Tuesday, June 22, 2010

MELAWAN IMPUNITY Setelah 10th Reformasi

Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Selasa, 22 Juni 2010


MELAWAN IMPUNITY -- SETELAH 10Th LEBIH REFORMASI

* * *

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65), berprakarsa mengadakan 'Kegiatan Memorialisasi' pada hari Jumat, 25 Juni 2010 dan diakhiri dengan Siaran Pers. Kegiatan tsb akan berlangsung di LP Pemuda Tangerang dan sekitar wilayah Cikokol

Inisiatif ini teramat penting! Ia sejalan dengan usaha agar bangsa ini tidak melupakan sejarah. Tidak melupakan bahwa para pelaku pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, yaitu pendiri dan penguasa Orba, sampai saat ini bergerak bebas seolah-olah kejahatan terhadap kemanusiaan yang mereka lakukan itu, tak bisa digugat, tidak bisa dituntut. Halmana berarti dibiarkannya keadaan 'impunity', situasi tanpa hukum berlangsung terus.


YPKP 65 memberikan penjelasan sbb: Puluhan tahun silam, banyak tempat di wilayah Tangerang seperti di LP Pemuda Tangerang, Tanah Tinggi / Pasar Anyar dan sebagainya meBaru. Walau pun tempat-tempat tersebut kini sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat penyiksaan, bahkan beberapa tempat di antaranya sudah beralih fungsi namun ingatan terhadap peristiwa penyiksaan masih terus ada dalam benak korban-korbanpenyiksaan orde baru.

Kegiatan ini adalah dalam rangka kampanye yang dipandu oleh JAPI, Jaringan Kerja Anti Penyiksaan Indonesia. Th 2010.

Sampai saat ini kalangan yang berkuasa/pemerintah masih mengangap 'tabu' menyinggung apalagi bicara mengenai pelanggaran berbesar HAM yang pernah terjadi di negeri kita sejak Jendral Suharto merebut kekuasaan negara RI.

Itulah sebabnya inisiatif mengadakan “Memorialisasi korban 65”, merupakan kegiatan penting dalam rangka meningkatkan kesedaran masyarakat, tentang hak hukum warganegara. Tentang harus berakhirnya situasi IMPUNITY.



* * *

Sehari menjelang dibukanya Rapat Umun Tahunan Anggota Amnesty International Nederland pada tanggal 11 Juni 2010, sebagai anggota Amnesty Nederland, kutulis sepucuk "OPEN LETTER", yang berjudul "AMNESTY INTERNATINAIONAL - NEVER FORGET THE MASS KILLINGS OF 1965". Surat terbuka itu a.l berbunyi (terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia), sbb:

". . . . untuk beberapa lamanya Amnesty Internaional tampaknya 'melupakan' penderitaan dan keadaan menyedihkan para korban pelanggaran hak-hak manusia, yang dilakukan atas perintah klik militer di bawah Jendral Suharto. Itulah sebabnya saya menulis Surat Terbuka, tertanggal 16 Februari, 2006, kepada Amnesty International (Pusat) di London. Antara lain dinyatakan dalam Surat Terbuka tsb. sbb:

"Sampai saat ini, masyarakat internasional tak berhasil menjernihkan kasus dibunuhnya sekitar sejuta warga Indonesia yang patuh hukum. Suatu kejadian pembunuhan yang diorganisasi oleh Jendral Suharto selama ia naik kekuasaan dalam tahun 1965-1966. Berbeda dengan perlakuan terhadap para korban pemboman Bali tahun 2002, yang sebagian terbesar terdiri dari orang asing non-Indonesia, mereka mendapatkan sedikit-banyak keadilan dalam watku beberapa bulan saja, --- lebih dari 40 tahun lamanya para korban kejahatan luarbiasa terhadap kemanusiaan, yang masih hidup, sebegitu jauh berlalu tanpa siapapun mengetahuinya.

"Dua tahun yang lalu, tanggal 27 Maret 2004, saya menulis sepucuk Surat Terbuka kepada Sekretaris Jendral PBB, Tuan Kofi Annan. Dengan mengutip otokritiknya berkenaan debngan konferensi memorial di PBB, 26 Maret, 2004, untuk memperingati ultah ke-10 Genosida Ruwanda, bahwa "Masyarakat Internasional telah bersalah melakukan kejahatan 'menghilangkan' " , saya minta perhatian Anda terhadap situasi impunity di Indonesia. Sayang sekali saya tidak terima balasan apapun.

