Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------------------
Selasa, 02 Oktober 2007
<>
MASYARAKAT INDONESIA DI BELANDA PERINGATI 'PERISTIWA PELANGGARAN HAM TERBESAR 1965'
< Uraian CIPTO MUNANDAR, Ketua St Azië Studies, Onderzoek en Informatie, Amsterdam)
Seperti disampaikan dalam tulisan terdahulu kepada pembacA -- Pada tanggal 30 September 2007, masyarakat Indonesia di Belanda, memenuhi ruangan Schakel di Diemen, Holland, dalam suatu kegiatan memperingati ulang tahun ke-42 'Peristiwa Pelanggaran HAM Terbesar di Indonesia 1965. Dengan tema utama IMPUNITAS di Indonesia, yang diuraikan oleh Ketua HOM, Martha Meijer, sebagai 'keynote speaker'. Telah bicara juga Ketua Umum LPK -65 Nederland (penyelenggara peringatan tsb), MD Kartaprawira.
Seterusnya bicara Ketua St. Azïe Studies, Onderzoek en Informatie, CIPTO MUNANDAR. ( Ralat: Dalam tulisan sebelumnya fungsi Cipto Munandar disebut sebagai Ketua St Indonesië Studies, Onderzoek en Informatie, seharusnya Ketua St Azië Studies, Onderzoek en Informatie, Penulis)
Dalam uraiannya seperti selengkapnya dimuat di bawah ini , Cipto Munandar dengan tajam menekankan bahwa situasi HAM di Indonesia masih belum mengalami perubahan yang mendasar. Ditandaskannya, mengenai KETIADAAN RULE OF LAW, a.l. sbb:
'Pembantaian dan pemenjaraan jutaan tak bersalah menyusul peristiwa 1965 menandakan tidak adanya ‘rule of law’, berlakunya apa yang disebut sebagai impunity (kebal hukum). Karena hal itu belum pernah ditangani, maka sampai sekarang pun impunity itu masih berlaku. Siapa berani menentang dan menggugat rezim berkuasa akan disingkirkan, dihilangkan atau dibunuh. Itu yang terjadi pada pejuang buruh Marsinah, pada seniman rakyat Wiji Thukul dan banyak lain yang tak bernama.'
Berikut ini Uraian lengkap CIPTO MUNANDAR:
* * *
42 TAHUN TRAGEDI NASIONAL 1965
---------------------------------------------------
Oleh CIPTO MUNANAR:
Pada 42 tahun yang lalu terjadi peristiwa 30 September 1965 yang disusul dengan naiknya kekuasaan militer Orde Baru Suharto dan terjadi pembantaian jutaan manusia Indonesia tak berdosa, perampasan segala hak sipil dan kemanusiaan jutaan keluarga Indonesia. Hingga saat ini diskriminasi atas sebagian besar bangsa Indonesia masih berlangsung.
Walaupun presiden Suharto sudah lengser pada Mei 1998, hampir sepuluh tahun yang lalu dan secara formal kita berada pada apa yang dikatakan “era reformasi”, belum ada perubahan mendasar dalam situasi tersebut. Bahkan masih terjadi konflik-konflik berdarah seperti di Papua, Maluku, Poso (Sulawesi), juga di daerah Aceh serta daerah-daerah lain yang rawan.
Baik secara nasional maupun secara internasional organisasi-organisasi kemasyarakatan yang memperjuangkan keadilan dan demokrasi secara bertahun-tahun melaksanakan usahanya untuk menegakkan kekuasaan hukum dan melawan pelanggaran hak-hak azasi manusia di Indonesia.
Organisasi-organisasi yang memperjuangkan rehabilitasi para korban 1965 tak kenal lelah meneruskan usahanya. Antara lain, Pakorba, LPR-KROB, YPKP, LPKP, KAP T/N, ELSAM dan berbagai badan usaha advokasi. SYARIKAT (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) dari golongan muda NU memperoleh hasil tertentu untuk mencapai rekonsiliasi antara para korban dengan para pelakunya dengan kegiatan di akar-rumput. Tapi mereka harus mengatasi hambatan-hambatan berat baik dari fihak orang-orang generasi tua maupun prasangka-prasangka masyarakat.
Secara internasional ada kegiatan-kegiatan seperti oleh Amnesty International memberikan tekanan pada penguasa-penguasa di Indonesia. Dan dari Indonesia sendiri ada wakil-wakil organisasi HAM yang mendatangi sidang PBB di Jenewa untuk menggugat pelanggaran yang masih saja berlangsung di Indonesia. Di kalangan komunitas Indonesia di luarnegeri, khususnya para mahasiswa Indonesia, ada hasrat mau menyelami apa yang terjadi pada peristiwa 30 September 1965 dan rangkaian peristiwa sesudahnya. Pada musim panas tahun 2000 para mahasiswa Indonesia Universitas di Leuven, Belgia, menyelenggarakan seminar mengenai tema itu. Pada kesempatan itu berbicara Sitor Situmorang, Carmel Budiardjo dan Paul Mudikdo. Juga hadir dan berbicara Nani Nurachman, puteri jenderal Sutoyo yang terbunuh pada peristiwa 30 September itu. Maka berlangsung perjumpaan muka antara korban anak ‘pahlawan revolusi’ dan korban anak PKI (Ibaruri). Tidak terjadi pertengkaran, malah ada saling pengertian tentang kondisi masing-masing. Di Indonesia, Nani Nurachman berprakarsa untuk mengadakan forum rekonsiliasi dengan para korban 1965. Ini pertanda bahwa antara sesama warga Indonesia yang punya latarbelakang politik yang saling bermusuhan, lebih mudah tercapai saling pengertian dan saling permaafan.
Tapi dari pihak kekuasaan Indonesia tidak ada langkah nyata ke arah rekonsiliasi dan rehabilitasi. Presiden Abdurrachman Wahid – Gus Dur adalah presiden pertama yang berkepedulian pada tragedi 1965. Beliau menyatakan maaf pada korban-korban 1965 dan mengutus menteri kehakiman untuk menyelesaikan para eksil yang tak dapat pulang karena peristiwa G30S. Kita semua tahu apa hasilnya. Gus Dur dipaksa mundur sebagai presiden dan janji menkumdang menyelesaikan masalah para eksil tinggal janji kosong.
Pada bulan Maret 2003 datang untuk pertama kalinya langsung dari Indonesia delegasi yang terdiri dari korban-korban 1965, yaitu dr Tjiptaning, Ir Setiadi dan Heru Atmodjo. Mereka berhasil hadir dalam sidang PBB mengenai HAM di Jenewa dan dr Tjiptaning dapat menyampaikan statement mengenai pelanggaran HAM di Indonesia. Delegasi ini dapat mengunjungi wakil-wakil parlemen Eropa di Brussel dan bertemu di Den Haag dengan pejabat Kementerian Luarnegeri Belanda. Delegasi ini dapat memberi gambaran jelas mengenai diskriminasi dan stigmatisasi yang diderita oleh jutaan orang keluarga korban 1965 dan memperoleh pengertian dan simpati dari pihak-pihak yang ditemui.
Pada 28 September 2003 dalam pengantar memperingati tragedi 1965 Bapak Paul Mudikdo mengupas kejahatan-kejahatan rezim Orba dari segi hukum. Kata pak Mudikdo, norma-norma hukum yang berlaku secara internasional sejak Revolusi Prancis dan kemudian pada waktu menghukum kaum Nazi Jerman pada pengadilan Neurenberg seusai Perang Dunia II, seharusnya merupakan norma-norma hukum di negara Republik Indonesia. Atas dasar norma-norma hukum itu kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh rezim Orba Suharto bukan saja merupakan kejahatan yang melanggar Hak-hak azasi manusia, tapi dapat dikategorikan lebih berat, yaitu sebagai Crimes Against Humanity (Kejahatan Melawan Kemanusiaan). Dan lanjut pak Mudikdo, menurut kelaziman hukum internasional, pemerintah yang menggantikan pemerintah Orde Baru mewarisi tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. Perasaan dan kesedaran ini tak ada pada pemerintah-pemerintah purna Suharto.
