Jum'at, 19 Desember 2008
----------------------------------
RAWAGEDE (Bg 2 - Selesai)
Bisakah R.I. Belajar dari Belanda !?
Mengapa tulisan ini kuberi subjudul seperti diatas – BISAKAH R.I. BELAJAR DARI BELANDA? Benarkah kita-kita ini, orang-orang Indonesia, bisa dan juga boleh belajar dari orang-orang Belanda? Bolehkah sekali tempo orang-orang asing seperti orang Belanda menjadi guru kita?
Terkilas sejenak dalam fikiranku: - Mungkinkah pertanyaan yang kuajukan begini ini, akan dianggap orang sebagai sesuatu yang 'asbun' (asal bunyi saja) atau bahkan 'provokatif'?
Soalnya 'kan begini -- , dalam waktu panjang mengenai hubungan Indonesia Belanda, lebih-lebih bila itu menyangkut masa lampau, masalah sejarah, kita dan Belanda selalu berhadap-hadapan, bertolak belakang. Ambillah sebagai misal, kasus yang baru ini saja: Mengenai SOAL PEMBANTAIAI RAWAGEDE (09 Desember 1947 ). Putih kita bilang, hitam kata Belanda. Kita anggap sikap kita benar, tepat dan adil, patriotik, nasionalistik dan juga progresif. Para korban 'Rawagede 1947' mengajukan beberapa tuntutan. Pendirian para korban itu sesuai dengan logika perjuangan yang berlangsung antar penjajah versus rakyat yang dijajah. Tetapi fihak (pemerintah) Belanda (sampai pada saa-saat belakangan ini) menolak tuntutan para korban: agar Belanda menyatakan tanggungjawabnya atas pembantaian Rawegede; minta maaf dan memberikan konpensasi.
Sampai sekarangpun, mereka-mereka itu, kaum kolonialis dan imperialis sering menunjukkan mentalitas, semangat dan politik 'tempo doeloe'. Mereka merasa, bahwa sebagai 'tuan atas Hindia Belanda' – dulu it- mereka lebih 'super' terbanding kita-kita yang dulunya diberi nama julukan 'inlander'. Sehingga bisa disimpulkan: Pada pokoknya sikap mereka, khususnya di kalangan yang berkuasa, dan juga di kalangan masyarakat masih konservatif.
Oleh karena itu, tepatlah sikap para korban seperti yang dikemukakan oleh Batara Hutagalung, ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), bahwa para korban tidak akan berhenti mengajukan tuntutan mereka sampai pemerintah Belanda memenuhinya.
* * *
Tentu, kita samasekali tak boleh menutup mata, tak mungkin melupakan, peranan positif Multatuli, penulis Belanda yang progresif serta yang memberikan inspirasi pada kita, dalam perjuangan bangsa kita untuk mencapai kemerdekaan. Kita juga akan selalu ingat solidaritas kaum progresif Belanda, Komunis, Sosial Demorat, Kristen dll yang dengan tulus memberikan sokongan terhadap perjuangan kongkrit bangsa kita melawan kolonialisme Belanda. Bisa disebut disini kaum buruh Belanda, kaum 'diensweigeraar' , tentara Belanda yang menolak dikirim ke Indonesia untuk memerangi Republik Indonesia. Juga perlu di sebut a.l. Dr Douwes Decker, Prof Dr W.F. Wertheim, Piet van Staveren (Pitoyo), Haji Poncke Prinsen dll. Mereka itu secara kongkrit dan nyata melimpahkan solidaritas mereka pada perjuangan kemedekaan Indonesia.
Ini adalah segi lain, 'wajah lainnya' dari hubungan Indonesia – Belanda, yang sekali-kali jangan dilupakan.
* * *
Kiranya jelas: Fokus pembicaraan dan sikap kritis kita tertuju pada sikap, kebijakan dan politik pemerintah Belanda dan kekuatan politik konservatif di dalam masyarakat Belanda, yang sampai sekarang masih mempertahankan pendirian kolonial sehubungan dengan perjuangan kemerdekan Indonesia.
Yang termasuk kasus paling gawat adalah berkenaan dengan sikap pemerintah Belanda yang dalam waktu panjang menolak untuk mengakui Hari Proklamasi RI, 17 Agustus 1945, sebagai HARI KEMERDEKAAN INDONESIA. Menolak, bahwa sejak itu kedaulatan Indonesia sudah di tangan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Fakta itu dianggap 'sepi'. Tidak digubris. Bahkan Belanda melakukan segala sesuatu untuk menghapuskan Republik Indonesia dari permukaan bumi Nusantara. Bagi Belanda tempat itu, yang dulu bernama Hindia Belanda, adalah wilayah kedaultan Kerajaan Belanda di Seberang Lautan. Belanda tetap bertahan bahwa sampai dengan tanggal 29 Desember 1949, saat diserahkannya kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, barulah Indonesia merdeka.
Contoh lainnya. Misalnya, kasus hari ultah ke-400 VOC, 20 Maret 2002 yang lalu. Ketika itu pemerintah dan masyarakat Belanda secara besar-besaran memperingati hari ultah VOC yang didirikan di Haagse Ridderzaal Holland empat abad yang lalu.. Belanda menganggap VOC dan peranannya dalam sejarah, sebagai suatu periode kemegahan, keunggulan Belanda, sebagai abad keemasan Belanda, yang amat mereka bangga-banggakan.
Sedangkan bagi kita: Kita secara tepat dan adil menilai bahwa VOC itu adalah pangkal bencana bagi Indonesia. Sejak VOC masuk Indonesia, negeri ini menjadi jajahan Belanda. VOC adalah suatu angkara murka. Pada tempatnya kita mengarahkan telunjuk tudingan ke jurusan Den Haag. Dan memang begitu seharusnya. Jelas dimana masing-masing berpijak.
