsterdam Bijlmer ini, di suatu tempat yang terletak di tepi Bijlmerbos (hutan Bijlmer), makin terasalah keindahan negeri dingin ini.
Bahkan indah sekali. Pepohonan besar kecil, semak-semak yang sudah gundul karena daunnya pada rontok, dalam semalam saja berubah, memamerkan wajah musim dinginnya yang indah sekali. Percayalah betul indah! Pepohonan dan semak-semak yang tinggal cabang dan ranting tak berdaun itu, seperti diliputi salju putih yang tipis. Rerumputan seperti ditebari oleh lapisan kapas sutra yang halus keputih-putihan. Namun, itu bukan salju. Karena salju belum turun di Amsterdam. Itu adalah embun yang turun malam sebelumnya, lalu berubah menjadi seperti kapas halus yang indah. Suhu di bawh nol malam-malam sebelumnya , itulah penyebab keindihan di tengah tengah suhu dingin yang bukan kepalang.
Sambil menikmati pemandangan yang indah keputih-putihan itu, tampak di kejauhan suatu kelucuan. Dua ekor angsa dan burung manyar serta beberapa burung belibis serta ayam rawa dan unggas-unggas berbagai warna 'berjalan diatas air'. Bukan seperti biasa, berenang-renang mencari makan di empang-empang dan saluran, tetapi ' énak- 'enak saja jalan-kaki' di atas air. Ya, mesti saja, karena air yang biasa mengalir di situ sudah membeku berubah jadi és.
Jangan lupa, meski dinginnya bukan kepalang. Namun, terpampang suatu pemandangan yang patut dinikmati.
* * *
Menulis menuruti style pribadi, seperti yang sedang kulakukan ini, mungkin sulit untuk memberikan nama yang pas untuk itu. Ada juga yang menamakan style tulisan yang menuruti kemauan sendiri itu, suatu 'Catatan Pinggir'.' Seperti yang sampai sekarang masih dilakukan oleh budayawan Goenawan Mohammad di mingguan Tempo. Ada yang pakai nama 'obrolan' atau 'iseng-iseng'. Di periode Presiden Sukarno dulu, umumnya setiap s.k. punya semacam kolom kecil di sudut s.k masing-masing. Biasanya diberi nama 'pojok'. Dimuatnya memang di pojok s.k. Tulisan di situ singkat padat. Bahasanya santai dan leluasa. Terkadang menggunakan bahasa Jakarta. Biasanya amat tajam. Sentilannya nyelekit. Lincah!. Namun, penulisnya masih memperhatikan 'toto-kromo' yang tak tertulis. Menulis ya menulis, tetapi tidak kebablasan sampai hanya untuk memuntahkan makian dan fitnahan belaka.
S.k. 'Harian Rakyat' punya 'Wong Cilik'nya, Pedoman juga punya. Warta Bhakti punya 'Mata Jeli', dll. Komentar-komentarnya jenaka, santai dn berisi. Dan, jangan dikira tidak mengandung maksud yang mendalam. Sering-sering isinya mengandung muatan politik yang cukup berat. Tidak heran, karena pojok- pojok s.k. itu tidak jarang penulisnya adalah pemimpin redaksinya sendiri.
* * *
Begitulah ceriteranya, sampai aku juga tertarik untuk menulis yang santai. Yang tidak terikat oleh sesuatu yang 'diharuskan menurut teradisi atau aturan tulis-menulis' jurnalistik. Pokoknya tidak menuruti sesutu ketentuan yang ketat dan kaku. Nyatanya, sering pembaca itu lebih menyukai tulisan-tulisan yang tidak ditentukan oleh aturan yang ketat. Tentunya (dan harap perhatikan ini) ditulis dalam batas-batas kesopanan yang umum serta beradab. Juga yang memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang wajar. Perlu juga dicatat bahwa apa ukuran 'sopan' dan ' beradab' itu, pada lain orang lain tidak mesti sama interpretasinya.
* * *
Sudah beberapa saat lamanya, aku duduk dimuka computerku ini. Memulai tuisan yang kuberi nama 'INTERMEZO'. Simaklah 'Kamus Besar Bahasa Indonesia', terbitan Dep. P & K, Balai Pustaka , 1989. Di situ kata 'INTERMESO', artinya ' s e l i n g a n '. dalam Kamus Ned-Indonesisch, Dr Teeuw, INTERMEZZO artinya ' intermezo'. Bagaimana dengan penjelasan kamus An English-Indonesian Dictionary, oleh John M. Echols dan Hassan Shadily (1975). Di situ dijelaskan , 'intermezo' artinya: selingan, --- 'intermeso'.
Pokoknya SELINGAN. Tapi aku gunakanlah kata asing ini yang sudah diadaptasi ke dalam Bahasa Indnesia: I N T E R M E Z O. Pokoknya santai, tapi enggak main-main. Guyon, tapi tidak 'asal lucu' saja.
* * *
Dalam fikiran, sudah kurencanakan hari-hari pertama tahun 2008 nanti akan meneruskan (bagian ke-2) tulisanku yg berjudul 'Sima'i Hal Baru Dalam Dalil-Dalil Sri Margana Tentang BLAMBANGAN'.
Sebelumnya aku sudah berrencana ingin menulis tentang begawan Sartono Kartodirdjo begitu membaca berita yang pertama kuperoleh dari Boni Triyana, kemudian ada tulisan dalam Kompas dan tulisan sejarawan Aswi Adam, mengenai meninggalnya Prof. Dr Sartono Kartodirdjo. Sartono Kartodirdjo adalah ilmuwan Indonesia pertama yang menulis mengenai 'Pemberontakan Kaum Tani Banten'. Itu tesis doktoralnya di Leiden. Begawan Prof Sartono Kartodirdjo (87), adalah sejarawan tangguh yang berani melawan pengawasan dan 'arahan' rezim Orba dalam penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia. Tapi rencana penulisan itu sementara kutunda dulu. Sambil mencari inspirasi dan mengumpulkan bahan.
Juga karena sering tersirat dalam fikiran, ingin menulis yang 'ringan-ringan'. Ringan, bisa agak panjang, bisa cekak-aos, tapi tidak tergelincir melantur ke hal-hal yang 'tak senonoh'. Ngalor-ngidul menggunakan media 'gratis' untuk memaki-maki orang lain, atau memfitnah dsb. Apakah itu menyangkut masalah sosial, politik, ekonomi, budaya kepercayaan agama, atau masalah perorangan belaka. Yang dijiwai oleh amarah dan kebencian.
Aku menulis begini bukan tanpa dasar. Coblah lihat 'literatur' yang tersiar di media internet dalam tahun-tahun belakangan ini. Sering menyedihkan, tapi juga menimbulkan kemarahan. Perkembangan computer dan media internet sungguh maju melompat. Sesuatu yang telah memberikan jasanya pula pada dunia informasi dan telekomunikasi, bagi publik sedunia. Namun, perhatikanlah. Tidak sedikit bisa dijumpai kalimat-kalimat atau kata-kata dari penulis (biasanya menggunakan nama samaran) yang memang dimaksudkan untuk menyerang, memfitnah dan menghina orang lain. Tulisan-tulisan yang dimuat jelas dimaksudkan untuk menyakiti hati dan mendeskreditkan orang lain. Bila pembaca tidak menyetujui bahkan menentang sesuatu tulisan, itu adalah wajar dan sehat. Tapi, bila tanpa argumentasi, tanpa mau susah-payah untuk meyakinkan pembacanya, lalu mencari jalan gampang, melontarkan cacian, tuduhan, makian dan umpatan, itu sudah lain lagi soalnya. Kemungkinan besar sikap dan tindakannya itu, disebabkan kemalasannya menulis dengan argumentasi yang baik dan sopan, atau memang tidak mampu.
Kemajuan dunia internet, website atau 'blogging' seryogianya digunakan untuk memajukan pencerahan, menyebarkan ilmu pengetahuan, melawan ketidak adilan dan membela kebenaran, memupuk kekritisan, melawan pesimisme dan memperkokoh opritmisme. Menulis semata-mata dipicu oleh kepentingan pribadi, untuk memuaskan hati sendiri serta melampiaskan hinaan dan fitnahan ke alamat orang lain, seyogianya bukan tempatnya di media internet. Dengan demikian media internet yang boleh dibilang 'gratis' itu bisa benar-benar dijadikan wadah yang positif, bukan untuk melampiaskan kemarahan, kecemburuan dan kesirikan.
* * *
Banyak yang ada dalamn fikiran, yang hendak ditulis, dibagi-ceritakan kepada pembaca. Tetapi maklumlah menjelang akhir tahun, meski sudah dalam usia tergolong 'manula' (77th), tetapi kesibukan-kesibukan yang macam-macam itu nyatanya tak pernah jedah. Macam-macam kesibukan hidup sehari-hari itu. Kecuali setiap hari pasti harus gerak-badan (ini lebih-lebih perlu untuk orang-orang yang sudah 'manula), jalan kaki, atau naik sepeda. Kecuali itu dalam seminggu paling tidak dua kali harus mencuci pakaian dll, ngepél, 'nyedot abu', bahasa Belandanya 'stofzuigen' dengan menggunakan alat listrik penyedot abu yang khusus untuk itu. Juga paling tidak dua minggu sekali bersama Murti, sang istri, berbelanja untuk dapur ke winkelcentrum.
