Sunday, February 14, 2010

PEREMPUAN INDONESIA

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Selasa, 05 Januari 2010
-----------------------


PEREMPUAN INDONESIA



Hari Minggu kemarin dulu itu, pada kesempatan perayaan 'Menyambut Tahun Baru 2010', di Diemen, Belanda – Murti ditawari dan membeli buku dari kawan-kawanya yang tergabung dalam Grup Wanita DIAN. Tidak mahal hanya 10 Euro saja. Sebuah buku yang sebenarnya sudah beredar dua tahun yang lalu. Diterbitkan oleh Galangpress (Anggota Ikapi). Judul buku:


“SUARA PEREMPUAN, Korban Tragedi 1965”


Entah apa sebabnya baru sekarang kutahu ada buku ini. Padahal sudah terbit Cetakan I, 2007; Cetakan II 2008. Penulis: ITA F. NADIA. Diantar oleh Prof. Dr. Saskia E. WIERENGA, Universiteit van Amsterdam (UVA).


Dalam Prakata Penulis ditegaskan bahwa buku itu adalah mengenai 'Pengalaman Perempuan Sebagai Pusat Penafsiran Sejarah'. Sedangkan Wierenga, dalam pengantarnya menjelaskan bahwa SEJARAH TELAH MEMBERSIHKANMU. Ikutilah sedikit apa kata Wieringa:


'Yanti, seorang dari sepuluh orang perempuan, yang kisah-kisah sedih dan mengerikan mereka telah diceriterakan dalam halaman-halaman buku ini, hanya mempunyai satu keinginan saya sebelum ia mati. Ia ingin menceriterakan kepada keluarga jenderal-jenderal yang terbunuh di Lubang Buaya pada tahun 1965, bahwa cerita-cerita yang telah beredar, atau dengan sengaja telah diedarkan, tentang kematian mereka itu tidak benar adanya. Jenderal-jenderal itu tidak mati karena dibunuh oleh perempuan-perempuan muda sambil telanjang menari-nari di tengah malam, tidak dipotong penis mereka dan tidak dicungkil mata mereka. Bagaimana jenderal-jendral itu dibunuh, dan mengapa, masih merupakan mistri bagi Yanti, perempuan muda belia yang ketika ditangkap baru berumur 14 tahun, dan yang kemudian diperkosa beramai-ramai dan disiksa habis-habisan. Hidupnya telah hancur. Dipenjara selama sepuluh tahun lebih tanpa pernah diadili.'


* * *


Aku sela dulu di sini kata pengantar Wieringga. Kita baca sedikit apa kata Ita F. Nadia, sebagai penghimpun dari kisah-kisah perempuan Indonesia yang lolos dari penderitaan kebiadaban rezim Orba, sbb:


“Awalnya adalah sebuah foto rontgen 'X-ray” dari Ibu Sujinah di tahun 1995, yang ditunjukkan kepada saya, dan catatatan dokter yang memeriksanya: Fraktur di tengkorak kepala, tulang pinggang dan dada akibat benda tumpul”. “Itu tubuh saya”,

kata ibu Sujinah pelan. Tiba-tiba airmatanya menggenang di kedua pelupuk mata, dan tatapannya jauh. Tapi kemudian beliau berkata: “Sudahlah yang lalu biar menjadikan sejarah hidup saya”.


Demikian ktata-kata Ibu Sujinah, yang sesudahnya mengusik perasaan saya. Berhari-hari saya tidak bisa tidur memikirkan foto rontgen itu, dan saya berkeyakinan

telah terjadi suatu peristiwa kekerasan yang dahsyat pada Ibu Sudjinah. Apakah hanya Ibu Sudjinah sendiri yang mengalaminya?


“Saya mulai mencari tahu lebih dalam pada Ibu Sujinah, tapibeliau diam. Pertanyaan-pertanyaan yang mencoba mengungkap pengalaman kekerasan masa lalunya, selalu dijawabnya dengan: “Berat. Aku sendiri lupa. Kalau kamu ingin tahu bagaimana kami ketika diinterogasi, tengoklah keadaan ibu Sri Ambar.” Begitulah nasihat Ibu Sujinah. Dan suatu pagi masih di tahun 1995, dengan diantar almarhum mbah Harti, saya mengunjungi ibu Sri Ambar. Almarhumah mbah Harti ialah Suharti, mantan anggota DPRD JawaTengah dari Fraksi BTI (Barisan Tani Indonesia). Almarhum suaminya, Harsono Ali Markaban, juga salah seorang anggota DPPBTI dan anggota DPR-GR (DPR Gotong Royong). Sebutan “mbah” untuk mbah Harti adalah sapaan kekeluargaan, yang diberikan anak-anak saya kepada beliau, yang pada tahun-tahun terakhir telah menjadi bagian kehidupan keluarga kami.


“Memasuki rumah ibu Sri Ambar yang sederhana, saya bertemu dengan seorang eks-aktivis SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) tahun 1960-an yang memperjuangkan persamaan hak buruh perempuan. Seorang perempuan bertubuh rapuh! Ia menatap kosong, seakan kehilangan memori. Menurut diagnosa rumah sakit, ibu Sri Ambar mengalami retak tempurung kepala yang berat dan pergeseran otak akibat penganiayaan. Oleh karenanya beliau menjadi kehilangan memori dan luka-luka dalam tubuh, yang mengakibatkan ibu Sri Ambar menderita berbagai penyakit. Beliau tidak bisa menceriterakan kembali pengalaman hidupnya. Ibarat satu sosok tubuh yang tinggal bernapas namun sedjatinya tidak lagi hidup. Untung bersama saya ada almarhum mbah Harti, yang di masa lalu menjadi saksi proses penyiksaan terhadap ibu Sri Ambar dan Ibu Sujinah.”


Selanjutnya Ita Nadia menuraikan tentang bagaimana caranya memberikan kemungkinan kepada masyarakat agar mengetahui mengapa begitu banyak orang dibunuh, ditangkap, diperkosa, dibuang dan dipenjarakan, sesudah terjadinya G30S.


Ita mulai meneliti tentang kekerasan yang terjadi pasca peristiwa G30S. Hasilnya adalah terbitnya buku ini: SUARA PEREMPUAN INDONESIA , Korban Tragedi '65.


Dijelaskan lebih lanjut oleh Ita F Nadia:


“Penulisan pengalaman perempuan-perempuan korban ini, merupakan upaya untuk menghentikan “politik pembisuan” yang lazim digunakan oleh para pelaku kekerasan, sebagai alat teror agar korban dan masyarakat dicengkam rasa-takut. Sejarah lisan menjadi salah satu cara untuk memecah kebisuan, dan dengan demikain untuk menciptakan “ruang sejarah”. Tuturan pengalaman korban adalah elemen penting untuk penyusunan kembali masa lalu yang tidak adil. Bagi perempuan korban kekerasan, metode sejarah lisan menjadi media penting untuk membawa perempuan masuk ke dalam sejarah, dan menjadikan pengalaman perempuan sebagai bagian dari catatan tertulis. Untuk selanjutnya merupakan jalan melakukan revisi sejarah dan mengubah penggambaran peristiwa yang sebelumnya pernah ditulis secara tidak adil dan tidak memperhitungkan pengalaman perempuan”


Buku tsb mencakup sepuluh kisah perempuan Indonesia, yang diberi judul sbb:


1.Ibu Rusminah: Akhirnya Pemerkosa Itu Jenderal Pensiun

2.Ibu Parti: Perempuan Eks-Tapol Sampah Segala Sampah

3.Ibu Yanti: Membangun Kekuasaan di Atas Perkosaan

4.Ibu Maryati: Perempuan Tapol Sasaran Aniaya Moral dan Politik

5.Ibu Sukarti: Ya, PKI Itu Impoten

6.Ibu Sudarsi: Mengapa Perempuan Harus Punya Vagina dan Payudara

7.Ibu Sus: Membuang Jati Diri Demi Harkat dan Martabat Diri

8.Ibu Suparti: Hidup Saya Dihancurkan Karena Suami Saya Orang PKI

9.Ibu Badriah: Penginjil Orang Miskin

10.Ibu Darmi: Saya Tinggal Sebatang Jasad


* * *


Kiranya akan memberika pandangan umum yang lebih lengkap bila kita ikuti apa yang ditulis oleh Prof Dr Wieringga kaitannya perempuan Indonesia dan GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), sbb:


“GERWANI”

Gerwani ialah organisasi kaum perempuan yang berkaitan dengan PKI. Gerwani, atau Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar), demikianlah namanya pada tahun 1950-1954, didirikan oleh sekelompok perempuan muda yang ingin melaksanakan cita-cita mereka tentang revolusi Indonesia. Beda dari anggota organiasi-organisasi perempuan lainnya, mereka tidak menarik diri ke dalam apa yang umum melihatnya sebagai bidang kaum perempuan, tetapi berjuang untuk masalah-masalah sosial dengan selalu berada di gelanggang politik. Perhatian para anggotanya yang semula pada undang-undanga perkawinan yang berdasarkan monogami menjadi menyusut sesudah Presiden Sukarno kawin-madu dengan Hartini pda tahun 1954. Perhatian utama organisasi lalu beralih pada perjuangan untuk hak kerja dan bertanggungjawab yang sama antara kaum perempuan dan kaum laki-laki, dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan nasional yang penuh dan untuk sosialisme. Hak-hak untuk perempuan dan anak-anak, termasuk penyelenggaraan penitipan anak dan pembangunan 'keluarga revolusioner', tetap menjadi tema pokok dalam sepanjang sejarah Gerwani. Sesudah kongres pada tahun 1954 organisasi ini mengikuti 'garis massa' PKI seperti yang telah ditetapkan. Beribu-ribu kader diberi pelatihan. Para anggota pegi ke desa-desa dan kampung, untuk mendiskusikan masalah sehari-hari dengan perempuan tani di desa dan di kampung, terutama dengan kaum buruh perempuan. Lalu dilakukanlah kegiatan besar-besaran untuk melawan burahuruf di kalangan perempuan.”


Sekian dulu dari Wieringga. Bicara soal gerakan perempuan Indonesia, khususnya masa sebelum Orba, lebih khusus lagi mengenai Gerwani, Wierenga adalah seorang yang menekuni masalah ini. Ia meraih gelar PhD-nya dengan mengadakan studi dan tesis berjudul::


*The politicization of gender relations in Indonesia: The
Indonesian women's movement and Gerwani until the New Order
state, Amsterdam: Universiteitsbibliotheek (PhD thesis), 1995. *



* * *

Pesan yang dilantunkan para perempuan Indonesia korban Tragedi '65, sungguh patut dicamkan oleh masyarakat:



“Kami bukan pembunuh dan pelaku kekerasan terhadap para jenderal sperti dituduhkan selama ini kapada kami. Kami ingin dikembalikan sebagai manusia merdeka dan bermartabat. Bukan karena dendam, tapi agar kekerasan yang pernah kami alami tak terulang pada perempuan Indonesia yang akan datang.

KAMI BERJUANG DEMI PERDAMAIAN DAN KEADILAN RAKYAT INDONESIA.



* * *

Tulisan ini sekadar untuk menggugah pembaca membaca buku penting tsb: *SUARA PEREMPUAN, Korban Tragedi 1965”*

Kepada Ita F. Nadia yang telah berusaha keras sampai terbitnya buku ini, patutlah disampaikan kepadanya rasa hormat dan penuh penghargaan.



* * *

No comments: