Kolom
IBRAHIM ISA
Rabu, 26 Februari 2014
-------------------------------
BUKU JUSUF WANANDI – “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”, Diluncurkan 20/2/2014
Rabu, 26 Februari 2014
-------------------------------
BUKU JUSUF WANANDI – “Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”, Diluncurkan 20/2/2014
Dan
Tanggapan
Prof . Dr. Salim Said, dan, Prof Dr John Roosa,
* * *
Buku Jusuf Wanandi
(buku yang sudah lebih dulu diterbitkan di Singapur), yaitu –
“Menyibak
Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998”,
Diluncurkan di
Jakarta pada tanggal 20/2/2014, paling tidak telah
mengundang dua
tanggapan menarik.
Satu dari Prof.
Dr. Salimn Said, doktor ilmu politik dan gurubesar pada
sejumlah
perguruan tinggi Indonesia, dan mantan dubes RI di Praha
(2004-2008).
Satunya
tanggapan
oleh sejarawan Prof Dr John Roosa.
* * *
Sementara pakar
sejarah menyatakan sbb:
Menulis sejarah
atau suatu peristiwa, seperti apa isinya, itu tergantung
pada
dimana penulisnya berdiri. Tempat berdirinya itu menentukan
apa yang
ia bisa dan ingin lihat. Yang ditulisnya adalah apa yang
menjadi perhatiannya.
Tanggapan Salim
Said dan John Roosa berbeda besar. Menunjukkan apa yang
menjadi
perhatian utama masing-masing.
Prof. Dr Salim
Said yang di waktu y.l “dekat sekali” dengan aktivis-aktivis
mahasiswa dan para jendral yang anti-PKI dan anti-Presiden
Sukarno,
para periode sejak G30S, memberikan komentar a.l. Sbb:
..”buku
ini
penting, amat berguna bagi kita yang berminat pada politik
dan
sejarah modern Indonesia, ditulis dengan baik dan karena
itu enak
dibaca.
Lalu,
.
.
“Buku
ini juga mengungkap sejarah politik Soeharto yang dengan
instink
politik dan ketrampilan yang canggih bukan saja bisa
menyingkarkan
Presiden pertama Republik Indonesia dengan cara yang amat
canggih,
tapi juga bisa berkuasa selama 32 tahun dan dengan saksama
menyingkiran semua musuh-musuh politiknya. Patut dicatat,
Soeharto
adalah manusia terlama yang berkuasa di atas bumi
Indonesia sejak wilayah ini diciptakan Allah. Juga jika
dibanding
dengan semua Gubernur Jenderal Belanda, para Raja dan
para
Sultan sejak ratusan tahun sebelumnya. Demikian a.l
tanggapan Salin
Said.
*
* *
Prof
Dr John Roosa, sejarawan dan gurubesar mengungkapkan
tanggapannya
a.l. Sbb:
Komentar
diatas
dimaksudkan untuk memperkenalkan siapa Jusuf Wanandi.
Di
tahun
2000-an, seorang mantan aktivis PMKRI yang kemudian
menjadi
penyair dan jurnalis, dalam suatu perjalanan bersama ke
Paris, pernah
mengungkapkan padaku. Bahwa ia menyaksikan dan mengalami
bagaimana
PMKRI bersama gereja Katolik dan aktivis Partai Katolik,
pada periode
itu, dengan aktif melatih pemuda-pemuda untuk persiapan
kampanye
pembasmian dan pembantaian anggota-anggota PKI dan yang
ianggap PKI
serta pendukung Presiden Sukarno. Yang dipertanyakan
sekarang ini:
Apakah dalam bukunya itu Jusuf Wanandi bicara kongkrit
tentang
keterlibatan PMKRI , Partai Katolik dan Gereja Katolik
dalam
pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.>
Masih
pendapat
John Roosa:(Terjemahan bebas) . . .“Meskipun
penulisnya bersedia mengakui penyesalannya, sulit utk
menyimpulkan
bersimpati terhadapnya. Bertahu-tahun lamanya ia bekerja di
sisi yang
gelap, membantu kediktatoran Suharto melakukan berbagai
kejahatan,
dan ia tetap saja bangga atas pekerjaannya sebagai
anak-didik yang
dilindungi dari pejabat intel tipuan-kotor yag paling
menjkijikkan,
Ali Murtopo. Catatan inside-nya mengenai penentu dari
berbagai
pembantaian sering bersifat pengabdian pribadi dan tidak
akurat.
“Pembantaian
masal
yang dimulai rezim pada permulaan 1965-1966 merupakan suatu
'kesalahan besar'. Tidak seperi kawan sebayanya di Orde
Baru, yang
membisu mengenai pembunuhan-pembunuhan atau membenarkan hal
itu,
Wanandi setidak-tidaknya mau melihat ada sesuatu yang salah:
Kita
tidak bisa melegimitasi, mengabaikannya, atau melupakan
tindakan-tindakan itu'. Ia bahkan berseru untuk diadakannya
investigasi lengkap yang bisa “mengungkap” – suatu
penggunaan
kata yang dipilih baik dengan bantuan pembukaan kuburan
masal --
'kebenaran mengenai kejadian tragis itu'.
.
. “Namun, bagaimana ia bisa mengatakan pembantaian
terhadap para
tahanan yang tak bersenjata dan tak berdaya itu sebagai,
'suatu
kesalahan', dan bukan sebagai suatu kejahatan? Ia bisa
berbuat
seperti yang ia tidak minta kita melakukannya. Ia
melewatkannya
begitu saja. Ia menjelaskannya dengan sebuah dongeng yang
menimpakan
kesalahan pda Sukarno. Katanya Bung Karno salah karena
tidak segera
melarang PKI pad awal Oktober. Rakyat 'telah bertindak
aendiri', di
beberapa daerah tentara 'mengambil inisiatif'. Cerita yang
menyalahkan-Presiden ini telah diceriterakan lebih dulu.
Notosusanto
dan Saleh menghindangkannya di varian mereka yang terkenal
mengenai Gerakan 30 September: 'masyarakat' , yang
menununtut PKI dihukum,
mengamuk ketika Sukarno mencoba 'melindungi partai'
(maksudnya PKI,
I.I.). Cerita seperti itu adalah omong-kosong. Suharto dan
klknya,
perwira-perwira tentara, menjegal Sukarno dan berindak
malakukan apa
yang sudah mereka rencanakan. Mereka bisa saja menggunakan
larangan
Presdien untuk melegitimasi serangan-serangan pembunuhan
mereka,
seperti halnyua mereka menggunakan Supersemar untuk
melegitimasi kup
Maret 1966 yang mereka lakukan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN:Teman-teman Yth,
Kemarin
siang
(20 Feb) ada peluncuran buku Jusuf Wanandi (CSIS) di Jakarta.
Saya mendapat kehormatan ikut membahas buku itu pada acara
tersebut.
Bersama ini saya lampirkan makalah yang saya sampaikan pada
acara
tersebut. Kalau ada di antara Anda yang sempat mengomentari
makalah
terlampir, saya tenatu senang sekali.
Bung
Salim.
SALIM SAID:
Tentang
Buku Jusuf Wanandi “Menyibak Tabir Orde Baru ”. Beberapa
komentar
singkat pada peluncuran buku 20 Februari 2014 di
CSIS,
Jakarta.
Kalau
waktu yang dialokasikan kepada saya untuk
mengomentari buku ini singkat, maka yang wajib saya
katakan, buku ini
penting, amat berguna bagi kita yang berminat pada politik
dan
sejarah modern Indonesia, ditulis dengan baik dan karena
itu enak
dibaca.
Ini
adalah
buku tentang politik dan perpolitikan Indonesia pada
tahun-tahun terakhir Orde Lama, jatuhnya Presiden Soekarno,
hancurnya
Partai Komunis Indonesia (PKI), naiknya Jenderal Soeharto,
mapannya
kontrol rezim Orde Baru hingga jatuhnya rezim Soeharto yang
selama
bertahun-tahun memanfaatkan ABRI, Korpri (Korps Pegawai Negeri
Indonesia) dan Golkar sebagai alat kekuasaannya.
Harus
saya
tekankan, buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf
Wanandi, terlibat langsung dalam bagian-bagian penting politik
dan
perpolitikan masa itu. Ini adalah sebuah memoar politik penulis
yang juga sejarah politik Indonesia sekitar setengah abad
terakhir.
Ini
juga
sebuah buku tentang CSIS (Centre for Strategic and International
Studies), riwayatnya, perannya yang amat penting pengaruhnya
dalam mendukung – bahkan acap kali malah menentukan—arah
kekuasaan Soeharto pada awal dan bagian terpenting masa
berkuasanya.
Juga tentang ketegangan CSIS dengan kelompok kritis terhadap
Orde
Baru. CSIS adalah lembaga think tank pertama di Indonesia dalam
sejarah intelektual serta sejarah politik negeri ini. Tapi dari
penuturan Jusuf Wanandi, CSIS juga sebuah lembaga yang berperan
sebagai lembaga lobby politik yang untuk waktu cukup lama
berfungsi
amat efektif.
Buku
ini
juga mengungkap sejarah politik Soeharto yang dengan
instink politik dan ketrampilan yang canggih bukan saja bisa
menyingkarkan Presiden pertama Republik Indonesia dengan
cara yang
amat canggih, tapi juga bisa berkuasa selama 32 tahun dan
dengan
saksama menyingkiran semua musuh-musuh politiknya. Patut
dicatat,
Soeharto adalah manusia terlama yang berkuasa di atas
bumi Indonesia sejak wilayah ini diciptakan Allah. Juga jika
dibanding dengan semua Gubernur Jenderal Belanda, para Raja
dan
para Sultan sejak ratusan tahun sebelumnya.
Soeharto
berangkat dari Kostrad.
Nasib
Soeharto
mengalami pasang naik bermula ketika secara mendadak
sejumlah Jenderal, para pimpinan Angkatan Darat, dibantai oleh
gerakan para perwira yang dikendalikan Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada subuh satu Oktober 1965. “Calon” Presiden kedua
R.I. memegang jabatan Panglima Kostrad waktu itu.
Berbeda
dengan
Kostrad zaman sekarang yang mempunyai pasukan
sebanyak dua divisi tempur, pasukan yang dipimpin Soeharto waktu
itu
berada di berbagai Komando militer (KODAM) yang baru akan
dikerahkan
ke bawah kontrol Kostrad jika ada tugas khusus dari pimpinan
Angkatan
Darat. Maka tidak mengherankan jika ketika tiba-tiba muncul pada
satu
Oktober pagi sebagai Panglima yang berani melawan usaha kudeta
Gestapu, orang bertanya-tanya: Soeharto Who? Dengan kondisi
itulah,
Soeharto tampil dan dalam waktu dua tahun dia telah berhasil
menjadi
Presiden kedua Republik Indonesia.
Siapa
Soeharto?
Pertanyaan inilah yang – antara lain — dijawab oleh
Jusuf Wanandi.
Dari
posisinya
yang amat dekat kepada Soeharto dan lingkungannya di
sekitar Kostrad dan kemudian kantor kepresidenan, Wanandi
menjelaskan
siapa Soeharto. Pengamatan dan interaksi Wanandi dengan
Soeharto,
membawanya pada kesimpulan, Pangkostrad itu bukan Jenderal yang
fobia
komunis. Dan PKI jelas tahu dia bukan bagian dari lingkungan
Panglima
Angkatan Darat, Letnan TNI Jenderal Achmad Yani. Di mata PKI,
bahkan
di mata Presiden Soekarno, Yani dan kelompokmya di Markas Besar
Angkatan Darat (MBAD) adalah orang-orang “keras kepala”
yang anti Komunis dan anti Nasakom. Bukti dari sikap PKI itu
adalah terjadinya dua kali kunjungan Kolonel Latif kepada
Soeharto di
rumah kediaman Pangkostrad dan di Rumah Sakit Angkatan Darat
(RSPAD)
beberapa jam sebelum operasi Gestapu dilancarkan.
Apa
yang
dipercakapkan Latif dan Soeharto pada kedua pertemuan tersebut
diungkapkan sendiri oleh keduanya. Di kediaman Soeharto, menurut
cerita sang Pangkostrad, Latif melaporkan adanya Dewan Jenderal
yang
akan menyingkirkan Soekarno, sang Presiden. Pada pertemuan di
RSPAD,
karena keterbatasan waktu, tidak banyak yang mereka bicarakan.
Meski
ada dugaan Latif melaporkan operasi akan segera dimulai
“mengambil”
para Jenderal yang sebelumnya secara publik sudah dikampanyekan
Soekarno sebagai “tidak loyal” kepada Pemimpin Besar Revolusi.
Menurut
rencananya,
para Jenderal yang dituduh sebagai anggota Dewan Jenderal
tersebut akan diambil untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno.