* * *
Sebelum mengakhiri INTERMEZO ini, ada satu hal menarik dan penting yang ingin kusampaikan mengenai seorang penyair Chili, kaliber dunia, PABLO NERRUDA ( 12 Juni 1904 - 23 Sept 1973 ). Memang aku ini keterlaluan! Buku PABLO NERUDA (tebal 455 halaman), edisi bahasa Belanda, berjudul -- 'IK BEKEN IKHEB GELEEFD, Herinneringan'. dalam bahasa Indonesianya kira-kira, 'SAYA AKUI SAYA HIDUP, Kenang-kenangan' (Cetakan pertama 1975).
Mengapa aku bilang aku ini keterlaluan. Soalnya buku itu sudah tiga tahun nangkring dimeja kecil di bagian kepala tempat tidurku. Kubeli di Toko Buku 'Vrije Universiteit Amsterdam', pada tanggal 13 Desember 2004. Masyaalah baru hari ini, betul-betul aku mulai membacanya. Tentu, pada waktu membelinya sudah kubalik-balik juga halamannya dan membaca semacam kata pendahuluan buku pada halaman 8. Di situ Pablo Neruda menulis bahwa,
'Memori kenang-kenangan ini bukanlah suatu cerita yang sambung menyambung menjadi suatu keseluruhan yang utuh, dan di sana sini tampak adanya kekosongan. Persis sama dengan kehidupan itu sendiri'. . . . . .
Aku tertarik membaca permulaan kata pengantarnya itu.
Jauh pada tahun limapuluhan abad lalu, aku sudah mendengar nama Pablo Neruda yang tenar. Menjadi kebanggaan kalangan progresif dunia. Kemudian kubaca sendiri beberapa tulisannya.
Jelas Pablo Neruda adalah seorang KOMUNIS. Seorang penyair besar! René De Costa dalam THE POETRY OF PABLO NERUDA, menulis bahwa 'Sekali tempo ia (Pablo Neruda) disebut Picassonya poësi, berkat pandangannya yang banyak-segiannya dan talennya untuk selalu berada di barisan depan'.
Setelah Pablo Neruda dianugerahi HADIAH NOBEL UNTUK SASTRA (1971), perhatian khalayak sedunia semakin meningkat terhadap diri dan syair-syair serta tulisan-tulisannya. Bukunya ' MEMORI . . . ' yang penerbitannya ditangani oleh istrinya sendiri, amat dinanti-nantikan dan disambut hangat. Bukan kebetulan bahwa terbitnya buku Memori Pablo Neruda tsb berlangsung pada tahun 1975. Yaitu tahun ketika pemerintah progresif Kiri Partai Sosialis Presiden Salvador Allende digulingkan oleh suatu kup militer anti-Komunis di bawah pimpinan Jendral Pinnochet. Syukur alhamdulillah, akhirnya almarhum Preisiden Jendral Pinnochet yang telah melakukan pelanggaran HAM besar-besaran terhadap rakyat Chili, akan diadili.
Sebelum ia meninggal (1973), Pablo Neruda sempat menjadi Dubes Chili di Perancis. Ia menerima jabatan itu karena merasa bangga bahwa di negerinya, Chili, telah berdiri suatu pemerintah Sosialis yang progresif, di bawah Preisiden Allende. Dan ia bersedia mewakili pemerintah Kiri seperti itu.
Meskipun umum tahu bahwa PABLO NERUDA adalah seorang Komunis. Namun tidak membikin mata mereka cadok, tapi masih mampu bersikap obyektif, untuk melihat dan mengakui bahwa Pablo Neruda yang Komunis itu, adalah seorang raksasa di dunia sastra , dunia persairan internasional.
Aku lega mengetahui ini, karena ternyata di dunia ini, tidak semua orang matanya cadok, yang membikin mereka tidak bisa atau tidak rela melihat dan mengakui, bahwa orang Komunis itu tidak sedikit yang hebat-hebat. Yang telah memberikan suri teladan, telah mengabdi pada rakyat dan negerinya, yang patriotik dan internasional, da telah memberikan sumbangan penting dalam khazanah poësi dunia. Orang-orang yang fikiran dan mata hatinya sudah cadok begitu mendengar nama KOMUNIS, hati nuraninya sudah bisu, fikrannya membatu, macet, persis seperti pahlawan anti-Komuinis MAC CARTHY di Amerika pada tahun limapuluhan.
Belakangan nanti akan kutulis lagi tentang PENYAIR DUNIA PABLO NERUDA.
Sampai kali berikut.
* * *