Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 31 Januari 2012
--------------------------------
BUKU Fitri N WANI: “SELEPAS BAPAKKU HILANG”
Tanggal 28 Januari yl kutulis: “DALAM RANGKA MENYAMBUT BUKU WANI”, Hari ini adalah lanjutan tentang buku kumpulan puisi putrinya Widji Thukul tsb: Sengaja dimulai dengan pertama-tama sedikit menyoroti Widji Thukul. Bisa saja sementara pembaca sudah agak lupa, siapa Widji Thukul.
Dalam tahun 1999 oleh STICHTING WERTHEIM, Widji Thukul dianugerahi Penghargaan.
Berikut ini teks “Penghargaan WERHTEIM” kepada Widji Thukul:
-----------------------------------------------------------------------------------------
MBAK SIPON, (ISTRI WIDJI THUKUL Dan PIAGAM WERTHEIM
-----------------------------------------------------------------------------------------
IBRAHIM ISA – NOTISI TRANSPARAN, .
Solo, 21 Agustus 2003.
Tidak mudah dimengerti tapi benar adanya!
Lebih dari duabelas tahun yang lalu, 4 Juli 1991, setelah Stichting Wertheim, Leiden, Holland, memilih a.l. WIJI THUKUL, penyair muda dan pejuang, sebagai pemenang PIAGAM WERTHEIM, --- namun, barulah pada tanggal 21 Agustus 2003 yang lalu ini, MBAK SIPON, istri WIJI THUKUL, mengerti dan tahu apa isi dari PIAGAM WERTHEIM.
Lebih dua tahun yang lalu MBAK SIPON menerima manuskrip PIAGAM WERTHEIM tsb dalam keadaan kumal. Yang diterimanya melalui tangan ke tangan. Dengan teliti dan hati-hati Mbak Sipon membukanya, merumatinya dan kemudian diberi bingkai dan dipasangnya dengan penuh kebangaan menghiasi dinding rumahnya.
Dengan PIAGAM WERTHEIM menghiasi dindingnya, dalam hati Mbak Sipon semakin kuat keyakinan, bahwa WIJI THUKUL punya kawan dimana-mana, sampai ke Nederland sejauh itu. Semakin kuat pula keyakinan Mbak Sipon bahwa, apa yang dinyanyikan Widji Thukul dalam syair-syairnya penuh mengandung humanisme, sekaligus sarat dengan perlawanan terhadap ketidak-adilan. Yang amat melegakan hati Mbak Sipon, ialah, bahwa karya-karya WIDJI THUKUL mendapat penghargaan mancanegara.
Lebih dari duabelas tahun yang lalu, Stichting Wertheim menilai a.l. WIDJI THUKUL sebagai salah seorang penyair teladan Indonesia, yang pada umurnya yang masih muda telah memberikan sumbangannya terhadap usaha EMANSIPASI RAKYAT INDONESIA.
Timbul pertanyaan kecil: -- Mengapa begitu lama Mbak Sipon baru menerima ditangannya sendiri, PIAGAM WERTHEIM tsb? Nyatanya, baru kemarin pada tanggal 21 Agustus 2003, Mbak Sipon mengerti apa sesungguhnya isi Piagam Wertheim yang dipasangnya dengan penuh hormat pada dinding rumahnya yang amat sederhana, --- kalau tidak hendak dikatakan terus terang, sungguh rumah seorang yang "tidak berpunya".
Rasa terharu dan hormat mengisi rongga dadaku, ketika aku berkesempatan mengunjungi rumah Mbak Sipon di Solo, pada tanggal 21 Agustus y.l. Dengan gembira, sebagai Sekretaris Stichting Wertheim, kusampaikan salam hangat dan hormat Pengurus Stichting Wertheim kepada Mbak SiPon. Mbak Sipon yang sudah begitu lama menanti, baru dua tahun belakangan ini menerima di tangannya sendiri Piagam Wertheim yang telah diserahkan oleh St Werheim.
Pada saat inilah aku berkesempatan untuk membacakan kembali teks PIAGAM PENGHARGAAN Stichting. WERTHEIM dalam teks bahasa Belandanya, dan kemudian menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, seperti terlampir dalam tulisan di bawah ini.
Mengapa sampai terjadi begitu? Banyak faktor yang menyebabkannya.
Namun, penyebab yang terpokok, ialah --- bahwa penyair kita WIDJI THUKUL, pada periode Orba, telah dijadikan orang buronan politik dikejar-kejar terus, sehingga Widji boleh dikatakan tidak pernah tinggal di rumah sejak itu, selalu berpindah tempat tinggal. Rumahnya yang ketika itu hanya ditinggali Mbak Sipon dan dua orang anak-anaknya, seorang putri dan seorang putra yang masih kecil, berkali-kali didatangani aparat, dan dengan bengis mengancam menanyakan kepada Mbak Sipon, dimana Widji Thukul!
* * *
Menjelang jatuhnya Suharto, ketika tindakan-tindakan teror Orbanya Suharto semakin mengganas, tiba-tiba tidak terdengar lagi berita sedikitpun dari dan tentang WIDJI THUKUL. Siapapun tak tahu dimana rimbanya. Widji Thukul mengalami nasib ORANG HILANG. Kemungkinan Wijdi telah menjadi korban intel Orba yang keji itu.
Jatuhnya Suharto telah membawa sedikit perubahan pada keadaan Mbak Sipon.
Namun, sampai kini tetap tidak ada berita tentang Wiji Thukul. Mbak Sipon yang mengalami penderitaan diisolasi dan dinajiskan oleh penguasa, karena dirinya adalah istri Widji Thukul, belakangan ini, nyatanya semakin menjadi tempat penduduk sekitar menanyakan segala sesuatu bila menghadapi pelbagai soal kehidupan, khususnya mengenai urusan yang menyangkut penguasa setempat. Kejujuran, keberanian dan semangat memperhatikan nasib para tetangga dan penduduk setempat, menimbulkan respek yang wajar di kalangan penduduk setempat terhadap Mbak Sipon.
Demikianlah suka-duka yang dihadapi oleh Mbak Sipon, sebagai istri dari penyair teladan dan pejuang Widji Thukul.
Dalam rangka usaha mengenangkan kembali tokoh Wiji Thukul, Stichting Wertheim, Leiden, dalam waktu dekat ini akan meluncurkan edisi kedua KUMPULAN SYAIR-SYAIR WIDJI THUKUL, dalam bahasa Belanda.
* * *
Berikut ini disajukan teks lengkap – PIAGAM PENGHARGAAN STICHTING WERTHEIM
“Het Bestuur v.d. WertHeim Stichting heeft besloten om de aanmoedigingsprijs v.d. Stichting toe te kennen aan de Indonesiche dichter, Widji Thukul, voor zijn verdiensten voor de emancipatie v.h. Indonesishce volk in het bijzonder op het gebied van de letteren en de theater kunsten.
De prijs wordt o 4 julie 1991 in de aula v.d Universiteit van Amsterdam, uitgereikt door Prof. W.F. Wertheim.
Amsterdam, 4 juli 1991.
Sekretaris: C.J.G. Holtzappel
Voorzitter: J. Huizer.
* * *
“Pengurus Yayasan Wertheim memutuskan untuk memberikan penghargaan Yayasan kepada penyair Indonesia Widji Thukul untuk jasa-jasanya bagi emansipasi rakyat Indonesia teristimewa di bidang sastra dan seni teater.
Penghargaan diberikan pada tanggal 4 Juli 1991 di Aula Universitas Amsterdam oleh Prof. Dr. W.F. Wertheim.
Amsterdam, 4 Juli 1991.
Sekretaris: C.J.G.
Holtzappel Ketua: J. Huizer.
* * *
Kumpulan Puisi Wani, SELEPAS BPKKU HILANG, lain dari yang lain. Karena bundel ini berisikan puisi Wani dalam bahasa Indonesia, aslinya. Dan dalam bahasa Inggris. Jadi pada muka pertama bahasa Indonesia, berjudul seperti tsb diatas. Dan kalau kita balik buku itu maka judulnya
“AFTER MY FATHER DISAPPEARED”. Malah dihiasi pula dengan sebuah sajak Wani, a.l. Sbb:
From all this, my brother
Don't ber week, though father's not there
Make it all a starting point
For your life journey
To become
A true and courageous man
* * *
Ketika mengantar buku Wani, seorang sarjana sastra Australia, Barbara Hatley, menyatakan bahwa, “Wani Seniman Feminis dan Pembela Sastra Remaja”.
Perhatikan penutup sambutan Barbara Hatley, sbb:
“Wani menganggap puisi-puisinya sebagai biasa saja. Ia tidak mengerti, mengapa orang mengatakan ia luar-biasa.Tetapi sesudah ia mengkaji karya puisi dan fiksi tulisan anak lain yang sebaya dengannya, ia menjadi mengerti. Ia juga menulis tentang percintaan dan dunia sekolah. Tetapi ia merasakan adanya desakan tuntutan dari keluarga dan masyarakatnya agar menulis tentang masalah-maslah yang lain.
“Dengan keadaan serba amburadul begini, apakah saya tidak menulis?”
Wani sendiri menghargai sastra remaja, dan tidak ingin melihatnya ditampik sebagai sesuatu yang tanpa bobot. Salah satu alasan untuk menerbitkan karyanya, dengan senyum tersipu ia mengatakan untuk “mengangkat nilai sastra remaja ke tengah-tengah para senior kami”. Mengubah profil seluruh genre sastra merupakan tugas yang sangat besar dan luas.
Wani menghubungkan dangkalnya sastra remaja dengan melodrama-melodrama percintaan ringan yang mengungguli acara-acara yang lebih substansial pada televisi Indonesia. Kedua-duanya merupakan hasil dari kebudayaan yang merusak masyrakatnya dari sejak umur dini dengan hiburan-hiburan yang isinya lebih mengacaukan ketimbang mendidik. Dan adat kebudayaan yang sudah berakar akan sukar dilenyapkan.
Seandainya satu orang bisa mempengaruhi kebudayaan angkatannya melalui apa yang dilakukannya, mungkin juga orang itu (adalah) NGANTHI WANI yang luar biasa. Semuanya itu menambah alasan memacu penerbitan buku kumpulan puisi yang penting ini.
* * *
Cukup padat dan bermutu tanggapan cendekiawan Australia Barbara Hatley mengenai WANI dan puisiya.
Kita ikuti sekarang apa kata NURHIDAYAT POSO, seorang budayawan asal Tegal dan tinggal di Tegal. Ini a.l yang ditulisnya:
“Di panggung, kelompok kampung dengan kostum apa adanya, penampilan sekenanya, menyanyi, membaca puisi dengan energi yang luar biasa, sebuah gumam, suara kampung yang lahir dari ketertindasan, keputusasaan, ketidak adilan. Thukul dengan suara pelonya, tatapan bersinar bersemangat membacakan sajak-sajak protesnya.
Sipon terlihat menggendong Wani yang masih balita berada diantara mereka, ikut berjanyi, memainkan sendok dan gelas membentuk irama. Dan saya tidak tahu apakah Wani yang dalam gendongan ibunya itu sedang tertidur atau ikut bernyanyi? Wani, bayi itu sepertinya menjadi saksi dan bagian bagaimana sebuah keluarga miskin dari kampung Kalangan yang sangat bersahaja dan kritis meneriakkan kegundahannya terhadap kondisi kehidupan berbangsa yang dicengkeram oleh sebuah orde yang korup dan fasis dengan melawannya melalui ekspresi seni: puisi.
Ya, waktu telah berlalu saat Wani di SD saya ketahui ia mulai menulis puisi. Sampai kemudian Thukul raib saya masih sering menjambangi keluarga ini. Kemudian saya bertemu dengan Richard Curtis sahabat bulé dari Australia yang dulu rajin mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak kampung Kalangan. Richard sangat dekat dengan keluarganya Thukul, sejak tahun 1993 . Ia juga bolak-balik ke rumah saya di Tegal, untuk riset dan menyelesaikan desertasi doktornya tentang kesenian dengan semangat kerakyatan.
Saat Wani di SMA dia menyodorkan segepok puisinya kepada saya. Saya tercengang karena beberapa sajaknya yang ia tulis saat usianya masih sepuluh tahun. Tetapi isi puisinya tidak seperti kebanyakan anak seusianya, ada pemberontakan, ada keberanian untuk menyatakan diri dengan bahasa yang lugas.
Sauya tiba-tiba sangat tergoda untuk menerbitkannya. Untungnya ide saya ini langsung disambut oleh Richard Curtis dengan antusias. Harapan kami kumpulan puisi ini terbit sebelum Wani lulus SMA agar dinikmati sesuai dengan fase alam remajanya. Tetapi karena kendala teknis upaya ini tak bisa terlaksana. Baru saat Wani masuk universitas buku ini bisa terbit.
Kami juga memandang perlu menerbitkan kumpulan puisinya ini dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris agar menjangkau publik pembaca yang lebih luas mengingat banyaknya permintaan akan hal itu. Kemudian disadari juga bahwa bahasa puisi sebagai teks akan berbeda dengan ketika dibacakan. Akhirnya kami juga memenuhi kebutuhan tersebut dengan membuat CD pembacaan puisi yang dilakukan oleh suaranya Wani secara langsung. Kami pilih beberapa puisi yang kami anggap cocok untuk kebutuhan tersebut.
Sungguh, upaya kami yang sangat terbatas ini masih banyak kekurangannya. Kepada Richard Curtis yang tak letih bolak-balik ke Indonesia hanya untuk proses terbitnya buku ini, Mbak Endah yang selalu memberi dorongan kuat, Sipon yang menjadi inspirasi ketegaran seorang Ibu, serta NGANTHI WANI yang percaya baha jaman sudah berubah, kepada semuanya saja yag tak bisa diseebutkan satu persatu hingga terbitnya buku ini, tabik dan terima kasih.
Tegal, 12 Februari 2008.
Sekian a.l pengantar NURHIDAYAT POSO, berjudul CATATAN KECIL UNTUK WANI.
* * *
Kumpulan Puisi `SELEPAS BAPAKKU HILANG` berisi 88 sajak termasuk Epilog. Lalu ada sdikit uraian tentang penulis, FITRI NGANTHI WANI. Tebalnya 90 halaman. Versi bahasa Inggris, tebalnya 87 halaman.
Masih akan ada satu kali lagi penulisan menyambut kumpulan puisi Wani. Kali ini penulisan akan diakhiri dengan sebuah sajak Wani berjudul,
UNTUK PARA PENGKHIANATKU
(Memoar abadi dari Solo)
Persahabatan adalah tai kucing
Yang diserok dalam bongkahan pasir lembut
Lantas dilemparkan ke laut
Oleh hempasan tangan si pengecut
Ditanganmu
Sahabat tak ada artinya
Di jidatmu
Sahabat hanya barang fana
Yang seolah mampu kau gadai
Dan kau tukar-tukar sesuka mu
Ya, begitulah
Bagi kalian pemuja uang
Tak ada yang berarti
Selain seonggok ketinggian hati
Kalian perlakukan sahabat bagai binatang
Ataukah justru kami yang tak dihargai
Oleh binatang-binatang seperti kalian
Arimbi, Jogja, 4 Sept 07 * * *