Lain sekali sikap dan perlakuan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan GAM pemerintah Indonesia sudah mencapai kesepakatan perdamaian. Wakil-wakil GAM di luarnegeri dapat kembali ke tanahair. Dalam pemilihan kepala daerah Aceh, seorang tokoh GAM terpilih jadi Gubernur.
Mengapa belum ada perubahan fundamental mengenai masalah rehabilitasi dan rekonsiliasi para korban dari Tragedi Nasional 1965 ? Perlu kita mencoba memahami sebab-musababnya.
Sejak awal 1998 terjadi peningkatan gerakan massa , khususnya mahasiswa, melawan Suharto dan rezim Orba. Kelihatan retak-retaknya dalam rezim ini dengan mulai terjadinya krismon dan diperkirakan rezim Orba akhirnya bisa dipaksa turun panggung. Pada bulan Februari 1998 diadakan pertemuan ‘Jaringan Oposisi Demokratik Indonesia di Eropa’ untuk membahas bagaimana menghadapi kemungkinan itu. Pada kesempatan itu saya kemukakan pandangan bahwa selama 30 tahun lebih rezim Orba telah menegakkan suatu struktur kekuasaan di bidang politik, ekonomi, sosial-kultural yang mengekang seluruh kehidupan masyarakat. Ini merupakan kendala berat yang bersifat fisik dan psikis/mental yang harus dirobohkan untuk merintis jalan bagi demokratisasi. Untuk itu perlu ada gerakan perlawanan yang sungguh-sungguh mengakar-dalam pada massa rakyat berbagai sektor. Tanpa itu tak mungkin berhasil merombak struktur orde baru menjadi masyarakat demokratik.
Pada Mei 1998 berlangsung demonstrasi ratusan ribu massa mahasiswa dan rakyat. Suharto lengser, artinya melangkah ke samping. Jadi sebetulnya tidak turun kekuasaan. Gerakan massa mulai tercerai-berai. Struktur kekuasaan Orba hanya digerigiti sana-sini, tapi hakekatnya masih utuh. Pemerintah-pemerintah silih-berganti purna Suharto dengan mengusung semboyan-semboyan ‘reformasi’ tidak menyentuh hakekat struktur tersebut. Malah makin bertambah tanda-tanda mulai konsolidasi kekuatan Orde Baru Baru. Berbagai percobaan untuk membawa Suharto ke pengadilan telah gagal. Yang berhasil malah gugatan Suharto pada majalah “TIME’ Amerika yang dianggap merugikan nama baiknya. Putusan MA yang memenangkan Suharto sungguh memalukan dan menghina bangsa Indonesia. Sekaligus bukti masih berdominasi struktur kekuasaan Orba. Struktur ini tetap hambatan besar dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan demokratisasi masyarakat.
Oleh PBB dan Bank Dunia sekarang Suharto sudah disingkap sebagai pencuri terbesar atas kekayaan negerinya. Apakah soal ini akan sungguh-sungguh dilacak dan diperkarakan oleh pemerintah Indonesia? Itu harapan kita tapi menjadi tandatanya besar.
Dalam pengantar pada diskusi tema peristiwa G30S 1965 pada 27 september 2002 saya antara lain menyatakan bahwa terbentuknya struktur kekuasaan rezim Orba sekaligus berarti tegaknya suatu rezim Orba yang pada hakekatnya membunuh pergerakan kemerdekaan nasional yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu pergerakan yang mempersatukan aliran-aliran politik besar nasionalis, agama dan komunis, yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Rezim Orba tidak saja memulas sejarah, tapi menghapus seluruh episode sejarah itu. Tradisi partai-partai politik yang dijiwai oleh ideologi perjuangan kemerdekaan itu diingkari dan diganti oleh partai-partai politik yang semata mengabdi kekuasaan dan kekayaan.
