Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 23 Mei 2013------------------------------
“DE VOLKSKRANT” Dan Resensi
Film
Dokumenter “THE ACT OF KILLING”
Tiap
hari
Kemis, salah satu s.k nasional Belanda yang terbesar, “de
Volkskrant”, memuat resensi film-film baru. Bahasa Indonesianya
dari “de Volkskrant”, adalah “Harian Rakyat” -- Perhatikan: --
”de Volkskrant” tak ada sangkut-pautnya dengan s.k. Indonesia,
“Harian Rakyat”, organ PKI. “Harian Rakyat” diberangus pada
hari-hari pertama Jendral Suharto berkuasa di Jakarta ( Oktoer
1965) –. Mungkin perhatian besar ini disebabkan a.l : -- pada
saaat ini sedang berlangsung banyak festival film internasional,
termasuk yang terpenting Festival Film Inernasional Cannes,
Perancis.
*
* *
Murti
yang
lebih dahulu membaca “de Volkskrant” hari ini, memberitahukan
padaku, bahwa dalam rubrik resensi film koran tsb ada tulisan
tentang film “The Act of Killing”. Pasti akan kubaca, kataku.
Betul
saja,
--- terdapat enam halaman penuh rubrik resensi film tsb. Antara
lain megomentari film thrilleryang dibintangi a.l oleh Robert
Redford, “The Company You Keep”. Film itu diberi nilai 3
bintang. Tapi, film cerita-dokumentar produksi Joshua
Oppenheimer, “The Act of Killing”, diberi nilai lima bintang.
Dan jumlah ruangan bioskop yang mentayangkannya ada – 75. Film
dengan Robert Redford sebagai peran utama itu diputar hanya di 5
ruangan zaal (ruangan cinema).
Penulis
resensi
“The Act of Killing”: Bor Beekman, memberitakan bahwa film “The
Act of Killing” sudah dipertunjukkan awal tahun ini di sebuah
festival film international “Movies That Matter”” , “Film yang
berbobot”. Resensi yang ditulisnya singkat saja. “Not bad”, kata
orang Inggris.
*
* *
Media
Belanda
memberitakan bahw film “The Act of Killing” telah menggondol
banyak Award international . Antara lain: “Panorama Audience
Award:” dan “Prize of the Ecumenical Jury” di Festival Film
International Berlin.
Di
Festival Dokumenter Madrid baru-baru ini “The Act of Killing”
merebut kemenangan ganda, memperoleh “Jury Award” dan “Audience
Award” sebagai film cerita-dokumenter TERBAIK.
Menarik
untuk
mengetahui bahwa film “The Act of Killing” diputar sedikitnya di
13 kota Belanda, seperti Amsterdam, Breda, Den Bosch, Den Haag,
Deventer, Groningen, Haarlem, Hoorn, Maastricht, Nijmegen,
Rotterdam, Tilburg dan Utrecht. Dan itu semua di bioksop umum.
Coba
bandingkan
dengan negeri kita, Indonesia. “The Act of Killing”, yang telah
menjadi buah bibir (pujian) publik internasional . . . . di
Indonesia masih belum bisa diputar terbuka untuk umum. Menurut
infornasi yang bisa diandalkan, untuk mempertunjukkannya terbuka
dimuka umum, harus melewati PANITIA SENSOR. Bisa dipastikan bila
diajukan kepada Panitia Sensor, permintaan izin merilis film
“The Act of Killing”, itu bisa nyangkut di situ. Dan entah
berapa lama harus menanti sampai izinnya keluar.
*
* *
Kiranya
banyak
yang sudah mendengar, meliha sendiri atau membaca bagaimana isi
ceritera film dokumenter “The Act of Killing”.
Daripada sendiri menulis ulang synopsis film “Jagal” –
The “Act of Killing”, baik kita baca saja ringkasan yang dimuat
oleh salah sebuah media mancanegara. Dokumenter ini adalah
wawancara dari sejumlah pelaku pembunuhan orang-orang PKI,
diduga atau sipatisan PKI. Kejadian itu berlangsung di tahun
1965-1966 di Sumatera Utara.
Tulisan
yang
di muat di Ensiklopedia Bebas Wikipedia mengenai film “The Act
of Killing”, memang patut dibaca. Juga baik bila membacanya
untuk kedua-kalinya. Tidak berat sebelah . .. .Cekak-aos,
lancar, dan mengenai “sasarannya”. Silakan membacanya!
*
* *
“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.
“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.
“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.
“Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.
“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.
“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”
“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.
“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
* * *
S.k. Belanda “de Volkskrant”, perhatikan ini . . ., adalah salah satu media Belanda, yang secara reguler meliput peristiwa-peristiwa penting bersangkutan dengan INDONESIA. “de Volkskrant” , adalah salah satu koran Belanda dewasa ini yang menempatkan wartawannya di Indonesia. Michiel Maas, namanya. Ketika kasus pembantaian masal tentara Belanda (1947) terhadap penduduk Rawagede menjadi ramai dibicarakan, s.k. “de Volkskrant” paling banyak menyiarkan liputan yang ditulis oleh wartawannya, Michiel Maas.
Begitu juga peristiwa pementasan film dokumenter “The Act of Killing” mendapatkan perhatian cukupan s.k. “de Volkskrant”.
* * *