Di
depan Sukarno para Jenderal dari MBAD akan didaulat
disingkiran dari MBAD dan posisi mereka diberikan kepada
Jenderal yang mudah diatur oleh Sukarno. Latif berharap (menurut
pengakuannya pada Mahkamah Militer yang mengadilinya di Bandung)
Jenderal Soeharto yang akan naik menggantikan Pangad Jenderal
Yani.
Kita
tidak
mempunyai informasi apakah harapan Kolonel Latif tersebut
disampaikan kepada Soeharto pada pertemuan di RSPAD malam itu.
Yang
kita semua ketahui kemudian, pada pagi esoknya para Jenderal
terbunuh, Soeharto mengamuk, orang-orang PKI kemudian banyak
yang
terbunuh di samping sejumlah besar dipenjarakan. Termasuk Latif.
Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap pembunuhan massal
di
banyak tempat itu?
Menurut
Wanandi,
baik Soeharto maupun Sukarno, sampai batas tertentu, harus
iku bertanggungjawab. Tapi Sukarno pertama-tama yang harus
bertanggungjawab. Waktu itu dia masih Presiden. Soeharto,
menurut
Wanandi, seharusnya berusaha meyakinkan Soekarno meredakan
ketegangan
dan histeri massa yang menyebabkan pembunuhan massal itu.
Menurut
ceritanya
sendiri, beberapa kali Soeharto meminta PKI
dibubarkan, tapi Sukarno berkeras dan selalu berusaha meminta
massa
tenang sembari menunggu komando Pemimpin Besar Revolusi.
Histeria
yang nyaris merata, ketakutan kepada PKI yang sudah
dipersepsikan
sanggup dan telah melakukan pembunuhan keji dan sadis, hanya
menyebabkan seruan dan himbauan Sukarno ikut tertiup angin
menjauh
dari masyarakat yang “histeris”. Pembunuhan berlanjut hingga
yang
harus dibunuh nyaris sudah habis. Menurut Wanandi, yang memicu
terjadinya pembantaian adalah karena tidak adanya otoritas yang
berwibawa mencegah dan menghentikannya. Di Jawa Tengah dan Jawa
Timur
pembantaian merupakan kelanjutan berdarah dari ketegangan yang
sudah
berlangsung lama, antara lain sebagai akibat aksi sepihak PKI
dan
Barisan Tani Indonesia (BTI). Tidak disebutkan Wanandi trauma
Peristiwa Madiun 1948 yang sebenarnya juga menjadi salah satu
akar
pembantaian tersebut. Seperti diketahui Gestapu terjadi hanya 17
tahun setelah Pristiwa Madiun.
Masih
tentang
siapa Soeharto, Jusuf Wanandi mengungkapkan pengalamannya
mendampingi pemimpin tertinggi Indonesia yang baru itu.
Ternyata acuan sejarahnya terbatas pada sejarah kerajaan Jawa .
Berbeda dengan Sukarno sebelumnya, dunia gagasan Soeharto
berputar
dan hanya berakar pada budaya Jawa, termasuk gagasan kekuasaan
Jawa yang diketahuinya kebanyakan dari pengalaman dan cerita
wayang.
Sukarno sejak muda membaca luas tentang berbagai gagasan
politik,
ideologi dan sejarah dunia. Bagi seorang Soeharto yang memulai
karir
militernya sebagai pada tentara Hindia Belanda (Knil), wacana
dan sejarah gagasan yang setiap hari menjadi “suguhan” Soekarno
lewat sejumlah pidatonya yang bagaikan tidak kunjung habis itu,
adalah barang asing.
Dengan
latar
belakang seperti itulah kita harus mengerti peran CSIS dan
Jusuf Wanandi, Harry Tjan dan teman-temannya terhadap Soeharto
dan
periode awal pemerintahan Orde Baru. CSIS berdiri pada saat dan
waktu
yang tepat.Mereka yang mendirikan CSIS sudah bergiat di zaman
Orde
Lama ketika mereka menghadapi PKI. Di sana para pastor Jesuit
ikut
memainkan peran penting. Salah seorang di antaranya adalah Pater
Beek. Sayang dalam buku Wanandi ini peran Beek sama sekali tidak
muncul secara semestinya.
Kelompok
politik
cum intelektual yang paling siap pada awal sejarah
Orde Baru adalah kelompok yang kemudian berumah dalam CSIS. Para
Jenderal yang mendadak berkuasa itu memerlukan sejumlah gagasan
bagi mengelola negara. Hanya CSIS waktu itu yang siap. Pada CSIS
itulah bertemu kepentingan politik kelompok Katolik tertentu,
kekuatan politik sekuler, peranakan Tionghoa tertentu, Ali
Murtopo,
Sujono Humardani dan Soeharto sebagai konsumen berbagai gagasan
dari
lembaga tersebut.
Buku
ini
menjelaskan secara gamblang peran besar CSIS waktu itu, dan
peran pribadi Jusuf Wanandi serta Harry Tjan Silalahi. Itu
terjadi pada periode Soeharto masih “perawan” dalam dunia
politik. Yang sejak awal dipunyai mantan Pangkostrad itu
terutama
hanya instink politik yang hebat dan kemampuan taktis yang
prima serta ramalan seorang guru tentang hari depan Soeharto
sebagai
orang yang akan punya peran penting dan kuasa besar. Sebagai
seorang
yang pada dasarnya cerdas, Soeharto cepat belajar. Menurut
cerita
banyak orang, kalau pada tahun-tahun pertama masa berkuasnya
dia mencatat ketika para teknokrat menjelaskan kebijakan yang
harus
diputuskan, sekian tahun kemudian para Professor – dikenal
sebagai Berkely Mafia —yang mencatat jika Soeharto menguraikan
pikiran dan rencananya. Kalau pada awal masa berkuasanya
Soeharto
mendengarkan secara saksama taklimat yang diberikan Jusuf
Wanandi dan Harry Tjan Silalahi, di kemudian hari CSIS dan para
pendukungnya (Ali Murtopo dan L.B. Moerdani) dicampakkan begitu
saja
oleh Bapak Presiden. Soeharto merasa sudah tahu semua.
Pengalaman hidupnya sejak masa kecil mendidik dirinya tidak
mudah
tergantung pada siapa saja. Juga tidak kepada ABRI, yang
merupakan modal kekuasaan utamanya pada awal kekuasaannya. Maka
tidak sulit dimengerti jika CSIS juga dicampakkan akhirnya.
Belajar
dari
pengalaman tragis Sukarno yang berkuasa tanpa dukungan solid
satu partai (dan karena itu terpaksa bergantung pada PKI untuk
“mengimbangi” Angkatan Darat), Soeharto memerlukan partai yang
akan ditugaskannya menduduki kursi-kursi di parlemen untuk
melegitimasi kekuasaan otoriternya. Karena itu dia menolak
gagasan
Wanandi dan teman-temannya yang merencanakan membuat partai yang
betul-betul akan menjalankan peran sebagai penyalur aspirasi
masyarakat, sekaligus pendukung pemerintah. Soeharto memilih
Sekretariat bersama (Sekber) Golkar, merombaknya untuk kemudian
mengontrolnya dengan menempatkan para Jenderal yang gampang
dikendalikannya.
Meski
tidak
terlalu terlihat, sejak awal dan secara berangsur, Soeharto
mempersiapkan Golkar tergantung padanya sembari secara perlahan
menghindarkannya dari ketergantungan kepada ABRI. Hal ini dengan
bagus digambarkan oleh Wanandi. Ujung dari kebijakan Soeharto
ini
adalah konflik Presiden dengan ABRI yang merasa makin dijauhkan
dari
kekuasaan. Konflik antara Soeharto dengan ABRI mulai terbuka
pada masa kepanglimaan L.B. Moerdani. Tapi jika diamati secara
saksama akan terlihat, latar belakang konflik yang berhulu pada
pristiwa Malari.
Jenderal
TNI
Soemitro, Pangkopkamtib.
Pristiwa
Malari
(Malapetaka Januari) 1974 memperhadapkan Ali Mutopo dan
kelompoknya (CSIS dan Opsus) dengan Jenderal TNI Soemitro, sang
Pangkopkamtib yang juga Wakil Panglima ABRI. Polarisasi di
kalangan
kekuasaan waktu itu sebenarnya merupakan konflik antara para
Jenderal
di lembaga-lembaga militer (dipersonifikasihan oleh Soemitro)
dan
Para jenderal politik di sekitar Soeharto, dengan Murtopo dan
Sujono
Humardani sebagai contoh spesialnya. Diperhatikan secara
saksama,
sesungguhnya waktu itu tidak ada di antara para Jenderal
tersebut
yang merupakan potensi ancaman terhadap pusat kekuasaan
Soeharto.
Kompetisi yang terjadi lebih kurang masih pada tingkat rebutan
mendekati kuping Soeharto sang Raja.
Kompetisi
tak
terkendali pada suatu saat, lalu meledak menjadi huru hara
ketika Perdana Menteri Jepang sedang berkunjung ke Indonesia. Di
mata
Wanandi, demonstrasi demi demonstrasi mahasiswa masa itu adalah
gerakan untuk menyerang Soeharto. Barangkali memang ada golongan
mahasiswa dengan latar belakang politik tertentu yang berusaha
memanfaatkan kesempatan dengan mendesak Soemitro menyingkirkan
Soeharto. Tapi Soemitro dan kelompoknya, para tentara
professional di
Dephan dan Kopkamtib, belum punya rencanaa sejauh itu.
Kesimpulan
Wanandi mengenai adanya ancaman terhadap Soeharto barangkali
lahir lebih dari ketakutan tokoh CSIS itu dan klompoknya yang
cemas
apa yang bakal terjadi pada mereka jika kelompok Soemitro
berhasil
menyingkirkan Ali Murtopo. Secara militer kelompok Soemitro
memang
lebih kuat. Tapi sebenarnya dan kenyataannya yang paling kuat
dan
akhirnya keluar sebagai pemenang adalah Soeharto juga. Sebagai
akibat
Malari, Soemitro pensiun dini dari ABRI dan Ali Murtopo secara
berangsur dijauhkan dari lingkungan istana kekuasaan Soeharto.
Khusus
tentang
Soemitro, saya mendapat akses luas kepada mantan
Pangkopkamtib yang berbadan subur itu setelah saya menyelesaikan
pendidikan saya di Ohio. Karena disertasi saya mengenai peran
politik
TNI, saya sering berjumpa dengan Soemitro, selain dengan
sejumlah
Jenderal senior lainnya. Sejak akhir tahun delapanpuluhan dan
berlanjut ke tahun sembilanpuluhan. Dari berbagai diskusi dan
wawancara, saya berkesimpulan Pak Mitro itu padasarnya politically
naïve.
Tindakan- tindakannya dalam “konfrontasi” dengan
Ali Murtopo adalah tindakan politik, suatu hal yang tidak
disadarinya. Dia punya rencana reformasi politik, perubahan
politik,
tapi tidak pernah menyadari bahwa setiap perubahan pasti
menguntungkan satu pihak dan merugikan golongan lain. Baik Ali
Murtopo, juga Soeharto akan dirugikan oleh agenda perubahan
Soemitro.
Kalau gagasan Soemitro berhasil dijalankan, kekuasaan tentara
bertambah, Ali dan kelompoknya tersingkir, dan kontrol Soeharto
secara perlahan akan berbagi dengan Mabes ABRI. Untuk mencegah
“ancaman” Soemitro itu, Soeharto segera menyingkirkannya.
Menarik untuk dicatat, gagasan Soemitro sebagian besar kelak
menjadi
garis perjuangan ABRI dalam menghadapi Soeharto, terutama sejak
masa
kepanglimaan L.B. Moerdani. Nasib Moerdani juga berakhir , lebih
kurang sama, dengan nasib tragis yang menimpa Soemitro.
L.B.
Moerdani.
Bagaikan
sebuah
pagelaran wayang kulit, ketika “wayang”
Soemitro masuk kotak secara mendadak, ki Dalang mengeluarkan
“wayang” Benny Moerdani dari kotak. Secara mendadak juga.
Moerdani yang sedang bersiap-siap berangkat Ke Negeri Belanda
sebagai Duta Besar, secara mendadak ditarik dari Seoul ke
Jakarta.
Dengan kekuasaan besar yang diberikan Soeharto kepadanya,
Moerdani
tampil lebih berkuasa dari Soemitro. Menurut Wanandi yang amat
dekat dengan Moerdani, perwira komando itu (pangkat terakhir di
RPKAD, mayor, Komandan Bataliyon) pada dasarnya lebih
seorang tentara dari pada politisi. Pada hal pengangkatan dan
pekerjaannya sebagai pejabat intel sangat sarat politik. Tugas
Moerdani bukan hanya menjaga keamanan pisik Soeharto dan
keluarganya,
tapi terutama kekuasaan dan kontrol Bapak Presiden atas negara.
Seperti
Soemitro
sebelumnya, Moerdani juga kemudian mengembangkan visi
politiknya di dalam dan di sekitar kekuasaan Soeharto. Berada
di sekitar Soeharto selama bertahun-tahun, Benny tiba pada
kesimpulan, perkembangan pengelolaan negara dan politik yang
dilakukan Soeharto sudah mencapai tingkat membahayakan negara.
Gagasan Moerdani, kekuasaan harus dikembalikan kepada ABRI yang
pada awal Orde Baru menaikkan Soeharto. Jalan pikiran Moerdani
yang
demikian tidak berbeda jauh dengan pendapat Soemitro sebelumnya.
Seperti Soemitro, Moerdani juga disingkirkan Soeharto. Dengan
kata
lain, Moerdani juga mengulangi nasib tragis seniornya.
Benny
cerdas,
membaca banyak, berani dan punya pengalaman tempur yang
nyaris tak tertandingkan di kalangan TNI. Tapi kelemahannya
sama dengan Soemitro, tidak canggih berpolitik. Moerdani tentara
yang
mumpuni dan memulai karirnya di Jakarta -- setelah ditarik dari
Korea Selatan -- sebagai loyalis tulen Soeharto. Tapi di
kemudian
hari, dia menderita disillusi kepada sang Presiden yang
bertahun-tahun diabdinya sepenuh hati. Seloyal apapun Moerdani,
yang
lebih penting bagi Soeharto adalah kekuasaannya. Kepada Wanandi,
Ali
Murtopo pernah mengungkapkan, Soeharto tidak pernah percaya
seratus
persen kepada siapa pun. Bapak Presiden itu juga , menurut
Murtopo
yang mengenalnya sejak lama di Semarang, enggan bergantung
kepada
hanya satu kelompok. Maka ketika gagasan dan gerak-gerik Benny
sudah
terlihat sebagai ancaman di mata Soeharto, dengan mudah Bapak
Presiden mencampakkan sang loyalis, menggantikannya dengan
kekuatan
lain. Inilah cerita di balik apa yang umum dikenal kemudian
sebagai
“de-benny-sasi.”
Tanjung
Priok dan Try Sutrisno dan L.B. Moerdani.
Dalam
kasus
Tanjung Priok yang mengakibatkan banyak korban, sebagai
Panglima Kodam Jakarta, Try Sutrisno, menurut Wanandi, adalah
yang
bersalah dan seharusnya bertanggung jawab. Tapi Moerdani
melindungi
Try karena demikianlah kehendak Soeharto. Perintah kepada
Moerdani,
karir Try jangan rusak oleh kasus Tanjung Priok. Soeharto
mempersiapkan Try Sutrisno menjadi Pangab. Moerdani sendiri juga
mengharapkan Try Sutrisno menjadi peminpin ABRI karena, menurut
Wanandi, Benny punya rencana mengendalikan Try dari belakang.
Timur
Timor
dan Moerdani.
Selama
ini
pendapat umum di Indonesia terutama di kalangan militer senior,
invasi pasukan gabungan ABRI ke Timor Timur (Operasi Seroja)
tujuh Desember 1975, adalah pekerjaan L.B. Moerdani sebagai
Asisten
Intel Mabes ABRI/Dephankam. Tapi menurut Wanandi penyerbuan
besar-besaran bukan gaya Moerdani. Benny berlatar belakang
intel, dan
memang tidak bisa mengelak mengenai keterlibatannya. Tapi
keputusan
Operasi Seroja ditetapkan Dephankam/ABRI, bukan Moerdani. Kepala
intel itu, menurut Wanandi, hanya merencanakan operasi intel
dengan
sekitar 300 pasukan yang akan bekerja sama dengan sejumlah
pengunsi
di perbatasan.
Pandangan
lain
mengenai Operasi Seroja diceritakan oleh Letjen TNI (purn)
Sayidiman Suryohadiprodjo dalam pengantar buku Letjen TNI (Purn)
Kiki
Syahnakri. Timor Timur Untold Story. Menurut Sayidiman,
sebagai yang didengarnya dari Jenderal TNI Maraden Panggabean,
Pangab waktu itu, izin yang diberikan Presiden Soeharto kepada
Moerdani sebagai pemimpin Operasi Seroja adalah operasi intel.
Bagi
Sayidiman, pada dasarnya satu operasi intelejen adalah tertutup
(covert), bukan secara terbuka, bukan dengan penyerbuan oleh
pasukan
gabungan. Jadi, menurut Sayidiman lagi, melaksanakan operasi
intelejen –seperti yang dilakukan Moerdani di Timor Timur --
dengan
cara operasi militer konvensional, jelas sebuah keganjilan,
bahkan kesalahan.
Soeharto
dan
Nasution.
Tidak
kurang
menarik pendapat Jusuf Wanandi mengenai hubungan Jenderal
Soeharto dengan Jenderal Nasution. Menurut Wanandi, ketegangan
antara
kedua pembesar tentara itu bersumber pada sikap Nasution yang
“tidak pernah memaafkan Soeharto mengambil jabatan Presiden.”
Dengan kata lain, Wanandi berkesimpulan Nasution berambisi
menjadi pangganti Sukarno dan gagal karena Soeharto. Kesimpulan
ini
terutama bersumber pada pengamatan Wanandi terhadap sidang MPRS
1968.
MPRS waktu itu dipimpin Jenderal Nasution sebagai Ketua. Draf
GBHN
susunan Badan Pekerja MPRS yang dikontrol Nasution bersama
dengan apa
yang disebut Wanandi sebagai “golongan kanan,” berusaha
mengganjal Soeharto dengan cara mempersulit hari depan
kepresidenannya. Wanandi dan kelompoknya berhasil menggagalkan
rencana Nasution tersebut.
Topik
draf
dari Badan Pekerja MPRS tersebut sampai kini secara terbuka
belum pernah secara obyektif dibicarakan. Bahkan
dokumen-dokumen
draf Badan Pekerja itu kononnya sudah hampir tidak bisa lagi
ditemukan. Sekarang sulit secara obyektif menilai apakah
Nasution
masa itu memang menjalankan kebijakan yang akan berakhir pada
terbukanya kesempatan bagi dirinya menjadi Presiden.
Yang
kita
tahu sejak awal keributan Gestapu, Nasution tidak pernah
menunjukkan minat menjadi Presiden menggantikan Sukarno.
Nasution
malah mendorong dan mendukung Soeharto menghadapi Sukarno dan
akhirnya menggantikan Presiden pertama R.I. tersebut. Nasution
tahu
bahwa dia bukan orang Jawa dan waktu itu hanya orang Jawa yang
bisa
menghadapi Sukarno. Seandainya Nasution berambisi menggantikan
Sukarno, dia tidak akan menolak tawaran Pangkostrad Soeharto
agar
Nasution, perwira paling senior dalam ABRI waktu itu, memimpin
“perlawanan” terhadap Gestapu dan kemudian Sukarno.
Selain
watak
Nasution yang terkenal peragu, Sukarno memang mengarahkan
serangannya kepada Nasution yang dipandangnya “otak” kekuatan
anti Komunis di dalam Angkatan Darat. Jadi kalau Nasution yang
tampil
kedepan, dan bukan Soeharto, perjuangan melawan Sukarno akan
menjadi
lebih sulit.
Sebagai
seorang
militer senior, Nasution juga berpendapat, jangan
sampai terjadi pergantian komandan pada saat operasi sedang
berjalan.
Ketika Nasution muncul di Kostrad dalam keadaan pincang dan kaki
terkilir pada satu Oktober petang, Soeharto sudah memimpin
operasi.
Kebijakan pertama Nasution, bantu Soeharto dan tolak
keputusan Sukarno mendudukkan Mayjen TNI Pranoto Rekso Samudro
sebagai pejabat sementara Panglima Angkatan Darat.
Ketegangan
awal
Soekarno-Nasution muncul ketika kedua Jenderal berbeda dalam
cara menyelesaikan Gestapu. Nasution berkehendak Sukarno
diadili,
sementara Soeharto ingin urusan dengan Sukarno diselesaikan
dengan
jalan politik dan diplomasi. Di kemudian hari, ketika Soeharto
sudah
menjadi Presiden, ketegangan di antara mereka bersumber pada
tafsiran
atas konsep keterlibatan politik militer.Tafsiran Nasution
sangat
legalistik, sementara Soeharto lebih politis dan opportunistik.
Sebagai
seorang
ilmuwan politik yang mempelajari konsep dan sejarah peran
politik tentara yang dicetuskan mula-mula oleh Nasution, saya
berkesimpulan, Nasution cenderung lebih legalistik dari pada
realistis. Pemikiran politik Nasution berkembang di masa pra
Gestapu,
ketika tentara hanya satu di antara beberapa kekuatan politik
di Indonesia. Pada masa pasca Gestapu, ketika militer (TNI-ABRI)
sudah menjadi kekuatan politik tunggal, pemikiran Nasution tidak
membahas perkembangan baru tersebut. Di sana Soeharto
mengembangkan
sendiri konsepnya sebagai militer (Seminar Angkatan Darat II)
yang
telah menjadi penguasa politik tunggal. Kritik Nasution terhadap
Orde
Baru dan terhadap Soeharto berputar di sekitar perbedaan
tafsiran
terhadap konsep peran politik tentara tersebut. Dengan kata lain
dan
secara singkat, harus saya katakan, saya belum menemukan bukti
untuk menerima kesimpulan Jusuf Wanandi bahwa “Nasution tidak
pernah memaafkan Soeharto karena mengambil jabatan
kepresidenan.”
Penutup.
Saya
ingin
menutup komentar saya atas buku Jusuf Wanandi yang kita
bicarakan sekarang ini dengan mengulangi pernyataan awal saya.
Ini
buku amat penting. Salah satu yang membuat buku ini amat
penting
adalah terungkapnya sejumlah hal yang sayangnya belum sempat
secara saksama diuraikan penulis. Tapi ini lalu harus
ditafsirkan,
Jusuf Wanandi, sadar atau tidak, memberi tugas kepada para
peneliti
politik dan sejarah agar meneliti dan mengungkapkan hal-hal
tersebut.
Berikut
ini
beberapa pertanyaan menarik yang menantang para peneliti:
Menyangkut
CSIS,
pertanyaannya, siapa yang meladeni siapa? Siapa yang
paling berkepentingan memanfaatkan CSIS? Ali Mutopo yang
punya ambisi
kekuasaan dan memerlukan tanki pemikir? Kelompok-kelompok
cendekiawan
Katolik yang lebih memilih hijau tentara karena takut pada
hijau
Islam? Kelompok pebisnis Tionghoa perantauan yang memerlukan
perlindungan kekuasaan?
Penting
untuk
diketahui, Jenderal Soemitro menyebut Ali Murtopo (sebagai
pemimpin Opsus) sebagai tokoh yang mendirikan CSIS untuk
kepentingan
operasi politiknya.
Menyangkut
kepercayaan
Wanandi,”Nasution tidak pernah memaafklan Soeharto
karena mengambil jabatan Presiden,” perlu penelitian
terhadap
proses sidang MPRS 1968 serta dokumen-dokumen Badan Pekerja MPRS
yang
kabarnya sekarang sudah sulit ditemukan. Penelitian tersebut
jangan
sampai dipisahkan dari perkembangan hubungan Soeharto-Nasution
sejak
satu Oktober sore di Kostrad hingga naiknya mantan Pangkostrad
itu
menjadi Presiden kedua R.I.
Rapat
para Jenderal pada tahun 1978 yang menunjukkan sikap kritis
kepada
kebijakan Soeharto. Momentum
ini
membuka kesempatan kepada Menteri Perindustrian, Jenderal
Muhammad
Jusuf, mempertontonkan kesetiaan dan pembelaannya kepada
Presiden
Soeharto. Beberapa waktu kemudian Jusuf menjadi Panglima
ABRI.
Bagaimana sebenarnya jalannya rapat para Jenderal tersebut?
Apa yang
dibicarakan di sana? Bisakah disimpulan Jenderal Jusuf (waktu
itu sudah 14 tahun meninggalkan kegiatan militer aktif)
menjadi
Pangab karena pameran loyalitasnya tersebut, atau merupakan
rencana
lama Soeharto memberi “anugerah” kepada salah seorang yang
berhasil mendapatkan dokumen Supersemar?
Peneliti
yang
jeli masih akan menemukan lebih banyak lagi topik menarik untuk
diteliti dari membaca buku Jusuf Wanandi ini.***
Salim
Said, doktor
ilmu politik lulusan Ohio
State
University, Ohio, USA , Guru
Besar Ilmu
politik pada Universitas
Muhammadiah
Malang (UMM), Universitas Pertahanan Indonesia (Unhan),
Perguruan
Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), dan pengajar
tetap
pada Sesko TNI, Sesko AD, Sesko AL.
Menulis sejumlah buku
mengenai peran politik TNI, Salim Said juga pernah ditugaskan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi Duta
Besar Republik Indonesia untuk Republik Ceko (2006-2010).
* * *
* * *
JUSUF
WANANDI'S
MEMOIR ALLOWS GLIMPSES INTO THE MINDSET OF SUHARTO-ERA
OFFICIALDOM
John
Roosa
At
times
one comes close to feeling sorry for Pak Wanandi. So little in
his life worked out as planned. The book, unlike so many je ne
regrette rien autobiographies of Suharto-era officials, is
filled
with misgivings. He helped bring Suharto to power in 1965-66
and
then regretted that the general stayed in power for so long.
He
rebuilt Golkar in 1970-71 and was later disappointed to see
the
organisation become the tool of Suharto’s personal power. He
led
the international PR campaign justifying the 1975 invasion of
East
Timor but then lamented the army’s brutal counterinsurgency
tactics.
As
a
Chinese Indonesian, Wanandi particularly regrets the Suharto
dictatorship’s blocking of his community’s access to government
jobs. He changed his name from Lim Bian Kie in the spirit of
assimilation only to be treated as part of a quasi-alien nation.
Wanandi’s initial enthusiasm for the Suharto regime – with its
promises of economic growth, political stability, and cultural
tolerance – waned in the 1980s as its personalised, nepotistic,
and
racist character became entrenched.
Despite
the
author’s readiness to profess regrets, it is difficult to
summon up any sympathy for him. He laboured for years on the
dark
side, helping the Suharto dictatorship commit a variety of
crimes,
and he remains proud of his work as the protégé of one of its
most
loathsome dirty-tricks intelligence officers, Ali Moertopo.
His
insider accounts of the decision-making behind various
massacres are
often self-serving and inaccurate.
The
mass
killing with which the regime began in 1965-66 was a ‘horrible
mistake’. Unlike many of his New Order peers, who have either
remained silent about the killing or offered full-throated
justifications of it, Wanandi is at least willing to see
something
wrong: ‘We can never legitimise, gloss over, or forget those
acts’. He even calls for investigations that can ‘bring up’ –
a nicely chosen verb invoking excavations of mass graves –
‘the
truths about those tragic events’.
Still,
how
can he call the slaughter of unarmed, defenceless detainees ‘a
mistake’ rather than a crime? He can by doing what he
asks us
not to do. He glosses over them. He explains them with a
fanciful
story that blames, of all people, Sukarno. Bung Karno is
supposedly
at fault for not immediately banning the PKI in early October.
People
‘took matters into their own hands’; in some regions, the army
‘took the initiative’. This blame-the-president story has
been told before. Notosusanto and Saleh presented it in
their famous
1967 tract on the September 30th Movement: ‘the public’,
demanding the PKI be punished, ran amok when Sukarno tried
‘to
protect the party’. The story is nonsense. Suharto and his
clique
of army officers sidelined Sukarno and proceeded to do what
they had
already planned to do. They would have used a presidential
ban to
legitimate their murderous assaults, just as they used his
Supersemar
to legitimate their March 1966 coup.
Wanandi
nearly
concedes as much. He claims, with remarkable frankness, that
the ‘killing campaign’ in Central Java ‘was led by Sarwo
Edhie’, the RPKAD commander sent there to attack the PKI in
mid-October. Wanandi unfairly casts him as the sole agent of
extermination. He omits Suharto’s role. And he seems
oblivious to
the perversity of his depiction of Sarwo Edhie’s
motivations: ‘He
had a personal grudge against communists to avenge the death
of
Achmad Yani, his friend and patron.’ Tens of thousands of
ordinary
civilians in Central Java, people who had nothing to do with
Yani’s
murder at Lubang Buaya, had to be slaughtered because Sarwo
Edhie
wanted to avenge the death of his old buddy from Purworedjo?
Was the
current president’s father-in-law that pathological? Wanandi
does
not mention that the student movement in Jakarta, of which
he was a
prominent leader, feted Sarwo Edhie as a great war hero when
he
returned after the killing spree.
Wanandi’s
account
shows how closely the student movement worked with the army.
The students knew in early October that they were in no
danger. The
PKI put up no resistance as they rampaged through the
streets,
ransacking and burning houses, offices, and schools. But
still they
pretended as if they were brave heroes at war risking their
lives.
Wanandi notes in passing, without an expression of regret,
that the
students of the Indonesian Student Action Front (KAMI)
forced people
to join their demonstrations: ‘We would send civil defence
(Hansip)
personnel around to people’s houses, advising them that they
would
be regarded as PKI if they did not attend our meetings.’
Wanandi
doesn’t
explain precisely how and why Ali Moertopo, whom he calls
Pak Ali, recruited him. He mentions that he first met him at
a
Kostrad ‘seminar’ in 1963 at which army officers declared
that
China and the PKI were their main threats, not the Western
imperialist powers that Sukarno identified. (With such views
being
expressed, it must have been a secret, invitees-only
gathering.) It
was a fateful meeting: ‘I was not to know then what a great
influence he was to have over my life.’
His
account
of Moertopo’s Opsus, the secret organisation inside
Kostrad, to sabotage Konfrontasi, is as revealing as it is
confusing.
He claims Opsus began in mid-1965 during a meeting between
Moertopo
and Suharto (of Kostrad) and Yani, the army commander. But then
he
claims that Moertopo began contacting Des Alwi and other
Socialist
Party of Indonesia (PSI) figures, living abroad after their
support
for the failed 1957-58 rebellion, in September or October 1964.
Perhaps the meeting with Yani was in mid-1964. He casually
mentions, as if it was a routine matter, that Moertopo
smuggled
‘rubber and other goods’ to generate money for Opsus and
accumulated $17 million in banks in Singapore and Malaysia.
Was the
PKI’s term ‘capitalist bureaucrat’ (kabir) entirely
inaccurate?
Moertopo
appears
in this book as a clever servant of Suharto’s. In the film
about an English manor, Gosford Park (2001), a servant explains
that
she has to anticipate, to know what the masters want ‘before
they
know it themselves’. Wanandi saw Moertopo’s ‘strength’ in his
ability to anticipate: ‘He always felt he had to prepare the old
man [Suharto] in advance, before events happened.’
