IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Senin, 11 Januari 2010
----------------------------
MERESAPI & MENIKMATI CERPEN
LU XUN – “NASIB”
Menyambut Tahun Baru 2010, telah kuterjemahkan dan perkenalkan salah satu dari banyak karya Lu Xun, berjudul “TAHUN BARU”. Kali ini kuterjemahkan cerpen Lu Xun lainnya, yaitu: “NASIB”. Mengapa memilih cerpen “NASIB”? Sebabnya? Masalah 'nasib', mungkin adalah salah satu isu yang paling banyak dibicarakan, difikirkan atau ditulis sejak manusia ini sadar diri bahwa dia tidak sama dengan makhluk lainnya dan mulai berfikir mengenai dirinya dan alam sekitar.
Bila seseorang termenung, seorang diri, biasanya yang difikirkannya adalah mengenai diri atau keluarganya. Kekasih atau musuh atau saingannya, atau lainnya. 'Bagaimana selanjutnya' ? Bagaimana nasibnya, bulan ini, tahun ini dan seterusnya? Nasib-baikkah atau nasib-burukkah. Makanya tidak kebetulan, di banyak media, radio ataupun TV tidak ketinggalan dicantumkan rubrik 'horoskop'. Barangkali rubrik ini yang paling dulu dibaca.
Secara lebih luas dan lebih serius. Siapa yang tidak memikirkan NASIB TANAH AIR dan BANGSANYA. Meskipun jauh dari tanah air, seperti 'kita-kita' ini yang bermukim di luarnegeri. Nasib tanah air dan bangsa selalu dalam fikiran kita.
Jadi: --- Soal “NASIB”, adalah soal besar dan selalu relevan. Bayangkan, bagaimana NASIB seseorang setelah meninggalkan dunia yan fana ini. Kalau dia orang Indonesia mau dimakamkan di negeri ia tinggal, atau mau dibawa ke Indonesia? Mau dikubur di kuburan keluarga, mungkin. Dikubur atau dikremasi? Dimana dan pakai batu nisan yang berapa harganya? Itu semua jadi urusan 'Uitvaart Verzekering' di negeri maju seperti Belanda ini. Hampir setiap warga menjadi klien dari asuransi kematian. “Uitvaart Verzekering” itu adalah perusahaan asuransi kematian yang ' kaya' di negeri-negeri maju. Urusannya adalah 'nasib' sesudah mati! Urusan orang mati ini seringkali menghabiskan ongkos ribuan euro. Tidak jarang, sesudah musibah kematian menimpa keluarga, tambah lagi hutang baru!
* * *
Tentu, yang lebih menjadi perhatian adalah masalah “NASIB” selama orang masih hidup.
Di sinilah kita tiba pada sastrawan Lu Xun. Salah seorang penulis RAKSASA di dunia sastra. Tak diketahui seberapa jauh masyarakat kita, teristimewa di kalangan budayawannya, yang mengenal dan suka membaca karya-karya Lu Xun. Atau pertanyaan ini: Sudah berapa banyak karya Lu Xun yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Pengenalanku yang terbatas ini mengatakan, --- tidak banyak karya penulis-penulis Asia lainnya yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Silakan yang mengetahuinya untuk memberikan infornasi yang beguna bagi pembaca.
Di sini bukan maksudnya untuk panjang lebar membicarakan siapa Lu Xun. Yang pokok ialah hendak menyajikan pada pembaca cerpen Lu Xun, “NASIB”. Namun, barangkali ada perlunya sedikit lagi ada catatan mengenai Lu Xun.
Lu Xun, nama aslinya adalah Zhou Shuren. Ia lahir tahun 1981 dan meninggal 19 Oktober tahun 1936. Lu Xun, oleh banyak orang dianggap pelopor kebudayaan Tiongkok Baru, seorang penulis cerpen, esayis dan kritikus serta teoretikus sastra. Oleh kalangan sastra Tiongkok Baru, Lu Xun dinilai sebagai tokoh terbesar dalam kesusasetraan Tiongkok abad Ke-XX. Karya-karyanya , terutama ceritera-ceriteranya telah diterjemahkan ke lebih dari 12 bahasa dunia. Di antara tahun 1923 – 1935 fiksi-fiksi pendeknya yang terkenal diterbitkan dalam tiga koleksi. Selain itu ia telah menulis sebanyak 13 jilid esai, kenangan, prosa, sajak, dongeng sejarah. Juga menulis tidak kurang dari 30 sajak klasik, 12 julid studi ilmiah dan sejumlah besar terjemahan. Dari penulis asing yang dikaguminya a.l adalah penulis Rusia Nikolay Gogol. Penulis asing terkenal lainnya juga dibacanya. Tapi, Lu Xun tak pernah menulis novel.
