*Kolom IBRAHIM ISA*
*Sabtu, 02 Maret 2013-*
-----------------------
“*LUKA – LAMA ” YANG TAK PERNAH “NUTUP” ,*
“*TAK PERNAH TERLUPAKAN” BAGI PARA KORBAN*
Kemarin, Jum'at 02 Maret 2013, di ruangan ini disiarkan tulisan *Andjarsari Paramaditha, *jurnalis “The Jakarta Globe”, berjudul “*The Act of Killing' Reopens Old, Long-Buried Wounds in Indonesia”. *Dalam bahasa Indonesia, kira-kira begini bunyinya*“Jagal”, Membuka Kembali Luka-luka Lama Yang Dalam Waktu Panjang Dikubur di Indonesia”.*
** * **
Andjarsari Paramadhita menuangkan kesan dan tanggapannya dalam tulisan tentang film produksi film-maker berbangsa Amerika*Joshua Oppenheimer*, berjudul “The Act of Killing”. Sebuah film yang dewasa ini sudah dipertunjukkan di pelbagai festival film internasional dan memperoleh pengharagaan AWARD. Joshua Oppenheimer mendokumentasikan tutur cerita Anwar Congo dan kawan-kawannya, dari organisasi Pemuda Pancasila. Anwar Congo dan kawan-kawannya yang terlibat dalam pembunuhan masal periode 1965, setelah gagalnya G30S, adalah mantan preman, gangster Medan yang menguasai bioskop-bioskop Medan pada tahun 60-an abad lalu.
Membaca judul artikel yang menggugah dan menyentuh hati nurani ini, -- tersirat dalam fikiran:
Sebenarnya “luka-luka lama” akibat pembantaian masal oleh aparat negara (TNI, Polisi, preman-preman dan regu-regu pembantai yang diregisir oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto pada periode 1965/66/67 dst terhadap warga tak bersalah**anggota dan bukan anggota PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno), tak pernah pulih.
Tak terhindarkan fikiran wajar akan berreaksi: Apa para korban pelanggaran HAM terbesar oleh aparat kekuasaan negara RI sekitar periode pertengahan tahun 60-an abad lalu, ---
*PERNAH MELUPAKAN PENDERITAAN MEREKA AKIBAT KESEWENANG-WENANGAN APARAT?? Apa luka-luka lama yang disebabkan oleh persekusi rezim Orde Baru, itu pernah “sembuh” ? Apakah luka-luka lama yang dikubur dalam-dalam oleh penguasa tsb PERNAH TERTUTUP??*
Masuk di akalkah, -- para korban pelanggaran HAM berat oleh aparat negara di sekitar Peristiwa 1965, akan berhenti mempersoalkan, mengapa bapak, ibu, suami, anak, dan anggota keluarga mereka di “amankan” oleh aparat negara dan dipenjarakan. Dibuang ke Pulau Buru. Bahkan dibunuh secara ekstra judisial.
Apakah kesalahan mereka, maka sampai diperlakukan sewenang-wenang demikiuan oleh penguasa negara? Selama itu mereka tetap setia pada negara Republik Indonesia dan patuh mendukung politik kepala negara dan pemerintahan Presiden Sukarno? Bisakah dikatakan abnormal, -- bila keluarga para korban itu masih bertanya-tanya dimana bapak, ibu, anak dan keluarga mereka itu? Dan bila dibunuh aparat, dimana kuburan mereka itu?
Jelas luka-luka lama itu tidak mungkin dilupakan terutama oleh para korban. Adalah kewajiban penguasa negara dewasa ini, untuk menjernihkan masalah-masalah sejarah bangsa ini.
Seperti dikatakan a.l oleh Joshua Oppenheimer: *"For Indonesians old enough to remember the genocide, the film makes it impossible to continue denying what everybody in that generation already knew. They are closer to the perpetrators . . . . . ".*
Terjemahan bebas: ---- “*Untuk orang-orang Indonesia yang cukup umurnya untuk mengingat kembali genosida (1965/66/68dst), film tsb (The Act of Killing''”) tidak memungkinkannya lagi untuk terus-terusan membantah apa yang sudah diketahui oleh semua orang dari generasi tsb. Mereka lebih dekat dengan para pelaku (genosida) itu . . . “*
** * **
Sementara petinggi tentara dan birokrasi kekuasaan sekarang dan politisi serta elite yang lahir dalam buaian, dibesarkan dan didewasakan rezim Orde Baru dan sekarang berada dalam posisi kekuasaan dan unggul di bidang finansil dan ekonomi, – – – –*lebih-lebih lagi* mereka-mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat sekitar periode 1965, ------ dari waktu ke waktu membuat pernyataan absurd sbb:
“Apa yang sudah terjadi di sekitar periode itu (maksudnya pelanggaran HAM berat sekitar Peristiw 1965) *itu masa lampau*. Kita harus melihat ke depan. Mempersoalkan masalah Peristiwa 1965 akan “membuka kembali luka-luka lama”.
