Rabu, 29 Juli 2009
-------------------------------------
KITLV – DAN SE-ABAD SUTAN SJAHRIR
Tak lama setelah menerima undangan KITLV – lewat email, aku menilpun sahabat lama Francisca Pattipilohy. Menanyakan apakah ia ada minat untuk bersama-sama memenuhi undangan KITLV. Aku tau Cisca Pattipilohy sudah lama anggota KITLV, Leiden. Mungkin saja ada pembaca yang sudah lupa apa makna nama KITLV: -- Ini dia -- KITLV adalah singkatan dari suatu lembaga di Nederland, bernama: 'Koninklijke Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, atau dalam bahasa Inggrisnya, ditulis sbb: Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.
Francisca bermaksud mengajak sahabat lainnya, Sutji. Jadilah kami bertiga, sore kemarin itu, menghadiri pertunjukan film dan 'seminar' SJAHRIR 100 HARI,
Begini bunyi lengkapnya teks undangan tsb: THE LEIDEN SOUTHEAST ASIA SEMINAR ---
We kindly invite you to attend the following film and seminar : “Syahrir 100 hari” by Des Alwi (1927), filmmaker and head of the Orang Kaya of the Banda islands. Date:Tuesday 28 July
Time:15.30 h – 17.00 h. Venue:Room 005 (ground floor), Lipsius building, University of Leiden
Cleveringaplaats 1, 2311 BD Leiden Please register if you wish to attend:kitlv@kitlv.nl . drs. S.R. (Yayah) Siegers-Samaniri -- Directiesecretaris / Director's Office and Supporting Staff
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde / Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. The Leiden Southeast Asia Seminar is a cooperation of the KITLV, IIAS, VVI and the Departments of Languages and Cultures of Indonesia and of Cultural Anthropology & Development Sociology, Leiden University.
* * *
Untung, ketika kami hendak masuk ke gedung KITLV, bertemu dengan orang KITLV, sahabatku Gerry van Klinken. Hai, katanya, apa kalian tidak pergi nonton film tentang Sjahrir? Wah, kebetulan jawabku. Kami juga mau nonton film dan seminar 100 th Sjahrir. Mari bersama ke sana, kata Gerry. Jalanlah kami bersama-sama menuju ruangan 005 di gedung Lipsius, yang letaknya berseberangan dengan gedung KITLV.
* * *
SUTAN SJAHRIR, adalah salah seorang tokoh nasional pejuang kemerdekaan sejak zaman kolonial. Beliau populer pada periode Revolusi Kemerdekaan. Ketika itu Sjahrir dikenal di dunia diplomasi internasional sebagai diplomat yang ulung. Di kalangan teman-teman dekat beliau, juga di kalangan orang-orang Republikén, beliau populer dengan nama panggilan BUNG KETJIL. Panggilan ini disebabkan penampilan tubuhnya yang memang 'kecil'.
Maret 2009 adalah tahun ke-100 lahirnya Sutan Sjahrir. Tanpa diragukan, Sutan Sjahrir adalah salah seorang FOUNDING FATHERS nasion Indonesia. Ketika memperingati Seratus Tahun Sjahrir, aku teringat kepada Subadio Sastrosatomo, mantan Sekjen PSI. Sesudah meninggalnya Sutan Sjahrir, beliau dianggap embahnya orang-orang PSI, meskipun ketika itu PSI sudah menjadi parpol terlarang. Suatu ketika, pada zaman Orba, Subadio pernah mengatakan kepada seorang kawan dekatnya, kira-kira begini: 'Menentang Bung Karno, adalah salah. Ini membikin Bung Karno bersandar pada PKI. Sekarang ini kita (maksudnya orang-orang PSI dan pendukungnya) harus bersatu dengan Sukarnois, dalam melawan Orde Baru'. Subadio Sastrosatomo, yang konsisten dalam kegiatan politiknya, – - bekerja giat untuk mengkoreksi yang dianggapnya suatu kesalahan PSI yang pada suatu masa panjang menentang Presiden Sukarnol
DES ALWI mengaku dia adalah anak angkat Sutan Sjahrir. Menganggap sangat mengenal Sutan Sjahrir. Jangan lupa: Sutan Sjahrir bukan sebarang orang seperti kita-kita ini. Beliau semasa hidupnya adalah embahnya PSI. Wajarlah dianggap bahwa Des Alwi hidup dan kegiatannya ada dalam habitat orang-orang PSI. Mestinya Des Alwi kenal siapa Subadio Sastrosatomo, embahnya PSI sesudah Syahrir meninggal dunia. Maka seyogianya mengerti, perubahan politik PSI yang tadinya menentang Bung Karno, menjadi politik bekerjasama, serta bersatu dengan para Sukarnois dan pendukungnya melawan rezim Orba.
Sungguh, tidak habis heran aku dibikinnya! Bagaimana bisa terjadi bahwa, Des Alwi membikin sebuah film dokumenter dengan judul SERATUS TAHUN SJAHRIR, tetapi isinya banyak mendeskreditkan Presiden Sukarno dan politiknya. Tambahkan fakta ini lagi: KITLV mengundang orang-orang untuk memberikan kesempatan kepada Des Alwi mempertunjukkan film dokumenter yang begitu berat sebelah dan tendensius. Juga menimbulkan tandatanya tertentu dalam benakku, mau kemana KITLV ini? Apalagi Des Alwi sendiri menyatakan dalam orasinya bahwa film dokumenternya itu, yah, seperti GADO-GADO layaknya.
Sayang, sesungguhnya ada sementara bagian dari film dokumentasi Des Alwi yang punya arti sejarah. Malah ada bagian-bagian yang baru kali itu dipertunjukkan untuk umum. Tetapi, karena pengeditannya amaturis, lebih-lebih karena 'ada udang dibalik batu', maka tak salahlah bila orang membenarkan penilaian Des Alwi sendiri bahwa film dokumenter itu – GADO-GADO! Gado-Gado tetapi jelas bagi penonton bahwa film tsb berat sebelah. Jelas pula, menyasar Presiden Sukarno.
Dipertunjukkanlah a.l. adegan demo KAMI/KAPPI di Jakarta pada akhir 1965/1966 menuntut dilorotnya Presiden Sukarno. Dikemukakan wawancara mahasis-mahasiswa KAMI/KAPPI yang menentang Presiden Sukarno, Diambillah wawancara Mr Moh Roem, salah seorang tokoh Masjoemi yang ngegongi bahwa era Sukarno sudah selesai, dsb.
Bisa dilihat juga antara lain, Presiden Sukarno menyatakan bahwa DALAM REVOLUSI TIDAK ADA KEBEBASAN PERS. Pernyataan Presiden Sukarno itu menimbulkan reaksi gelak-tawa di kalangan penonton sore itu. Suatu reaksi yang mengandung cemooh terhadap pernyataan Sukarno itu. Padahal setiap orang tau, bahwa pada periode revolusi kemerdekaan kita, mana ada kebebasan pers seperti yang diartikan Barat. Di daerah Republik Indonesia yang bebas dari pendudukan tentara Belanda, dan di daerah pengaruh RI lainnya, memang benar tidak ada kebebasan pers, yang memberikan hak kepada media untuk membela kolonialisme Belanda, dan bermaksud hendak mengahncurkan Republik Indonesia. Dalam hal ini sesungguhnya pernyataan Bung Karno itu benar! Pada waktu revolusi sedang berlangsung, tidak ada dan tidak mungkin akan ada kebebasan pers. PERS HARUS MENGABDI REVOLUSI. Memang demikianlah tuntutan suatu revolusi. Itu fakta sejarah. Revolusi mana saja tidak akan mengizinkan 'kebebasan pers' untuk menentang dan menyabot revolusi itu sendiri.
Orang tinggal milih. Setuju revolusi, atau, menentang revolusi tsb. Dalam hal itu pilihan itu bebas.
Itulah apa yang dinamakan LOGIKA REVOLUSI. Dengan sendirinya yang tidak setuju revolusi, bahkan menentang revolusi, tidak akan mengerti logika revolusi ini.
* * *
Selesai film dokumenter ditayangkan, Des Alwi menegaskan lagi betapa banyaknya, puluhan ribu romusha atau lebih, yang jadi korban pada waktu pendudukan militer Jepang. Semua kesalahan dan tanggungjawabnya dipikulkannya di atas pundak Bung Karno. Padahal di dalam buku otobiografinya yang ditulis oleh wartawan Amerika Cindy Adams (1965), Bung Karno memberikan penjelasan tentang peranan politiknya bersama Hatta pada waktu pendudukan Jepang. Timbullah tandatanya pada penonton seperti aku ini, mengapa penjelasan Bung Karno tsb tidak ditunjukkan dalam film dokumenter Des Alwi. Sehingga film dokumenter itu, beralih dari semula hendak memperingati '100 th Sutan Sjahrir' menjadi suatu film dokumenter yang sasarannya adalah Presiden Sukarno.
Seusai orasi Des Alwi dan seorang hadirin mengajukan pertanyaan, aku minta waktu untuk bicara. Kunyatakan sbb: Sayang, film dokumenter yang memuat hal-hal yang berguna, telah menjadi sebuah film dokumenter yang BERAT SEBELAH. Bila aku seorang Sukarnois, maka AKU AKAN MARAH! Sekian saja pendapatku. Baik Des Alwi maupun Dr Henk Schulte Nordholt, yang menjadi moderator, tidak memberikan reaksi apapun terhadap pernyataanku itu.
Sementara hadirin, termasuk beberapa mahasiswa Indonesia postgraduatestudies, menghampiri aku dan mengatakan bahwa mereka sependapat dengan apa yang kunyatakan tadi itu.
* * *
Akhirulkalam, ingin kusarankan kepada para sabahat, dan kepada orang yang baru kukenal itu, yaitu filmproduser Des Alwi, agar melihat film dokumenter yang dipublikasi oleh Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie, NIOD, 2005. Semuanya dalam 3 buah DVD. Temanya adalah: Nederlands Indië in De Tweede Wereldoorlog. Masing-masing DVD, terdiri dari 1) Indië Paraat,2) De Japanse Overheerzing dan 3) Nederlanders geinterneerd en de capitulatie van Japan. Dalam pengantarnya ditulis a.l bahwa, Pemimpin Nasionalis Indonesia, ir Sukarno, hendak merealisasi kemerdekaan negerinya melalui kerjasama erat dengan Jepang.
Jika pembaca berkenan silakan melihat sendiri 3 DVD mengenai Indonesia, yang dikeluarkan oleh NIOD pada tahun 2005.
Secara kebetulan belum lama aku dipinjami 3 DVD tsb oleh seorang sahabat yang hobinya antara lain adalah membaca literatur dan/atau melihat film-film dokumenter mengenai Indonesia. Melihat 3 DVD tsb dan membandingkannya dengan film dokumenter Des Alwi, tibalah orang pada kesimpulan bahwa, film dokumenter yang dibuat NIOD, rasanya lebih obyektif dan berimbang.
* * *
Bahwa SERATUS TAHUN SUTAN SJAHRIR, diperingati oleh bangsa Indonesia, memang begitulah seharusnya. Ini adalah sebagian dari prinsip TIDAK MELUPAKAN SEJARAH BANGSA SENDIRI. Tidak lupa pada pejuang-pejuang kemerdekaan yang telah mendahuli kita.
Tetapi memperingatinya seperti yang dilakukan oleh Des Alwi, cara yang demikian itu kontra-produktif dengan maksud baik semula.
* * *