Jum'at, 17 Agustus 2012
------------------------------
Merebaknya
PERDEBATAN BESAR Sekitar PELAKSANAAN HAM Menjelang Ultah Ke-67
PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA
Sebagaimana lazim setiap tahun,
Presiden Republik Indonesia, mengucapkan pidato menyambut Hari Ulang
Tahun Kemerdekaan Republik Indoneisa, 17 Agustus 1945. Kali ini juga
demikian halnya. Presiden SBY telah menyampaikan pidato 17
Agustus-nya, hari ini.
SAYANG, pidato 17 Agustus SBY, sepatah
katapun tidak menyinggung, apalagi memberikan solusi terhadap
perdebatan penting yang sedang terjadi di dalam masyarakat mengenai
sikap terhadap PELANGGARAN HAM BERAT Yang Terjadi Pada
“PERISTIWA 1965-1966”. Mengenai
situasi HAM di Indonesia, Presiden hanya menyatakan: “Saat
ini, stabilitas politik relatif terjaga.
Demokrasi dan penghormatan kepada Hak Asasi Manusia dijunjung tinggi.
Sejak berabad-abad silam, rumah besar negara kita dihiasi oleh
kemajemukan. Kemajemukan merupakan warna tersendiri di dalam potret
ke-Indonesiaan. Kita menghormati dan menghargai keragaman itu
dengan memberi ruang dalam payung desentralisasi dan otonomi daerah.”
Yah, “. . . . penghormatan kepada
Hak Azasi Manusia dijunjungtinggi . . . . ..” .
Padahal,
mengenai situasi kegiatan, usaha dan hasil kerja KomnasHam di
Indonesia dewasa ini sudah mencapai
suatu titik
yang KRUSIAL.
Demikian
situasi krusial tsb: Di satu fihak seluruh masyarakat nasional dan
dunia internasional telah mengetahui bahwa KomnasHAM
telah menyelesaikan penyelidikan (23 Juli 2012) atas dugaan
terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa 1965-1966.
Bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran
hak asasi manusia yang berat.
Dikemukakan dalam kesimpulan KomnasHAM, a.l telah terjadinya pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang; penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan (persekusi); dan penghilangan orang secara paksa. Dikemukakan juga sejumlah individu dan lembaga yang diduga kuat sebagai pelaku dalam rentetan peristiwa 1965-1966.
Dikemukakan dalam kesimpulan KomnasHAM, a.l telah terjadinya pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang; penyiksaan, perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; penganiayaan (persekusi); dan penghilangan orang secara paksa. Dikemukakan juga sejumlah individu dan lembaga yang diduga kuat sebagai pelaku dalam rentetan peristiwa 1965-1966.
* * *
Situasi perjuangan sekitar
masalah (pelanggaran berat) HAM di Indonesia menjadi gawat, karena
sebelumnya Presiden diberitakan bersedia atau berniat untuk MINTA
MAAF KEPADA PARA KORBAN Peristiwa 1965-66. Dengan judul “PRESIDEN
SBY SIAP MINTA MAAF”, disiarkan sbb: -
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denny Indrayana,
mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah siap
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan
pernah juga dibahas Presiden bersedia meminta maaf, namun syaratnya
kasus ini diselesaikan telebih dahulu.
KomnasHAM Perempuan dalam
pernyataannya dengan tegas dan jelas sekali mengemukakan bahwa sudah
SAATNYA BERTINDAK Untuk Pemulihan Hak-Hak Korban Pelanggaran HAM yang
Berat Peristiwa 1965-1966. Selanjutnya ditandaskan oleh KomnasHam
Perempuan, a.l sbb: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) mengajak semua pihak
untuk menyambut baik laporan hasil penyelidikan Komisi Hak Azasi
Manusia (Komnas HAM) tentang Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa
1965-1966 sebagai terobosan penting dalam upaya pengungkapan
kebenaran. Laporan ini telah lama ditunggu oleh komunitas korban yang
berjuang untuk memperoleh hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.
Juga, oleh masyarakat Indonesia yang menginginkan jaminan kepastian
hukum bagi setiap warga negara dan bahwa tragedi kemanusiaan
1965-1966 tidak berulang di masa mendatang.
Komnas Perempuan mendorong Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengambil langkah proaktif
memperkuat inisiatifnya dalam memberikan perlindungan dan dukungan
bagi saksi dan korban Peristiwa 1965-1966. Inisiatif tersebut perlu
diperluas agar (a) tidak terbatas pada skema bantuan, kompensasi, dan
restitusi yang telah ada, (b) untuk mencakup pula keluarga korban,
dan (c) dengan memperhatikan kekhasan kebutuhan perempuan.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa
seluruh langkah-langkah tersebut di atas bermakna besar bagi korban
dan keluarganya yang selama ini telah berjuang dan bertahan hidup
dalam kekerasan dan diskriminasi. Juga, untuk merawat cita-cita
Indonesia untuk menjadi negara bangsa yang berperikemanusiaan dan
perikeadilan.
Media
Indonesia dan mancanegara, mencerminkan dan memanifestasikan semangat
dan hasrat pejuang-pejuang HAM baik yang di Indonesia mauun di dunia
internasional, dengan lega dan optimis menyambut perkembangan baru
dalam perjuangn dan kegiatan pemberlakuan HAM di Indonesia. Seperti
bisa ditarik kesimpulan dari diumumkannya laporam KomnasHam
tertanggal 23 Juli 2012.
*
* *
Tetapi,
kemajuan yang dicapai dalam usaha HAM itu tidak bisa diterima oleh
mereka-mereka yang menentang dan merintangi tercapainya keadilan
bagi para korban pelanggaran HAM terbesar pada Perisitiwa 1965-66-67.