Juga elite di DPR yang golongannya terlibat dalam pelanggaran HAM berat tidak ketiggalan mengeluarkan *suara sumbang.* Mereka mengkhawatirkan langkah keterbukaan terhadap publik, dikatakannya, yang justru (akan) menimbulkan kegaduhan baru. Ini dikatakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Salim Mengga. Celetuknya: "Keterbukaan dokumen G30S-PKI harus dikoordinasikan dengan lembaga lain, karena (kalau tidak) akan menimbulkan kegaduhan."
Pernyataan dan dalih yang diutarakan oleh mereka-mereka itu, semata-mata untuk mencegah terbukanya bagi masyarakat umum, apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah bangsa ini sekitar Peristiwa 1965. Itulah sebabnya, Kejaksaan Agung menggunakn berbagai taktik dan muslihat, yang hakikatnya menolak Rekomendasi dan Kesimpulan KomansHAMN tertanggal 23 Juli 2012. KomnasHAM dalam rekomendasinya itu mengungkap keterlibatan aparat negara dalam pelanggaran HAM berat, serta menyarankan Kejaksaan Agung mengambil tindakan lanjut.
Itulah pula sebabnya mereka berusaha mencegah dibukanya arsip Lembaga Negara Arsip Nasional Republik Indonesia, ANRI, bagi masyarakat umum. Ingat canang Peneliti Senior LIPI *Prof* *Dr Asvi Warman Adam: “ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN?*
** * **
*Sabtu, 02 Maret 2013-*
-----------------------
“*LUKA – LAMA ” YANG TAK PERNAH “NUTUP” ,*
“*TAK PERNAH TERLUPAKAN” BAGI PARA KORBAN*
Kemarin, Jum'at 02 Maret 2013, di ruangan ini disiarkan tulisan *Andjarsari Paramaditha, *jurnalis “The Jakarta Globe”, berjudul “*The Act of Killing' Reopens Old, Long-Buried Wounds in Indonesia”. *Dalam bahasa Indonesia, kira-kira begini bunyinya*“Jagal”, Membuka Kembali Luka-luka Lama Yang Dalam Waktu Panjang Dikubur di Indonesia”.*
** * **
Andjarsari Paramadhita menuangkan kesan dan tanggapannya dalam tulisan tentang film produksi film-maker berbangsa Amerika*Joshua Oppenheimer*, berjudul “The Act of Killing”. Sebuah film yang dewasa ini sudah dipertunjukkan di pelbagai festival film internasional dan memperoleh pengharagaan AWARD. Joshua Oppenheimer mendokumentasikan tutur cerita Anwar Congo dan kawan-kawannya, dari organisasi Pemuda Pancasila. Anwar Congo dan kawan-kawannya yang terlibat dalam pembunuhan masal periode 1965, setelah gagalnya G30S, adalah mantan preman, gangster Medan yang menguasai bioskop-bioskop Medan pada tahun 60-an abad lalu.
Membaca judul artikel yang menggugah dan menyentuh hati nurani ini, -- tersirat dalam fikiran:
Sebenarnya “luka-luka lama” akibat pembantaian masal oleh aparat negara (TNI, Polisi, preman-preman dan regu-regu pembantai yang diregisir oleh penguasa militer di bawah Jendral Suharto pada periode 1965/66/67 dst terhadap warga tak bersalah**anggota dan bukan anggota PKI, simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno), tak pernah pulih.