Aliran kiri sejak awal merupakan satu kekuatan penting dalam gerakan kemerdekaan nasional, sehingga Bung Karno menyimpulkan pentingnya persatuan nasionalisme, islam dan komunisme. Pada tahun 1960-an Bung Karno menegaskan gagasannya sebagai persatuan NASAKOM. Oleh rezim Orba bukan saja PKI tapi seluruh aliran kiri telah ditumpas dan dihilangkan dari spektrum politik Indonesia. Tapi penindasan melahirkan perlawanan. Pada masih jayanya kekuasaan Orde Baru Suharto toh muncul kekuatan yang berani melawannya, khususnya dari gerakan mahasiswa. Dari sini tampillah kekuatan kiri, yaitu kekuatan melawan penindasan dan ketidakadilan, membela rakyat kecil. Meskipun sangat kecil, kekuatan ini berani menggugat dan menantang kekuasaan rezim Orba itu. PRD dan organisasi mahasiswa/pemuda lain berani mengorbankan diri, masuk penjara atau dibunuh.. Dalam ‘era reformasi’ sekarang pun kekuatan mereka ini masih ditakuti dan diteror seperti dialami PAPERNAS pada tahun ini.
Pembantaian dan pemenjaraan jutaan tak bersalah menyusul peristiwa 1965 menandakan tidak adanya ‘rule of law’, berlakunya apa yang disebut sebagai impunity (kebal hukum). Karena hal itu belum pernah ditangani, maka sampai sekarang pun impunity itu masih berlaku. Siapa berani menentang dan menggugat rezim berkuasa akan disingkirkan, dihilangkan atau dibunuh. Itu yang terjadi pada pejuang buruh Marsinah, pada seniman rakyat Wiji Thukul dan banyak lain yang tak bernama.
Munir salah satu seorang pejuang yang sejak rezim Suharto masih berkuasa berani menyingkap kejahatan rezim dan kesewenang-wenangannya. Ia sangat berkepedulian pada tindakan kekerasan di Indonesia, mulai dari tragedi 1965 sampai peristiwa penculikan 1997/98, suatu rangkaian kekerasan yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Ia ungkap perasaannya dengan ucapan ‘kami sudah lelah dengan kekerasan’. Dengan teman-teman sesama aktivisnya ia bergulat melawan kekuasaan yang menyebabkan kekerasan itu, maka dibenci oleh mereka. Pada tahun 2004 waktu berada dalam perjalanan terbang ke Amsterdam Munir dengan keji diracuni dan meninggal di pesawat terbang. Pembunuhan ini membangkitkan kemarahan di masyarakat Indonesia dan internasional. Pemeriksaan dan penelitian seksama dilakukan untuk menyingkap perkara pembunuhan ini dan menemukan pembunuhnya. Hingga saat ini belum ada jawaban tuntas tentang apa yang terjadi. Tapi yang sudah terungkap yang bahwa orang-orang dari badan intelijen Indonesia terlibat langsung dalam pembunuhan itu. Pada hari Kemis 13 September yang lalu oleh Amnesty International diselenggarakan Munir Memorial Lecture di Utrecht. Lewat penjelasan Suciwati, isteri almarhum Munir, Usman Hamid (Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan – KONTRAS) dan Asmara Nababan (Mantan Anggota Tim Pencari Fakta Kematian Munir) kita mengetahui rintangan besar dan kompleksitas proses untuk menyingkap perkara pembunuhan dan menemukan pelaku pembunuhan.