Mereka tidak rela, diungkapkannya kejahatan kemanusiaan serta
diadilinya para pelaku, dalam Peristiwa 1965-66 dengan terbunuhnya
300.000 sampai sekitar 3 juta warga tidak bersalah. Mereka tampil
dengan pelbagai selubung dan dalih. Kita ikuti alasan dan dalih yang
mereka kemukakan:
--
Kompas memberitakan bahwa, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU)
dengan didukung kalangan purnawirawan TNI Angkatan Darat dan ormas
menolak keras segala bentuk permintaan maaf dari pemerintah/Presiden
Republik Indonesia terhadap korban tragedi 1965-1966. Wakil Sekjen
PBNU As'ad Said Ali berucap, bahwa, sebagai
bangsa lebih baik jika peristiwa tragedi kemanusiaan 1965 dilupakan.
Ia menambahkan bahwa kita harus "Mewaspadai Kebangkitan PKI"
--
"Kita ini kan bangsa, sudah lupakan saja," kata As'ad.
"Minta maaf berarti yang lain akan menuntut juga untuk maaf.
Kapan selesainya? Malah repot nanti. Sudah lupakan," tambah
As'ad.
--
As'ad Said Ali mengungkapkan, NU melupakan tragedi 1965 sebagai
bentuk bahwa NU berjiwa besar. NU tidak mengungkit masalah pembunuhan
oleh PKI di tahun 1948 di Madiun karena melupakan dan memberikan maaf
agar pembagunan karakter bangsa ke depan menjadi lebih baik.
"Kami
bersikap sebagai bentuk dari berjiwa besar karena kami memegang saham
di republik ini. Kami yang mendirkan republik ini. Kalau permintaan
maaf dilakukan maka bangsa ini akan terus berantem," tegasnya.
"NU tidak mendorong ke pengadilan karena tidak ingin mengungkit
masalah yang lalu-lalu. Orang kita, kiai dibunuh PKI, kita juga tidak
menuntut," tambahnya.
--
Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso,
menyatakan bahwa membuka kasus pelanggaran HAM pada masa lalu tidak
akan menyelesaikan masalah. "Nanti zaman Ken Arok juga
diungkit," ujar Priyo.
Namun
dalih Wakil Ketua DPR Priyo, juga dalih Wakil Sekjen PB NU itu
segera disanggah oleh Koordinator Kontras. sbb:
--
Koordinator Kontras Haris Azhar mengecam apa
yang disampaikan Priyo. Haris Azhar menegaskan bahwa
membuka sejarah lama itu penting untuk membangun garis batas, apa
yang salah atau tidak dari pelanggaran HAM masa lalu."Siapa
yang salah, dan siapa yang tidak salah di masa lalu harus jelas".
--
Tanpa tedeng aling-aling Haris Azhar tunjuk hidung dengan mengungkap
bahwa "Priyo bicara seperti itu karena
dia dari Golkar, partai yang selama Orde Baru berkontribusi dalam
banyak pelanggaran HAM. Dia mewakili kepentingan Golkar untuk
diselamatkan dari penghukumannya atas kesalahan di masa lalu."
--
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar tak
setuju dengan sikap PBNU. Menurutnya, kasus antara pembunuhan anggota
NU dengan pembantaian PKI adalah dua hal yang berbeda. “Pembunuhan
orang NU adalah hukum pidana karena konflik horizontal, sedangkan
pembantaian PKI adalah perintah negara, jadi ada konflik vertikal,”
kata Haris.
-- Koordinator
Kontras, Haris Azhar, juga mendesak pemerintah untuk mengambil
langkah proaktif untuk mendorong dan memfasilitasi serta membuat
kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Penyelesaian kasus ini,
kata Haris juga dapat dilakukan dengan peningkatan akuntabilitas
penegakan hukum. Serta, adanya jaminan pencegahan keberulangan di
masa depan dengan penghapusan kebijakan yang diskriminatif.
--
Tokoh yang disebut “Angkatan 66”, yang aktif dalam persekusi
Jendral Suharto terhadap PKI dan golongan Kiri serta dalam
menggulingkan Presiden Sukarno, Cosmos Batubara dan Harjono
Kartohadiprodjo, juga menyerukan kewaspadaan terhadap “bangkitnya
ideologi komunis dan organisasi pendukungnya.”
Terhadap
seruan sumbang untuk “waspada terhadap bangkitnya ideologi komunis
dan orgnaisasi pendukungnya, GOENAWAN MOHAMAD, menyatakan di
Facebook, sbb: Saya tak menduga masih ada
orang-orang generasi 1966 yang tidak hidup di tahun 2012: -- isi
kepala mereka jadi batu dan hati mereka jadi gaplek.
*
* *
Perdebatan
besar yang terjadi menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia, di
masyarakat Indonesia sekitar pengungkapan PELANGGARAN HAM BERAT
DALAM PERISTIWA 1965, menunjukkan bahwa perjuangan untuk PEMBERLAKUAN
HAM di negeri kita, masih jauh dari selesai. Perjuangan ini akan
berjalan terus dan masih akan mengarungi lika-liku dan kendala dari
para penentang pemberlakuan HAM, KEBENARAN DAN KEADILAN di negeri
kita.
Bahwa
dalam pidato Presiden SBY menyambut Ultah ke-67 Kemerdekaan
Indonesia, masalah pemberlakuan HAM di Indonesia dan perdebatan
besar yang terjadi di sekitar masalah itu, samasekali tidak
disinggung, sungguh amat disesalkan!
*
* *