* * *

Sekarang ini, saya minta perhatian Sekretariat Internasional AI terhadap masalah berikut ini:

Dalam tahun 1965-1966, siapa saja yang dianggap punya hubungan betapa kecilnyapun dengan Partai Komunis Indonesia, – dibunuh di rumah mereka, di jalan-jalan, atau di lapangan pembantaian, seperti di pekuburan Wonosobo. Ini hasil penggalian kuburan dalam bulan November 2000. Sementara dari korban banyak yang dipukul kepalanya dan dibuang di gua-gua curam. Seperti yang dilakukan di Blitar. Penggalian kuburan menemukannya pada bulan Agustus 2000. Banyak dari lebih dari 200.000 tahanan politik menderita siksaan, disuruh bekerja atau dibiarkan mati kelaparan. Mereka yang 'selamat', masih bisa hidup, dengan penderitaan bertahun-tahun lamanya, bahkan selama puluhan tahun, dalam syarat kondisi yang paling jelek .

Setelah bebas, sebagaimana halnya orang-orang yang dituduh komunis lainnya, yang masih bisa 'selamat' dari pembunuhan dan pemenjaraan, dikenakan diskriminasi dan dikucilkan dari masyarakat. Berbagai peraturan yang dikenakan terhadap para korban tsb sampai sekarang masih berlaku. Meskipun Suharto sudah jatuh. Pembatasan tsb meliputi hak dengan bebas melakukan perkawinan, berkarya, melakukan perjalanan dan melakukan ibadah agama. Sampai saat ini, siapapun yang dituduh ada hubungan dengan komunisme dilarang ambil bagian dalam pemilihan atau menjabat kedudukan umum tertentu atau kedudukan profesonal dalam masyarakat. Sepereti berpraktek sebagai dokter, bekerja di lembaga/jawatan pemerintah atau masuk tentara.

Tetapi sisa-sisa pembantaian sistimatis ini bukanlah warisan yang paling hebat. Yang lebih busuk adalah kekerasan oportunistik dan semangat balas dendam yang masih ada sampai saat ini. Ini dapat dilihat pada hari-hari terakhir kediktatoran Suharto, dalam apa yang dikenal dengan "Kerusuhan Mei 1998". Ketika itu fihak militer mendorong/mengorganisasi preman untuk melakukan pemerkosaan dan membunuh orang-orang Indonesia asal etnik Tionghoa, serta menghancurkan atau merampok milik mereka. Kurang lebih 1190 orang tak bersalah dibunuh di Jakarta dan 168 wanita telah diperkosa.

Dalam bulan September 1999, fihak militer lagi-lagi mengobarkan pembunuhan. Kali ini terhadap rakyat Timor Timur, sesudah dilangsungkannya referendum kemerdekaan yang sukses. Korban yang jatuh ,mencapai sekitar 2000 orang.

Dalam tahun 1999, fihak militer mengobarkan 'perang agama' di kepaulauan Maluku. Paling tidak telah jatuh korban 6000 orang yang terbunuh dan setengah juta orang terpaksa mengungsi. Dalam bulan Februaru 2001, kira-kira 500 orang transmigran Madura dibantai di Sampit, Kalimantan Tengah.



* * *



Tak satupun kasus sehubungan kejahatan-kejahatan tsb dilakukan investigasi yang benar. Tak seorangpun pelakunya diajukan ke pangadilan yang independen. Para korban samasekali tak memperoleh kompensasi.

Saya minta Sekretariat Amnesty International mengambil langkah mengadakan tekanan pada penguasa Indonesia:

Agar melakukan investigasi resmi yang independen terhadap kasus pembantaian 1965-1966, --- yang merupakan suatu kejahatan terhadap kemanusiaan.

Agar para pelaku utama kejahatan tsb tidak dibiarkan bebas tanpa peroses hukum, dan agar para saksi terjamin keamanannya melalui suatu program perlindungan.

Agar segera menghapuskan peraturan diskriminatif terhadap orang-orang yang dituduh bekas komunis dan simpatisannya.

Lindungi para pembela dan aktivis hak-hak manusia yang melakukan pengumpulan bukti-bukti dan melakukan pembelaan atas nama korban pembantaian 1965-1966, seperti PAKORBA, LPKP, LPKROB, dan YPKP, serta Team Forum Kordinasi Adavokasi dan Rehabilitasi .

* * *

Meskipun pelbagai lembaga kemanusiaan Indonesia dan mencanegara, melalui pelbagai kegiatan dan kampanye minta perhatian pada masalah-masalah seperti yang dikemukakan diatas, namun, situasi 'impunity' keadaan 'ketiadaan hukum', masih belum mengalami perubahan berarti. Khususnya di Indonesia.

Oleh karena itu, prakarsa kegiatan yang dilakukan oleh YPKP – MEMORIALISASI KORBAN 65 --- merupakan usaha penting yang perlu dapat dukungan lapisan luas masyarakat. Dengan aksi-aksi dan kampanye peningkatan kesedaram hukum masyrakat, barulah mungkin tercipta kekuatan presi yang berarti terhadap lembaga-lembaga hukum, kemanusiaan dan pengadilan -- mendorong mereka untuk berbuat sesuatu dalam rangka usaha mengakhiri IMPUNITY.



* * *


No comments: