Sabtu, 20 Februari 2010
--------------------------------------------------
SEKITAR DISKUSI DUA PENYAIR LEKRA
~~ Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S ~~
Kehidupan/kegiatan budaya di kalangan masyarakat pencinta sastra dan seni di Indonesia tidak pernah behenti. Sejak berahirnya secara fomal rezim otoriter Orde Baru, sedikit-sedikit tampak dimulainya kehidupan masyarakat yang demokratis. Dalam pengertian, bahwa, sedikit-banyak sudah ada kebebasan berekspresi, bekumpul dan berorganisasi.
Perkembangan ini bisa juga dilihat a.l dengan diselenggarakannya pelbagai seminar dan workshop, diskusi dan wawancara, meyangkut karya-karya sastra dan seni. Belum lagi tulisan dan buku yang terbit mengisahkan dan mencatat kembali, apa-apa yang dibungkam di masa pemerintahan Jendral Suharto.
Demikianlah kita baca press-release yang dikeluarkan oleh sejarawan muda Asep Sambodja. Sebagai ketua panitia Asep menumumkan bahwa pada tanggal 25 Februari yad akan diselenggarakan Diskusi Buku Dua Penyair Lekra. Penyelenggara diskusi tsb adalah Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) dan Penerbit Ultimus Bandung.
Pertumbuhan dan perkembangan positif ini termanisfesasi dalam peningkatan produksi film-film dokumenter yang mencatat dan mengisahkan sekitar PERISTIWA 1965, Pelanggaran HAM semasa peiode Orba. Juga telah diproduksi film dokumenter bersangkutan dengan kegiatan LEKRA sebelum Peristiwa 1965. Tentu saja kegiatan Lekra sebelum Peristiwa 1965.
Karena, sejak akhir 1965, ketika Jendral Suharto sibuk dengan kup merangkaknya terhadap Presiden Sukano, bisa dibilang semua anggota dan simpatisan LEKRA dijebloskan dalam penjara, dibuang ke pulau Buru, atau hilang tak tentu rimbanya, menjadi korban pembantaian masa ketika itu.
Perkembangan di bidang kegiatan pencerahan fikiran punya dampak memupuk optimisme dalam perjuangan mengatasi ´kemandulan berfikir´ dan ´ketiadaan nyali´, ´kepatuhan pada arahan atasan´ di kalangan cendekiawan Indonesia yang hidup dan dipupuk oleh kultur otoriter Orba. Menggembirakan adalah perhatian yang bertambah di dalam maupun di luarnegeri terhadap hal-hal yang pada periode Orba oleh masyarakat umum dianggap 'tabu' dan 'terlarang', bahkan sesutu yang 'pantang'. Apalagi, sekali lagi, apalagi, bila itu bersangkutan atau sedikit saja sangkut pautnya dengan kehidupan kegiatan kebudayaan LEKRA. LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah lembaga kebudayaan Indonesia, yang di sepanjang sejarah modern Indonesia, kegiatannya paling meluas merata di kalangan rakyat. Sampai ke daerah-daerah, pulau-pulau terpencil, kampung-kampung dan desa-desa. Lekra mempunyai anggota terbesar terbanding lembaga kebudayaan lainnya di negeri kita. Ini antara lain disebabkan oleh arah ´MERAKYAT´ yang ditempuh oleh Lekra. LEKRA mengabdikan karya dan kegiatannya demi kepentingan bangsa dan tanah air, demi rakyat.
Lekra bernaung di bawah semboyan SENI UNTUK RAKYAT.
Peningkatan perhatian dan peduli terhadap karya-karya sastra penyair LEKRA punya arti khusus bagi kehidupan demokratis di Indonesia dewasa ini. Bukankah, LEKRA, namanya saja sudah memberikan reaksi dan dampak tertentu bagi kalangan pendukung Orba. Sejak Jendral Suharto merebut kekuasaan negara, sebagai suatu rezim anti-demokratis di Indonesia, LEKRA termasuk salah satu sasran utama rezim Orba dan pendukungnya untuk dihapuskan samasekali dari kehidupan budaya Indonesia.
Meskipun LEKRA telah dilarang Orba -- meskipun rezim Orba sudah digantikan dengan pemerintahan hasil pemilu, sampai sekarang larangan Orba terhadap Lekra tetap saja tidak dicabut – pimpinan dan kader-kader pentingnya banyak yang tewas korban pembantaian masal 1965, banyak yang sudah berumur lanjut, ---- NAMUN, nyatanya LEKRA masih hadir di hati dan fikiran kalangan pemerhati dan peduli budaya Indonesia.
* * *
Berikut ini disiarkan kembali berita yang kuperoleh dari sahabatku Chalik Hamid, sbb
Press Release*)
Diskusi Buku Dua Penyair Lekra
Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Sastra Indonesia (IKSI) dan Penerbit Ultimus Bandung menyelenggarakan Diskusi Buku Dua Penyair Lekra.
Kedua buku yang dibedah adalah Puisi-puisi dari Penjara karya S. Anantaguna dan Nyanyian dalam Kelam karya Sutikno W.S. Sejarawan Hilmar Farid akan tampil sebagai pembicara bersama Sunu Wasono (dosen sastra FIB UI) dan Wahyu Awaludin (mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI).
Adapun moderatornya adalah sastrawan yang juga seorang akupunkturis, Putu Oka Sukanta. Acara ini akan dilaksanakan pada Kamis, 25 Februari 2010, pukul 12.00-16.00 WIB di Auditorium Gd. IV (Ruang 4101) FIB UI. Acara ini akan dimeriahkan dengan pemutaran film Tjidurian 19 (sutradara: Lasja F. Susatyo dan M. Abduh Aziz), musikalisasi puisi oleh Sasina IKSI (UI), dan pertunjukan tari oleh Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) IKJ (koreografer Madia Patra). Acara ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya (gratis).
Salam, Asep Sambodja (Ketua Panitia)
Susunan Acara
12.00: Pemutaran film Tjidurian 19. 13.00: Musikalisasi Puisi oleh Sasina IKSI (UI). 13.30: Pertunjukan Tari oleh Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS) Institut Kesenian Jakarta (IKJ). 14.00: Diskusi Buku.
Informasi ini sekaligus bisa berarti sebagai undangan.
* * *
Dalam acara tsb diatas akan dipertunjukkan film dokumenter TJIDURIAN 19. Di bawah ini disampaikan sekadar informasi bagi pembaca yang ingin melihat video film tsb silakan mengikuti petunjuk informasi di bawah ini.
Download Hi-Res / Screening Version
Full description
This home-office was owned by the head of LEKRA's internal affairs, Oey Hay Djoen. It was seized, occupied, then sold to a third party by New Order state officials. Now it has been turned into a luxurious multi-storey building. The New Order regime systematically and structurally confiscated buildings and buried memory which created significant gaps within the trajectory of the nation's history. Amrus Natalsya, Amrazan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri Setiawan, Martin Aleida, Putu Oka Sukanta, and T. Iskandar A.S. all share their experience, as well as their feeling of deep loss. It was in this cultural house that they did not only produce their earlier work, but also exercised equality, and debated about aesthetics, politics, and ideology.
Produced by Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan in cooperation with Institut Sejarah Sosial Indonesia and TAPOL London.
* * *
Mudah-mudahan pembaca berhasil mengkhayati video ~~ TJIDURIAN 19 !