Tak terhindarkan fikiran wajar akan berreaksi: Apa para korban pelanggaran HAM terbesar oleh aparat kekuasaan negara RI sekitar periode pertengahan tahun 60-an abad lalu, ---
*PERNAH MELUPAKAN PENDERITAAN MEREKA AKIBAT KESEWENANG-WENANGAN APARAT?? Apa luka-luka lama yang disebabkan oleh persekusi rezim Orde Baru, itu pernah “sembuh” ? Apakah luka-luka lama yang dikubur dalam-dalam oleh penguasa tsb PERNAH TERTUTUP??*
Masuk di akalkah, -- para korban pelanggaran HAM berat oleh aparat negara di sekitar Peristiwa 1965, akan berhenti mempersoalkan, mengapa bapak, ibu, suami, anak, dan anggota keluarga mereka di “amankan” oleh aparat negara dan dipenjarakan. Dibuang ke Pulau Buru. Bahkan dibunuh secara ekstra judisial.
Apakah kesalahan mereka, maka sampai diperlakukan sewenang-wenang demikiuan oleh penguasa negara? Selama itu mereka tetap setia pada negara Republik Indonesia dan patuh mendukung politik kepala negara dan pemerintahan Presiden Sukarno? Bisakah dikatakan abnormal, -- bila keluarga para korban itu masih bertanya-tanya dimana bapak, ibu, anak dan keluarga mereka itu? Dan bila dibunuh aparat, dimana kuburan mereka itu?
Jelas luka-luka lama itu tidak mungkin dilupakan terutama oleh para korban. Adalah kewajiban penguasa negara dewasa ini, untuk menjernihkan masalah-masalah sejarah bangsa ini.
Seperti dikatakan a.l oleh Joshua Oppenheimer: *"For Indonesians old enough to remember the genocide, the film makes it impossible to continue denying what everybody in that generation already knew. They are closer to the perpetrators . . . . . ".*
Terjemahan bebas: ---- “*Untuk orang-orang Indonesia yang cukup umurnya untuk mengingat kembali genosida (1965/66/68dst), film tsb (The Act of Killing''”) tidak memungkinkannya lagi untuk terus-terusan membantah apa yang sudah diketahui oleh semua orang dari generasi tsb. Mereka lebih dekat dengan para pelaku (genosida) itu . . . “*
** * **
Sementara petinggi tentara dan birokrasi kekuasaan sekarang dan politisi serta elite yang lahir dalam buaian, dibesarkan dan didewasakan rezim Orde Baru dan sekarang berada dalam posisi kekuasaan dan unggul di bidang finansil dan ekonomi, – – – –*lebih-lebih lagi* mereka-mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat sekitar periode 1965, ------ dari waktu ke waktu membuat pernyataan absurd sbb:
“Apa yang sudah terjadi di sekitar periode itu (maksudnya pelanggaran HAM berat sekitar Peristiw 1965) *itu masa lampau*. Kita harus melihat ke depan. Mempersoalkan masalah Peristiwa 1965 akan “membuka kembali luka-luka lama”.
Juga elite di DPR yang golongannya terlibat dalam pelanggaran HAM berat tidak ketiggalan mengeluarkan *suara sumbang.* Mereka mengkhawatirkan langkah keterbukaan terhadap publik, dikatakannya, yang justru (akan) menimbulkan kegaduhan baru. Ini dikatakan oleh anggota Komisi II DPR RI, Salim Mengga. Celetuknya: "Keterbukaan dokumen G30S-PKI harus dikoordinasikan dengan lembaga lain, karena (kalau tidak) akan menimbulkan kegaduhan."
Pernyataan dan dalih yang diutarakan oleh mereka-mereka itu, semata-mata untuk mencegah terbukanya bagi masyarakat umum, apa yang sebenarnya terjadi dalam sejarah bangsa ini sekitar Peristiwa 1965. Itulah sebabnya, Kejaksaan Agung menggunakn berbagai taktik dan muslihat, yang hakikatnya menolak Rekomendasi dan Kesimpulan KomansHAMN tertanggal 23 Juli 2012. KomnasHAM dalam rekomendasinya itu mengungkap keterlibatan aparat negara dalam pelanggaran HAM berat, serta menyarankan Kejaksaan Agung mengambil tindakan lanjut.
Itulah pula sebabnya mereka berusaha mencegah dibukanya arsip Lembaga Negara Arsip Nasional Republik Indonesia, ANRI, bagi masyarakat umum. Ingat canang Peneliti Senior LIPI *Prof* *Dr Asvi Warman Adam: “ARSIP BANGSA KOK DISEMBUNYIKAN?*
** * **