* * *
Namun, kali ini agak lain masalah yang hendak diangkat. Yaitu, seperti yang tecantum pada subjudel tulisan ini: BISAKAH R.I, BELAJAR DARI BELANDA?
Pada tanggal 09 Desember yang lalu telah berlangsung peringatan PEMBANTAIAN MASAL yang dilakukan oleh rentara kerajaan Belanda 61 tahun yang lalu di Rawagede. Saat itulah, 09 Desember 2008, terjadinya peristiwa yang punya arti penting dalam sejarah hubungan Indonesia-Belanda. Dimaksudkan adalah kehadiran Dutabesar Kerajaan Belanda unuk Republik Indonesia, Nicolau van Dam pada peringatan Rawagede tsb.
Seperti diberitakan 'Jawa Pos', 10 Desember yl, pemerintah Belanda akhirnya meminta maaf kepada korban dan keluarga peristiwa pembantaian masal terhadap penduduk Rawagede yang terjadi 61 tahun lalu. Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nicolaus Van Dam datang langsung ke makam para pejuang di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang, Jawa Barat. ''Pemerintah Belanda menyampaikan permintaan maaf yang sedalam-dalamnya kepada bangsa Indonesia atas peristiwa yang terjadi pada 1947 itu,'' katanya dalam bahasa Inggris. Demikian kutipan dari s.k. 'Jawa Pos'.
Sikap pemerintah Belanda mengenai pembantaian Rawagede seperti yang dikemukakan oleh dubes Belana Nikolaus Van Dam tsb, bisa disimpulkan merupakan hasil perjuangan fihak Indonesia, khususnya para korban yang masih hidup dan keluarganya. Juga keuletan Komite Utang Kehormatan Belanda yang mengkordinasikan kegiatan tuntutan para korban selama ini.
Di segi lainnya, ini merupakan p e r u b a h a n b e s a r pada fihak Belanda. Melalui jangka waktu enampuluh satu tahun, AKHIRNYA PEMERINTAH BELANDA MENGAKUI tanggungjawab atas pembunuhan masal yang dilakukan tentara kerajaan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah di Rawagede. Apa yang terjadi di Rawegede adalah suatu GENOSIDA, suatu kejahatan perang, suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN. Pelanggaran terhadap HAM. Meskipun tidak sejelas itu perumusannya. Juga punya arti penting penyesalan serta minta maaf secara terbuka yang diucapkan oleh Dubes Nicolaus Van Dam kepada para korban.
* * *
Sejak mula rezim Orba yang dikepalai oleh Jendral Suharto, penguasa Indonesia juga punya 'utang darah' terhadap rakyat Indonesia yang tak bersalah. Pada tahun-tahun 1965-66-67, setelah dikalahkannya G30S, telah berlangsung persekusi, pemenjaraan, pembuangan ke pulau Buru dan pembantaian masal terhadap orang-orang Kiri, PKI atau dikira/dituduh PKI dan terhadap para pendukung Presiden Sukarno. Suatu KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN, pembunuhan masal yang teramat biadab telah berlangsung di Indonesia ketika itu. Jumlah korban berlipat kali jauh lebih besar dari jumlah korban yang disebabkan oleh tentara kerajaan Belanda di Rawagede. Menurut penelitian dan sudi banyak pakar dan penulis mengenai pembantaian masal 1965 itu, jumlah itu berkisar antara ratusan ribu sampai sejuta lebih. Tak terbantahkan lagi bahwa yang berlangsung ketika itu adalah pembunuhan eksra-judisial, tanpa proses hukum apapun, terhadap manusia-manusia yang tak besalah yang patuh hukum dan cinta kepada Republik Indonesia dan kepala negara Presiden Sukarno.
Tentu muncul pertanyaan ini: Bagaimana sikap pemerintah Presiden SBY?. Meski pemerintah SBY sekarang ini, bukan yang langsung bertanggung jawab terhadap pembunuhan masal 1965, tetapi berkesinambungan dengan masa lampau, merupakan kekuasaan kelanjutan pemerintah Orbanya Jendral Suharto. Tokoh-tokoh dan orang-orangnyapun masih 'yang itu-itu juga'. Dengan sendirinya pemerintah Indonesia yang sekarang ini harus berani mengambil oper tanggungjawab CRIME AGAINST HUMANITY yang dilakukan oleh Orba di waktu yang lalu.
* * *
Sebagian terbesar korban Peristiwa Pembantaian Masal 1965,masih belum diketahui dimana kuburannya. Tetapi para keluarga mereka masih ada, masih hidup. Penderitaan mereka sampai sekarang masih belum berakhir. Karena, mereka masih didisksriminasi, masih distigmatisasi, masih dianggap 'eks-tapol', yaitu 'orang-orang bermasalah', yang harus 'dicurigai' dan 'diawasi. Nama baik dan hak-hak kewarganegaraan serta hak-hak politik mereka masih belum DIREHABILITASI!
Kenyataan ini merupakan tantangan terhadap pemerintah dan penguasa Indonesia sekarang ini.
Tantangan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang berniat untuk menjadi presiden ke-7
negara Republik Indonesia. Sutu tantangan untuk menangani dan kesalahan serta kejahatan yang dilakukan Orba di masa lalu.
Sedikitnya dalam hal mengakui kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan oleh kekuasaan negara di masa yang lalu, SBY dan penguasa Indonesia sekarang bisa dan pantas belajar dari Belanda! Berani dan terbuka MENGAKUI KESALAHAN, BERTANGGUNGJGAWAB DAN MINTA MAAF kepada rakyat. * * * (Selesai)
No comments:
Post a Comment