Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 10 Desember 2008
*QUO VADIS 'Hak-hak Azasi Manusia ' DI INDONESIA*
Hati kecilku berbisik: Semoga hari-hari ini, ketika secara luas '10
Desember 2008' diperingati sebagai hari Ultah Ke-60 dicetuskannya 'The
Universal Declaration of Human Rights UNO', 08 Desember 1948,
dimaklumkannya 'Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB', --
peristiwa itu diperingati secara lebih kongkrit dan nyata. Artinya tidak
ngambang. Jangan sampai peringatan itu semata-mata ritual formal saja.
Agar hari peringatan tsb dilakukan, dengan mengkaitkannya secara
kongkrit dengan situasi dan kondisi aktual. Bagi kita ini berarti, dari
waktu ke waktu, khususnya pada saat memperingati HAM seperti sekarang
ini, tidak boleh tidak harus selalu mempertanyakan, sesungguhnya
bagaimana prakteknya HAM dalam kehidupan sehari-hari. Apakah di
Indonesia tercinta, HAM itu memang diberlakukan dengan sungguh-sngguh
dan nyata ? Apalagi setelah Orba turun panggung, lalu Indonesia memasuki
periode Reformasi, dan kita bisa bernafas menghirup sedikit udara
'demokrasi', serta terbentuknnya pemerintah sebagai kelanjutan dari
pemilihan umum yang berlangsung menurut aturan main sistim demokrasi
parlementer. Pada periode ini tambah-tambah lagi pentingnya mempertanyakan:
QUO VADIS Hak-Hak Azasi Manusia di Indonesia.
Mempertanyakan masalah HAM dengan sikap yang kritis bukan sesuatu yang
dibikin-bikin. Hal itu amat-amat wajar. Diajukannya
pertanyaan-pertanyaan sekitar pelaksanaan atau lebih jelasnya, sekitar
pelanggaran HAM di Indonesia, itu sepenuhnya masuk akal! Bukankah selama
32 tahun Indonesia di bawah rezim Presiden Suharto, Hak-hak Manusia tak
dikenal samasekali. Kalau itu tokh 'dikenal', hanyalah di atas kertas
saja. Adalah sesuatu yang tak dapat disangkal bahwa selama periode rezim
Orba, diberlakukan atau tidak-diberlakukannya hak-hak manusia terhadap
warganegara Republik Indonesia, --- itu sepenuhnya ditentukan oleh
penguasa. Dari pusat sampai ke kampung-kampung demikianlah adanya.
Seperti itulah situasinya.
Sungguh memilukan, bikin hati jadi geregetan! Coba fikir: sesudah 10
tahun menggeloranya gerakan Reformasi; sudah 10 tahun pula kita melalui
periode pasca Orba,-- Namun, bicara masalah HAM di Indonesia sehubungan
dengan Ultah Ke-60 Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB, apa
yang kita saksikan adalah sbb:
Jelas sekali bahwa sebagian besar pakar, peneliti, penulis, wartawan,
cendekiawan - yang PhD ataupun yang profesor --, apalagi politikus
anggota parpol atau bukan, tergolong eksekutif ataukah legeslatif,
judisial ataukah 'orang-orang biasa' yang dulunya pejabat atau penguasa
Orba, --semua mereka itu bukannya tidak secara sadar M E L U P A K A N
pelanggaran HAM terbesar yang terjadi dalam sejarah Republik Indonesia:
PEMBANTAIAN MASAL 1965. Kejahatan terhadap kemanusiaan, CRIME AGAINST
HUMANITY yang disulut dan direncanakan oleh penguasa militer dan
pendukung-pendukungnya dari kalangan parpol dan masyarakat, pada akhir
1965, dimulai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali kemudian menjalar ke
pelbagai penjuru tanah air, hal itudi luar negeri , ramai
dipermasalahkan, dibicarakan dan diprotes keras oleh pelbagai organisasi
dan lembaga sosial/budaya dan kemanusiaan. LEMBARAN GELAP dalam sejarah
bangsa ini, di Indonesia --- dengan sadar dibiarkan berlalu tanpa
komentar. Apakah mereka-mereka yang tutup mulut itu benar-benar
kejangkitan penyakit lupa (ingatan)?
Kiranya tidak! Lalu mengapa sampai membisu seribu bahasa terhadap
masalah begitu besar dan gawat?
Sekarang ini aku lebih mengkhayati apa yang dikatakan oleh salah seorang
dari generasi muda yang lama kuajak bertukar fikiran belum lama di
Indonesia. Aku bilang begini: Di luarnegeri ada sementara komentar yang
memberikan angka plus kepada Presiden SBY. Mereka katakan: SBY positif
dalam hal mulai menangani kasus-kasus korupsi. Dikatakan juga positif
dalam hal keberhasilan SBY menghentikan konflik bersenjata di Aceh dan
jalan solusi terhadap pemberontakan separatis. Juga dikatakan positif
dalam usaha menerapkan UU Otonomi Daerah yang berlangsung tanpa
kekerasan-kekerasan baru.
Kontan anak muda itu berreaksi: Tidak Pak! Saya tidak sampai setinggi
itu memberikan angka plus terhadap kebijakan Presiden SBY, yang diluar
dikatakan sebagai prestasi. Bisa saja kita berbeda dalam memberikan
penilaian mengenai beleid pemerintah SBY terhadap tiga kasus itu:
Ataukah itu berhasil positif/plus, atau, ya hasilnya bolehlah, atau
negatif, alias tak ada hasil apa-apa. Bagi saya, kata anak muda itu,
'Saya hanya bisa ANGKAT TOPI PADA SBY BILA BELIAU MULAI MENANGANI
MASALAH 1965. Bila SBY mulai ambil langkah memberlakukan keadilan dan
kebenaran terhadap para korban Peristiwa 1965'.
Maksudnya, bila SBY mulai menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi
pada akhir 1965 dan selanjutnya. Mulai mengusut/mengurus masalah
persekusi, pemenjaraan, pembantaian dan pembuangan ke P. Buru, yang
dilakukan penguasa terhadap warganegara Indonesia yang tak bersalah.
Yang diperlakukan sewenang-wenang semat-mata atas dasar tuduhan dan
fitnah semata-mata, sebagai terlibat atau berindikasi terlibat dengan
G30S, sebagai anggota atau simpatisan PKI dan/atau pendukung Presiden
Sukarno. Sampai sekarangpun para korban dan keluarganya masih saja
mengalami diskriminasi dan stigmatisasi. Hak-hak manusia dan hak-hak
kewarganegaraan mereka MASIH BELUM DIPULIHKAN. Nama baik mereka masih
belum direhabilitasi!
Terhadap anak muda yang sengaja tak kusebutkan namanya itu, patutlah
kita-kita ini angkat topi terhadap sikap yang dinyatakannya sekitar
masalah pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, dan bagaimana seyogianya
pemerintah yang berwewenang harus bersikap dan mengambi langkah!
* * *
Bagi kita, suatu bangsa yang telah menjadi bangsa merdeka sejak 17
Agustus 1945, dengan sendirinya seharusnya peringatan Deklarasi
Universil Hak-Hak Manusia itu difokuskan pada sorotan yang lebih tajam,
lebih kritis lagi, pada realita HAM di Indonesia. UUD RI sudah diamandir
dan dengan formal dicantumkan fasal-fsal HAM. Sudah pula dibentuk Komisi
Nasional Hak-Hak Manusia. Namun pemberlakuan HAM di negeri ini, masih
sangat min! Maka dituntut pada setiap pejuang, aktifis dan pemuli HAM,
untuk mempertahankan pendirian yang konsisten meneruskan perjuangan yang
mulya tetapi sulit ini dengan semangat pantang mundur menghadapi kendala
dan tantangan, khususnya yang datang dari kalangan yang berkuasa.
Mari tengok salah satu episode belakangan ini yang menunjukkan betapa
minimnya pengkhayatan HAM, khususnya hak-hak demokrasi dalam penulisan
dan penyiaran: Begitu terbit buku Prof Dr John Rosa, edisi Indonesia,
“DALIH PEMBUNUHAN MASAL, GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN dan KUDETA SUHARTO,
sudah kedengaran suara sumbang dari kalangan berkuasa , menuntut
dilarangnya buku John Rosa itu. Padahal buku itu adalah suatu buku hasil
penelitian dan studi menyangkut sejarah bangsa kita pada periode yang
amat krusial. Suatu periode yang telah menjerumuskan bangsa ini ke suatu
masa otoriter yang sarat dengan pelanggaran HAM dan kultur KKN yang
telah menumpulkan dan membodohkan bangsa ini selama lebih dari tiga
dasawarsa.
Begitu juga ketika terbit buku lainnya yang mengklaim, bahwa Wapres Adam
Malik, adalah agen CIA, terdengar lagi suara-suara sumbang agar buku tsb
dilarang beredar di Indonesia. Suatu indikasi bahwa penguasa Indonesia
sedikitpun tidak punya kepercayaan terhadap daya-kritis dan kemampuan
berfikir berdikari bangsa kita, khususnya kaum cendekiawannya.
Begitu juga sehubungan dengan kasus dilarang atau dipersulitnya
budayawan/cineas dalam pembuatan film 'LESTARI', yang disutradarai oleh
Eros Djarot.
Sineas senior Eros Djarot terancam gagal menyelesaikan film 'Lastri'.
Pasalnya film yang mengambil lokasi syuting di sekitar Solo Jawa Tengah
itu belum mendapat izin pengambilan gambar dari pihak kepolisian dan
pemda setempat. Anggapan sementara yang muncul saat ini adalah film yang
diprodusir oleh Marcella Zalianty tersebut dinilai menyebarkan paham
komunis. Dari sini bisa dilihat betapa 'ampuhnya' pelarangan paham
komunis yang dipakukan sebagai kebijakan resmi negara dengan disahkannya
TAP bahwa Tap MPRS No XXV/1966 itu melanggar hak-hak demokratis yang
dicantumkan dalam UUD Republik Indonesia.
* * *
Meskipun dihadapkan dengan berbagai keadaan yang plus maupun yang minus
-- (barangkali lebih banyak minusnya dari plusnya, seperti
ditandatanganinya kemain oleh Presiden UU Pornografi yang begitu
kontroversial dan jelas ditentang dan akan diboikot oleh paling tidak
oleh provinsi Bali --- --- sekitar pelaksanaan HAM diIndonesia seperti
kita bicarakan diatas: Tokh hati dan perasaan kita sedikit terobat
dengan paling tidak dua berita yang memberikan kebanggaan dan semangat
untuk meneruskan usaha/kegiatan/perjuangan demi terlaksananya HAM di
negeri kita:
Pertama: *Berita tentang *Anugerah Yap Thiam Hien 2008 kepada Prof. Dr.
Sri Musdah Mulia, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Cendekiawan perempuan asal Sulawesi Selatan ini dikenal
sebagai cendekiawan yang konsisten dan berani tampil membela hak-hak
asasi manusia, hak hak minoritas, dan kemajemukan bangsa. Siti Musdah
adalah aktivis penggiat terkemuka dalam kampanye mengenai pluralisme. Ia
dianugerahi Anugerah Hak-Hak Manusia Yap Thiem Hien 2008, untuk
keberaniannya dan kegigihannya dalam membela hak-hak sipil dan Islam
inklusif.
Bahaya Fundamentalisme dan pembelaan Pluralisme:
Dalam tanggapannya sekitar pemberian award untuk Sri Musdah Mulia,
advokat senior dan aktivis hak-hak manusia Todung Mulya Lubis melihat
bahwa bangsa ini dihadapkan pada ancaman fundamentalisme yang bisa
mencabik-cabik kemajemukan kita sebagai bangsa, bisa mencabik-cabik hak
asasi manusia dan upaya-upaya untuk membangun kembali kebersamaan
melalui Pancasila. Tahun ini dan terutama tahun-tahun mendatang konflik
antara fundamentalisme dan pluralisme akan semakin kencang, dan
dibutuhkan tokoh-tokoh yang betul-betul siap, dan bersedia, dan berani
untuk melawan fundamentalisme yang membahayakan sendi-sendi hak asasi
manusia, sendi-sendi pluralisme itu. Dan Mulia berada di garis paling
depan. Kontribusi Musdah Mulia itu sangat penting, dalam rangka usaha
melakukan emansipasi dalam komunitas Islam, dalam penerapan hukum Islam.
Siapa Sri Musdah Mulia?
Musdah lahir di Bone Sulsel pada 03 Maret 1958 dan dibesarkan di
lingkungan Islam. Ia tamat Universitas Islam Alauddin, Makasar, pada
tahun 1982. Pada tahun 2004 Musdah membikin kejutan dikalangan Islam
ketika menulis makalah yang mengeritik Kumpulan Hukum Islam yang
berlaku. Kemudian Menteri Agama Maftuh Basyuni membatalkan makalah
Musdah tsb dalam 2005 dan Musdah dikenakan larangan menyebarkan
fikirannya. Musdah tidak tunduk, ia terus saja membela hak-hak
perempuan, juga hak-hak golongan minoritas, seperti halnya aliran
Ahmadiyah dan orang-orang homo. Dewasa ini Musdah mengajar di Lembaga
Ilmu Al Quran dan Program Postgraduate pada UIN.
Apa kata Musdah berkaitan dengan Hak-Hak Azasi Manusia?
Dalam sebuah wawancara dengan Ranesi, Radio Hilversum, mengomentari
tindakan kekerasan yang belum lama dilakukan oleh FPI, Musdah berkata:
Aksi-aksi kekerasan dan vokal FPI itu, membuka mata semua orang bahwa
kelompok-kolompok jihad adalah kelompok karena memperjuangkan ide yang
militan, lalu sangat vokal membajak ke-Islaman kita, membajak
keIndonesiaan kita, dan itu sebenarnya membajak Pancasila kita. Karena
itu menurut saya seharusnya kelompok yang dikatakan moderat, mayoritas
itu adalah toleran, itu tidak lagi silent, tetapi semua harus out,
bicara dan bicara.
Mulai sekarang kita harus bicara bahwa Islam tidak boleh dicederai oleh
segelintir orang yang lalu mengatasnamakan dirinya sebagai pembela
Islam. Dan juga kita sebagai orang Indonesia, kita tidak boleh
membiarkan ada segelintir orang Indonesia yang membajak ke Indonesiaan
kita untuk kepentingan politis jangka pendek.
Demikian Sri Musdah Mulia mengakhiri wawancaranya dengan Ranesi.
* * *
Perlulah kitanya agak panjang dibicarakan sekitar Yap Thiam Hien Award
2008 untuk Sri Musdah Mulia, untuk memberikan sedikit gambaran bahwa di
kalangan bangsa kita, sungguh terdapat manusia-manusia seperti Sri
Musdah Mulia, yang berani tampil berjuang demi hak-hak azasi manusia,
demi persamaan hak lelaki dan perempuan, demi hak-hak kaum minoritas,
serta menentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kelompok manapun,
penguasa manapun, termasuk penguasa seperti Menteri Agama dan kelompok
seperti kelompok radikal FPI.
Memperingati Hari Ultah Deklarasi Universil Hak-Hak Azasi Manusia PBB,
dengan a.l kegiatan menyampaikan 'Yap Thiam Hien Award 2008' kepada
salah seorang tokoh pejuang HAM di Indonesia, adalah suatu langkah yang
mendorong maju perjuangan demi pelaksanaan HAM di Indonesia.
* * *