*IBRAHIM ISA
Kemis, 07 Februari 2013*
--------------------------------
SIAPA RATNA SARUMPAET ?
Kemarin aku menulis Kolom, dimana tertera nama*RATNA SARUMPAET,* yang
diambil dari DAFTAR AKTIVIS I Perempuan Indonesia, menurut Wikipedia.
Lalu ada yang mengajukan pertanyaan SIAPA RATNA SARUMPAET??
Memenuhi permintaan pembaca unuk mengenal siapa RATNA SARUMPAET, hari
ini dimuat Kolom Ibrahim Isa, tertanggal 13 Februari 2011, sbb: ---
***
**IBRAHIM ISA -- Berbagi Cerita **
**Minggu, 13 Februari 2011**
**--------------------------------------------**
**RATNA SARUMPAET & Karya Terbarunya:**
**"MALUKU KOBARAN CINTAKU"**
*
Di depanku ini terpapar karya sastra terbaru RATNA SARUMPAET (Lahir 16
Juli, 1949, di Tarutung, Tapanuli Utara), sebuah novel baru berjudul
"MALUKU KOBARAN CINTAKU". Diterangkan bahwa buku tsb diterbitkan pertama
kali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit PT Komodo Books dalam tahun 2010.
"Dunia sebenarnya cenderung damai, tapi ada saja yang ingin mencoba
mencari keuntungan dengan menciptakan konflik, dengan memanfaatkan
kemiskinan dan keterbelakangan.", kata Thamrin Ely Y, mantan kepala
posko MUI Maluku dan Ketua Delegasi Muslim di Penjanjian Malino. Lewat
novel ini, kata Thamrin, Ratna Sarumpaet membuat pembaca bisa memahami
ulah provokator dalam setiap konflik.
Budayawan Sofyan Daud, yg pada periode konflik di Maluku Utara (Ternate
dan Tidore) terlibat dalam kegiatan rehabilitasi di Maluku Utara,
menyatakan kesan a.l sbb: "Konflik Sara di Maluku merupakakan episode
paling muram dalam sejarah kemanusiaan Indonesia dekade ini. Ia telah
menggerus kerukunan antarsuku dan agama yang berabad dibangun lewat pela
pandang.
Lewat novel ini, Ratna Sarumpaet, menyuarakan kembali kearifan humanitas
pela pandang.
Awalnya 'pela pandang' disebut Pela dan Gandong. Dalam sistim kekuasaan
tradisionil Ambon dan Maluku Tengah, yang terdiri dari beberapa kerajaan
kecil, raja-rajanya banyak saling berkait dalam sistim budaya
persaudaraan (brotherhood), yang disebut Pela dan Gandong. Suatu
persaudaraan atas sumpah setia. Dan 'persaudaraan' ini terjadi di
kalangan kerajaan Islam. Juga antara kerajaan Islam dan Kristen. Gandong
adalah ikatan paling kuat yang ada secara alamiah, sejak satu atau lebih
kerajaan berasal dari satu turunan. Dalam kebanyakan hal Gandong ada
antara kaum Muslimin dan kaum Kristen.
* * *
Beruntung dapat kubeli buku itu, pada pertemuan dengan Ratna Sarumpaet,
penulisnya, pada hari Jum'at y.l yang diselenggarakan oleh KITLV,
Leiden. Suatu pertemuan yang mengesankan!
Sudah lama kudengar dan baca nama RATNA SARUMPAET. Baru hari Jum'at
itulah bisa bertemu langsung dan mendengarkan uraiannya di muka sejumlah
hadirin yang diundang oleh KITLV. Termasuk Francisca Pattipilohy, yang
asal Maluku itu, dan Aminah, ketua DIAN, sebuah grup wanita Indonesia
di Belanda.
Isi uraian Ratna Sarumpaet ialah mengenai Maluku. Tapi selalu
dikaitkannya dengan situasi dan haridepan Indonesia sebagai nasion muda
yang dewasa ini menghadapi begitu banyak masalah. Ratna Satumpaet
menekankan berulangkali bahwa ummat Kristen dan Islam di masa lampau
hidup bersama dengan damai, harmonis dan aman. Konflik Maluku lebih 10
tahun yang lalu, meskipun belum tuntas, tetapi pada pokoknya KINI SUDAH
SELESAI. Satu antara lain berkat pertemuan PERJANJIAN MALUKU Di MALINO.
Baik juga disimak sedikit bagian penting isi dari "Perjanjian Maluku di
Malino", a.l.
"Konflik Maluku yang sudah lebih tiga tahun ini telah menyebabkan korban
ribuan jiwa dan harta, kesengsaraan dan kesulitan masyarakat,
membahayakan keutuhan NKRI serta menyuramkan masa depan rakyat Maluku.
Karena itu, dengan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, kami umat Islam dan
Kristen Maluku, dengan jiwa terbuka dan hati yang tulus, serta niat
untuk hidup dengan kebinekaan dalam persatuan bangsa, bersama pemerintah
Republik Indonesia, sepakat mengikat diri dalam perjanjian:
1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan kekerasan.
2. Menegakkan supremasi hukum secara adil, tegas, dan jujur, tidak
memihak, dengan dukungan seluruh seluruh masyarakat. Karena itu, aparat
penegak hukum harus bersikap profesional dalam menjalankan tugas.
3. Menolak, menentang, dan menindak segala bentuk gerakan separatisme
yang mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI, antara lain RMS.
4. Sebagai bagian dari NKRI maka rakyat Maluku berhak untuk berada,
bekerja, dan berusaha di seluruh wilayah Republik Indonesia, begitu pula
sebaliknya, rakyat Republik Indonesia dapat berada, bekerja, dan
berusaha di wilayah propinsi Maluku secara sah dan adil dengan
memerhatikan dan mentaati budaya setempat.
Khusus ditekankan di "Perjanjian Malino" ( fasal 10) perlunya "Untuk
menjaga hubungan dan harmonisasi antar seluruh masyarakat pemeluk agama
di Maluku, maka segala upaya dan usaha dakwah dan penyiaran agama harus
tetap menjunjung tinggi kemajemukan dengan mengindahkan budaya setempat."
* * *
Dalam uraiannya itu Ratna Sarumpaet, atas pertanyaan, menandaskan bahwa
konlfik Maluku, hakikatnya bukan konflik agama, tetapi rekayasa di
kalangan yang punya kuasa, demi kekuasaan.
Ketika menjelaskan tentang karya sastranya terbaru MALUKU KOBARAN
CINTAKU, berulangkali Ratna menandaskan bahwa apa yang diceriterakan
tentang aparat dan apa yang mereka lakukan di Maluku, terutama sekitar
'konflik Maluku' adalah benar adanya. Bukan fiksi!
* * *
Seyogianya sudah banyak yang tahu atau kenal siapa RATNA SARUMPAET,
penulis dan aktivitis kemanusiaan dan demokrasi Indonesia, yang
tergolong generasi penerus (61th). Ditambahkan di sini informasi
mengenai Ratna Sarumpaet sekadar sebagai pelengkap.
Di Indonesia maupun di mancanegara Ratna Sarumpet dikenal sebagai salah
seorang seniman/penulis yang banyak aktif di bidang teater.
Kepeduliannya terhadap masalah kehidupan kongkrit bangsa yang sebagian
terbesar masih miskin dan papa, mendorong Ratna mendirikan 'Ratna
Sarumpaet Crisis Centre'.
Nama Ratna Sarumpaet benar-benar mencuat dan menggemparkan ketika ia
mementaskan MONOLOG MARSINAH MENGGUGAT. Begitu keras gugatan dalam
monolog Marsinah Menggugat dan begitu mengekspos penguasa, maka banyak
dilarang di sejumlah daerah. Tema-tema karya seni Ratna selalu
blak-blakan mengupas masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan. Dan
Ratna selalu secara frontal menyodorkannya kepada penguasa. Menuntut
tanggungjawab mereka!September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus
pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi, Ratna
Sarumpaet cepat mengantisipasi bahwa pengausa hendak membungkam rakyat.
Agar persoalan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu, dibungkam samasekali.
Seperti secepat kilat lahir karya monolog Marsinah Menggugat. Monolog
ini disosialisasikan melalui tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera.
Penguasa juga serta-merta memvonisnya sebagai karya provokatif. Di
setiap kota yang didatangi, Ratna dan timnya terus ditekan dan disabot
oleh aparat. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini
bahkan dibubarkan secara represif oleh sekitar lima ratusan pasukan anti
huru-hara dilengkapi senjata dan tank.
Dengan populernya Marsinah Menggugat, Ratna telah membuat kasus
pembunuhan Marsinah mencuat dan menjadi perhatian dunia.
Ratna Sarumpaet mencurahkan perhatian dan fikirannya pada rakyat yang
tertindas. Dan itu dilakukannya tanpa beban dan rasa takut. Ia membela
Marsinah dan rakyat Aceh meskipun selalu harus menghadpi represi
penguasa Orde Baru.
Ratna Sarumpaet selalu sibuk dengan pelbagai kegiatan budaya dan sosial
masyarakat, kemanusiaan dan hak-hak manusia dan hak-hak demokrasi.
