Minggu, 30 Desember 2012
------------------------------------*
*INDONESIA MAU KEMANA? *
*Menyimak (kembali) Karya Studi Agraria M. SOHIBUDIN Dan Ahmad Nasbih LUTFHI
"SOSIALISME ALA NGANDAGAN" --*
*PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA? *
** * **
Menjelang tutup tahun 2012, kiranya ada manfaatnya, kita tidak
semata-mata terpancang pada masalah korupsi dan sekitar siapa yang
akan menggantikan SBY . . . tetapi juga memikirkan masalah yang
sesungguhnya lebih penting lagi , yaitu memikirkan kembali
pertanyaan ini: -- *INDONESIA MAU KEMANA? Sekarang ini kita sedang
memberlakukan sistim ekonomi yang bagaimana? Sekadar menjadi
embel-embel dari sistim kapitalisme yang semakin mengglobal? Ataukah
akan menempuh JALAN PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERDIKARI?*
*
*Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, memberikan jawaban
yang jelas: Negeri kita *HARUS MEMBANGUN SOSIALISME INDONESIA.
Beliau mrumuskan jalan permulaan pembangunan ekonomi Indonesia
seperti yang dituangkan dalam konsepsi DEKLARASI EKONOMI (Dekon).
*
Sejak robohnya rezim Orba, yang jelas-jelas menjadikan Indonesia
negeri yang berhaluan kapitalisme, terkait dan bergantung pada
sistim kapitalisme dunia, ---- Pemerintah-pemerintah pasca Reformasi
sampai detik ini tidak (mampu) mengajukan konsep pembangunan ekonomi
Indonesia yang kongkret didasarkan atas "Perekonomian Nasional
Menurut Pasal 33 UUD Negara RI Tahun 1945".
Maka, masalah kemana arah perkembangan selanjutnya ekonomi Indonesia masih belum memperoleh jawaban yang tegas sesuai UUD-RI.
* * *
Dua orang cendekiawan Indonesia M. Sohibudin dan Ahmad Nasbih Lutfhi, berusha memberikan dorongan pada pendiskusian dan pemecahan masalahnya:
Mari ikuti tulisan mereka mengenai masalah bersangkutan< Tulisan ini disiarkan pada 21 Januari 2011 dengan judul *"SOSIALISME ALA NGANDAGAN"* --
*PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA?*
* * *
*IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita
Selasa, 25 Januari 2011
--------------------------------------*
*"SOSIALISME ALA NGANDAGAN"
PEMBERDAYAAN SOSIALISME di INDONESIA? *
Sering diajukan pertanyaan: Apakah Indonesia dewasa ini sudah menjadi negeri dengan sistim ekonomi kapitalis? Ataukah, --- masih merupakan negeri yang sistim ekonominya terutama adalah sistim ekonomi feodal. Pernah pula dinyatakan, sistim ekonomi/politik Indonesia dewasa ini, terutama, sesudah diadakannya persetujuan KMB -- Konferensi Meja Bundar, 1949, -- antara Indonesia dengan Kerajaan Belanda, Indonesia sudah menjadi negeri setengah jajahan dan setengah feodal. Soal ini belum tuntas ditelaah dan didiskusikan.
Apalagi sesudah berkuasanya rezim Orba, dengan dilaksanakannya kebijakan politik ekonomi menurut garis IMF dan World Bank untuk negeri-negeri 'yang sedang berkembang'. Akibatnya Indonesia terutama menjadi lahan penanaman modal asing, dengan tenaga kerja murah dan pasaran untuk pelemparan hasil-hasil negeri-negeri luar Indonesia. Sedangkan sumber-sumber kekayaan bumi dan air Indonesia berada di bawah kontrole dan dominasi modal asing.
Sekitar masalah tanah, di Indonesia masih *b e l u m j e l a s* duduk perkaranya, kalau bicara mengenai landreform.
* * *
Sebagai gambaran mengenai 'masalah tanah' pun di mancanegra telah terjadi perkembangan dan perubahan yang menunjukkan merasuknya modal besar ke bidang eksploitasi tanah dan tenaga kerja murah. Bukan eksploitasi tanah (dan tenaga kerja) di negeri sendiri tetapi di negeri-negeri lain. Di negeri-negeri miskin.