Wanandi
joined
Moertopo’s staff in 1967 just as the colonel became
Suharto’s point man for Papua. For two years, starting in
mid-1967,
Wanandi was involved in the preparations for the holding of the
Act
of Free Choice in Papua. The strategy, according to him, was
seduction. He brought in boatloads of tobacco and beer so that
the
Papuans would look kindly upon Indonesia. Wanandi does not
discuss
the coercive and deceitful tactics to win the vote, avoiding an
engagement with the kind of documentation found in John
Saltford’s
2003 book The United Nations and the Indonesian Takeover of West
Papua, 1962-1969: The Anatomy of Betrayal, and remains silent on
the
terrors that Indonesia has inflicted on the Papuans since 1969.
(Much
of the section on Papua has already appeared in an essay Wanandi
published in Inside Indonesia in 2009.
The
‘success’
in Papua emboldened Suharto’s men to attempt a
similar strategy in East Timor. One of the longest
sections of
the book concerns Wanandi’s role in annexing East Timor in
1974-75.
He is desperate to clear his name, especially now that the
country
has won independence, two truth commissions have issued
reports
exposing the Indonesian military’s atrocities and some
Australian
embassy files referring to his role have been declassified.
He
insists
that his strategy was again, merely seduction. Moertopo’s
group started Operation Komodo in April 1974 for ’gathering
intelligence and peddling pro-Indonesia propaganda‘ and training
East Timorese to fight Fretilin on their own. They hoped to
annex
East Timor ‘through diplomatic means’ and then hold some kind of
act of self-determination, after about seven years, once
Indonesia
had prepped the East Timorese so that they would vote the right
way,
as in Papua. The East Timorese would come to see that ‘the only
logical path was to become part of Indonesia’.
As
his
story goes, their strategy lost out as General Benny Moerdani,
the military intelligence chief, started Operation Flamboyan in
early
1975, which sent Indonesian-trained East Timorese across the
border
to take the country by force. Then that operation lost ground to
Operation Seroja in August 1975, when the military commander,
Panggabean, proposed to use Indonesian troops to take East
Timor. It
was, Wanandi opines, a ‘stupid’ plan. Fretilin’s military
victory and its declaration of independence in November provoked
Suharto into opting for Panggabean’s plan. ‘The whole thing went
haywire.’
While
depicting
Moerdani and Panggabean as the villains, Wanandi
unintentionally indicts himself. At no point did his Moertopo
faction
envision a genuine act of self-determination for the East
Timorese.
The plan from the start was to annex East Timor and the debate
with
the other factions was only over the method.
Once
the
Indonesian troops launched a full-scale invasion in December,
Wanandi made the diplomatic rounds: ‘It was a PR job, and not a
nice one, because we didn’t agree with what was happening.’ He
was in Washington DC coaching the people Indonesia sent to
testify to
the US Congress, explaining to them how they could not admit
that the
troops had ‘invaded’.
Wanandi
has
the remarkable ability to acknowledge a crime and then blame
the
victims for it. He admits Indonesian troops shot and killed
five
foreign journalists in Balibo to eliminate witnesses to the
invasion:
‘it could not be known that they were invading’. So here is
a
clear admission to a war crime: the deliberate murder of
non-combatants. Then he blames the journalists themselves
for putting
themselves in a war zone: ‘They thought it would be a picnic
and of
course they were shot.’ Of course.
This
memoir
allows us some glimpses into the depraved mindset of
Suharto-era officialdom. Wanandi and his fellow Golkar
leaders
engineered electoral victories every five years by
intimidating
people. They sent civil defence personnel house-to-house to
inform
people that a vote against Golkar would be construed as a
vote for
the PKI. They organised a civil servants association as a
‘tool of
Golkar to win elections’. They mobilised street toughs, the
preman.
Wanandi is proud of the electoral victories and is not
troubled by
the underhanded methods to achieve them. Pak Ali assigned
him tasks
and he completed them successfully. Asal bapak senang (as
long as the
boss is happy). Moertopo famously called commoners ‘a
floating
mass’; they had to be manipulated and directed because they
were
too stupid to think for themselves. Wanandi takes that
premise for
granted.
Moertopo
arranged
the funding for Wanandi’s think-tank, CSIS, in 1971 by
calling up various Chinese Indonesian businessmen, cukong (a
term
Wanandi euphemistically translates as ‘patron’), and asking for
money: ‘that was all that was needed’. With CSIS, Wanandi styled
himself as an intellectual and cultivated contacts with foreign
academics, all the while serving as a Golkar boss and
intelligence
operative. CSIS was another seduction strategy, this time
targeting
foreigners who were influential in shaping international opinion
about the Suharto regime. It was also a way to monitor and
punish the
recalcitrant ones, like Benedict Anderson. (Anderson has written
about his run-ins with Wanandi in his 1996 article in the
journal
Indonesia, ‘Scholarship on Indonesia and Raison d’État’.)
Wanandi
would
like readers to think he has a heart; that his work on the dark
side has only left him streaked with grey and not dyed jet
black. He
recounts his lobbying in the 1970s to get political prisoners
released and allow the Red Cross into East Timor. This work
seems to
have been greatly motivated by the need to placate foreign
criticisms
of the regime.
I
was surprised to find Wanandi flattering my book about the
September
30th Movement ‘as the best explanation of who was behind the
coup
and why it failed’. The praise is accompanied by a silence
on my
condemnation of the army’s reaction to the movement. As is
his
habit, he blames the victims. The movement was ‘a terrible
blunder
that opened the floodgates to retribution’. The PKI was
responsible
for the violence against it. He invokes the old cliché: the
atmosphere of the time was ‘kill or be killed’. That
specious
depiction of the time conveniently exonerates the
perpetrators who cowardly executed people who were already tied
up
and then made them disappear. As the recent film The Act of
Killing
(2012) reveals, the best way to dispel the perpetrators’ myths
is
to let them describe precisely what they did.
Wanandi
ends
his book in Candide-like fashion, bereft of the optimism that
animated his early enthusiasm for the Suharto regime, writing
about
his think-tank as the little garden he cultivates. By the end of
the
book I felt like going outside and cultivating a real garden as
a
relief from reliving the grey-on-grey nightmare of Suharto-era
officialdom.
Jusuf
Wanandi,
Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia,
1965-1998 (Singapore: Equinox, 2012).
John
Roosa (jroosa@mail.ubc.ca)
is Associate Professor of History at the University of
British
Columbia and author of Pretext for Mass Murder: The
September 30th
Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (Madison:
University
of Wisconsin Press, 2006).