Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 29 Maret 2012
-----------------------------
“TAMAN BACA MULTATULI” Di Sebuah Desa Banten . . . . .
Sahabatku Guru di Lebak, Banten, dikenal populer sebagai Kang Ubay, nama lengkapnya UBAIDILLAH MUCHTAR, baru-baru ini mengirimkan padaku tiga pasang YOUTUBE, mengabadikan laporan wartawan Metro TV Jakarta, Kick Andy Hope , ke desa Lebak. Dengan judul TAMAN BACA MULTATULI , laporan tsb ditayangkan pada tanggal 17 Februari y.l. Untuk melihatnya sendiri silakan klik pada link brikut ini:
Episode (1): http://www.youtube.com/watch?v=8ub5M7Bu_Sc
Episode (2) http://www.youtube.com/watch?v=R7kt18w5ezU
Episode (3) http://www.youtube.com/watch?v=2uZki0ko58s
* * *
Ubaidillah Muchtar bersepeda motor dari Sawangan, Depok, menuju kampung Ciseel, desa Sobang, Kabupaten Lebak, menempuh jalan ratusan kilometer. Disitulah Kang Ubay memperkenalkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli ke masyarakat Ciseel, yang langka fasilitas itu.
Jalan menuju Desa Ciseel berlika-liku dan tak beraspal. Kesanalah Kang Ubay melakukan silaturahmi dengan masyarakat kemudian membentuk grup membaca dengan bacaan utama novel Max Havelaar.
Di desa itu dimulai cerita unik pada tanggal 23 Maret 2010.
Pekan demi pekan, para peserta reading group belajar kenal dengan tokoh Max Havelaar dan perjuangannya di masyarakat Lebak. Suatu perlawanan terhadap kejahatan bupati bangsa sendiri kala itu. Demikian a.l tulis Wordpress.com.
Kini setelah setahun berlalu kegiatan tetap berlanjut dengan perkembangan mengagumkan karena edisi Max Havelaar dalam beragam bahasa mulai dibaca.
* * *
Sebelumnya, --- Ubay menceriterakan kepadaku bahwa, dua tahun yang lalu, 23 Maret 2010, di Lebak telah didirikan TAMAN BACA MULTATULI. Anak-anak didik Ubay terlibat dengan kegiatan “Reading Group Max Hevelaar”.
Betul-betul tak terfikir samasekali padaku, – – – – bahwa, nun jauh di desa CISEEL, – – – di pedalaman Lebak Banten, di sebuah kampung yang belum tersentuh modernitas murid-murid sekolah, di bawah bimbingan gurunya, anak-anak didik Indonesia, sejak 23 Maret 2010, melakukan kegiatan membaca bersama di sebuah READING GROUP MAX HAVELAAR. Pembacaan dilakukan setiap selasa pukul 16.30-18.00. Pesertanya anak-anak usia SD-SMP-SMA desa tsb.
Mei lalu, ada acara SASTRA MULTATULI, 3 hari berturut-turut. Diskusi Multatuli, menyusuri jejak Multatuli, kesenian rakyat, pemutaran film Max Havelaar, dan trip to Baduy. Semua catatan dan foto tersimpan di : http://www.readingmultatuli.blogspot.com/. Dan juga drama Saijah Adinda.
Juni tahun lalu, demikian ceritera Ubay, ---- datang berkunjung rombongan terdiri dari14 operator travel wisata ke Lebak yang dipimpin oleh Willem van Duijen, Kurator Museum Multatuli di Amsterdam, Belanda. Pada 2 Juni juga datang ke Taman Baca Multatuli Ciseel, Lebak, suami istri Italia, suami istri, Carlo Laurenti dan Maria Elenora dari Reading Group Max Havelaar, Itali --- datang ke Taman Baca Multatuli.
Reading Group Max Havelaar Ciseel kini memasuki tahun ke-2. Tahun pertama tamat selama 11 bulan (23 Maret 2010-22 Februari 2011)dengan kerbau sungguhan. Lihat juga http://readingmultatuli.blogspot.com/p/galeri-foto.html.”
Reading Group kini memasuki minggu ke-33 di tahun kedua. Baru tiba di Bab 8. Pidato Havelaar. Juga tambah lagi sekarang ada Reading Group Novelet Saija bahasa Sunda di Kamis sore...peserta tetap konsisten hadir.
Demikian cerita Ubaidillah Muchtar padaku.
* * *
Fikirku . . . Multatuli Abad ke XIX -- Prof Dr Wertheim Abad Ke XX, Adalah Jembatan-Jembatan Yang Sesungguhnya antar Indonesia dan Belanda.
* * *
Siapa akan menyangka sebelumnya? Bahwa, -- di bawah kekuasaan mutlak pemerintah kolonial Hindia Belanda, pada abad ke-IX, seorang pejabat kolonial, seorang asisten-residen Lebak, Dr. Douwes Dekker, memulai ramuannya, berancang-ancang dalam fikirannya, apa yang kemudian ia tulis dalm bukunya yang menggoyahkan sendi-sendi kolonialisme dan feodalisme, 'MAX HAVELAAR”. Lengkapnya Max Havelaar, of de Koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij. (Edisi Indonesia: --"Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang
Belanda". Satu-satunya novel, roman, drama, yang bagaikan dinamit-awal menggoncang pondasi kekuasaan angkara murka kolonialisme Belanda di Indonesia.
Di Lebak, sebuah desa di Banten. Disitulah memancar cahaya hati nurani seorang Belanda yang kemudian terkenal dengan nama MULTATULI. Ia menuding, ia menggugat terbuka: KOLONIALISME BELANDA DAN FEODALISME BANTEN -- adalah PENINDAS DAN PEMERAS RAKYAT INDONESIA.
* * *
Tidak kebetulan bahwa di sebuah desa yang jauh dari kota, terpencil, di Lebak, Guru Ubaidillah berprakarsa mendirikan sebuah perpustakaan untuk murid-murid sekolah di desa itu – “TAMAN BACA MULTATULI”. Peristiwa ini menunjukkan di satu pihak kepedulian dan pengabdian seorang guru dari generasi muda, UBAIDILLAH MUCHTAR. Ia mencurahkan tenaga dan fikirannya pada masalah pendidikan anak-anak bangsa di desa yang begitu terpencil. Disisi lainnya Ubay tergugah dan terinspirasi oleh tokoh Dr. Edward Douwes Dekker, alias MULTATULI.
Di kalangan budaya Belanda, Multatuli dinilai sebagai novelis terbesar yang setara dengan penulis-penulis kaliber dunia.
MULTATULI (Artinya 'Saya Yang Banyak Menderita') adalah sastrawan Belanda yang terbesar di abad ke-XIX. Bahkan mungkin, demikian dikatakan, Multatuli adalah penulis Belanda terbesar di sepanjang masa. Siapa saja yang membaca roman Multatuli 'Max Havelaar', akan berkenalan dengan jiwa kritis Multatuli. Justru ini pulalah yang membuatnya masyhur di seluruh dunia. Di salah satu bagian karya Multatuli itu, terdapat drama tentang 'SAIJAH Dan ADINDA' yang sangat menyentuh. Di negeri kita bagian dari buku Multatuli ini sering dikutip dan dipentaskan di panggung.
Mengapa hal ini penting dan menarik? Karena menggugah kita orang-orang Indonesia. Karena yang dianggap penting oleh Belanda itu, berkenaan dengan suatu karya seni yang menyangkut NASIB RAKYAT KITA pada zaman Hindia Belanda dulu.
Mutatuli menjadi amat terkenal di negerinya sampai ke mancanegara dengan bukunya 'Max Havelaar', nama lengkap buku Multatuli adalah 'Max Havelaar, Of De Koffieveilingen der Nederlandse Handelmaatschppij'. Multatuli, adalah nama-pena Eduard Douwes Dekker. Kiranya pembaca Indonesia cukup mengenalnya. Buku Multauli 'Max Havelaar' sudah pernah diterbitkan edisi bahasa Indonesia, dan telah dua, tiga kali dicetak ulang.
Buku Multatuli, 'Max Havelaar', terbit 1860, ditulisnya dalam jangka waktu sebulan (1859), di kamar sebuah hotel kecil di Brussel, Belgia. Oleh kalangan luas budaya di Belanda, karya Multatuli dinilai sebagai literatur Belanda yang terpenting. Multatuli telah memelopori suatu gaya penulisan yang merupakan gaya penulisan baru. Ia juga dikatakan sebagi romantikus terbesar dalam literatur Belanda.
Di negeri kita, Multatuli dinilai sebagai seorang sastrawan Belanda yang progresif. Beliau dihargai dan dikagumi. Karena sebagai orang Belanda , bahkan pejabat kolonial Hindia Belanda, ia punya hati nurani. Dengan jernih Multatuli mengisahkan nasib buruk rakyat Indonesia di bawah kekuasaan kolonial/feodal, dalam hal ini kaum tani di Lebak, dimana Multatuli pernah menjadi asisten residen.
Pada periode Orba penguasa melarang dipertunjukkannya film 'Max Havelaar' produksi Belanda. Alasannya ? Sungguh memalukan. Betul-betul mengungkap kepicikan jiwa penguasa Orba ketika itu. Sebagai alasan penolakan atas film tsb, dikatakan bahwa film tsb menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia (tuan-tuan feodal yang berkuasa ketika itu) diceriterakan sebagai 'lebih kejam' dari penguasa kolonial Hindia Belanda.
Bagi Indonesia ada arti khusus, arti besar, karena, Multatuli dan karyanya 'Max Havelaar' adalah salah satu tali penghubung dan pengikat bagi saling mengenal dan saling merespek berkenaan dengan usaha untuk memperbaiki lebih lanjut hubungan dua negeri dan bangsa, Indonesia dan Nederland.
* * *