Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 28 Februari 2012
-------------------------------
MENELAAH MITOS-REKAYASA DLM SEJARAH BANGSA:
SIAPA PAHLAWAN, SIAPA BUKAN PAHLAWAN
Di negeri kita, -- ini soal besar!
Sejak Presiden Suharto digulingkan oleh kekuatan gerakan massa luas yang menggelora menuntut turunnya Suharto dan diberlakukannya Reformasi dan Demokrasi, masalah ini, -- masalah siapa jadi pahlawan nasional, --- Sebentar jadi hangat. Sebenar meredup.
Begitu nama Suharto dilemparkan ke tengah-tengah publik, sebagai calon pahlawan nasional untuk dinobatkan oleh Presiden SBY, -- ramailah yang pro dan kontra saling mengajukan alasan, dan argumentasi mengapa membela dan mengapa menolak. Sunguh menarik menyaksikan betapa bernafsunya para pembela dan pendukung Suharto berusaha mati-matian, agar Suharto dinobatkan jadi pahlawan nasional.
Orang jadi bertanya-tannya apa sesungguhya latar belakar dari tuntutan agar Suharto dinobatkan jadi pahlawan nasional. Padahal ketika masih hidup menjelang beliau meninggal dunia, urusannya adalah mondar-mandir antara ruang pengadilan karena tuntutan masalah korupsi, – – – dan rumah sakit. Bolak-balik kalau sidang pengadilan mau dimulai lagi, Suharto jatuh sakit lagi.
* * *
Terutama menjelang diperingatinya Hari Nasional Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus . . . . Sementara fihak, terutama Golkar, dan yang berdiri dibelakangnya serta yang mendukungnya, tak jemu-jemunya dan tak bosan-bosannya MENGAJUKAN AGAR SUHARTO DIBENUM JADI PAHLAWAN NASIONAL.
* * *
Di negeri kita telah dibangun khusus sebuah TAMAN MAKAM PAHLAWAN di Kalibata. Mereka-mereka yang dianggap punya syarat untuk dimakamkan di Taman Pahlawan itu, akan dimakamkan di situ atas keputusan pemerintah yang sedang berkusa. Meskipun tidak mesti yang dimakamkan di Tamah Pahlawan itu benar-benar sudah dianugerahi titel Pahlawan Nasional. Tetapi paling tidak nama PAHLAWAN itu melekat juga pada insan yang dimakamkan di situ.
Tetapi Jendral Suharto, tidak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Kiranya ia berfikir: Taman Pahlawan Kalibata itu, terlalu sederhana dan terlalu simpel baginya. Suharto jauh-jauh hari telah mempersiapkan kuburannya jauh di atas sebuah bukit yang megah dan tersendiri. Tidak bersama rakyat dan juga tidak bersama tokoh-tokoh nasional lainnya yang dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata . Atau memang Suharto enggan dikubur di Taman Pahlawan, yang di situ ada Komunisnya seperti yang namanya ALIMIN.
Alimin, adalah salah seorang pendiri dan pemimpin PKI sejak lahirnya PKI, atas keputusan Presiden Sukarno dimakamkan di Taman Pahlawan. Terang dia seorang gembong Komunis. Jenderal Suharto dan rezim Orba yang dari ujung rambut sampai ke telapak kaki, ADALAH MUSUHYA KOMUNIS, adalah ANTI KOMUNIS, tidak punya nyali, untuk, misalnya, membongkar makam Alimin, dan memindahkannya dari situ.
Ada tokoh KIRI lainnya, beliau adalah Ir Setiadi Reksoporodjo, Beliau juga dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Itu terjadi sesudah Suharto turun panggung. Ir Setiadi adalah mantan pimpinan PESINDO, suatu kekuatan revolusi Agustus yang tangguh. Ir Setiadi juga duduk dalam Kabinet Presidensil Sukarno setelah berdirinya Republik Indonesia. Ir Setiadi lagi-lagi oleh Presiden Sukarno diikutsertkan dalam Kabinet Seratus Menteri (1966) menjadi Menteri Listrik Negara. Ia tak luput dari 'pembersihan golongan Kiri' yang dilancarkan oleh tentara di bawah Jendral Suharto. Setiadi dijebloskan dalam penjara Orba, karena dia dianggap pendukung Presiden Sukarno.
Lalu, Suharto dilorot massa. Ketika Ir Setiadi meninggal dunia pemerintah memutuskan beliau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata. Bersama putra beliau Witaryono, -- Murti dan aku tahun lalu mengunjungi makam Mas Setiadi di Taman Pahlawan Kalibata.
* * *
Mungkin situasi ini yang dirasakan RISIH oleh para pendukung, pembela dan pengagum Suharto, yaitu: Di satu fihak ketika beliau meninggal dunia, Suharto,sebenarnya baru mulai diurus perkaranya oleh pengadilan yang menuntutnya sekitar kasus KORUPSI. Di fihak lain, ketika meninggal dunia, Suharto juga tidak dimakamkan di Taman Pahlawan.
