Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 19 Oktober 2013
-----------------------
Joshua Oppenheimer:
“The 1965 – 1966 MASSACRES IN INDONESIA”
Sebuah film dokumenter “THE ACT OF KILLING”
* * *
Kemarin dulu, seperti biasa, sesudah makan malam, kutanyakan pada Murti: “Bengi iki ono film apik opo?” Murti, yang rajin membaca “TV Gids”- KRO, sebuah mingguan yang memuat banyak sekali acara-acara yang ditayangkan dalam seminggu – menjawab: “Ada, ada. Ada film dokumenter yang sudah lama ingin saya lihat”.
Yang dimaksud dengan film bagus itu adalah film dokumenter “The Act of Killing”, produksi Joshua Oppenheimer.
Demikianlah, -- malam itu bersama kami nonton film “The Act of Killing”. Murti untuk pertama kalinya nonton. Karena ketika dipertunjukkan oleh “Perhimpunan Persaudaraan” di Diemen ketika itu, Murti kebetulan sedang tidak sehat. Aku sudah ketiga kalinya melihat film itu. Namun, setiap kali melihatnya tokh tidak bosan,
* * *
Sejak 23 Mei 2013, di beberapa bioskop di Belanda mulai diputar film “The Act of Killing” , karya produser film Amerika, Joshua Oppenheimer. Film ini adalah film dokumenter unik dan terkenal mengenai kekejaman dan kebiadaban pembantaian masal terhadap orang-orang PKI, diduga PKI, asal etnisTionghoa dan pendukung Presiden Sukarno selama tahun-tahun gejolak 1965-66-67. Pembunuhan tsb dilakukan oleh segerombolan “preman”, anggota dari organisasi pemuda “PP”, Pemuda Pancasila. Yang menerima tugas itu dari kalangan militer.
Pembantaian masal tsb sejalan dan searah dengan digulingkannya Presiden Sukarno dan dibentuknya rezim Orde Baru di bawah Presiden Suharto.
* * *
Di mancanegara sudah belasan negeri yang mempertunjukkan film ini di bioskop yang terbuka untuk umum. Tapi di Indonesia film ini masih belum bisa dipertontokan di bioskop umum. Untuk itu diperlukan izin panitia sensor film Indonesia. Maka pertunjukan dilakukan di tempat-tempat terbatas.
Di Belanda: Surat-surat kabar berskala nasional memberitakan dan mengomentari sekitar film dokumenter “JAGAL”. Termasuk s.k. NRC Handelsblad yang menulis sampai tiga kali (22 Maret dan 13 Februari dan 14 Februari). harian De Volkskrant pada 21 Maret; harian Trouw, pada 21 Maret dan Mingguan De Groene Amsterdammer, 27 Februari. TV dan radio Belanda-Indonesia (Nieuwsuur) juga memberitakan dan ulasan.
* * *
Seorang penulis Jerman, Werner Herzo (71), yang juga adalah seorang sutradara, produser film, penulis, dan aktor, -- setelah melihat film “The Act of Killing”, berkomentar sbb:
“Saya belum pernah melihat sebuah film yang begitu kuat, nyata, dan menakutkan, paling tidak dalam sepuluh tahun belakangan ini, . . . . tak pernah terjadi sebelumnya hal yang begini terjadi dalam sejarah perfilman”.
* * *
S.k. De Volkskrant, 17 Oktober 2013, menulis dengan judul “Schokkend”. Artinya “Menggejutkan”. Dimuat juga juga foto adegan dimana para jagal Anwar Congo dan kawannya sedang “dirias” seolah-olah jadi “korban” siksaan para jagal. Di bawah dimuat komentar (dengan sedikit di-edit, dalam terjemahannya ke dalam bahasa Indonesai, supaya lebih mudah dimengerti), sbb:
Eksper-genosida Joshua Oppenheimer (38) tadinya mengharapkan memproduksi sebuah film dokumenter klasik mengenai orang-orang Indonesia di tahun enam-puluhan yang dipersekusi, karena mareka itu beraliansi dengan partai komunis.
Bertahun-tahun lamanya mereka (Joshua Oppenheimer dkk) menggeluti proyek tsb, tapi tak jadi-jadi. Para crew film selalu diintimidasi selama kerja mereka. -- Sampai masa ketika Oppenheimer berhasil bisa mengkontak para pelaku dan berjumpa dengan Anwar Congo., pemimpin dari kelompok-jagal. Yang sekarang ini sudah lansia.
Berkat propaganda pemerintah (Indonesia) yang menggambarkan para pembunuh itu sebagai pahlawan, Oppenheimer berhasil mebiarkan Anwar Congo memerankan sendiri tindakan-jahatnya, dalam film yang dibuat Oppenheimer. Hasilnya ialah, sebuah film dokumenter yang paling mengejutkan, paling mencengkm dan secara orisinil dituturkan. Yang tidak pernah terjadi selama ini.
* * *
Joshua Oppenheimer mengatakan kepada “de Volkskrant”:
“Mereka-mereka itu (para algojo) adalah orang-orang yang samasekali tidak mengerti apa itu film dokumenter. Oleh karena saya adalah seorang pembuat film Amerika, mereka menyangka bahwa kami akan membuat film Amerika”
Bahwa CANVAS, (studio TV Belgia) menyiarkannya malam ini, halmana sudah dilakukan oleh Belanda awal tahun ini, – – – kejadian ini merupakan suatu berkah. Film dokumenter “The Act of Killing” adalah sebuah film dokumenter hitam yang segera jadi klasik.
* * *
Di bawah ini dilampirkan penjelasan Joshua Oppenheimer, suatu synopsis mengenai film dokumenter yang membuat sejarah itu, (dalam teks aslinya, bahasa Inggris):
“The 1965 – 1966 MASSACRES IN INDONESIA”
Edited from observations on the massacres, their aftermath and implications, by Historian John Roosa. Many thanks to him for providing this summary. Additional opening and closing notes by Joshua Oppenheimer.
* * *
In 1965, the Indonesian government was overthrown by the military. Sukarno, Indonesia’s first president, founder of the non-aligned movement, and leader of the national revolution against Dutch colonialism, was deposed and replaced by right-wing General Suharto. The Indonesian Communist Party (PKI), which had been a core constituency in the struggle against Dutch colonialism, and which had firmly supported President Sukarno (who was not a communist), was immediately banned.
On the eve of the coup, the PKI was the largest communist party in the world, outside of a communist country. It was officially committed to winning power through elections, and its affiliates included all of Indonesia’s trade unions and cooperatives for landless farmers. Its major campaign issues included land reform, as well as nationalizing foreign-owned mining, oil, and plantation companies. In this, they sought to mobilize Indonesia’s vast natural resources for the benefit of the Indonesian people, who, in the aftermath of three hundred years of colonial exploitation, were, on the whole, extremely poor.
After the 1965 military coup, anybody opposed to the new military dictatorship could be accused of being a communist. This included union members, landless farmers, intellectuals, and the ethnic Chinese, as well as anybody who struggled for a redistribution of wealth in the aftermath of colonialism.
In less than a year, and with the direct aid of western governments, over one million of these “communists” were murdered. In America, the massacre was regarded as a major “victory over communism”, and generally celebrated as good news. Time magazine reported “the West’s best news for years in Asia”, while The New York Times ran the headline, “A Gleam of Light in Asia”, and praised Washington for keeping its hand in the killings well hidden.
(The scapegoating of the ethnic Chinese, who had come to Indonesia in the 18th and 19th centuries, was done at the incitement of the US intelligence services, which sought to drive a wedge between the new Indonesian regime and the People’s Republic of China. The slaughter of village-level members of the PKI and its affiliate unions and cooperatives was also encouraged by the US, who was worried that without a “scorched earth” approach, the new Indonesian regime might eventually accommodate the PKI base.)
In many regions of Indonesia, the army recruited civilians to carry out the killings. They were organized into paramilitary groups, given basic training (and significant military back up). In the province of North Sumatra and elsewhere, the paramilitaries were recruited largely from the ranks of gangsters, orpreman. Ever since the massacres, the Indonesian government has celebrated the “extermination of the communists” as a patriotic struggle, and celebrated the paramilitaries and gangsters as its heroes, rewarding them with power and privilege. These men and their protégés have occupied key positions of power – and persecuted their opponents – ever since.
The pretext for the 1965-66 genocide was the assassination of six army generals on the night of 1 October 1965. (above written by Joshua Oppenheimer).
1.10.1965: The Thirtieth of September Movement (Gerakan 30 September, or G30S), made up of disaffected junior Indonesian Armed Forces Officers, assassinated six Indonesian Army Generals in an abortive coup and dumped their bodies down a well south of the city. At the same time, the Movement’s troops took over the national radio station and announced that they intended to protect President Sukarno from a cabal of right-wing army generals plotting a seizure of power. The Movement was defeated before most Indonesians knew it existed. The senior surviving army commander, Major General Suharto, launched a quick counter-attack and drove the Movement’s troops from Jakarta within one day.
Suharto accused the Communist Party of Indonesia (PKI) of masterminding the Movement and then orchestrated an extermination of persons affiliated with the party. Suharto’s military rounded up over a million and a half people, accusing all of them of being involved in the Movement. In one of the worst bloodbaths of the 20th century, hundreds of thousands of individuals were massacred by the army and its affiliated militias, largely in Central Java, East Java, Bali, and North Sumatra from late 1965 to mid-1966. In a climate of national emergency, Suharto gradually usurped President Sukarno’s authority and established himself as the de facto president (with the power to dismiss and appoint ministers) by March 1966.
The massacres were out of all proportion to their ostensible cause. The Movement was a small-scale conspiratorial action organized by a handful of people. In total, it killed twelve people. Suharto exaggerated its magnitude until it assumed the shape of an ongoing, nation-wide conspiracy to commit mass murder. All the millions of people associated with the PKI, even illiterate peasants in remote villages, were presented as murderers collectively responsible for the Movement.
Indonesian government and military officials, to the very end of the Suharto regime in 1998, invoked the specter of the PKI in response to any disturbance or sign of dissent. The key phrase in the regime’s argument was “the latent danger of communism.” The unfinished eradication of the PKI was, in a very real sense, the raison d’être of the Suharto regime. The original legal act under which the regime ruled Indonesia for over thirty years was Sukarno’s presidential order of 3rd October 1965, authorizing Suharto to “restore order.” That was an emergency order. But for Suharto, the emergency never ended.
In constructing a legitimating ideology for his dictatorship, Suharto presented himself as the saviour of the nation for having defeated the Movement. His regime incessantly drilled the event into the minds of the populace by every method of state propaganda: textbooks, monuments, street names, films, museums, commemorative rituals and national holidays. The Suharto regime justified its existence by placing the Movement at the centre of its historical narrative and depicting the PKI as ineffably evil. Under Suharto, anti-communism became the state religion, complete with sacred sites, rituals, and dates.
It is remarkable that the anti-PKI violence, as such a large-scale event, has been so badly misunderstood. No doubt, the fact that both military personnel and civilians committed the killings has blurred the issue of responsibility. Nonetheless, from what little is already known, it is clear that the military bears the largest share of responsibility and that the killings represented bureaucratic, planned violence more than popular, spontaneous violence. The Suharto clique of officers, by inventing false stories about the Movement and strictly controlling the media, created a sense among civilians that the PKI was on the warpath. If there had not been this deliberate provocation from the military, the populace would not have believed the PKI was a mortal threat since the party was passive in the aftermath of the Movement. (The military worked hard to whip up popular anger against the PKI from early October 1965 onwards; and the US Government actively encouraged the Indonesian military to pursue rank and file communists). It prodded civilian militias into acting, gave them assurances of impunity, and arranged logistical support.
Contrary to common belief, frenzied violence by villagers was virtually unheard of. Suharto’s army usually opted for mysterious disappearances rather than exemplary public executions. The army and its militias tended to commit its large-scale massacres in secret: they took captives out of prison at night, trucked them to remote locations, executed them, and then buried the corpses in unmarked mass graves or threw them into rivers.
The tragedy of modern Indonesian history lies not just in the army-organized mass killings of 1965-66 but also in the rise to power of the killers, of persons who viewed massacres and psychological warfare operations as legitimate and normal modes of governance. A regime that legitimated itself by pointing to a mass grave at the site of the well, vowing “never again,” left countless mass graves from one end of the country to the other, from Aceh on the western edge to Papua on the eastern edge. The occupation of East Timor from 1975 to 1999 similarly left tens, if not hundreds, of thousands dead, many anonymously buried. Each mass grave in the archipelago marks an arbitrary, unavowed, secretive exercise of state power.
The obsession with a relatively minor event (the Movement) and the erasure of a world-historical event (the mass killings of 1965-66) has blocked empathy for the victims, such as the relatives of those men and women who disappeared. While a monument stands next to the well in which the Movement’s troops dumped the bodies of the six army generals on October 1, 1965, there is no monument to be found at the mass graves that hold the hundreds of thousands of persons killed in the name of suppressing the Movement. (above written by John Roosa).
Focus on who killed the army generals on 30th September 1965 has functioned as a fetish, displacing all attention from the murder of over one million alleged communists in the months that followed. Suharto’s regime produced endless propaganda about the “brutal communists” behind the killing of the generals, and still today most discussion of the genocide has been displaced by this focus. And this is true even in most English-language sources. To me, participating in the debate around “who killed the generals” feels grotesque, which is why it does not feature in The Act of Killing.
The Rwandan genocide was triggered when Rwandan president Juvénal Habyarimana (a Hutu) died after his aeroplane was shot down on its approach to Kigali. To focus on who shot down the plane (was it Tutsi extremists? was it Hutu extremists acting as provocateurs?) rather than the murder of 800,000 Tutsis and Hutu moderates over the next 100 days would be unconscionable. Similarly, who started the Reichstag fire is irrelevant to an understanding of the Holocaust. Whether or not the disgruntled army officers behind the killing of the six generals had the support of the head of the PKI is much more than beside the point: it plays, as John Roosa points out above, the pernicious role of deflecting attention from a mass murder of world-historical importance. Imagine if, in Rwanda, the fundamental question about what happened in 1994 was “who shot down the president’s plane?” This would only be thinkable if the killers remained in power… (above written by Joshua Oppenheimer).
See more at: http://theactofkilling.nl/synopsis.php#sthash.nciDxgax.dpuf
* * *
Sunday, October 27, 2013
Friday, October 18, 2013
17 OKTOBER 1952 – TANK-TANK DAN MONCONG MERIAM DIHADAPKAN KEPADAKU . . .
Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 17 Oktober 2013
----------------------
17 OKTOBER 1952 – TANK-TANK DAN MONCONG MERIAM DIHADAPKAN KEPADAKU . . .
SUATU USAHA “KUP” YANG (Sementara) GAGAL
DIULANGI Pada 01 OKTOBER 1965 . . BERHASIL!!
* * *
PERISTIWA 17 OKTOBER 1952
Masih segar dalam ingatanku!
Betapa gedung DPR di Jakarta diobrak-abrik oleh “massa”. Besama seorang kawan, salah seorang guru Perguruan Kris, pada tanggal 17 Oktober 1952 itu, kami sengaja pergi melihat sendiri kerusakan yang terjadi di Gedung DPR. “Aksi massa” ini, merupakan bagian dari aksi tuntutuan Angkatan Darat di bawah Letkol Abdul Haris Nasution, KASAD ketika itu. Tuntutannya, ialah agar Presiden Sukarno “membubarkan Parlemen”.
Namun, -- bagian yang terpenting dari “gerakan 17 Oktober” tsb adalah diturunkannya beberapa kesatuan bersenjata AD. Mereka menyerbu masuk halaman Istana Medeka. Sejumlah kendaraan lapis baja dan beberapa meriam diposisikan dengan moncongnya diarahkan ke Istana Merdeka.
Apakah yang sesungguhnya terjadi pada pagi hari 17 Oktober 1952 itu?
Sesungguhya tidak sulit untuk memahaminya. “Aksi militer plus sipil” tsb adalah suatu tindakan permulaan dari suatu “KUP”. Tetapi, karena sasaran kup, --- Presiden Sukarno, bersikap berani dan dengan tegas menantang langsung menghdapi “massa” yang berdemo dan pasukan yang mengancam di depan Istana tsb; Maka KUP GAGAL!
Dua perwira tinggi Angkatan Darat yang mendalanginya, A.H. Nasution dan T.B. Simatupang dicopot dari jabatannya oleh Presiden Sukarno. Tetapi Presiden Sukarno memang negarawan berlapang dada, --- dan bermurah hati. Beliau lebih peduli keselamatan bangsa dan lebih mengutamakan keutuhan bangsa serta jangan sampai terjadi perpecahan di kalangan angkatan bersenjata.
* * *
Sejarah mencatat, percobaan KUDETA yang gagal pda 12 Oktober 1952, tigabelas tahun kemudian, 01 Oktober 1965, yaitu KUP militer di bawah Jendral Suharto BERHASIL meyingkirkan Presiden Sukarno. Membunuh demokrasi dan menegakkan rezim Ode Baru.
Melalui suatu “genosida” terhadap golongan Kiri dan pendukung Presiden Sukarno. Dengan megorbankan sekitar 3 juta warga tidak bersalah!
* * *
Mari ikuti tulisan BUNG KARNO, tentang peristiwa tsb dan baca kemudian apa ulasan dan analisi sumber asing mengenai hal itu:
“Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat”, Cindy Adams, Edisi Revisi, 2007 -- a.l sbb:
“. . . . Pagi-pagi pada tanggal 17 Oktober 1952 dua buah tank, empat kendaraan berlapis baja dan ribuan orang menyerbu memasuki pintu gerbang Istana Merdeka membawa spanduk “Bubarkan Parlemen”. Satu batalyon artileri dengan empat buah meriam menderu-deru memasuki halaman istana. Merimameriam 25-pon bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku. Pameran kekuatan ini mencerminkan kelatahan dari zaman itu. Tindakan ini tidak dapat dikatakan bijsaksana, karena para pamglima yang memimpin gerakan itu berada bersamaku di dalam Istana.
Kolonel Abdul Haris Nasution, yang memimpin percobaan “setengah kup”, sebagaimana ia kemudian menamakannya, menyampaikan masaalahnya. “Ini tidak ditujukan kepada Bung Karno pribadi, melainkan untuk menentang sistim pemerintahan. Bung Karno harus segera membubarkan Prlemen.”
Mataku memerah karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu tetapi salah dalam caranya. Sukarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia”.
“Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara”, balas Nasution. “Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus mati. Wajar bila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung”.
“Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno -- YA. Tetapi mengancam Bapak Republik Indonesi -- TIDAK! JANGAN SEKALI-KALI”.
Dengan tenang aku berjalan keluar langsung berhdapan dengan massa yang telah dirasuki suasana kegila-gilaan dalam arti kata sesungguhnya. Seluruh kawasan itu berada dalam keadaan perang. Alih-alih gemetar ketakutan di bawah kekuasaan meriam-meriam lapangan, aku menatap langsung ke mulut-mulut senjata itu dan tanpa rasa takut kulampiaskan kemarahanku kepada mereka yang mencoba membunuh demokrasi dengan pasukan bersenjata.
“Hah . . . hah,” kata seorang prajurit terengah-engah.”Tindakan kita ini salah, Bapak Presiden tidak menyetujuinya.”
“Yahh . . .”
“Bapak ingin cara lain,” dua orang yang berdekatan menyatakan persetujuannya.
Yang lain berteriak. “Bila Bil;a Bapak Presiden tidak menyetujui cara ini . . .” “Kita pun tidak setuju,” sambung yang lain pula.
“Kup” itu mengalamai kegagalan total. Barisan itu membubarkan diri sambil berteriak, “Hidup Bung Karno . . . ! Hidup Bung Karno!”
Nasution diberhentikan dari jabatannya. Aku tidak ingin menimbulkan perpecahan antara diriku dengan Angkatan Darat, karena itu kemudian aku mengangkatnya kembali pada jabatannya dan mengatakan, “Sukarno bukanlah anak kecil dan Nasution pun bukan anak kecil. Kita akan tetap bersatu, karena jika musuh-musuh berhasil memecah-belah kita, maka Republik kita pasti hancur.” Demikian Bung Karno.
* * *
Sebuah analisis “Wikipedia” berbahasa Indonesia, mengemukakan a.l. sbb: . . “Akibat pertentangan internal di dalam Angkatan Darat maka ia (Letkol A.H Nasustion) menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Sukarno mencopotnya dari jabatan KASAD . .. Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.
Analisis Wikipedia yg berbahasa Inggris mengemukakan: “. . Dalam tahun 1952, Nasution dan Simatupang menyimpulkan melakukan poitik restrukturisasi dan reorganisasi ABRI. Di bawah pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi lebih modern dan profesional. Tidak lama kemudian , mncullah konflik kepentingan faksionil.Nasution dan Simatupang did not take long however, before factional interests came into play. Nasution and Simatupang, yag memperoleh didikan pemerintah kolonial Belanda hendak memecat militer didikan Jepang, dan memsukkan prajurit-prajurit yang dilatih oleh Belanda. Tentara yang mendapat latihan Jepang di bawah pimpinan Bambang Supeno, mulai tampil menentang politik ini.
Dalam menjalankan politik mereka, Nasution dan Simatupang memperoleh dukungan dari PM Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX. Namun Bambang Supeno menemukan dukungan dari partai-partai oposisi di DPR. Para angggota DPR meulai menyatakan oposisi mereka terhadap rencana restrukturisasi ABRI tsb. Nasution dan Simatupang tidak senang dengan keadaan ini karena menganggapnya sebagai campur tangah sipil dalam urusan militer.
Pada tanggal 17 Oktober 1952 Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan dalam suatu “unjuk kekuatan”. Mereka memprotes campur tangan sipil ke urusan militer. Nasution dan Simatupang memerintahkan pasukannya mengepung Istana Presiden dan mengarahkan mocong senjatga mereka ke Istana. Nasution dan Simatpang juga memobilisasi fihak sipil. Sukarno keluar dari \Istana dan meyakinkan prajurit dan massa untuk pulang ke rumah masing-masing. Nasution dan Simatupang dikalahkan.
* * *
MASIH SEKITAR PENGAKUAN "DE JURE" BELANDA . . . Penyessalan dan Pengakuan PM W. Kok
Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 16 Oktober 2013
---------------------
MASIH SEKITAR
PENGAKUAN "DE JURE" BELANDA . . .
Penyessalan dan Pengakuan PM W. Kok
* * *
Belanda mau mengakui, atau, tidak mau mengakui de jure, atas Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945, – – – Memang hala itu bukan masaalah sederhana bagi pemerintah Belanda. Prof Dr Saafruddin Bahar, historikus senior, dalam emailnya kepadaku kemarin dulu, membenarkan, . . . . bahwa masaalah tsb bagi Belanda seperti menghadapi buah simalakama. Mengakui salah. Tidak mengakui, APALAGI!
Meneruskan, memperluas dan mendalami masaalah ini, sungguh penting! Terutama bagi generasi muda kita. Dalam rangka mengkhayati sejarah bangsa, memantapkan kesedaran berbangsa!
Itlah sebabnya kita membalik sejenak ke masa ketika Wim Kok pemimpin PvdA, Parai Buruh Belanda, menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda. Sekitat periode itu situasi hubungn Indonesia-Belanda punya syarat-syarat positif untuk memulai dengan landasan baru dalam hubungan kedua negeri ini. Di Belanda sedang memerintah kabinet PvdA yang pandangannya relatif lumayan terhadap Indonesia ketika itu. Dan di Indonesia ada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid hasil pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Orde Baru Suharto.
Dalam situasi itulah menjelang kunjungan Presiden Gus Dur ke Belanda, aku melayangkan sepucuk SURAT TERBUKA kepadda PM Wim Kok , karena pada
saat-saaat yang krusial sesudah perang itu, dimana diletakkan dasar bagi
negeri kita untuk kemakmuran dewasa ini, Belanda masih bisa menarik
keuntungan dari bekas jajahannya. Demikian Giebels.
Dengan demikian, pemerintah kolonial Belanda, sampai dengan pertengahan
tahun limapuluhan, bukan saja telah mengeduk keuntungan sebesar-besarnya
selama lebih dari 300 tahun dari Indonesia, atas kerugian dan penderitaan
bangsa Indonesia, tapi juga telah menerima _suntikan_ finans dan ekonomni
dari Indonesia, untuk pemulihan dan pembangunan ekonominya sesudah Perang
Dunia II.
Makanya sekali lagi harus diulangi lagi disini apa yang diucapkan oleh
Meneer Bert Koendert, dalam membandingkan sikap Belanda terhadap Jepang yang nuntut Jepang
minta maaf, dengan sikap Belanda yang _berlagak pilon_ terhadap dosa-dosanya
di Indonesia, sebagai suatu sikap yang h i p o k r i t .
Mudah-mudahan sikap hipokrit Belanda ini berangsur-angsur bisa diatasi.
Sebabnya ialah karena kedua belah fihak, baik Belanda maupun Indonesia, akan
meneruskan hubungannya selanjutnya, atas dasar yang baru samasekali, bila
Belanda menyadari akan kedudukannya dalam sejarah kolonialnya terhadap
Indonesia.Dan jangan bersikap seperti sekarang ini, seperti kata pepatah
Indonesia: “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata, tidak
disadarinya”.
Tidak di luar dugaan saya, bahwa workshop tentang masalah hubungan masa
depan Belanda dan Indonesia, memberikan tanggapan yang positif terhadap
saran-saran yang diajukan untuk memperbaharui dasar-dasar hubungan antara
kedua negeri. Ini tercermin a.l. dari pendapat Prof Nico Schulte Nordholt.
Beliau menyarankan agar pada teks buku sejarah yang resmi untuk
sekolah-sekolah Belanda, dengan tegas dicantumkan bahwa hari Kemerdekaan
Indonesia adalah pada tanggal 17 Agustus 1945, dan bahwa tanggal 27 Desember
1949, adalah hari ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia . Memang
benar, lapisan luas masyarakat Belanda, bisa berfikir objektif, tidak
seperti sementara kaum elitenya, yang masih sulit untuk melepaskan diri dari
sisa-sisa pengaruh mentalitas kolonial _tempo dulu_. Dalam hal perubahan ke
pandangan yang maju, bisa dipastikan bahwa _Festival Pengetahuan_ PvdA
telah memberikan sumbangan yang positif.
Saya masih mengharapkan bahwa pada kesempaqtan Hari Nasional Peringatan
Proklamasi Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus tahun ini, pemerintah
Belanda akan mempertimbangkan untuk menyatakan penyesalannya atas masa
lampaunya di Indonesia dan menghormati sikap dan pandanngan bangsa Indonesia
bahwa Sukarno adalah proklamator, presiden Republik Indonesia yang pertama,
dan adalah salah seorang _founding fathers_ dari nasion dan negara Republik
Indonesia.
* * *
Tuesday, October 15, 2013
DIALOG Interaktif Di Facebook -- : Mengapa BELANDA Menolak Mengakui De Jure – Republik Indonesia Proklamasi 1945?
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 14 Oktober 2013
----------------------
DIALOG Interaktif Di Facebook -- :
Mengapa BELANDA Menolak Mengakui De Jure – Republik Indonesia Proklamasi 1945?
* * *
Setelah disosialisasikannya tulisan (Kolom Ibrahim Isa - 12 Okt. 2013) -- sekitar masalah penolakan pemerintah Belanda mengakui de jure negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, -- bisa di baca di media internet, pelbagai respons mengenai kasus tsb. Antara lain respons dari Prof Dr Said Salim, mantan Dubes RI di Praha; Yanti Mirdayanti – dosen di Universitasw Hamburg, Jerman, dan banyak mahasiswa post graduat Indonesia yang sedang studi di Belanda, dan pelbagai kalangan di Indonesia. Di bawah ini disiarkan a.l beberapa respons tsb.
Masalah ini menjadi hangat kembali dengan kunjungan Ketua KUKB, Batara Hutagalung, ke negeri Belanda (10 – 13 Oktober 2013). Batara Hutagalung mengajukan masalah tsb dalam pertemuannya dengan Prof Dr Henk Schulte Nodholt, Pimpinana KITLV, Leiden, -- dan dalam percakapannya dengan Harry Van Bommel, anggota Tweede Kamer (Parlemen) wakil Partai Sosialis (SP), dan Angeline Eisjink wakil Partai Buruh, PvDA di Parlemen, Den Haag.
Kemudian dalam pertemuan dengan pelbagai kalangan masyarakat Indonesia di Belanda, Batara Hutagalung memberikan penjelasan panjang lebar mengenai masalah tsb. Disampaikannya pula ide untuk mengadakan SEMINAR DI BELANDA, DALAM TAHUN 2014, dengan tema sekitar Hubungan Indonesia-Belanda, dengan fokus masaalah pengakuan de jure pemerintah Belanda atas Repbulik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
* * *
Segi lain dari masalah pengakuan de jure oleh Belanda atas Republik Indonesia 17-08-945, seperti dikemukakan dalam tulisan terdahulu, ialah masalah “Indische Weigeraars”. Ketika Belanda mengirimkan pasukan KL ke Indonesia untuk melikwidasi Republik Indonesia, ratusan anggota militer KL menolak dikirim ke Indonesia, atas dasar politik ataupun keyakinan agama. Mereka ditangkap dan divonis desertir dan dipenjarakan. Dikeluarkan dengan tidak hormat dari tentara. Mereka yang menolak dikirim ke Indonesia itu, terkenal dengan nama “Indische Wigeraars”, ternyata benar. Nyatanya pemerintah Belanda sendiri akhirnya melalui Persetujuan KMB meninggalkan Indonesia.
Para “Indische Wegeraars” sekarang menuntut keadilan, ,menuntut pemerintah merehabilitasi mereka, dan vonis mereka itu “desertir”supaya dicabut.
Untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai kasus “Indische Weigreraars” tsb dibawah ini dilampirkan sebuah tulisan besangkutan dengan masalah tsb berjudul:
DUA “INDIË-WEIGERAARS” (Mantan KL Yg Membangkang Dikirim ke Indonesia) GUGAT Vonis Pengadilan Militer Belanda 60 Tahun y.l
* * *
Beberapa respons:
SURYADI SUNURI, Leiden
Generasi muda politikus Belanda harus berani 'memotong' kanker sejarah negerinya yang memalukan ini. Jika tidak, akan sulit dicapai kemajuan baru dan pencerahan dalam hubungan diplomatik INDONESIA - BELANDA. Generasi Rutte harus tegar dan mengakui bahwa para pendahulunya dulu tak luput dari perbuatan2 yang menyalahi hakikat kemanusiaan.
* * *
Prof Salim Said,
Jakarta, 13 okt 2013
Santunan Pemerintah BelandaKepada Beberapa Janda Tua di Sulawesi Selatan dan tafsiran politiknya.
Karena Belanda tidak mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, maka hingga pengakuan kedaulatan, Desember 1949,orang Indonesia di mata Belanda adalah masih warga/kaula Belanda. Maka pada saat beberapa janda tua menerima uang kompensasi/santunan atas kematian keluarga mereka oleh aksi teror Westerling tahun 1946 di Sulawesi Selatan, status para janda tua di mata Belanda adalah kaula Belanda. Santunan tersebut harus dilihat sebagai santunan dari pemerintah Belanda kepada warga negaranya sendiri.
Tafsirannya, Belanda merasa bersalah karena tentaranya (Westerling) mengorbankan/membantai warga negaranya sendiri. Dengan kata lain, tidak ada dampak politik bagi Belanda atas pemberian kompensasi kepada janda tua tersebut.Permintaan maaf Dubes Belanda lebih merupakan pernyataan menyesal pemerintah Belanda atas kebrutalan tentaranya kepada warga negara mereka sendiri. Jelasnya,bukan permintaan maaf kepada Indonesia.
Jadi jangan dibaca terlalu jauh pemberian santunan kepada beberapa Janda tua di Sulawesi Selatan tersebut
* * *
SANTY MY, – Dosen Di Universitas Hamburg, Jerman
Hamburg, 13 okt 2013
MENGAPA SAMPAI SAAT INI BELANDA MASIH KEUKEUH MENYEBUTKAN BAHWA INDONESIA MERDEKA TAHUN 1949 :
Bila pemerintah Belanda mengakui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai hari berdirinya negara Republik Indonesia, maka situasi ini akan menempatkan pemerintah Belanda harus mempertangungjawabkan dua kali agresi militer yang diselubungi dengan istilah “aksi polisionil” terhadap negara Republik Indonesia. Agresi pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948.
Follow-upnya ialah, bahwa Belanda harus membayar pampasan perang terhadap negara Republik Indonesia yang diagresinya. Selain itu harus mengembalikan “pampasan perang” yang (terpaksa) dibayar pemerintah Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai kelanjutan dari Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Repubik Indonesia dan Kerajaan Belanda (Den Haag, 1949).
Suryadi Sunuri
Generasi muda politikus Belanda harus berani 'memotong' kanker sejarah negerinya yang memalukan ini. Jika tidak, akan sulit dicapai kemajuan baru dan pencerahan dalam hubungan diplomatik INDONESIA - BELANDA. Generasi Rutte harus tegar dan mengakui bahwa para pendahulunya dulu tak luput dari perbuatan2 yang menyalahi hakikat kemanusiaan.
D.s. Dhani
Dan seperti yang kita ketahui, tidak mungkin Belanda mau mengembalikan "pampasan perang" itu. Kalau itu dibayar, konsekuensinya berat. Bukan hanya uang, tetapi selain gengsi sebagai negara maju, bagaimana dengan kedudukan orang-orang Indonesia -terutama yang "membela" Belanda dalam KMB- dalam sejarah Belanda (dan Indonesia tentunya) yang sekarang hidup beranak-pinak di Belanda? Mereka sekarang ini di sana hidupnya cukup baik, secara ekonomi maupun secara posisi sosial.
* * *
Mohamad Agar Kalipke
Seharusnya Belanda bertanggung jawab seperti Jerman. Pemerintah Jerman sampai sekarang "berutang moral" dan berutang "bungkam" terhadap kaum Yahudi, walaupun itu masa yang berlalu, tetapi perbutan Hitler yang laknat terhadap bangsa Yahudi yang tidak berdosa. Berbuatlah seperti Jerman, wahai sahabat kami Belanda; sesungguhnya kami tahu itu bukanlah perbuatan kalian zaman sekarang, melainkan perbuatan nenek moyang kalian zaman dahulu. Kita sekarang bersahabat, tetapi setidaknya lakukan keadilan membantu bangsa Indonesia di segala bidang dengan segala kekurangan kami. Catatan: ini bukan semua orang Belanda yang menyukai konlonial!
* * *
Kolom Ibrahim Isa
Minggu, 16 Desember 2012
DUA “INDIË-WEIGERAARS” (Mantan KL Yg Membangkang Dikirim ke Indonesia) GUGAT Vonis Pengadilan Militer Belanda 60 Tahun y.* * *
INDONESIA BISA BELAJAR DARI BELANDA!
* * *
Perisiwa ini sangat unik dan relevan dengan situasi kita. Para aktivis HAM dan masyarakat umumnya bisa belajar dari keuletan dan konsistensi perjuangan dua mantan tentara Belanda. Mereka memperjuangkan keadilan bagi mereka sendiri dan kebenaran sikap mereka yang membangkang ketika akan dikirim ke Indonesia untuk berperang melawan Republik Indonesia. Mereka memperjuangkan rehabilitasi nama baik dan integritas sikap mereka ketika itu.
* *
Peristiwanya: -----
Kasus dua orang mantan tentara Belanda yang sudah “manula”; -- Jan van Luyn (83 th) dan -- Jan van Maassen (86 th). . . . Mereka berdua menggugat vonis yang dijatuhkan terhadap mereka 60 tahun y.l. Mereka dituduh melakukan “desersi”. Ketika itu Belanda melancarkan perang terhadap Republik Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Kedua anggota KL (Koninklijke Leger – Tentara Kerajaan Belanda) tsb menolak dikirim ke Indonesia.
Mereka membangkang, tidak mau, -- atas nama melakukan tugas “memulihkan ketertiban” di Indonesia – hakikatnya berperang melikwidasi Republik Indonesia yang baru merdeka. Mereka merasakan betapa menderita di bawah pendudukan Jerman Hitler (1940-1945); betapa merasa bersyukur negeri Belanda telah dibebaskan oleh tentara Sekutu (Canada).
Maka mereka merasa (negeri) Belanda yang baru dibebaskan itu, tidak berhak dan tidak benar mengirimkan tentara ekspedisi untuk menindas bangsa Indonesia yang sudah memerdekakan dirinya dari pendudukan Jepang.
Mereka menolak membunuhi rakyat Indonesia yang telah memilih merdeka lepas dari Nederland. Mereka tidak mau disuruh “memberantas pemuda-pemuda ekstremis Indonesia di bawah pimpinan Sukarno, yang (katanya) membunuhi orang-orang Belanda pada periode “Bersiap”.
Anggolta-anggota tentara Belanda yang akhirnya mengambil bersikap demikian itu, tidak hanya mereka berdua saja. Masih ada ratusan lainnya, rekan-rekan mereka yang juga “menolak” dikirim ke Indonesia. Dan oleh karena itu dijatuhi hukuman dengan diberi cap “desertir”. Jelas, mereka menganggap vonis itu sewenang-wenang dan tidak adil.
Padahal mereka yakin benar bahwa penolakan mereka itu didasarkan dan didorong oleh rasa kemanusiaan, keadilan dan kebenaran terhadap rakyat Indonesia. Dan ini mereka perjuangkan terus, lebih 60 tahun lamanya. Dan sekarang ini resmi dan formal diajukan ke lembaga peradilan Belanda untuk ditinjau kembali dan dibatalkan.
Bukankah dari kasus mantan tentara Belanda van Luyn dan van Maassen ini, para aktivis HAM dan demokrasi serta seluruh masyarakat kita bisa menarik pelajaran yang positif. Menarik pelajaran dari perjuangan demi keadilan dan kebenaran yang dilakukan oleh “pembangkang-pembangkang” tentara Belanda yang menolak diperintahkan bertempur melawan Republik Indonesia??
* * *
Jan van Luyn dan Jan van Maasen divonis oleh Pengadilan Tinggi Militer Belanda (Hoog Militair Gerechtshof) dalam tahun 1950 dan 1951 karena “dienstweigering”, menolak dinas militer. Jan van Luyn diganjar 3 tahun penjara. Menteri Kehakiman Belanda juga mencabut hak-pilihnya untuk waktu lima tahun. Sedangkan Van Luyn dipenjarakan selama dua tahun.
* * *
Dalam kasus naik banding ke Pengadilan Tinggi (Hoge Raad) menggugat vonis tsb kedua orang mantan tentara Belanda itu (sungguh menarik sekali) dibela oleh advokat Mr Liesbeth Zegveld. Mr Liesbeth Zegveld, adalah advokat Belanda yang yang sama, yang telah membela para janda korban pembantaian terhadap penduduk Rawagede oleh tentara Belanda (1947). Kasus tuntutan para janda korban pembantaian Belanda, akhirnya dimenangkan Pengadilan Den Haag dalam gugatannya terhadap pemerintah Belanda (2011).
Kali ini, -- lagi-lagi advokat Zegveld itu, yang mengajukan tuntutan kepada Hoge Raad Belanda, (Jum'at pekan lalu), untuk meninjau kembali vonis terhadap dua mantan tentara Belanda tsb. Advokat Zegveld mendasarkan gugatannya itu atas kenyataan bahwa dua puluh tahun setelah berlangsungnya agresi pertama dan kedua Belanda terhadap Republik Indonesia
Inti Konflik Indonesia-Belanda, . . . .
Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 12 Oktober 2013
----------------------
Inti Konflik Indonesia-Belanda, adalah
Mengakui Atau Tidak Mengakui PROKLAMASI KEMERDEKAAN , 17 AGUSTUS 1945
* * *
Adalah mengenai masalah tsb diatas, --- yaitu kasus “Pengakuan DE JURE oleh Belanda Atas Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 Oleh Sukarno – Hatta” – – mengenai masalah PENGAKUAN ini yang diperbincangkan dan diangkat dalam kolom ini.
Dilihat dari pandangan perlunya menghkhayati dan memantapkan Kesadaran Sejarah, Kesedaran Berbangsa, maka mempersoalkan masalah tsb diatas merupakan bagian penting, dalam proses mengenal lebih rinci dan kongkrit sejarah bangsa sendiri dan dengan demikian merupakan kegiatan dan usaha pencerahan sejarah Indonesia. Bukankah mengenai sejarah bangsa sendiri masih sangat minim diketahui masyarakat? Khususnya di kalangan generasi muda kita. Karena, semasa sekolah dulu, siswa-siswa melulu dicekoki dengan sejarah yang diplintir, dipalsu dan direkayasa oleh rezim Orde Baru.
* * *
Kemarin malam, hari Jum'at, 11 Oktober 2013, . . . . Meskipun cuaca buruk, sepanjang hari hujan membasahi terus bumi Belanda, namun . . . mulai jam 18.00 s/d jam 20.45, sekitar 20 warga Indonesia berkumpul di Hembrugstraat 148, Amsterdam. Mereka membicarakan masalah sejarah bangsa. Atas undangan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, para tamu tsb berdatangan dari Amsterdam dan sekitarnya, Almere dan Leiden. Juga hadir dua orang penulis Belanda.
Inti tema diskusi yang dipandu pembicara utama BATARA HUTAGALUNG, “Ketua Komite Utang Kehormatan” (KUKB), . . adalah Sekitar pendirian dan sikap Pemerintah Kerajaan Belanda. . . . Mengakui atau Tidak Mengakui de jure Negara Republik Indonesia yang berdiri di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agusus 1945.
Perhatian peserta diskusi cukup besar . . .. Ambil bagian dalam diskusi atas undangan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, adalah, a.l Eddy Djoenaedi (Ketua Yayasan Bhinneka Tunggal Ika, YBTK), dan dua orang anggota Pengurus YBTK – Irma Pasaribu dan Farida Ishaya; Aminah Idris ( Stichting Dian), Sarmaji dan Gogol (Perdoi), dan Mintardjo Sardjio (Diskusi Lintas Generasi, Oestgeest.), dan I. Isa dari Stichting Wertheim.
* * *
Sahabatku Batara Hutagalung, menjelaskan bahwa kunjungannya ke Belanda, adalah untuk bertemu dengan Prof Dr Henk Schulte Nordholt (KITLV) dan dua orang anggota Tweede Kamer (Parlemen) Belanda, Harry Bommel (SP-Partai Sosialis) dan Angeline Eijsink (PvDA – Partai Buruh). Misinya adalah untuk menjelaskan bahwa:
Tuntutan utama KUKB adalah pengakuan de jure terhadap proklamasi 17.8.1945, dan bukan kompensasi untuk 100 atau 200 orang.
* * *
Bagi pemerinth Belanda masalah mengakui atau tidak mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, telah memojokkan dirinya sendiri dalam posisi seperti makan buah simalakama. Belanda ada dalam posisi serba salah.
Bila berkeras tidak hendak mengakui de jure negara Republik Indonesia yang diprokalamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dengan bersilat lidah, menggunakan perumusan diplomatik yang megecoh, seperti yang dilakukan oleh Menlu Belanda, Ben Bot ( 16/8/2005), < Ben Bot menyatakan di Jakarta a.l “... Through my presence the Dutch government expresses its political and moral acceptance of the Proklamasi, the date the Republic of Indonesia declared independence ...”> . . .maka sikap ini akan selalu merupakan kendala dalam hubungan baik, wajar dan saling menghormati, antara kedua negara yang sama derajat.
Di lain fihak, --- bila pemerintah Belanda mengakui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai hari berdirinya negara Republik Indonesia, situasi ini akan menempatkan pemerintah Belanda harus mempertangungjawabkan dua kali agresi militer yang diselubungi dengan istilah “aksi polisionil” terhadap negara Republik Indonesia. Agresi pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dan agresi militer kedua pada tanggal 19 Desember 1948.
Follow-upnya ialah, bahwa Belanda harus membayar pampasan perang terhadap negara Republik Indonesia yang diagresinya. Selain itu harus mengembalikan “pampasan perang” yang (terpaksa) dibayar pemerintah Indonesia kepada pemerinttah Belanda sebagai kelanjutan dari Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Repubik Indonesia dan Kerajaan Belanda (Den Haag, 1949).
Belum lagi persoalan yang pasti timbul dari fihak kalangan militer Belanda. Para mantan Kl dan KNIL, akan mengajukan tuntutan keadilan, atas kerugian dan pengorbanan yang mereka derita di masa lalu. Ketika mereka diperintahkan untuk melakukan dua kali agresi militer besar-besaran terhadap Republik Indonesia., atas nama membela keamanan dan kedaulatan Kerajaan Belanda dari ”serangan kaum teroris dan ekstremis Indonesia.”. Lagipula para anggota militer Belanda, KL, yang ketika itu memolak dikirim ke Indonesia untuk berperang melawan Republik Indonesia, kemudian divonis sebagai disertir, dan dipenjarakan, akan dibenarkan atas tindakan mereka yang ketika itu membangkang terhadap pemerintah Kerajaan Belanda. Dan harus direhabitiasi nama baik dan hak-haknya.
Maka bisa diperkirakan betapa besar tanggung jawab politik, militer dan
keuangan yang harus dipikul Belanda, bila secara jelas dan formal Belanda melakukan pengangkuan de jure atas negara Republik Indonesia yang diprokalamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
* * *
Sikap pemerintah Indonesia, sehrusnya, menurut KUKB, adalah sbb:
Pengakuan de jure terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah masalah MARTABAT sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Apabila bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda ini, maka dengan kata lain, bangsa Indonesia membiarkan sikap Belanda, bahwa yang ada di makam-makam pahlawan di seluruh Indoesia adalah para perampok, perusuh, pengacau keamanan dan ekstremis yang dipersenjatai oleh Jepang.
Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemerintah Belanda akan mengubah sikapnya yang “plin-plan” berkenaan dengan pengakuan de jure atas Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ini tampak dari pemberitaan yang diluncurkan di Belanda sekitar kunjungan mendatang Perdana Menteri Beland Rutte ke Indonesia.
Bulan November yad, PM Rutte dari Kerajaan Belanda akan berkunjung ke Indonesia. Menurut Dubes Belanda untuk Indonesia, kunjungan PM Rutte ke Indonesia tujuannya adalah dalam rangka “melihat kedepan”. Berarti tidak akan membicarakan soal-soal “tempo doeloe”.
Lebih tegas lagi, kunjungan Perdana Menteri Rutte ke Indonesia, tidak untuk a.l minta maaf atas kesalahan dan kejahatan Belanda selama menguasai Hindia Belanda. Beliau ke Indonesia bukan untuk mengakui de jure negara Republik Indonesia, yang dipoklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
* * *
Sekitar MASALAH SEJARAH
Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 10 Oktober 2013
----------------------
Sekitar MASALAH SEJARAH
Sebuah Dialog -- Disulut oleh artikel – R. William Liddle Pembela Orde Baru
Dan Sanggahan Iqra Anugrah
* * *
Dialog Interaktif di FB, menarik, bermanfaat dan merupakan dorongan baru lagi dalam kegiatan PENCERHAH SEJARAH mengkoreksi politik Orba yang melakukan pemelintiran dan rekayasa sejarah bangsa, khususnya sekitar berdirinya dan berlangsungnya rezim Orde Baru di bawah kepresidenan Jendral Suharto.
Iqra Anugrah, yang artikelnya disajikan di bawah ini, mengingatkan pembaca pada sebuah artikel berjudul "Tantangan Negara Preman", tulisan R. William Liddle, yang katanya adalah seorang "Indonesianis senior". William Liddle mengecam film "The Act of Killing", karya film Joshua Oppenheimer. Disebabkan oleh analisa sejarah yang dikemukakan Oppenheimer dalam film tsb.
Ketika aku membaca artikel Liddle tsb, kesanku ialah bahwa, William Liddle berkubang dalam "arus sakal" yang dimunculkan para protagonis rezim otoriter Orde Baru, sesudah tumbangnya rezim Presiden Suharto . Dimulainya era Reformasi dan Demokratisasi ditandai oleh membeludaknya penulisan dan kegiatan pencerahan sejarah atas rekayasa dan pemelintiran sejarah bangsa oleh penguasa dan sejarawan pendukung Orde Baru.
* * *
Aku termasuk berpendapat tak ada gunanya berusaha melempangkan fikiran "arus sakal" yang didukung oleh Liddle. Karena, lebih baik memusatkan pada usaha utama - - - ambil bagian dalam gerakan pencerahan sejarah bangsa yang sedang marak sekarang ini. Menghabiskan waktu dan fikiran saja meladeni "arus sakal" yang sudah usang dalam konsepsi dan visi sejarahnya.
* * *
Sanggahan yang ditulis oleh Iqra Anugrah dan kesimpulan yang diambilnya mengenai tulisan Wiliam Liddle, adalah suatu kesimpulan yang mengenai sasarannya. "Membongkar Sesat Pikir a la Orba" . . . Pas betul! . .. Tulis Iqra pada awal artikelnya:
"Setelah membaca artikel tersebut, mengingat konsekuensi yang bisa dihasilkan darinya dan pentingnya penerangan warisan Peristiwa ’65 bagi kita, saya memutuskan untuk menulis artikel ini dan sampai pada kesimpulan berikut: ‘buah pikiran dan sikap yang tercermin dalam tulisan Liddle mengonfirmasi bahwa beliau adalah seorang apologis Orde Baru (OrBa).’[1]"
* * *
Sahabat Sri Lestari Wahyuningrum yang sedang menempuh post graduate study di Leiden, juga Arif Harsana, pengelola mailist "Temu Eropah", memforwadkan artikel Iqra Anugrah, dengan
mengutip bagian berikkut ini dari truisan Iqra:
"Sejarah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditafsirkan, apalagi jikalau kita melihat masa lalu dari kacamata masa kini. Sejarah juga tidaklah monolitik – terdapat berbagai kompleksitas dalam fragmen-fragmen sejarah. Namun, sejarah juga soal kejujuran dan juga kemanusiaan. Hanya melalui pembacaan sejarah yang jujur – yang mengakui dengan lantang fakta genosida 65 dan dampaknya hingga sekarang, kita bisa merumuskan posisi teoretik dan praxis kita dalam melihat Peristiwa ’65."
Merespons Sri Lestari dan Arif Harsana kutulis sbb:
Kok kebetulan ketika saya membuka catatan saya, saya temui kembali sebuah artikel yang ditulis oleh seorang historikus muda Belanda, Geerten Waling (Baik diikuti sebagai tambahan input mendiskusikan sekitar tema SEKITAR SEJARAH) . . .
Dalam tulisannya itu Waling menyampaikan bhw pd tanggal 14 Juni y.l. para historikus muda Belanda mengadakan “malam-debat”. di gedung "De Rode Hoed" di Amsterdam. "De Rode Hoed" artinya (Topi Merah - kok kebetulan Merah lagi. Bukan berarti bahwa para historikus muda Belanda itu ideologi/politiknya pada merah semua) . . .. Waling juga mengungkap bahwa tahun ini lebih dari seribu mahasiswa baru Belanda memilih SEJARAH, sebagai arah studinya. . . .
Di Indonesia tercinta bagaimana situasinya (tanya kepada Pak Aswi, Romo Baskara, Said Salim, Hoesein Roesdhy)
Nama-nama ini bisa ditambah . . . Yang menarik ialah, Waling mengungkap, bahwa, hasil studi sejarah di Belanda, kebanyakan menghasilkan sarjana dengan pandangan KRITIS TERHADAP SEJARAH . . . tapi juga (sayangnya) . . . SINIS.. . .. Waling juga mengeritik sikap para dosen sejarah Belanda, bukan dengan tekun dan teliti mengajurkan siswa-siswanya, untuk mempelajari buku-buku tulisan sejarawan terkemuka Belanda seperti Huizinga, Romein, Geyle, De Jong dan banyak lainnya,
TAPI dengan pertimbangan kepentingan sendiri, menganjurkan para siswanya UNTUK MEMBELI BUKU YANG DITULISNYA SENDIRI . .
Akhirnya historikus muda Belanda, Geerten Waling, mengingatkan para historikus muda untuk bersikap BERTANGGUNG JAWAB terhadap tradisi main-obral profesi sejarah Belanda, pada segi lainnya - - supaya bersikap tepat terhadap masyarakat yang berhak hadirnya historikus-historkus yang berkepedulian dan punya dedikasi . .berhak memperoleh cermin dan teladan yang berotoritas, -- tidak saja mengenai masa KINI tetapi juga untuk duapuluh, empatpuluh dan seratus tahun kedepan. . . . .
Disatu fihak kita menyaksikan perhatian besar kaum muda Belanda terhadap masalah sejarah. Di lain fihak terungkap bahwa mengenai masalah sejarah. . . . mereka serius . . . Bayangkan mengadakan MALAM DEBAT SEJARAH . . oleh para historikus muda . . . . Tidak salah mengadakan yang serupa di Indonesia. Bagaimana Pak Asvi, Pak Said Salin, Pak Hoesein, Pak Baskara . . . .Bung-Bung Bonnie . . . Wilson . . . Hilmad Farid . . .. . ??
* * *
Mari ikuti tulisan Iqra Anugrah di bawah ini (semua cetak tebal oleh kolumnis I.I.)
Enam Lima dan Distorsi Besar ala OrBa
oleh: Iqra Anugrah
Diunggah IndoPROGRESS pada 9 Oktober 2013 dalam Analisa Politik
Sebuah tanggapan atas R. William Liddle
Iqra Anugrah, mahasiswa doktoral ilmu politik di Northern Illinois University, AS
AWALNYA saya agak enggan untuk menulis sebuah artikel tentang genosida 65, apalagi dikala banyak artikel lain menulis hal serupa. Bukan apa-apa, namun seperti yang ditulis oleh kawan Windu Jusuf dalam artikelnya Enam Lima dan Kita, beberapa waktu yang lalu, saya takut kembali terjebak dalam rutinitas ‘komodifikasi’ Peristiwa ’65 dan penekanan yang berlebihan narasi korban, melupakan fakta bahwa rakyat jelata pernah mencoba menjadi subyek sejarah dalam politik Indonesia.
Namun, ada satu tautan yang segera menarik perhatian saya dan membuat saya mengernyitkan dahi. Ya, benar, tautan itu adalah artikel Indonesianis senior R. William Liddle Tantangan Negara Preman, atau yang lebih akrab dikenal sebagai Profesor Liddle di Kompas, mengenai film The Act of Killing (TAoK) dan Peristiwa ’65. Setelah membaca artikel tersebut, mengingat konsekuensi yang bisa dihasilkan darinya dan pentingnya penerangan warisan Peristiwa ’65 bagi kita, saya memutuskan untuk menulis artikel ini dan sampai pada kesimpulan berikut: ‘buah pikiran dan sikap yang tercermin dalam tulisan Liddle mengonfirmasi bahwa beliau adalah seorang apologis Orde Baru (OrBa).’[1]
Membongkar sesat pikir ala OrBa
Setidaknya ada empat topik yang dapat kita bahas dan bongkar dari tulisan Liddle. Pertama, kejengkelan Liddle atas tafsir dan analisa sejarah dalam TAoK. Kedua, anjuran perlunya membaca sejarah ‘alternatif’ dibumbui dengan retorika ‘kejamnya Komunis’ di berbagai belahan dunia. Ketiga, pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar Peristiwa ’65 dan terakhir, kritik Liddle atas tafsir ‘negara preman’ atas politik Indonesia.
Pertama, kita tentu bertanya-tanya, mengapa Liddle ‘sebagai orang yang sudah lama mengikuti perkembangan politik Indonesia’ katanya, ‘jengkel pada pembuatnya, baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisa kontemporernya?’ Oya, sebagai catatan tambahan, sebagai seorang ilmuwan politik dan pengkaji studi Asia Tenggara, posisi teoretik Liddle pada dasarnya adalah anti-Marxis.[2]
Pertanyaan di atas berkaitan dan membawa kita ke pertanyaan kedua: tafsir sejarah macam apa yang dibela Liddle? Liddle menulis mengenai ‘membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang’ kemudian segera lompat ke lagu lama: kegelisahan elemen-elemen masyarakat non-komunis, totalitarianisme rejim-rejim Komunis, Komunis sebagai Atheisme dan seterusnya.
Dari pembacaan tersebut, perlahan-lahan kita bisa meraba posisi teoretik, politik dan moral Liddle. Izinkanlah saya mengeksplisitkan berbagai posisi yang sifatnya masih implisit tersebut.
Pertama-tama, Liddle memulai dengan mengritik TAoK yang ‘mengimplikasikan’ bahwa Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno adalah pemerintahan yang ‘sah’ – menurut standarnya Liddle, tentu saja. Ada dua kesesatan berpikir yang dilakukan secara bersamaan di sini: penarikan logika yang terburu-buru dan pengabaian atas konteks sejarah. Apa pemerintahan yang sah menurut Liddle? Bagaimana dengan ‘pengambilan kekuasaan’ ala Suharto dan Orde Barunya dan cara-caranya untuk berkuasa dan menindas – apakah itu pemerintahan yang ‘sah’? Tentu kita bisa berdebat panjang mengenai warisan sejarah macam apa yang ditinggalkan Bung Karno – namun ini berada di luar pembahasan kita kali ini. Namun, pembacaan sejarah seperti ini abai dengan fakta sejarah bagaimana berbagai kekuatan politik rakyat dan juga Bung Karno sendiri, berusaha memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di tengah-tengah imperialisme global – apa jangan-jangan bagi Liddle sejarah selamanya adalah cerita mengenai orang-orang besar, elit-elit yang ‘tercerahkan?’
Kemudian, Liddle dalam pengamatannya atas politik Indonesia semasa studi lapangan untuk penelitian doktoralnya berujar:
‘Kesan kuat saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Simalungun waktu itu merasa teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain itu, orang beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah pemerintahan totaliter yang terbukti membunuh jutaan warganya sendiri setelah partai komunis berkuasa di sana.’
Oke, kita tahu bahwa berbagai rejim Stalinis di Barat dan di Timur membunuh dan menindas sejumlah warganya atas nama Sosialisme dan kesetaraan. Hal tersebut tentunya adalah tragedi kemanusiaan yang patut dikecam. Namun, pembacaan yang lebih cermat atas berbagai fragmen sejarah menunjukkan bahwa Sosialisme dan ide-ide Kiri tidak serta merta identik dengan gulag dan tiang gantungan – bahkan, Stalinisme sesungguhnya adalah penyimpangan dan pengkhianatan atas Marxisme. Bahkan, Marxisme dan Gerakan Kiri pernah dan masih menjadi panduan teoretik dan praxis serta harapan bagi berbagai kaum yang lemah dan tertindas untuk menuju pembebasannya – sebagaimana dapat kita lihat dalam berbagai Gerakan Pembebasan Nasional, Chile di masa Allende, Gerakan Kiri Baru di dekade 1960an di berbagai negeri Barat, berbagai Gerakan Rakyat di Amerika Latin dan Asia Timur, dan masih banyak lagi – termasuk PKI dan berbagai kelompok dari spektrum politik lain (Nasionalis dan Agama) di Indonesia. Lagipula, menyebut berbagai tragedi kemanusiaan di bawah rejim-rejim Stalinis dan totaliter lainnya namun abai terhadap genosida yang terjadi di depan mata di tanah air sendiri, terdengar seperti pepatah lama: gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang lautan tampak.
Sehingga, saya jadi bertanya-tanya apa yang dimaksud Liddle sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Lalu, apa kriteria yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Padahal, kita tahu bahwa historiografi hegemonik seputar Peristiwa ’65 dulunya didominasi oleh historiografi OrBa yang justru sangat tidak berimbang. Baru-baru ini saja berbagai pembacaan sejarah yang benar-benar lebih berimbang, seperti TAoK, bermunculan. Itupun penyebarannya masih terbatas meskipun pelan-pelan meluas. Jadi kalau begitu, kembali saya menantang Profesor Liddle dengan sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud sebagai ‘sejarah yang lebih berimbang?’ Semoga saja bukan sejarah G30S versi Orde Baru, yang selain dinodai oleh propaganda militer dan OrBa, juga telah dimentahkan oleh berbagai hasil penelitian dari para pengkaji Asia Tenggara mengenai G30S, mulai dari Cornell Paper hingga Dalih Pembunuhan Massal. Lagipula, propaganda OrBa dalam film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ bukan hanya menyesatkan namun juga lebay dari sisi sinematografis: bayangkan pasukan Cakrabirawa yang menembaki berbagai gelas dan barang-barang pecah belah lainnya secara inefisien dan berlebihan sebelum mengeksekusi para jenderal.
Ini membawa kita ke persoalan ketiga, yaitu pembacaan Liddle atas konteks sejarah seputar Peristiwa ’65. Dari berbagai pernyataan Liddle, kita dapat mengidentifikasi sejumlah pembacaan yang meleset dari konteks dan berpotesi menyesatkan. Konteks kelas yang dipahami Liddle, misalnya, tidak mengangkat persoalan bagaimana eksploitasi kapitalis bekerja di banyak perkebunan dan sektor-sektor ekonomi lain di Sumatera Utara dan berbagai tempat di Indonesia – sampai dengan sekarang.[3] Kemudian, Liddle juga masih terjebak dalam pola pikir dikotomis dan simplistis ala OrBa, yang memosisikan Komunis(me) sebagai musuh bersama dan menyamakan Komunisme dengan Ateisme dan sejumlah ‘isme-isme’ yang buruk lainnya seperti sinisme dan entah apa lagi, abai dengan kompleksitas sejarah yang membentuk pola pikir dan pemahaman sejarah yang simplisistis seperti itu, seakan-akan tidak pernah ada agenda-agenda anti-Kapitalis dan anti-Kolonialis yang diperjuangkan oleh Sarekat Islam (SI), sosok seperti Haji Misbach, aliansi Islam dan Komunisme yang muncul di berbagai pemberontakan petani di masa kolonial seperti di Banten, gagasan aliansi antara Islam, Komunisme dan Nasionalisme yang diusulkan oleh Tan Malaka dan Soekarno, atau bagaimana tokoh-tokoh pergerakan nasional dari segala spektrum politik memperoleh inspirasi ide-ide progresif dari Marxisme dan sejumlah pemikiran Kiri lainnya.
Terakhir, Liddle mempersoalkan klaim TAoK yang dinilai terlalu bombastis. Untuk persoalan ini, jujur, pemahaman saya agak terbatas terutama soal detail sejarah dan keanggotaan berbagai ormas vigilantis yang ada di Nusantara. Yang ingin saya persoalkan adalah implikasi pembahasan Liddle yang terpaku pada debat angka dan detail historis dari premanisme dan sejumlah gejala penyakit predatorisme politik lainnya terkesan mengecilkan dampak persoalan tersebut. Padahal sejumlah karya ilmiah sudah membahas mengenai akutnya predatorisme ekonomi-politik yang tertanam di sejarah kita. Sejarawan Hilmar Farid (2005) misalnya membahas mengenai genosida 65 sebagai upaya ‘akumulasi primitif’ (primitive accumulation) untuk melebarkan jalan bagi ekspansi kapitalisme OrBa, sosiolog Vedi R. Hadiz (2010) membahas mengenai pembajakan proses desentralisasi oleh elit-elit predatoris lokal, kemudian terdapat juga berbagai karya lainnya yang membahas mengenai berbagai kelompok-kelompok vigilantis yang didukung oleh berbagai elit dan kepentingan predatoris, dan masih banyak lagi – dan kerap kali berbagai fenomena tersebut terletak dalam aliansi tidak suci antara negara, kapital dan sektarianisme. Mungkin Pak Liddle perlu melepaskan kacamata pluralisnya yang terlampau utopis untuk lebih memahami persoalan-persoalan tersebut secara lebih realistis.
Lalu, selanjutnya?
Sejarah bukanlah persoalan yang mudah untuk ditafsirkan, apalagi jikalau kita melihat masa lalu dari kacamata masa kini. Sejarah juga tidaklah monolitik – terdapat berbagai kompleksitas dalam fragmen-fragmen sejarah. Namun, sejarah juga soal kejujuran dan juga kemanusiaan. Hanya melalui pembacaan sejarah yang jujur – yang mengakui dengan lantang fakta genosida 65 dan dampaknya hingga sekarang, kita bisa merumuskan posisi teoretik dan praxis kita dalam melihat Peristiwa ’65.
Kita tahu ada kompleksitas sejarah seputar ’65, terutama mengenai konflik antara berbagai kelompok Islam santri dan PKI (disclaimer: saya juga seorang Muslim yang lahir dan besar dalam keluarga santri). Namun alih-alih terjebak dalam pembacaan sejarah ’65 ala OrBa – yang secara tidak langsung kembali dipromosikan oleh Liddle dalam artikelnya, kita sesungguhnya bisa bergerak melampaui pembacaan tersebut. Dua tawaran dari kawan Windu, yaitu mengakui kontribusi elemen Kiri bangsa – termasuk PKI – dalam memperjuangkan visi politik yang emansipatoris di Indonesia dan menjauhi komodifikasi Peristiwa ’65 patut dipertimbangkan secara serius. Kemudian, tawaran dari kawan Airlangga Pribadi dalam artikelnya Kita Adalah Korban, yang meletakkan baik kelompok Islam santri dan Kiri sebagai korban dari imperialisme dan kapitalisme internasional dan menjauhi pandangan yang monolitik dan esensialis atas kelompok Islam santri dalam persaingan politiknya vis-à-vis PKI, juga merupakan terobosan atas pembacaan sejarah ’65. Tawaran-tawaran lain yang perlu kita pikirkan secara serius, apalagi jikalau kita mengaku demokratis, adalah rehabilitasi atas berbagai hak-hak korban ’65 sebagai warga negara – dan bukannya sekedar formalitas rekonsiliasi dan permintaan maaf – dan pencabutan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dibandingkan dengan tawaran-tawaran yang saya sebut di atas, pembacaan sejarah ’65 ala Liddle bukan hanya ketinggalan zaman, namun saya khawatir juga menyesatkan. Begitu mengejutkan bahwa rupa-rupanya masih ada seorang ilmuwan, wabil khusus pengkaji Indonesia, yang secara tidak langsung menyodorkan pembacaan ‘utilitarian’ ala OrBa, yang meskipun implisit, dapat menjerumuskan kita ke sebuah konsekuensi logis berupa justifikasi atas pembantaian massal atas kader-kader PKI, orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI dan ormas-ormasnya, serta penumpasan gerakan rakyat.
Oleh karena itu, saya rasa, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa posisi teoretik Liddle adalah seorang apologis OrBa.***
Saya mengucapkan terima kasih kepada sejumlah kawan yang mendorong saya untuk menulis
artikel ini.
Penulis beredar di twitterland dengan id @libloc
Kepustakaan:
Farid, H., 2005. Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies, 6(1), pp. 3-16.
Hadiz, V. R., 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. Palo Alto: Stanford University Press.
Winters, J. A., 2011. Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
[1] Pelabelan seperti in bukan yang pertama kalinya, bukannya tidak berdasar dan bukan sekedar gosip dunia akademik. Sebagai contoh misalnya, silahkan cek buku karya Jeffrey Winters (2011, hlm. 140), Oligarchy, di mana Winters membahas posisi teoretik Liddle yang berargumen bahwa terintegrasinya Indonesia ke dalam kapitalisme global adalah berkat ‘manajemen politik yang handal dari Presiden Suharto’ (‘the skillful political management of President Suharto’) dan karenanya menganjurkan ‘apresiasi terhadap Suharto sebagai seorang politisi’ (‘appreciation of Suharto the politician’) dan mengeluh bahwa ‘pengkaji asing dan berbagai pengamat politik Indonesia tidak terlalu tertarik untuk menghargai sang presiden atas pencapaiannya’ (‘foreign specialists and other observers of Indonesian politics have not been inclined to give the president much credit for his achivements’).
[2] Untuk pembahasan yang jernih mengenai persoalan ini, silahkan merujuk ke artikel kawan Airlangga Pribadi di tautan ini http://indoprogress.com/menuju-demokrasi-bermutu-zonder-lamunan/ Berkaca dari posisi anti-Marxis Liddle, mungkin juga kita bisa menarik kesimpulan bahwa implikasi praxis dari posisi teoretik Liddle yang anti-Marxis adalah anti-Gerakan Rakyat.
[3] Lihat tulisan kawan Windu Jusuf yang membahas mengenai hal ini di http://indoprogress.com/lkip/?p=55 dan film Globalization Tapes yang merupakan proyek awal Joshua Oppenheimer s
* * *
Wednesday, October 9, 2013
SEKITAR KEGIATAN "MEJA INDONESIA" Universitas Leiden
Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 09 Oktober 2013
---------------------
=====================================================
SEKITAR KEGIATAN "MEJA INDONESIA" Universitas Leiden
=====================================================
Bung Suryadi yth.,
"MEJA INDONESIA" Universitas Leiden yang diadakan setiap HARI RABU, adalah suatu inisiatif yang terpuji.
Jempol saya untuk para pemrakarsa dan penyelenggaranya.
Dalam usia sudah lanjut ini (83), sebagai mantan guru di PERGURUAN KRIS, saya menaruh perhatian besar pada pertumbuhan dan perkembangan BAHASA INDONESIA --- BAHASA INDONESIA YANG BENAR.
Membaca "bahasa Indonesia" di media dewasa ini, apalagi "chat-chat" di internet, . . . . . . kita menjadi khawatir melihat penggunaan bahasa yang "belépotan" dan seénaknya saja, . . . . dan merasa itulah bahasa Indonesia.
* * *
Kapan MEJA INDONESIA itu dimulai?
Bila tak ada aral melintang dan kondisi kesehatan mengizinkan, sekali tempo saya berhasrat hadir di pertemuan terpuji itu. Menganjurkan pencinta BAHASA INDONESIA juga ramai-ramai hadir di situ.
Salam,
Ibrahim Isa
* * *
Lampiran:
Leiden University
Leiden University Institute for Area Studies (LIAS)
Meja Indonesia
To give students the opportunity to practice spoken Indonesian outside of class, the department of South and Southeast Asian Studies will organise a weekly Meja Indonesia.
Here, students of the Indonesian language and students from Indonesia can meet in an informal manner. The spoken language will be Indonesian.
This semester, the Meja Indonesia will be held every Wednesday, starting on 1 pm during lecture period, in the coffee room of the Huizinga building (Doelensteeg 16, 2311 VL Leiden).
Contact: s.suryadi@hum.leidenuniv.nl
Everyone is welcome!
'Meet and practice' at Meja Indonesia
LIAS
Last Modified: 16-09-2013
* * *
MANDELA KAGET TK ADA FOTO BUNG KARNO DI GEDUNG ASIA-AFRIKA
Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 07 Oktober 2013
----------------------
Bacalah artikel di bawah ini:
Pertama kali kubaca hari ini di FB-nya Amir Hendradi (Jerman), berjudul:
=============================================================
MANDELA KAGET TK ADA FOTO BUNG KARNO DI GEDUNG ASIA-AFRIKA
=============================================================
Penulis: Jay Akbar Jay --- Jay Akbar adalah Alumni Sejarah Universitas Diponegoro Semarang. Saat ini bekerja sebagai wartawan di salah satu media nasional. Meminati kajian sejarah, budaya, dan militer.
* * *
Artikel penting ini, mengungkapkan betapa parahnya rezim oriter Orde Baru Jendral Suharto bertindak dalam usahanya MEMULAS SEJARAH BANGSA.
Politik de-Sukarno-sasi Orba tidak kepalang tanggung: Presiden Sukarno yang memprakarsai Konferensi Asia-Afrika di Bandung (1955), dan yang mengucapkan KEYNOTE SPEECH, pidato pembukaan, yang memberikan arah politik strategis bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam perkembangan selanjutnya, - - - FOTONYA. GAMBARNYA DICOPOT DARI GEDUNG MERDEKA, Gedung Asia-AFrika di Bandung.
Ketika pemimpin perjuangan kemerdekaan Afrika Selatan melawan rezim rasis apartheid, Nelson Mandela, berkunjung ke Bandung dalam bulan Oktober 1990, beliau SENGAJA BERTANYA DIMANA GAMBAR SUKARNO??? Mandela tahu betul bahwa gambar Presiden Sukarno memang telah disingkirkan oleh rezim Orba -- Maka sebagai "teguran sopan" beliau mengajukan pertanyaan itu. Yang membikin para pengantar dan petugas di situ "kalang kabut".
* * *
Serentetan fakta lainnya sudah banyak diungkap, ditulis dan diucapkan mengenai POLITIK REKAYASA DAN PEMALSUAN SEJARAH YANG DIJALANKAN OLEH ORBA . . .
Yang dikemukakan dalam artikel Jay Akbar di bawah ini adalah salah satu dari pemalsuan sejarah yang dilakukan oleh rezim Orba.
Makanya sering kita heran dibuatnya . . . bagaimana mungkin orang-orang yang menamakan dirinya dan merasa cendekiawan sejarah di bawah rezim Orba, -- seperti Prof Nugoroho Notosusanto, Taufik Abdulah c.s., sebagai ilmuwan, sebagai cendekiawan bisa mentolerir, -- bahkan aktif melakukan pemalsuan sejarah seperti itu. Kalaulah kita bicara mengenai KERUSAKAN JIWA DAN MENTAL CENDEKIAWAN PENDUKUNG REZIM ORBA, ---- selain keterlibatan mereka dengan berdirinya dan berlangsungnya rezim Orba, dengan pelanggaran HAM berat sekitar Peristiwa 65, ---- kerusakan jiwa dan mental mereka sebagai cendekiawan, ------- adalah keterlibatan secara aktif atau setidak-tidaknya mentolerir PEMALSUAN SEJARAH BANGSA YANG DILAKUKAN OLEH PENGUASA REZIM ORBA.
* * *
MANDELA KAGET TAK ADA FOTO BUNG KARNO DI GEDUNG ASIA AFRIKA
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
06 October 2013
* * *
Dekade 1990-an pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan selama 19-22 Oktober Mandela menyempatkan diri mengunjungi Gedung Museum Konfrensi Asia Afrika di Bandung.
Bagi Mandela, Gedung Konfrensi Asia Afrika punya makna penting. Di gedung ini, pada 1955 semangatnya untuk memerdekakan Afrika Selatan dibakar Soekarno.
Tapi betapa terkejut dan herannya Mandela, ketika di gedung yang amat bersejarah bagi bangsa-bangsa di Asia-Afrika, itu tak ada foto mantan Presiden Soekarno. Yang ada hanyalah foto Ali Sastroamidjojo dan Roeslan Abdulgani sebagai pejabat yang terlibat mengurus Konferensi Asia Afrika.
Padahal di mata Mandela, Soekarno lah penggagas Konfrensi Asia Afrika. “Where is the picture of Soekarno. Every leaders from Asia Africa came to Bandung because Soekarno, where is his picture? (Dimana gambar Soekarno. Seluruh pemimpin di Asia Afrika datang ke Bandung karena Soekarno. Dimana gambarnya?)” tanya Mandela kepada para pejabat Muspida Jawa Barat yang saat itu mendampinginya.
Mendengar pertanyaan Mandela, para pejabat Muspida Jawa Barat kalang kabut. Mereka kebingungan mencari jawaban. “Gambar Soekarno saat itu tidak terpasang di tempat yang seharusnya sesuai peran sejarah beliau,” kata Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir Soekarno, saat menceritakan kisahnya kepada saya di Jakarta, Rabu (14/8)
Saat Mandela ke Bandung, Sidarto menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat periode 1988-1991. Mantan ajudan terakhir Soekarno yang sekarang menjabat sebagai Ketua MPR ini mengatakan pertanyaan Mandela membuktikan betapa kuat proses de-soekarnoisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap Soekarno. Berbagai upaya dilakukan untuk mereduksi peran sejarah Soekarno.
“Padahal Konfrensi Asia Afrika 1955 dihadiri banyak pemimpin Asia Afrika seperti Gamal Abdul Nasser (Mesir), Jawaharlal Nehru (India), Chou En Lai (Cina), Ho Chi Minh (Vietnam), Nrukamh, Norodom Sihanouk (Kamboja). Ini adalah bukti pengakuan bangsa Asia Afrika kepada kepemimpinan Soekaro-Hatta,” ujar Sidarto.
Dalam memoarnya “Sidarto Danusubroto Ajudan Bung Karno: Sisi Sejarah Yang Hilang Masa Transisi Di Seputar Supersemar”, Sidarto menceritakan alasan Mandela sangat apresiatif dan menghormati Soekarno. Menurut Sidarto, Mandela terkesima dengan pidato pembukaan Soekarno di Konferensi Asia-Afrika.
“Kalau saya melayangkan pandangan saya dalam gedung ini dan melihat para tamu yang terhormat berkumpul di sini, saya sungguh terharu. Inilah konferensi antarbenua yang pertama dari bangsa-bangsa kulit berwarna sepanjang sejarah umat manusia!,” kata Soekarno, saat berpidato ketika itu.
“Adalah satu babakan baru dalam sejarah dunia, bahwa pemimpin bangsa-bangsa Asia Afrika dapat berkumpul di dalam negeri-negerinya sendiri untuk merundingkan dan mempertimbangkan masalah-masalah mengenai kepentingan bersama.” o.
Mendengar pidato Soekarno itu, kata Sidarto, semangat Mandela untuk memerdekakan rakyat Afrika Selatan dari penjajahan Inggris terlecut! Sampai akhirnya pada 31 Mei 1961 Afrika Selatan berhasil mencapai kemerdekaan.
Kekaguman Mandela terhadap Soekarno bukan sekadar basa-basi politik yang biasa terjadi dalam kunjungan kenegaraan seorang pejabat negara. Kekaguman itu mengakar terus hingga ke masa kepresiden Megawati Soekarnoputri. Ketika itu, pada September 2002, Megawati mengunjungi Johannesburg Afrika Selatan. “Lazimnya para pemimpin negaralah yang berkunjung ke kediamannya tapi justru Mandela menemui Presiden Megawati ke Johannesburg sebagai putri Bung Karno yang dikaguminya,” kata Sidarto.
Peran Soekarno di kancah dunia bukan cuma harum di Afrika Selatan. Di Kairo, Mesir misalnya, terdapat nama jalan “Ahmed Soekarno St.” yang letaknya bersebelahan dengan Jalan Sudan, Daerah Kit-Kat Agouza Geiza. Pemberian nama jalan “Soekarno” itu merupakan bukti penghormatan Bangsa Mesir terhadap Soekarno.
Dalam catatan sejarah, Soekarno memang pernah beberapakali mengunjungi Mesir di antaranya pada 18 Juli 1955 dan sebelum tahun 1965. Dalam kunjungan itu Soekarno selalu disambut hangat oleh Presiden Mesir, Gamal Abdul Naseer dan rakyat Mesir.
Tak cuma di Mesir, peran sentral Soekarno di Konfrensi Asia Afrika juga harum di Maroko. Nama Soekarno di abadikan sebagai nama jalan di kawasan Rabat. Bahkan jalan ini langsung diresmikan sendiri oleh Soekarno bersama Raja Muhammad V pada 2 Mei 1960. “Semula jalan ini bernama Sharia Al-Rais Ahmed Soekarno namun sekarang dikenal dengan Rue Soekarno,” ujar Sidarto.
Tak cuma Mesir dan Maroko, nama Soekarno juga diabadikan di Paskitan. Di negara ini nama Soekarno dipakai untuk dua nama tempat penting yakni Soekarno Square Khyber Bazar di Peshawar dan Soekarno Bazar di Lahore.
Kita belajar banyak hal soal kepemimpinan bangsa ini. Kepemimpinan yang didasarkan pada ketulusan dan cita-cita kemanusiaan, akan selalu dikenang oleh peradaban manusia itu sendiri. Upaya de-soekarnoisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru terbukti tidak mampu membunuh jiwa, ide, dan semangat Soekarno dalam sejarah. “Never leave history (Jangan pernah meninggalkan sejarah),” kata Sidarto.
Sekitar TAN MALAKA -- Berdialog Dng GOENAWAN MOHAMMAD
Kolom IBAHIM ISA
Minggu, 06 Oktober 2013
-----------------------
Sekitar TAN MALAKA --
Berdialog Dng GOENAWAN MOHAMMAD
* * *
Saya baru saja membuka Facebook hari ini, melihat wajah Mas Goen. saya selalu segera memperhatikan apa yang ditulis beliau kali ini . . .
TAN MALAKA . . . tokoh pejuang kemerkekaan ini yang menjadi perhatian Mas Goen. . . .
Tulisanku di bawah ini adalah sekadar r e s p o n s e terhadap pertanyaan Mas Goenawan Mohammad, sahabatku, yang bertanya: Bung Ibrahim Isa mungkin bisa menjawab?
* * *
Goenawan Mohammad:
PERTANYAAN TENTANG TAN MALAKA DAN TROSTKY
Salah satu bagian hidup Tan Malaka yang jarang diketahui, setidaknya tak saya ketahui, adalah permusuhan Partai Komunis Indonesia terhadapnya.
Di kalangan PKI, ia disebut "Trotskyist". Tapi label ini jamak dipakai Stalin dan para pengikutnya untuk menyebut musuh-musuh mereka. Kita tahu setelah Lenin meninggal, dan pergulatan antara pimpinan Partai Bolsyewik berlangsung, Trostky akhirnya dibuang dan kemudian dibunuh dengan dihantam kapak es oleh seorang agen Stalin di Meksiko di tahun 1940 -- sebuah riwayat permusuhan yang paling dramatis antara orang kuat Soviet itu dan para anggota Politbiro Partai Komunis di bawah Lenin.
Bagaimana sebenarnya hubungan Tan Malaka dengan gagasan Trotsky? Apa yang saya baca dari buku-buku pengarang Madilog itu tak menunjukkan tanda hubungan itu ada. Tapi mungkin saya salah. Saya berharap para peneliti sejarah politik dan gagasan akan dapat menjawabnya -- terutama melalui riset yang kuat, bukan hanya dengan makalah-makalah seadanya yang banyak dipakai dalam diskusi-diskusi sekarang.
2 Oktober 2013 .Menarik sebenarnya untuk bertanya kepada para anggota PKI dewasa ini (kalau masih ada), adakah pandangan mereka berubah tentang Tan Malaka. Atau sekalian tentang Stalin dan Trostky. Bung Ibrahim Isa mungkin bisa menjawab?
7 hours ago via mobile ·
* * *
Ibrahim Isa:
Cerita sedikit, ya . .
Beberapa saat setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 . . . sebelum saya bergabung dengan BKR, Badan Keamanan Rakyat Republik Indonesia, abang-ipar saya, Sidi Mohammad Syaaf, yang kemudian jadi redaktur sk Pemandangan (Mr Sumanang) lalu Mingguan Hikmah (Msyumi). SM Syaaf bersama Suraedi Tahsin (kemudian pemimpin s.k. Bintqng Timur lalu diangkat Presiden Sukarno jadi Dubes RI di Bamako, Mali, Afrika Barat, kalau tidak salah dengan S. Tasrif mendirikan s.k. Pertama Republik Indonesia, BERITA INDONESIA di Jakarta.. . . )Ya abang iparku SM Syaaf itu mendekati aku dengan sebuah bahan stensilan ditangannya . ..
Nih, baca bahan ini, katanya.. . . .
Bahan stensilan yg sudah agak kumal itu . . . adalah brosurnya TAN MALAKA, “DARI PENJARA KE PENJARA” . . .
Sejak itu berangsung-angsur saya mulai tahu tentang perjuangan kemerdekaan kita, dan langsung ambil bagian dalam BKR . . ..
Selain dari pidato-pidatonya (sejak jaman Jepang) dan karya-karya Bung Karno, --- pengaruh politik awal yang saya peroleh bersangkutan dengan perjuangan kemerdekaan dan keadilan, adalah dari buku TAN MALAKA itu. . . . . kemudian dari buku-buku Tan Malaka lainnya, seperti GERPOLEK, MADILOG dll.
Ketika Dr Harry Poeze meluncurkan karya hidupnya “VERGUISD EN VERGETEN, Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949”. . . beliau minta saya membuat resensi tentang bukunya yang 2200 halaman itu. . . Saya penuhi permintaan itu sebagai tanda penghormatan terhadap saya, sebagai sehabatuya.