Kematian Munir bukan hanya masalah Indonesia. Pertengahan Juli tahun ini Komisioner Tinggi Hak Azasi Manusia PBB Louise Arbour mengunjungi Indonesia. Dalam pertemuannya dengan presiden Susilo Bambang Yudoyono ia menegaskan bahwa kasus pembunuhan Munir bukan lagi perkara domestik Indonesia, tapi telah menjadi sorotan dunia internasional. Berkaitan dengan kondisi perlindungan terhadap para pembela HAM ini telah datang pula pada akhir Juli tahun ini utusan khusus PBB Hina Jilani ke Indonesia. Ia menyatakan kepada pemerintah untuk membuat mekanisme pengawasan, mekanisme untuk mengatasi tekanan, intimidasi dan teror yang sebagian besar dilakukan oleh polisi, militer dan badan intelijen terhadap para pekerja HAM.
Nasib yang menimpa Munir berkaitan langsung dengan nasib para korban tragedi nasional 1965 yang sampai saat ini tidak ada perspektif penyelesaiannya..
Berbagai publikasi sudah terbit di Indonesia yang menyingkap peristiwa 30 September dan peristiwa lanjutannya. Salah satu yalah buku Harsutejo berjudul ‘Sejarah G30S yang digelapkan’. Minggu-minggu ini Harsutejo mempublikasi lagi serial mengenai G30S yang dilengkapi dan direvisi. Di luar negeri telah terbit buku tulisan John Roosa, berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia, yang mengungkap proses terjadinya pembunuhan massal oleh Suharto dengan menggunakan dalih G30S.
Banyak eks tahanan Orde Baru telah mempublikasi pengalaman siksaan dan deritaan yang dialami dalam sekapan rezim Orba. Usaha ini sangat diperlukan dan harus diteruskan untuk mengungkap kebenaran dan kejadian sesungguhnya Tidak mungkin saya sebut semua publikasi itu. Salah satunya yang ingin saya angkat yalah Terempas Gelombang Pasang, tulisan Sudjinah, tokoh Gerwani, pejuang gigih revolusioner yang belum lama ini meninggalkan kita untuk selama-lamanya.
Fihak lawan yang berkepentingan mempertahankan orde baru dalam berbagai bentuknya juga aktif menerbitkan berbagai publikasi. Antara lain buku Antonie C. A. Dake dan Victor M. Fic yang mengatakan Bung Karno yang mendalangi G30S. Tahun ini terbit buku, Helen-Hunter, seorang ex CIA, berjudul Sukarno and the Indonesian Coup: TheUntold Story, yang mengaku punya bukti-bukti tak terbantahkan bahwa Bung Karno langsung terlibat.dalam G30S.
Dr. Asvi Warman Adam pada 29 September ini, dalam artikel membahas adanya beberapa versi mengenai G30S, mengemukakan pendapatnya bahwa di antara berbagai versi itu analisa Bung Karno adalah yang paling lengkap. Bahkan seluruh versi itu termasuk dalam pidato Pelengkap Nawaksara. yang disampaikan oleh Bung Karno pada 10 Januari 1967 kepada Sidang MPRS.
Perjuangan untuk menegakkan kebenaran, untuk ‘meluruskan sejarah’ berkaitan dengan Tragedi Nasional 1965, untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi demi persatuan bangsa Indonesia merupakan perjuangan berjangka panjang. Perjuangan ini berpadu dengan seluruh usaha dan perjuangan bangsa Indonesia melawan pelanggaran HAM, melawan ketidakadilan dan untuk mewujudkan demokrasi bagi masyarakat Indonesia.
Untuk semua yang berjuang demi keadilan dan kebenaran saya ingin meminjam sub-judul dari ceramah Asmara Nababan pada 13 September yang lalu di Utrecht.
KERJAKAN SEGALA YANG DAPAT DIKERJAKAN, LANJUTKAN APA YANG HARUS DIKERJAKAN ! (doing the most possible, continue to do what has to be done).
* * *
No comments:
Post a Comment