Namun, selama limabelas tahun belakangan ini, sebagai seniman/penulis
Ratna Sarumpaet telah menghasilkan sembilan naskah drama. Semua naskah
ini ditulis karena kegelisahannya menghadapi kekuasaan. Karena penguasa
sering sekali menindas rakyat kecil dan kelompok minoritas.
Karya-karya seni yang disutradarainya sendiri itu dan dipentaskan oleh
kelompok drama SATU MERAH PANGGUNG, adalah sbb:
Rubayat Umar Khayam (1974) Dara Muning (1993), Marsinah, Nyanyian Dari
Bawah Tanah (1994), Terpasung (1995), Pesta Terakhir (1996), Marsinah
Menggugat (1997), ALIA, Luka serambi Mekah (2000), Anak-anak Kegelapan
(2003) Jamila & Sang Presiden (2006).
* * *
Ketika Suharto masih kuasa, pada akhir 1997 Ratna mengorganisasi lebih
40 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, Ia
membentuk aliansi Siaga. Suatu organisasi yang pertama kali, terbuka
menyerukan agar Suharto turun, Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998,
ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima
orang, Ratna bersama Siaga justru menggelar Sidang Rakyat "People
Summit" di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh bertruk-truk aparat.
Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan
ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap, salah seorang diplomat asing di
Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb: "Perempuan ini
memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang
dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah".
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang
dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi
lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna
Sarumpaet menggelar "Dialog Nasional untuk Demokrasi" di Bali Room,
Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.
Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi
target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola
gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer
tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh
bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan
secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta
mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.
Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik
yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura
dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty
International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam
sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of
Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini
ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama,
Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung
di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar
bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar
HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama
mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut
sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada
acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping
tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela
pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras
negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai
senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka
ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima "The
Female Special Award for Human Rights" dari The Fondation of Human
Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh.
Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat
Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu
dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA,
Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak
sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat,
RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di
Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu
setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang
sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja
kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan "Tsunami
Award".
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap
korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga
memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah 'Talk Show' di
sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan
demokrasi ini memutuskan mundur.
Akhir 1997 Ratna mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro
Demokrasi di kediamannya, lmembentuk aliansi Siaga. Organisasi pertama
yang terbuka menyerukan agar Suharto turun, Menjelang Sidang Umum MPR,
Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih
dari lima orang, Ratna bersama Siaga justeru menggelar sebuah Sidang
Rakyat "People Summit" di Ancol. Pertemuan ini dikepung oleh
bertruk-truk aparat. Ratna, bersama tujuh kawannya dan putrinya (Fathom)
ditangkap dan ditahan dengan tuduhan makar.
Sesaat setelah Ratna ditangkap, salah seorang diplomat asing di
Indonesia mengatakan dihadapan wartawan, a.l sbb: "Perempuan ini
memberikan nyawanya untuk perubahan. Ia punya kualitas pemimpin yang
dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah".
Karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna, yang
dikurung 70 hari dalam penjara aparat, sehari sebelum Suharto resmi
lengser, Ratna dibebaskan.
Setelah Suharto lengser, bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, Ratna
Sarumpaet menggelar "Dialog Nasional untuk Demokrasi" di Bali Room,
Hotel Indonesia. Hadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia.
Keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi
target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola
gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer
tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh
bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan
secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta
mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna.
Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik
yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura
dan selanjutnya ke Eropa.
Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty
International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam
sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of
Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini
ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama,
Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung
di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar
bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar
HAM terburuk.
Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama
mantan presiden Suharto dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut
sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada
acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping
tokoh dunia lainnya seperti Ramos Horta), tanpa maksud membela
pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras
negara-negara besar seperti USA, Jerman dan Inggris. Sebagai pensuplai
senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka
ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia.
Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima "The
Female Special Award for Human Rights" dari The Fondation of Human
Rights in Asia. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh.
Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat
Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu
dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA,
Luka Serambi Mekah.
Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak
sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat,
RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno di
Aceh Barat, membantu 550 kepala keluarga di sana. Sampai dua minggu
setelah Tsunami wilayah tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang
sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja
kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan "Tsunami
Award".
Tahun 2008, kritik-kritik keras Ratna atas perlakuan pemerintah terhadap
korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, juga
memaksa kedudukannya sebagai panelis utama di sebuah 'Talk Show' di
sebuah stasion televisi digoyang, dan Ratna yang sangat sensitif urusan
demokrasi ini memutuskan mundur.
* * *