* * *
Di buku DR Harry Poeze yang ada pada saya . .. Harry menulis . . . UNTUK SAHABAT IBRAHIM ISA REKAN SAYA DALAM MELESTARIKAN SEJARAH . . . HARRY POEZE, Leiden 08 Juni 2007. Buku itu sudah ada edisi Indonesainya. Silakan baca barangsiapa yang ingin tahu siapa Tan Malaka. Sebuah buku yang GEWELDIG kata orang Belanda.
Mas Goen, . . . tanggapan ini tidak ada sangkut pautnya dengan apakah seseorang itu anggota PKI atau bukan. . . . Tokh?
* * *
Lampiran: Agar lebih lengkap kesan pembaca mengenai pandangan saya sekitar TAN MALAKA, di bawah ini disiarkan ulang dua tulisan saya:
Kolom IBRAHIM ISA - TAN MALAKA Oleh DR. HARRY POEZE
11-Jun-2007, 09:50:40 WIB
KabarIndonesia – Aku harus berterus terang: Tak terduga sama sekali bahwa ruangan LAK-theater (140 kursi), Universitas Leiden, pada hari Jumát, tanggal 08 Juni, 2007, penuh dengan hadirin pada peluncuran buku DR Harry Poeze, dalam bahasa Belanda, berjudul: (dalam bahasa Indonesianya): -- "TAN MALAKA DIHUJAT DAN DILUPAKAN" --, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.
Selain Pengurus dan anggota KITLV, yang pada hari yang sama mengadakan rapat tahunan KITLV, para sahabat (termasuk orang-orang Indonesia) dan rekan-rekan Harry Poeze, -- tampak pula banyak mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh (umumnya) post-graduate studies mereka, atau sedang mempersiapkan desertasi untuk PhD mereka masing-masing.
Aku sengaja menanyakan kesan sahabat-sahabat baik yang Belanda maupun yang orang Indonesia, bagaimana kesan mereka mengenai peluncuran buku Harry Poeze itu. Umumnya punya kesan baik. Yang kutanyakan itu semua menganggap bahwa baik pengantar yang diberikan oleh Harry Poeze maupun suasana keseluruhannya adalah baik. Bukan saja karena pada pertunjukkan foto-foto di layar yang dipasang diruangan, dimulai dengan ditayangkannya teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangi oleh Sukarno dan Hatta, tetapi, ini yang paling mengesankan bagiku, adalah diperdengarkannya suara Bung Karno membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Suasana Indonesia jadinya menguasai seluruh pertemuan siang dan sore itu. Dengan diterbitkannya buku Harry Poeze, tidak mungkin orang akan berpendapat lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta dedikasinya yang telah menghabiskan waktu total jendral 30 tahun, termasuk tinggal di Indonesia selama 3 bulan terus menerus (1980), dan beberapa kali mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan meneliti tentang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti arsip-arsip Komintern di Moskow, yang telah memberikan kepadanya pandangan-pandangan baru.
* * *
Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi.
* * *
Betapa tidak senang hati menyaksikan begitu banyak perhatian hadirin terhadap masalah sejarah Indonesia, khususnya sejarah gerakan Kiri Indonesia dan salah satu tokoh utamanya, Tan Malaka. Terlepas apakah orang setuju atau tidak setuju dengan hasil penelitian dan studi Dr Poeze itu, tiga jilid karya Poeze itu merupakan sumbangan terhadap khazanah literatur mengenai sejarah Indonesia.
Perhatian terhadap masalah sejarah Indonesia, seperti yang terlihat dari kehadiran orang-orang Indonesia dan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, melegakan hati dan menggembirakan.
Setelah kutulis mengenai akan diluncurkannya buku Harry Poeze, kontan ada reaksi dari Indonesia. Mereka menyambut terbitnya buku studi biografi dan sejarah seperti yang ditulis oleh Harry Poeze. Seorang kawan dekat bahkan sudah tidak sabar lagi menunggu, ingin cepat membacanya. Buku itu begitu tebal, tiga jilid dan kalau dibawa dengan tangan terasa sekali beratnya yang 3,5 kg itu. Entah kapan buku Harry Poeze itu akan sampai ke tangan pembaca Indonesia di Indonesia, belum ada yang tahu. Belum lagi harganya yang tidak murah.
Ketika kusampaikan kepada Poeze pada peluncuran itu, bahwa ada teman-teman di Indonesia yang sudah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu dalam penerbitan edisi bahasa Indonesia, dengan riang dan cerah Poeze menyatakan: 'Itu sudah pasti, itu sudah pasti'. Poeze menjelaskan bahwa dana untuk itu sudah tersedia. Dikatakannya selanjutnya bahwa menurut pikirannya, sebaiknya edisi bahasa Indonesia dari bukunya itu, tidak terbit sekaligus tiga jilid. Berangsur-angsur, dari jilid pertama, kemudian sesudah beberapa saat lamanya, jilid kedua. Baru beberapa saat kemudian lagi diterbitkan jilid ke-3.
Tidak diragukan penerbitan edisi bahasa Indonesia akan disambut oleh masyarkat, teristimwa masyarakat pencinta sejarah dan para pakar dan siswa yang menggeluti masalah sejarah Indonesia.
* * *
Tulisan ini pasti bukan suatu resensi tentang buku Harry Poeze tsb. Sekadar sedikit memperkenalkan tentang adanya buku yang dengan teliti telah disusun oleh seorang pakar Belanda. Meskipun fokus utama buku Poeze adalah pada tokoh Tan Malaka, namun, dengan cukup detail Poeze mengungkap situasi kongkrit menjelang dan sekitar Proklamasi Kemerdekaan oleh Sukarno dan Hatta, dan setelah itu. Mengapa misalnya pada saat-saat gawat dan genting, Tan Malaka, yang seumur hidupnya telah melakukan kegiatan politik untuk saat-saat menentukan seperti itu, justru tidak tampak permunculannya.
Baik kiranya, kusampaikan sekelumit saja, apa yang disampaikan oleh Hary Poeze tentang situasi menjelang proklmasi dan mengapa pada saat-saat yang genting dan gawat di Indonesia, menjelang kekalahan Jepang dan persiapan di kalangan pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari kegiatan persiapan yang dilakukan pada waktu pendudukan Jepang atas persetujuan tentara pendudukan Jepang, agar jangan timbul tuduhan bahwa RI yang diproklamsikan adalah boneka Jepang semata.
Antara lain Poeze menulis: . . . Dimana Tan Malaka ketika ini semua terjadi, dan Republik Indonesia diproklamasikan, suatu realisasi dari cita-cita yang selama puluhan tahun diperjuangkannya? Dari Rengasdengklok, pada tanggal 9 Agustus ia (Tan Malaka) ke Jakarta. Kepastian tentang keberadaannya baru pada sore tanggal 14 Agustus diperoleh ketika ia melapor kepada Sukarni. Apa yang dikerjakannya (Tan Malaka) pada har-hari sebelumnya untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibawanya atas nama Pemuda Banten? Apakah ia menyampaikannya kepada Chairul Saleh? Tampaknya tidak. Barangkali paling dapat dipahami oleh karena Tan Malaka waspada, oleh karena itu telah gagal mencari kontak. Disebabkan oleh masa lampaunya yang begitu lama sebagai orang buangan, yang terus menerus ada di bawah ancaman penahanan, ke-hati-hatiannya menjadi obsesi dan ia hampir-hampir tidak berani mempercayai siapapun. Ia belum begitu kenal hubungan-hubungan di Jakarta untuk mengetahui dengan siapa ia dapat dengan aman melakukan hubungan, tulis Poeze.
Kemudian ditambahkannya: Bisalah dimengeri bahwa ia tidak bisa ambil risiko untuk mengungkap identitasnya yang sebenarnya. Lalu ditambahkan Poeze bahwa, . . . . demikianlah pada saat-saat historis ini, Tan Malaka dengan pengikut-pengikutnya saling tidak ketemu. Dengan demikian Tan Malaka tidak langsung terlibat dalam merealisasi idam-idaman dan cita-citanya, sesuatu yang tanpa henti-hentinya diperjuangkannya. Demikian antara lain Poeze.
Dengan sedikit saja mengkuakkan yang ditulis oleh Poeze dalam bukunya itu, bisa diketahui, bahwa memang buku Poeze tentang biografi Tan Malaka, bukan hanya menyinggung, tapi, mendalami dan bahkan menganlisis situasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, dengan mengemukakan fakta-fakta hasil risetnya, yang sebegitu jauh jarang atau bahkan tidak pernah kita dengar atau baca sebelumnya.
Menyinggumg masalah dua konsep mengenai perjuangan kemerdekaan: Satu konsep yang dilaksanakan oleh empat serangkai, Sukarno - Hatta - Syahrir - Amir Syarifddin, yang (menurut Poeze) mengutamakan d i p l o m a s i , dan konsep Tan Malaka yang (lagi menurut Poze) mengutamakan p e r j u a n g a n , ternyata pada saat-saat yang menentukan ia (Tan Malaka) kalah. Ditambahkan Poeze bahwa kiri, gerakan komunis dimana Tan Malaka tergabung, ternyata amat berkeping-keping. Lanjut Poeze a.l., ---- Aspirasi Tan Malaka untuk mengambil alih kekuasaan dengan suatu alternatif yang radikal, berakhir pada bulan Maret 1946. Federasi politik PERSATUAN PERJUANGAN-nya Tan Malaka, yang tampaknya tak terkalahkan itu, ternyata hanyalah raksasa yang berkaki lumpur belaka. Demikian antara lain Harry Poeze dalam bukunya.
* * *
Mengakhiri tulisan ini, menarik kiranya untuk mengutip lagi apa yang a.l. dikemukakan oleh Poeze tentang Tan Malaka, sbb: Dari halaman-halaman buku ini ternyata, Tan Malaka selain sebagai pelaku dalam percaturan politik juga kemudian menjadi lambang - suatu lambang yang oleh pengikut-pengiutnya dimulyakan dan oleh orang-orang yang untuk sementara bersamanya, digunakan sebagai lambang berguna dan oleh penentang-penentangnya sebagai lambang yang dihujat.
Pemahaman dan penilaian terhadap hasil studi Harry Poeze yang tak terbatas pada hanya satu tokoh TAN MALAKA, kiranya akan mengundang diskusi baru lagi, penelitian baru lagi, dan studi baru lagi, mengenai Tan Malaka, tentang banyak tokoh pejuang kemerdekaan lainnya dan mengenai REVOLUSI INDONESIA.
Situasi demikian itu, merupakan dorongan bagi pemikiran baru, mengenai pelurusan sejarah atau klarifikasi sejarah bangsa kita Dalam hal ini, seperti yang dikatakannya sendiri, sebagai 'orang luar yang unik', telah memberikan sumbangannya yang berarti.
EDISI INDONESIA Buku HARRY POEZE “TAN MALAKA . . . . ”
Kolom IBRAHIM ISA
Selasa, 17 Juli 2012
-----------------------------
EDISI INDONESIA Buku HARRY POEZE
“TAN MALAKA . . . . ”
* * *
Beberapa waktu yang lalu, belum lama, gembira sekali aku bertemu lagi dengan sahabat-karibku Harry Poeze. Kutanyakan kepadanya perkembangan baru mengenai penerbitan edisi Indonesia bukunya berjudul : “Verguisd en Vergeten: Tan Malaka, de Linkse Beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949″ “Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949)”.
Harry Poeze menyampaikan kepadaku, bahwa, edisi Indonesia dari bukunya itu, akan terbit dalam enam jilid. Dalam tahun 2008 telah diluncurkan di Jakarta, jilid 1, di bawah judul Tan Malaka, gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia. Sementara itu telah terbit tiga jilid,
Jilid 1: Agustus 1945- Maret 1946 – Jilid 2: Maret 1946 – Maret 1947 (2009), Jilid 3, Maret 1947 – Agustus 1948 (2010)
Bab mengenai Madiun sudah terbit dalam tahun 2011 sebagai: Madiun 1948; PKI bergerak”.
Dalam tahun ini akan terbit Jilid 4, a.l. sekitar eksekusinya dan tanda-tanya (yang saya berikan solusinya), mengenai kematiannya.
Demikianlah informasi yang kuterima dua pekan y.l dari Harry Poeze sekitar penerbitan edisi Indonesia dari bukunya tentang Tan Malaka.
Sampai hari ini tak habis-habisnya rasa kagum, hormat dan penghargaanku pada HARRY POEZE yang telah menggunakan PULUHAN TAHUN untuk melakukan studi mengenai salah seorang pemimpin nasionnal Indonesia TAN MALAKA. Sebegitu jauh belum kita jumpai ada historikus asing lainnya yang begitu rajin dan tekun dalam kepeduliannya terhadap SEJARAH BANGSA KITA, seperti yang dilakukan oleh Harry Poeze.
Untuk 'refreshing' sekitar terbitnya buku Harry Poeze tentang Tan Malaka, di bawah ini disiarkan ulang sebagian tanggapanku sekitar buku Harry Poeze tsb, a.l seperti di bawah ini:
* * *
TAN MALAKA Oleh HARRY A. POEZE
Tanggal 08 Juni, 2007 pada kesempatan Rapat Tahunan KITLV, di Leiden, diluncurkan karya (luar biasa) Dr Harry A. Poeze, kenalan baikku, berjudul:< VERGUISD EN VERGETEN>
TAN MALAKA, De Linkse Beweging En De Indonesische Revolutie, 1945-1949 -- Drie delen in cassette, XVII+VI+VI+2194 HLM
TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, 1945-1949.
Perhatian terhadap tokoh Tan Malaka cukup besar di kalangan orang-orang Indonesia, apalagi para
pencinta sejarah dan sejarawannya. Buku Harry Poeze itu pasti akan disambut dengan rasa syukur, karena besarnya perhatian dan kepedulian pakar Belanda seperti Harry A. Poeze terhadap masalah sejarah bangsa Indonesia.
Pada presentasi buku dipamerkan foto-foto,dipertunjukkan film dan diperdengarkan suara. Juga
diperdengarkan beberapa lagu revolusioner Indonesia, yang padamasa Orba dilarang diperdengarkan di Indonesia.
* * *
KITLV PRESS memperkenalkan Tan Malaka, antara lain sbb:
Tan Malaka yang misterius dan legendaris itu muncul lagi, segerasesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agusutus1945, sesudah 20 tahun dibuang dan melakukan kegiatan di bawah tanah, Tan Malaka mengajukan suatu alternatif radikal terbanding arah moderat Soekarno dn Hatta, para pemimpin Republik Indonesia. Tetapi ia kalah dan dalam bulan Maret 1946 ia ditangkap. Baru dalam bulanSeptember 1948 ia bebas.
Kemudian ia mendirikan Partai Murba, yang dimaksudkan mengambil tempat PKI yang dikalahkan dalam peristiwa Madiun. Setelah agresi II Belanda, Desember 1948, Tan Malaka melancarkan perlawanan gerilya;
dalam bulan Februari 1949 Tan Malaka ditembak mati pada suatu perhitungan intern.
Ditulis KITLV PRESS selanjutnya: Jalan hidup Tan Malaka sering terselubung misteri --- dalam buku Harry A Poeze misteri ini sebagian besar diungkap-uraikan, umpamanya, dimana dan siapa yang membunuh Tan Malaka.
Peranan terkemuka selama Revolusi Indonesia -- aktif dan sebagai lambang - membuatnya menjadi perlu untuk menulis secara luas perkembangan politik di Republik dan di dalam gerakan kiri yang tercerai-berai. Dalam banyak hal mengenai peristiwa yang menentukan di dalam Revolusi (Indonesia) diberikan data-data dan visi yang baru.
Dalam epilog yang luas diikuti peristiwa-peristiwa petualangan buah karya Tan Malaka, Partai Murba dan mengenai kehidupan Tan Malaka sendiri, yang baru sesudah dimulainya pemilahan pada gambaran buku 'DIHUJAT DAN DILUPAKAN'.
* * *
Harry A. Poeze (lahir 1947) -- adalah Direktur KITLV PRESS – . Ia meraih gelar PhD di Universitas Amsterdam (1976) dengan tema desertasi penulisan Biografi Tan Malaka sampai dengan 1945. Tulisan Harry Poeze yang terkenal di kalangan para pakar Indonesia antara lain, adalah SUKARNO'S POLITICAL TESTAMENT, dan serentetan kertas-kerja maupun artikel mengenai Indonesia.
Tiga jilid yang sekarang ini didasarkan atas penelitian yang berlangsung dengan banyak penundaan sampai pada saat ia tinggal di Indonesia untuk studi tsb dalam tahun 1980. Demikian Penerbit KITLV.
* * *
Pekerjaan riset dan kemudian penulisan oleh Harry A Poeze tsb, adalah suatu prestasi yang terpuji. Dengan bukunya itu, Dr. Harry A. Poeze telah memberikan sumbangan penting pada khazanah literatur asing mengenai Indonesia, khususnya mengenai Tan Malaka, gerakan kiri Indonesia dan Revolusi Indonesia.
* *
Dengan diterbitkannya buku Harry Poeze, tidak mungkin orang akan berpendapat lain: Harry Poeze menunjukkan kesungguhan, ketekunan serta dedikasinya yang telah menghabiskan waktu total jendral 30 tahun, termasuk tinggal di Indonesia selama 3 bulan terus menerus (1980), dan beberapa kali mengunjungi Indonesia, untuk meriset dan meneliti tentang tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia Tan Malaka, serta Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Poeze menjelaskan bahwa ia juga meneliti arsip-arsip Komintern di Moskow, yang telah memberikan kepadanya pandangan-pandangan baru.
* * *
Hasil riset dan studi sejarah dan biografi Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, ditulis dalam 3 jilid, semuanya setebal 2200 halaman. Disertai pula dengan foto-foto mengenai Bung Karno, Hatta, Syahrir, Amir Syarifuddin, Tan Malaka dll tokoh pejuang kemerdekaan yang baru pertama kali ini aku melihatnya. Sayang, ada satu salah muat. Yaitu mengenai sebuah foto Ir Setiadi, mantan Menteri Listrik Negara Kabinet 100 Menteri Presiden Sukarno. Ir Setiadi, ditangkap oleh Jendral Suharto (1966) dengan alasan 'diamankan'. Salahnya: Di bawah foto Ir Setiadi, ditulis nama S e t i a d j i t . Jelas teks dan foto tidak cocok. Maksud Poeze adalah memasang foto Setiadjit, tapi yang dipasang foto Ir Setiadi.
* * *
Mengakhiri tulisan ini, menarik kiranya untuk mengutip lagi apa yang a.l. dikemukakan oleh Poeze tentang Tan Malaka, sbb:
Dari halaman-halaman buku ini ternyata, Tan Malaka selain sebagai pelaku dalam percaturan politik juga kemudian menjadi lambang - suatu lambang yang oleh pengikut-pengiutnya dimulyakan dan oleh orang-orang yang untuk sementara bersamanya, digunakan sebagai lambang berguna dan oleh penentang-penentangnya sebagai lambang yang dihujat.
Pemahaman dan penilaian terhadap hasil studi Harry Poeze yang tak terbatas pada hanya satu tokoh TAN MALAKA, kiranya akan mengundang diskusi baru lagi, penelitian baru lagi, dan studi baru lagi, mengenai Tan Malaka, tentang banyak tokoh pejuang kemerdekaan lainnya dan mengenai REVOLUSI INDONESIA.
Situasi demikian itu, merupakan dorongan bagi pemikiran baru, mengenai pelurusan sejarah atau klarifikasi sejarah bangsa kita Dalam hal ini, seperti yang dikatakannya sendiri, sebagai 'orang luar yang unik', telah memberikan sumbangannya yang berarti.
* * *
13 Juni 2007.
Belum disebut tentang awal acara yang amat mengesankan dan mengharukan. Ketika itu diperdengarkan (live) lagu historis-revolusioner, 'DARAH RAKYAT'. Memang pas acara itu dipasang di depan. Bukankah perhatian pada sore itu difokuskan pada TAN MALAKA, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia?
* * *
Baru saja kuterima lagi tanggapan-tanggapan berkenaan dengan bedah buku Harry Poeze mengenai Tan Malaka. Dari Indonesia, seorang kawan tua menyampaikan kegembiraaanya. Ia cerita, bahwa di Jakarta masih cukupan orang-orang yang punya rasa hormat pada Tan Malaka. Begitu mengetahui bahwa sudah terbit buku baru tentang Tan Malaka, mereka segera saling bertanya-tanya, kapan edisi Indonesia atau edisi Inggris diterbitkan.
Mengenai dimuatnya f o t o Ir S e t i a d i , tapi teks dibawahnya nama SETIADJIT, yang dimaksudkan adalah memasang foto Setiadjit di situ. Dalam emailnya kepadaku, Poeze memastikan bahwa dalam edisi Indonesia nanti, kekeliruan itu akan diralat. Menurut Poeze foto itu dipesan dari IPPHOS (Jakarta) dalam tahun 1980. Jelas, IPPHOS salah kirim. OK! ---- yang penting ialah bahwa, kekeliruan itu akan diralat secepat mungkin.
* * *
Poeze menanyakan bagaimana kesanku mengenai dinyanyikannya lagu DARAH RAKYAT, dalam acara peluncuran tanggal 08 Juni itu. Memang, lagu Darah Rakyat yang dinyanyikan oleh seorang wanita muda, mungkin mahasiswa Universitas Leiden, dengan iringan jukelélé, tambah lagi latar belakang musik yang diputar dari CD. . . . . . Aduuh, . . . . memang indah dan mengharukan! Bersemangat dan menyemangati!.
Mendengar lagu Darah Rakyat bergema di ruang pertemuan, ingatan segera meluncur jauh ke masa Revolusi 1945. Ketika itu lagu Darah Rakyat dan banyak lagu progresif-revolusioner lainnya, dinyanyikan dan terdengar dimana-mana, khususnya di kalangan para pejuang perang kemerdekaan.
Namun, lagu Darah Rakyat, seperti halnya dengan puluhan lagu-lagu progresif dan revolusioner lainnya yang tidak sedikit penciptanya adalah para budayawan LEKRA, --- pada periode rezim Jendral Suharto, DILARANG KERAS! Pokoknya rakyat Indonesia hanya boleh mendengar lagu, yang oleh seniman dan pendukung Orba dianggap indah dan baik.
Nah, pada tanggal 08 Juni, 2007 itulah, di LAK-theater Universitas Leiden, lagu Darah Rakyat diperdengarkan lagi. Hadirin dengan tekun dan asyik mendengarkan. Dalam hati mereka, bisa dibayangkan, akan ada yang berkomentar dalam bahasa Belanda: ONGELOOFLIJK, GEWELDIG! TAK BISA TERBAYANGKAN', -- LUAR BIASA!. Bahwa lagu revolusioner DARAH RAKYAT diperdengarkan di Leiden, di LAK-theater Universitas Leiden. Lagu Darah Rakyat kudengar terakhir di Indonesia sebelum Presiden Sukarno digulingkan oleh Jendral Suharto.
Mari kita telusuri lirik lagu
DARAH RAKYAT
DARAH RAKYAT Darah rakyat masih berjalan
Menderita sakit dan miskin
Pada datangnya pembalasan
Rakyat yang menjadi hakim Rakyat yang menjadi hakim Ayuh, ayuh
Ref:
Bergerak! Sekarang!
Kemerdekaan sudah datang
Merahlah panji-panji kita
Merah warna darah rakyat
Merah warna darah rakyat
Entah apa sebabnya, ketika mendengar lagu tsb dinyanyikan oleh seorang perempuan Kaukasus dengan iringan jukulélé, yang dua-duanya itu adalah orang Bulé, hari Jumat pekan lalu itu, berdiri bulu kudukku!
* * *
Dengan membaca buku Harry Poeze, siapa saja akan menemukan begitu banyaknya data dan fakta yang dkumpulkan, distudi, disusun dan diteliti oleh Poeze menyangkut Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Sebagai ilustrasi, untuk memperoleh sedikit gambaran mengenai isi buku Harry Poes, mari ikuti bagian-bagian tertentu dari bagian PENUTUP (Slot) dari bukunya. Tulis Harry Poeze a.l. : --
Pendukungnya (Tan Malaka) mengalami kekalahan dalam urusan yang mereka perjuangkan, orang-orang yang (tadinya) bersama dia meninggalkannya sebagaimana biasa berlaku dalam oportunisme-politik, dan penentang-penentangnya membuangnya ke dalam keranjang sampah sejarah. Pelecehan dan tuduhan, dengan begitu perlahan-lahan memberikan tempatnya pada pembisuan. -- ia (Tan Malaka) disingkirkan dari sejarah. ---
Apakah peranan (Tan Malaka) tak ada artinya, (karena) dari seorang 'renegat Trotskis', bagi siapa setiap perhatian dianggap memberikan kemulyaan yang berkelebihan, (atau) apakah malah justru penting? Dalam Republik Indonesia yang lemah, secara kebetulan, ia (Tan Malaka) , disebabkan oleh suatu kebetulan, oleh nasib sial, tidak memperoleh peranan samasekali pada saat-saat Proklamasi. Peranan serupa itu bisa besar - - nama dan kemasyhurannya adalah legendaris.
Sukarno mengakuinya sebagai seorang guru, seseorang yang lebih dari dirinya dalam hal pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Sayangnya tak terjadi seperti itu, tetapi nyatanya baru beberapa minggu kemudian Tan Malaka mendapat tempatnya di coterie Jakarta yang memimpin Republik pada taraf sentral. Selain itu ia mempengaruhi aksi-aksi di basis. Namun 'revolusi sosial' di Banten dengan cepat macet dalam ketiadaan rarah. Dan 'revolusi sosial' di Banten tidak berdiri sendiri. Di Jakarta ia (Tan Malaka) terlibat dengan pengorganisasian rapat raksasa tanggal 19 September (1945) dan disitu Sukarno memanifestasikan kekagumannya dalam sebuah Testamen Politik, yang isinya agak diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan Malaka tetap di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka.
Ini terutama disebabkan oleh hal-hal yang berasal dalam kepribadiannya sendiri, yang ditandai oleh lebih dari duapuluh tahun dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakam oleh orang-orang dekatnya, ia (Tan Malaka) tidak lagi cocok untuk hidup sebagai orang yang 'normal'.
Langgam-hidup keduanya telah menghalanginya untuk bertindak efektif. Jika ia dapat mengatasinya, maka, ia adalah seorang pembicara yang luarbiasa, yang membangkitkan kesetiaan dan kepercayaan besar di kalangan pengikutnya - perasaan-perasaan yang puluhan tahun sesudah ia mati, masih saja berlangsung terus sedikitpun tak berkurang.
* * *.
Masih cukup banyak hal-hal penting dan menarik yang mengimbau pembaca ke arah pemikiran yang lebih luas dan mendalam mengenai peristiwa dan masalah sejarah bangsa kita. Baik itu yang berkenaan dengan biografi dan kegiatan Tan Malaka, begitupun mengenai peristiwa dan fakta-fakta mengenai Gerakan Kiri dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia. Juga membuka fikiran bagi siapapun yang ingin meninjau kembali, menstudi kembali pemikiran ataupun penyimpulannya mengenai Tan Malaka, peranannya dalam perjuangan kemerdekaan dan mengenai Gerakan Kiri di Indonesia. Tidak meleset kiranya pilihan yang diambil Poeze untuk bukunya itu. Bukankah di satu fihak ia membuka wawasan yang lebih luas lagi mengenai peristiwa dan fakta sekitar peranan Tan Malaka, Gerakan Kiri dalam revolusi kemerdekaan Indonesia.
Dewasa ini generasi muda kita, para pemerhati, penggelut, penstudi dan peduli sejarah bangsa tanpak mulai pulih dari kedunguan dan ke-masabodoh-an mental sebagai akibat dari kebidjaksanaan otoriter Orba di bidang ilmu dan pengetahuan sejarah. Bagi Orba fakta dan kebenaran sejarah sudah diplintir sedemikian rupa, kemudian dijejalkan sebagai kebenaran satu-satunya. Oleh karena itu, buku sejarah seperti yang ditulis oleh Poeze, merupakan dorongan positsif ke arah pencerahan, berani berfikir dengan bebas, obyektif dan adil terhadap jutaan fakta-fakta yang diketahui dan masih belum terungkap mengenai sejarah bangsa ini.
* * *
Subscribe to:
Posts (Atom)