Perhatikan informasi ini:
LUARNEGERI MENCARI DALAM NEGERI.*
"Secara internasional negeri-negeri kaya membeli tanah di negeri-negeri miskin, untuk mengamankan suply bahan makanan negerinya sendiri. Juga kaum spekulan melirik tanah-tanah pertanian kosong; (karena) itu (diangggap) lebih baik ketimbang emas. Geopolitik dari keamanan bahan makanan.
"Ethiopia, salah satu negeri yang banyak tertimpa bencana kelaparan, di tahun-tahun mendatang akan melihat lebih banyak bahan makanan yang dihasilkan di negerinya. Ratusan juta hektar tanah telah dibeli untuk dijadikan perusahaan pertanian luas yang modern.
Tetapi dari janji hasil gandum, beras dan soya yang diperoleh dari situ, orang-orang Etiopia tidak akan ikut memaknnya. Semua hasil bumi akan langsung dikapalkan ke India dan Saudi Arabia, pemilik-pemilik baru tanah-tanah luas di Ethiopia.
"Ini bukan kejadian yang berdiri sendiri. Kuweit telah membeli tanah di Kamboja, Tiongkok dan Congo. Arab Emirat membeli tanah di Pakistan, Korea Selatan, dan di Tanzania. Dan begitu seterusnya. Pembelian tanah tsb begitu besar dan terjadi dalam waktu singkat dan cepat. Sehingga sementara NGO menyatakan bahwa telah terjadi 'perebutan tanah besar-besaran'. Atau dikatakan 'perebutan baru tanah di Afrika dan Asia'. Suatu penaklukkan neo-kolonialisme oleh modal asing terhadap Dunia Ketiga.
"Menurut World Bank tanah-tanah yang dibeli fihak asing itu meliputi 40 juta hektar tanah pertanian -- luasnya 10 kali luas negeri Belanda atau lebih besar dari luasnya negeri Jerman. Demikian ulasan sebuah mingguan nasional Belanda 'De Groene Amsterdammer'.
Dari uraian diatas bisa kita saksikan, masalah tanah bukan saja merupakan masalah di Indonesia, tetapi juga merupakan masalah dunia. Modal-modal besar sudah menjadi TUAN TANAH BARU, di negeri-ne geri berkembang.
Dengan demikian masalah LANDREFORM, PERUBAHAN TANAH, juga merupakan agenda mendesak di dunia internasional. Karena, jalas hubungannya dengan perkembangan baru, eksploitasi dan pemerasan terhadap negeri-negeri miskin oleh negeri-negeri kaya, semakin mengakarnya sistim NEO-KOLONIALISME.
* * *
Menyangkut masalah tanah di Indonesia, di bawah pemerintahan
pra-Orba telah dilakukan perjuangan dan pelbagai usaha untuk
PERUBAHAN TANAH, untuk suatu LANDREFORM. Kegiatan dan perjuangan
untuk perubahan tanah di Indonesia, di masa pra-Orba, mungkin
dilakukan, karena adanya hak-hak demokratis bagi kaum tani dan
organisasi-organisasi tani serta parpol-parpol progresif. Semasa
rezim Orba kebebasan demokratis itu sudah tak ada samasekali.
Sehingga kegiatan dan perjuangan untuk perubahan tanah, terhenti
bahkan mengalami kemunduran.
* * *
Sehubungan dengan masalah tanah dan 'landreform' di Indonesia, Moh.
Shohibuddin bersama Ahmad Nashih LUTFHI, dari Lingkar Belajar
Reformasi Agraria
dan menarik. Berjudul:
*
"SOSIALISME A LA NGANDAGAN"*: Revisit Inisiatif Land Reform di
Sebuah Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 -- Launching:pertengahan
Februari 2011. Penerbit: STPN dan Sajogyo Institute.
Beruntung aku dapat membaca tulisan *Gunawan Wiradi*, mengantar buku
Moh. Sohibudin dan Lutfhi. Suatu penjelasan yang Bagus! Inofatif,
inspiratif dan amat menggugah bagi yang peduli *PERUBAHAN TANAH DI
INDONESIA. *
*Dimasuki pula masalah "SOSIALISME INDONESIA". *
Silakan baca di bawah ini tulisan Gunawan Wiradi sekitar buku
"SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah
Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 --
*GUNAWAN WIRADI:Mengenai buku baru: *
"SOSIALISME A LA NGANDAGAN": Revisit Inisiatif Land Reform di Sebuah
Desa Jawa, 1947-1964. Desember 2010 -- *
Buku ini merupakan hasil studi "revisit" atas kasus inisiatif land
reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang
terjadi pada tahun 1947-1964. Penulis mendiskusikan profil land
reform inisiatif lokal tersebut dan mencoba mendalami proses
diferensiasi agraria yang terjadi sebagai konteks krisis agraria
yang berlangsung. Pelaksanaan land reform di Ngandagan membawa
dampak secara sosial-ekonomi yang cukup signifikan terhadap struktur
sosio-agraria setempat, serta konfigurasi politik dan keagamaan.
Pelaksanaan land reform inisiatif lokal yang terjadi di Ngandagan
dijalankan dengan cara melakukan perubahan sistem kepemilikan,
peruntukan, dan pemanfaatan tanah serta perubahan relasi
ketenagakerjaan. Kebijakan land reform itu mengharuskan semua
pemilik tanah kulian menyisihkan 90 ubin dari setiap unit tanah
kulian yang dikuasainya. Hasil penyisihan ini kemudian dialokasikan
untuk sawah buruhan yang dikelola langsung oleh desa untuk diatur
pembagiannya di antara warga desa yang tidak memiliki tanah. Ukuran
standar baru unit sawah buruhan ditetapkan seluas 45 ubin, yakni
separoh dari ukuran sebelumnya yang 90 ubin, sehingga jumlah
penerima potensial dari kebijakan redistribusi tanah bisa diperluas.
Inilah ukuran batas minimum versi lokal Ngandagan. Pelaksanaan itu
juga dipadukan dengan kebijakan perluasan tanah pertanian
(ekstensifikasi) dengan memanfaatkan lahan kering berstatus abseente
seluas 11 hektar yang ada di ujung desa. Dihasilkan pula sistem baru
berupa skema pembayaran hutang hari kerja di lahan kering yang
bermakna sebagai pertukaran tenaga kerja.
Kebijakan desa Ngandagan itu secara sadar diarahkan untuk
meruntuhkan basis feodalisme agraris di desa, yakni pola hubungan
patronase yang dibangun oleh petani kuli baku dengan buruh kuli-nya.
Redistribusi tanah dilakukan tidak seperti pada masa tanam paksa,
yakni dalam rangka penyediaan tanah dan mobilisasi tenaga untuk
produksi tanaman ekspor, namun sebaliknya secara sadar diarahkan
untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Hal demikian tidak
dapat berlangsung tanpa kepemimpinan kuat seorang lurah bernama
Soemotirto yang dinilai legendaris.
Selain land reform, juga ditekankan kembali norma hukum adat yang
melarang pelepasan tanah, baik melalui penjualan, penyewaan maupun
penggadaiannya kepada orang lain. Semua bentuk transaksi tanah ini
dilarang keras baik terhadap penerima sawah buruhan yang memang
hanya memiliki hak garap maupun terhadap petani kuli baku sendiri
selaku pemilik tanah. Kebijakan ini mampu mencegah kehilangan
tanahnya secuil demi secuil (peacemeal dispossession), suatu kondisi
yang pernah dialami warga Ngandagan sebelum pelaksanaan land reform.
Inovasi baru dalam hubungan produksi diciptakan dalam suatu
mekanisme tukar menukar tenaga kerja di antara warga dalam
mengerjakan berbagai tahap produksi pertanian. Mekanisme ini disebut
sebagai grojogan. Dengan sistem ini semua warga tanpa terkecuali,
termasuk pamong desa, akan bekerja di lahan pertanian milik
tetangganya. Kultur feodalisme di pedesaan yang barbasis pada
penguasaan tanah diruntuhkan melalui mekanisme semacam ini.
Kebijakan agraria desa Ngandagan bukannya tanpa halangan. Ketika
Soemotirto melakukan kebijakan konsolidasi tanah pada tahun 1963,
yakni melakukan penataan permukiman warganya, maka muncul
pertentangan. Ia diperkarakan ke pengadilan kabupaten dengan tuduhan
pengambilan tanah tanpa seizin pemiliknya. Posisinya lemah, sebab
berbeda dengan penataan terhadap tanah sawah dan lahan kering,
terhadap penataan tanah pekarangan dan rumah ini ia tidak memiliki
legitimasi kultural dan pembenar dari hukum adat.
Relasi asosiatif politik warga Ngandagan pada Partai Komunis
Indonesia dalam pemilu 1955, sebenarnya lebih didahului karena
keberhasilan pelaksanaan land reform 1947 dan orientasi pemimpinnya,
yakni lurah Soemotrito, daripada sebaliknya. Ngandagan sampai dengan
awal tahun 1960-an, dikenal sebagai "desa RRT di kandang banteng",
artinya PKI di tengah-tengah pengikut PNI. Akan tetapi dengan adanya
proses peradilan itu, maka konflik politik di Ngandagan yang semula
hanya menyangkut soal dukungan atau penolakan atas redistribusi
tanah pekulen dan melibatkan antar elit di lingkup desa, kemudian
berkembang menjadi bagian dari kontestasi ideologi di daerah
(kabupaten) yang melibatkan unsur politik kepartaian yang bahkan
berakibat pada konversi agama.
Meskipun diperkarakannya Soemotrito berakibat pada berakhirnya
kekuasaan dia sebagai lurah, sebuah politik perlawanan masih ia
lakukan sebelum lengser. Ia memerintahkan warganya yang menjadi
pengikut PKI untuk pindah ke partai lain. Sebagian besar warga
mengikuti ke mana arah angin berhembus dan lantas memutuskan memilih
PNI. Namun Soemotirto sendiri, bersama para pengikutnya, menyatakan
sikap anti-PNI mereka dengan memilih Partai Katolik, meskipun dengan
risiko menjadi kelompok minoritas agama. Konversi agama ini terjadi
sekitar setahun sebelum peristiwa "G 30 S", dan hal demikian berbeda
dengan kondisi di tempat lain yang prosesnya justru terjadi setelah
meletusnya peristiwa tersebut.
Berbagai perombakan sistem tenurial dan ketenagakerjaan itulah yang
memberi gambaran sosialisme ala Ngandagan", suatu
"tafsir-dalam-praktik" mengenai cita-cita keadilan sosial di bidang
agraria. Inovasi "sosialisme" berbasis adat itu terpangkas prosesnya
pada tahun 1963 di level lokal, disusul dengan peristiwa 1965 di
level nasional yang menghempaskan Ngandagan dan desa-desa lain
secara umum di Indonesia, menuju ke arah yang berbeda.
Kebijakan sosialisme ala Ngandagan adalah hasil dari kombinasi
antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat dalam rangka
mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan agraria yang lebih
adil. Sejarah desa Ngandagan menunjukkan bahwa land reform
dilaksanakan dalam kerangka hukum adat serta adanya tafsir dan
praktik land reform yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kondisi
lokal yang berhasil diwujudkan oleh masyarakat desa sendiri. Jika
saja inisiatif progresif semacam itu mendapatkan apresiasi dan
dukungan politik semestinya, dan bukan justru diseragamkan, maka
betapa banyak alur gelombang emansipasi dari bawah yang dapat
diharapkan akan berkembang secara "alamiah", dan yang pada
gilirannya akan turut memperkaya proses formasi sosial dan
perkembangan politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. [ ]
Sebagai hasil dari suatu "studi ulang" atas sebuah desa yang 63
tahun lalu telah melakukan land reform lokal, buku ini bukan saja
memaknai peristiwa itu dalam konteks kekinian dan mewacanakan
berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik seiring dengan
proses
perubahan zaman selama sekian tahun itu, tetapi bahkan sekaligus
juga mencerminkan usaha kedua penulisnya untuk "berimajinasi
sosiologis" dengan merakitkan gejala lokal tersebut dengan konsep
gagasan besar "Sosialisme Indonesia". *Karenanya, buku ini perlu
dibaca para generasi muda, peminat sejarah, pengkaji masalah adat,
pemerhati, aktifis dan pengambil kebijakan penanganan masalah
kemiskinan dan reforma agraria, dan para peminat ilmu sosial
secara
umum. (Gunawan Wiradi, 2011)
*
* * *