Apapun argumentasi dan pembelaan yang dilakukan oleh mereka-mereka yang ingin agar Suharto dinobatkan menjadi pahlawan nasional, ---- Sejarah akhirnya mencatat Peristiwa Tragedi Nasional 1965, dimana telah berlangsung pelanggaran HAM besar-besaran yang dilakukan aparat di bawah Suharto, yang telah menimbulkan korban antara setengah juta sampai tiga juta warga tak bersalah dibunuh tanpa proses peradilan apapun. . . . . . ---
FAKTA SEJARAH INI, tak akan bisa dihapuskan oleh siapapun. DAN FAKTA-FAKTAS SEJARAH ITU AKAN MENUDING dan MENGGUGAT MEREKA-MEREKA YANG TAK TAHU MALU HENDAK MENOBATKAN SUHART0 MENJADI PAHLAWAN NASIONAL
* * *
Bicara soal SIAPA PAHLAWAN DAN SIAPA BUKAN PAHLWAN, sungguh intresan mengikuti apa yang terjadi di Belanda kemarin.
Kita ikuti laporan wartawan “de VOLKSKRANT, Michel Maas, hari Senin tertangal 27 Februari 2012. Tulis Maas a.l.:
“Hari ini, dengan dihadiri oleh Putera Mahkota Pangeran Willem Alexander di Den Haag diadakan peringatan Pertempuran Laut Jawa, “Slag in de Javazee, yang berlangsung 70 tahun yang lalu. Hari Minggu yl para pelgrim Belanda di Surabaya mengikuti jejak dari Schout-bij-nacht KAREL DOORMAN. Laksmana Madya Karel Doorman.
Sebelum melanjutkan apa yang ditulis Michel Maas perhatikan judul laporan yang ditulisnya. Ini dia:
'KAREL DOORMAN PAHLWAN? TIDAK' – 'Karel Doorman een held? Nee'. Maas menegaskan bahwa apa yang dilakukan Karel Doorman adalah “Ia mematuhi perintah dan berusaha melakukannya sebaik-baiknya.”
Karel Doorman, memimpin serangan (armada gabungan) Sekutu yang terdiri dari eskader Belanda, Inggris, Amerika dan Australia melawan armada Jepang. Pada tanggal 27 Februari 1942 meletuslah Pertempuran Laut Jawa
Nah, disinilah kita tiba di bagian yang interesan dari laporan wartawan Belanda ini. Tulis Maas selanjutnya: ”Haaah, seorang pahlawan. Saya tidak akan menamakannya demikian”, kata Jan Maarten. Karel Doorman bisa saya katakan lebih banyak merupakan korban dari perang itu”. Jan Maarten adalah cucunya Karel Doorman. Ia termasuk rombongan pilgrim yang mengikuti jejak Karel Doorman persis 70 tahun yang dilalui Karel Doorman.
Jan Maarten tidak mau meromantisir, tulis Maas. “Karel Doorman memang orang istimewa. Dan apa yang dilakukannya adalah perbuatan seorang pemberani. Ia mematuhi perintah. Ia telah berusaha keras untuk mengubah perintah itu.Tapi tak berhasil. Lalu ia berusaha keras melakukannya dengan sebaiknya.
Selebihnya (mengenai Karel Doorman) adalah mitos-rekayasa. “Saya menyerang, ikuti saya”, ia tidak pernah berseru demikian. Sebenarnya itu adalah terjemahan dari seruan yang biasa: “All ships follow me”. Kata Jan Maarten Doorman: “Karangan itu sudah sejak tahun limapuluhan dibuatnya. Ketika itu Nederland sedang dalam pembangunan-kembali negeri. Dan memerlukan seseorang. Nah, orang itu jadinya adalah Karel Dorrman. Pertempuran Laut Jawa harus menunjukkan bahwa ada juga sesuatu yang baik yang terjadi di dalam perang keseluruhannya.”
Sesungguhnya, pertempuran itu tidak begitu baik, kata historikus Anselm van der Peet, sorang historikus dari Insituut voor Militaire Historie. Komunikasinya, misalnya, celemotan. Komunikasi kapal-kapal dari berbagai negeri menggunakan frekwensi radio yang berbeda. Dan tidak semua opsir Belanda menguasai bahasa Inggris dengan baik. Dan beerapa kapal telah mengalami kerusakan dalam petempuran sebelumnya. Juga Dick van der Laan tidak mau menyatakan bahwa Karel Doorman itu seorang pahlawan. “Bila seorang laksamana mengatakan, serang dan lakukan pertempuran sampai selesai, lalu kau laksanakan itu. Apakah dengan itu lalu kau jadi pahlawan?”
* * *
Yang perlu diperhatikan di sini, ialah suasana serius tapi santai Michel Maas menulis tentang masalah sejarah. Dan pendapat Jan Maarten, cucu Karel Doorman, serta historikus van der Peet, yang begitu lugu mempersoalkan mitos-rekayasa sekitar Laksamana Madya Karel Doorman (notabene adalah kakeknya sendiri) yang tewas dalam Pertempuran Laut Jawa, 70 tahun yang lalu.
Beginilah cara menelaah dan meninjau kembali sejarah bangsa sendiri. Di satu segi diperlukan kejujuran pada fakta-fakta sejarah. Dan di lain fihak berani mengungkap latar belakar kepentingan politik yang bagaimana yang menyelubungi mitos-rekayasa, bahwa Laksamana Madya Karel Doorman adaalah seorang Pahlawan Nasional.
Dari sini sedikitnya cendekiawan dan para historikus kita bisa menarik manfaatnya tentang cara orang-orang Belanda yang dibicarakan diatas mempersoalkan sejarah bangsanya.
* * *