Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 26 April 2012
---------------------------
MARTIN
ALEIDA Tentang TRAGEDI '65 DAN PERMINTAAN MAAF
* * *
< "Apalah saya, kata orang
Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan
singkat ini, sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya
setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang
harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai
setahun saya dikerangkeng di kamp kosentrasi Operasi Kalong di KODIM
0501, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. " -- Martin Aleida:
"Antara Romo dan Solastomo">
* * *
Tadi malam, kuterima kiriman dari
sahabat-karibku Dr Baskara Wardaya. Sebuah tulisan oleh sahabatku
Martin Aleida, penulis dan jurnalis. Kubaca cepat. Benar! Menyentuh
hati dan menggugah yang membacanya. Kubaca sekali lagi, (maaf ya,
Bung Martin) ku edit sedikit, agar mudah bagiku membacanya.
Makin dibaca makin kurasakan betapa
kata-kata Martin Aleida itu keluar dari lubuk hatinya yang sudah tak
tahan lagi. Sudah jemu menyaksikan betapa telah terkontaminasinya
fikiran sementara orang yang tak mampu lagi melihat mana yang riil
dan mana yang fiktif. Yang buta terhadap mana yang benar dan mana
yang palsu. Disebabkan keracunan semangat dan fikiran anti-komunisme
yang sudah berkarat. Setidaknya dari dua penulis-penulis: Romo Magnus
Suseno dan Solastomo.
Tulisan Martin Aleida itu adalah
pembeberan fakta-fakta. Suatu penuturan apa yang langsung dialaminya
pribadi. Punya bobot daya-gugatan sekaligus pencerahan bagi siapa
saja yang masih mau mendengar dan melihat fakta sejarah, masih ada
kemampuan untuk membedakan siapa yang dalang-pelaku-kriminil dan
siapa yang korban kejahatan kemanusiaan.
Meskipun Martin Aleida adalah, seperti
ditulisnya, " . . . .tidak punya hak untuk menampilkan diri,
dalam tulisan singkat ini sebagai personifikasi dari jutaan korban.
Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami
penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit
pun", --- namun, artikel yang ditulisnya itu, adalah,
kuyakin, akan membantu generasi muda untuk memperoleh pencerahan
mengenai sejarah bangsa ini. Ku-siarkan kembali (maaf tanpa
persetujuan terlebih dulu dari Martin Aleida yang kukenal pribadi
sejak tahun lalu. Di rumah/studio dua-sejoli pematung musisi
Dolorosa Sinaga-Arjuna Huagalung Dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu
kepada sahabatku Dr Baskara Werdaya, dari siapa aku memperoleh
artikel Martin Aleida tsb.)
Silakan baca tulisan Martin Aleida di
bawah ini:
Poetis, tapi lebih penting lagi ia
faktual dan politis-edukatif.
* * *
ANTARA ROMO DAN
SOLASTOMO
Oleh MARTIN ALEIDA
"Dengan minta maaf kita akan
dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan
Soeharto," demikian seruan Franz Magnis-Suseno SJ dalam
mendukung rencana Presiden SBY
untuk meminta maaf kepada korban
pasca-G30S (Kompas, 24 Maret 2012).
"Permintaan maaf akan membebaskan
hati kita juga." Jiwa bergetar dibuatnnya.
Tetapi, apa daya. Ada hati yang belum
bisa melihat cahaya kebebasan dalam sebuah niat yang dengan agung
dikumandangkan oleh seorang romo.
Seminggu kemudian, di harian yang sama,
Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1963-66,
menampik. Katanya: "Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas
peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika
partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan
tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh,
demikian juga korban peristiwa Madiun 1948?"
Dalam kedua tulisan yang berdiri di
tebing yang berseberangan itu, tetap terasa ada iman yang miring
dalam mengetengahkah fakta-fakta yang ditinggalkan sejarah. Romo
Magnis lupa pada
kenyataan bahwa Presiden Soekarno
berulang kali, dalam berbagai pidatonya, berupaya meneduhkan pikiran
dan hati orang-orang yang terhasut komunisto-fobi,
yang dilancarkan rangkaian media yang
sepenuhnya di bawah kontrol Angakatan Darat waktu itu.
Dan sang presiden meminta publik untuk
jangan melupakan jasa-jasa orang Komunis dalam memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Beribu-ribu mereka dipenjarakan maupun
dibuang ke Boven Digul, Papua, katanya.
Tetapi, tambah Soekarno mengingatkan
akan jasa orang-orang Komunis yang sedang dikejar-kejar, bertambah
deras saja darah orang-orang yang dituduh PKI, simpatisan dan
anak-cucu mereka
membanjir di berbagai daerah. Soekarno,
melalui berbagai pidato politiknya, juga mengimbau masyarakat untuk
menunggu "keputusan politik" yang akan dia ambil untuk
menyelesaikan masalah yang sedang merundung bangsanya.
Namun, kelompok yang berada di bawah
kepemimpinan Soeharto, yang merasa pintu kekuasaan sudah terbuka bagi
mereka, mengabaikan permintaan itu. Diam-diam mereka malah
mendukung gelombang pemusnahan manusia
dengan cara-cara di luar batas norma-norma peradaban.
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan
pasukan elite Angkatan Darat memimpin konvoi red drive ke Jawa
Tengah, terus ke Timur sampai Bali. Begitu pulang dari ladang
pembantaian, kepada wartawan dia sesumbar telah menghabisi lebih dari
tiga juta Komunis, melampaui jumlah korban Perang Viet Nam.
Kegagalan G30S, yang hanya berkuasa
beberapa jam, telah memberikan "dalih" yang memang sudah
ditunggu-tunggu oleh sebagian unsur di dalam Angkatan Darat, dan
lawan-lawan
PKI, untuk menumpas kaum Komunis sampai
ke akar-akarnya (John Roosa, 2008). Dan pada akhirnya sejarah
menunjukkan bagaimana Presiden Soekarno dikerjain,
dirongrong secara sistematis,
dijatuhkan, diasingkan, dan dibiarkan menemukan ajal dengan tragis di
dalam tahanan.
Dia meninggal menyusul ribuan Komunis
dan orang-orang kiri pendukungnya, yang dia gambarkan dengan pepatah
Jawa yang dia pelesetkan: "Bukan sanak saudara dan tak ada
hubungan darah, tetapi kalau mati aku yang kehilangan."
Lupakah Romo bagaimana semua media
massa yang berada di bawah kendali Angkatan Darat melancarkan
kampanye hitam terhadap PKI dengan antara lain mengatakan bahwa para
petinggi Angkatan Darat yang diculik, dipotong-potong kemaluan mereka
sebelum diceburkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya. Diiringi tari
Genjer-Genjer dan nyanyian Harum
Bunga, yang dibawakan
perempuan-perempuan Gerwani, organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Padahal, visum dari Rumah Sakit
Angkatan Darat (!), sebagaimana yang dikutip oleh Presiden Soekarno
beberapa hari setelah "malam jahanam" itu, bertentangan
dengan fitnah yang ditiup-tiupkan untuk membakar amarah.
Begitu beratkah hati Romo sehingga tak
sedikit pun sudi menyinggung kenyataan sejarah tersebut sebagai
bukti, untuk kemudian menguraikan dan meneguhkan sikap dalam, paling
tidak,
menegakkan sebuah hipotesa, siapa
sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap pembantaian berantai yang
memusnahkan 500.000 (menurut perkiraan kebanyakan
peneliti Barat) sampai tiga juta
manusia Indonesia.
Para pelaku penculikan dan pembunuhan
para perwira tinggi Angkatan Darat, termasuk pentolan G30S, sudah
diadili. Sudah dieksekusi. Sekarang, siapa yang
bertanggungjawab terhadap korban yang
begitu banyak, yang menurut Romo merupakan salah satu "kejahatan
terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20."
Apakah sebuah kehampaan bisa membunuh?! Atau apakah kehampaan memang
telah dengan sengaja diciptakan untuk mensahkan pelenyapan nyawa
saudara-saudara kita?!
Ketika menyigi tulisan Sulastomo, saya
ingin memendam kata-kata sehingga jeritan hati tidak menemukan
kesimpulan bahwa gugatan semacam itu barangkali merupakan contoh
kebencian
politik yang berlebihan, membabi-buta.
Bagian dari stigmatisasi sistematis yang dilancarkan terhadap korban
pasca-G30S.
Akal sehat terharamkan, rupanya. Apakah
benar PKI begitu berkuasa (kok dituduh melancarkan kudeta?) sehingga
bisa membubarkan partai yang lebih besar (Masyumi berada dua tingkat
di atas
PKI pada Pemilu1955) dan memenjarakan
para pemimpin mereka tanpa diadili?
Bukankah kitab sejarah yang sengaja
melupakan bahwa para pemimpin PKI, dan orang-orang kiri dari berbagai
sayap, yang jangankan "dipenjarakan tanpa diadili," mereka
malah langsung dibunuh sonder diadili. Tiang gantungan mereka juga
tak ketahuan di mana rimbanya. Sehingga "kebenaran atau
kesalahan" yang melekat di hati dan otak mereka tak pernah
terbuka.
Apakah karena Ketua HMI maka Sulastomo
harus berkata begitu? Inilah yang membuat sejarah bangsa ini terus
merangkak di lintasan yang tetap saja menanti terangnya bulan dan
bintang.
Korban dan permintaan maaf Yang harus
dipertanyakan dengan rendah hati, apakah para korban pasca-G30S
pernah menghamba untuk memperoleh permintaan maaf? Tak pernah saya
dengar. Minta-minta ampun ya! ketika mereka menghadapi rupa-rupa
penyiksaan di sel-sel tahanan. Mereka tidak merasa telah terjerumus
dalam pilihan yang salah. Yang barangkali tak terpikirkan oleh mereka
adalah bahwa orang-orang yang sudah termakan hasutan dengan cara-cara
yang jahat dan sistematis, bisa begitu ganas beringas.
Mereka berkaca pada contoh
cerlang-cemerlang yang ditunjukkan dengan gagah berani oleh Soekarno,
yang bertahan pada gagasan besar yang mengilhaminya sejak muda.
Tentang aspirasi
ideologi politik yang berkecenderungan
nasionalisme, agama, dan sosialisme-komunisme yang tak terbantahkan
kenyataannya. Dan tentang niscayanya kekuatan-kekuatan revolusioner
itu, yang dia rangkai dalam akronim NASAKOM, bersatu-padu membawa
Indonesia ke depan.
Kalau saja Soekarno hanya seorang
pecundang, dia tentu sudah berkhianat terhadap pikirannya itu
sendiri, dan sebagai presiden membubarkan PKI sesuai tuntutan
mahasiswa waktu itu. Dia selamat, dan negeri ini tak seperti ini,
barangkali.
Apalah saya, kata orang Medan. Saya
tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini,
sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari
sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur
bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai setahun saya
dikerangkeng di kamp kosentrasi Operasi Kalong di KODIM 0501, Jalan
Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat.
Hati saya selalu berbisik bahwa saya
bisa bebas sebelum ditendang ke Salemba atau Cipinang atau Tangerang
atau Buru, karena saat diciduk bersama beberapa teman, ada "tangan
Tuhan" yang tersembunyi di dalam surat wasiat dari kedua
orangtua saya yang "sudah teken mati" mau berlayar dengan
kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. "Tangan
Tuhan," saya sangka,
juga menyuruk di lembar surat-surat
cinta saya dengan gadis yang kemudian
menjadi istri saya. Sel tahanan
memperteguh kasih dan harapan yang pernah saya bisikkan di kupingnya.
Di dalam tahanan, dia turut mengasuh si
Butet kecil, yang masih merah, ketika Tarni (masih hidup, 83 tahun) ,
istri Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI, ditangkap. Ibu berdarah ningrat
Solo itu digelandang bersama anak-anaknya, dijebloskan ke dapur KODIM
tersebut. Nyoto sendiri sudah
direnggut paksa nyawanya entah di mana.
Terbayang, betapa kuatnya hati gadis
pujaan saya itu dalam pergulatan melawan takut dan teror, ketika dia
diperintahkan Kapten Suroso, komandan Operasi Kalong, untuk menyeka
lantai yang
banjir darah, membersit dari punggung
Mula Naibaho, pemimpin redaksi Harian Rayat, bos dan mentor saya,
kekasihnya. Wartawan, teman dekat komponis Cornel Simanjuntak, itu
lumat kulit belakangnya digerus ekor pari yang dikeringkan, distrum,
dicemplungkan ke bak mandi, lantas disuruh menelan sepiring sambal
merah. Pengagum puisi Paul Eluard itu tidak berteriak minta ampun,
minta dikasihani. Menjerit apalagi. Dia hanya menggigil menggelatuk.
Memang, semasa menjadi wartawan majalah
TEMPO saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai
wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi majalah Lembaga Kebudayaan
Rakyat, Zaman Baru, dalam usia yang baru 20. Dan pernah ditahan.
Tetapi, saya tidak pernah menyesali
diri pernah menjadi wartawan yang mangkal di Istana, dan pernah
diundang sarapan pagi bersama Presiden Soekarno, dan diledek Sang
Pemimpin
Besar itu karena saya terus ngoceh
dengan ajudannya, seorang wanita perwira angkatan laut asal Manado.
Tak pernah terbersit di hati saya untuk
menuntut permintaan maaf kepada siapa pun yang telah membuat karier
saya cuma seumur jagung. Padahal, untuk itu saya harus berbuat dosa,
hengkang
dari haribaan kedua orangtua.
Setiap saya ke Solo, bersama istri,
kami harus menyeret langkah dengan hati seberat batu menuruni tebing
Bengawan. Di situ kami melarung kembang sesajen untuk membuat
semerbak perjalanan air yang diarungi mertua saya setelah dia disuruh
tentara untuk jongkok, ditembak, dan jasadnya ditendang, dilarikan
arus entah ke mana... Pada saat-saat seperti itu, pikiran melayang
kepada Ayah-Emak saya.
Hati saya juga meratap setiap kali
pulang ke kota kelahiran, di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara.
Terbayang Noor Tambi, seorang tokoh buruh angkutan, yang membantu
"pelarian" saya ke Jakarta untuk belajar sastra. Kabarnya,
dia, bersama istrinya yang sedang hamil tua, disembelih, mayat mereka
dicampakkan ke arus sungai. Penduduk tak kuasa memakan ikan, sekali
pun itu dipanen dari Selat Malaka. Bangkai manusia mengapung-apung
berhari-hari mencari Tuhan mereka ke mama-mana.
Air mata saya untuk mereka. Luka hati
saya tak terbasuh dengan mengenang mereka. Tetapi, saya tidak meminta
siapa pun untuk meminta maaf. Menjadi korban adalah sebuah keagungan.
Keagungan! Bukankah Tuhan senantiasa
memihak kepada yang tertindas, dan melahirkan agama melalui jalan
darah dari manusia yang dia kasihi. Dan sastra semata-mata
ditakdirkan untuk memihak korban. Bukankah prosa terbesar yang
dilahirkan Perang Dunia II adalah catatan harian gadis manis Anne
Frank, yang menuliskan rintihan batinnya sebagai korban?
Manakala sastra mendurhakai takdir ini,
maka dia akan tinggal jadi sebuah cemooh. Telah lahir puisi-puisi
kutukan terhadap tirani rezim Orde Lama Soekarno, dan nyanyian agung
menyambut
menyingsingnya sebuah harapan (pada
Soeharto). Malang benar! Puisi-puisi dari penyair, yang dikatakan
sebagai pelopor lahirnya angkatan baru dalam sastra Indonesia itu,
justru dianggap hanya sebagai karya kaum epigon, pengekor para
penyair Lekra. Mereka terjerumus ke jurang puisi pamflet yang mereka
tolak sendiri. Dan untuk menyebutkannya sebagai angkatan baru "belum
cukuplah syarat dan nilainya." (Subagio Sastrowardoyo, 1983).
Hanya Tuhan yang punya kuasa atas kata
maaf. Dan Dia memberikannya dengan kuasanya sendiri. Belasan tahun
saya, dan beberapa penulis yang selamat dari jerat tiang gantungan
rezim
Soeharto, bekerja sebagai wartawan
majalah TEMPO. Saya tidak pernah menganggap kesempatan itu sebagai
permintaan maaf dari seorang yang sadar secara intelektual menjadi
anti-Komunisme: Goenawan Mohamad. Saya yakin, bukannya didorong oleh
niat meminta maaf, maka dia juga kabarnya menjadi tuan rumah untuk
arisan istri orang-orang penting PKI yang diburu dan dibantai. Dia
lakukan itu semua padahal dia bukan seorang romo apalagi nabi. Dia
cuma penyair yang meniti di titian peradaban. Goen menyuruh saya
mencari Rivai Apin, dia pingin berjumpa dengan Pram, Buyung Saleh.
Dalam perjumpaan itu tak ada maaf-memaafkan. Rekonsiliasi tak
berbunyi. Pikiran mereka berjalan sendiri-sendiri. Adab yang
mempertemukan mereka.
Haram, kalau dari belakang saya
mengatakan redaktur KOMPAS membukakan pintu maaf kepada saya manakala
cerita-cerita pendek saya dimuat dengan judul yang lebih besar dari
logo Harian
Rakyat, di mana saya pernah berjuang,
dan tumbang. Juga tidak, ketika dua-sejoli pematung-musisi Dolorosa
Sinaga-Arjuna Hutagalung memeluk mencium saya setiap kali kami jumpa.
Hanya saja airmata saya titik. Hati saya bergemuruh. Bagaimana
mungkin di tengah-tengah keganasan, kebutatulian, ada manusia yang
lahir dengan kodrat seperti ini... ***