Lu Xun pernah setahun lamanya belajar di Akademi Angkatan Laut. Kemudian ia meneruskan studinya di Sendai, Jepang. Jurusan kedokteran. Berhenti di tengah jalan. Karena ia menganggap yang harus diobati pada bangsa Tionghoa ketika itu bukan penyakit pada fisiknya, tetapi penyakit pada mentalnya. Keputusan itu diambilnya sesudah menyaksikan sendiri di Jepang, ketika seorang berbangsa Tionghoa yang dituduh mata-mata Rusia, dieksekusi di muka umum. Lu Xun marah sekali menyaksikan kebiadaban itu. Tetapi lebih marah lagi melihat mahasiswa-mahasiwa Tionghoa yang ikut menyaksikan eksekusi itu, samasekali tak berreaksi apa-apa.
Dari peristiwa itu ia menyimpulkan ada sesuatu yang harus dilempangkan pada mental orang Tionghoa. Sejak itu ia menekuni sastra Tionghoa. Menganggap pena adalah senjata utama baginya dalam perjuangan melawan kebudayaan feodalisme Tiongkok, kekuasaan kerajaan dan imperialisme asing.
* * *
Pada permulaan tahun 1920-an Lu Xun berkenalan dengan Marxisme. Sejak itu ia menjadi seorang Marxis. Namun ia tidak pernah menjadi anggota Partai Komunis Tiongkok. Selama tahun-tahun ketika di Shanghai Lu Xun menjadi salah seorang pemimpin Liga Penulis Kiri. Pada tahun 1920-an dan 30-an Lu Xun aktif sekali dalam perdebatan sastra yang berlangsug di Tiongkok. Ketika di Tokyo Lu Xun menjadi editor dari majalah Kehidupan Baru di Jepang dan majalah Komunis Henan.
Lu Xun adalah salah seorang pendiri organisasi-organisasi Kiri, termasuk Liga Penulis Sayap Kiri, Liga Pembebasan Tiongkok dan Liga Pembela Hak-Hak Warganegara. Lu Xun juga anggota pimpinan dari Gerakan Empat Mei yang terkenal di Tiongkok sebagai permulaan gerakan pembaruan atau pencerahan. Gerakan Empat Mei, 1919, di Tiongkok, dimulai dengan demonstrasi mahasiswa dan pelajar memprotes imperialisme yang disokong secara internasional serta fasal-fasal yang pro-Jepang dalam Persetujuan Perdamaian Paris. Gerakan ini adalah gerakan kebudayaan dan politik progresif terbesar di Tiongkok waktu itu, yang dilakukan pada pokoknya oleh para mahasiwa dan kaum terpelajar. Gerakan 4 Mei, juga sering disebut sebagai Gerakan Kebudayaan Baru. Menandakan antara lain kebangkitan nasionalisme Tiongkok.
* * *
Stop sampai di sini dulu mengenai Lu Xun. Lain kali bisa diteruskan lagi. Sekarang, sesuai maksud semula, mari kita ikuti bersama cerpen tsb. Perhatikan bagaimana Lu Xun berusaha menyadarkan pembacanya untuk tidak percaya pada 'Nasib' , agar membuang takhayul. Menggantikannya dengan ide-ide dan tindak-tanduk yang rasional! Yang ilmiah!
“*NASIB”*
Oleh Lu Xun
Pada suatu hari, ketika sedang duduk-duduk ngobrol di Uchiyama Bookshop – suatu ketika saya diserang dan dikasih topi pengkhianat oleh sementara orang dari 'kalangan sastrawan', yang memusuhi saya, karena saya sering berkunjung ke Uchiyama Bookstore dan ngobrol di situ, tetapi sayang toko buku itu harus tutup --- saya dengar bahwa gadis Jepang yang lahir di tahun cyclic /bing-wu, /yang sekarang ini mencapai 29 tahun, adalah makhluk yang paling sial. Umum diyakini bahwa wanita yang lahir tahun itu, akan memusnahkan suami-suami mereka, dan bilamana mereka itu kawin lagi, akan terjadi hal yang sama. Dan memang, hal itu bisa terjadi berulang sampai enam – tujuh kali. Oleh karena itu bagi wanita-wanita itu sangatlah sulit untuk mendapatkan suami. Tentu saja, ini adalah takhayul, superstisi. Tetapi di Jepang masih banyak sekali orang percaya takhayul.
Saya bertanya: Apakah mereka itu tak ada jalan keluar untuk menghindar dari nasib sial itu? Jawabya adalah: Tidak ada.
Ini bikin saya berfikir tentang Tiongkok.
Banyak sinolog asing mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa itu fatalis, yang percaya bahwa bila sesuatu telah ditentukan nasibnya maka apapun tidak bisa mengubahnya, dan sekarang ini bahkan sementara orang terpelajar Tionghoa mengatakan hal yang sama. Tetapi ditimbang dari apa yang saya ketahui, wanita-wanita Tiongkok tidak punya nasib yang begitu kebal. Ada nasib 'buruk' atau 'kekerasan' pada nasib mereka. Bila seorang wanita sudah ditentukan nasibnya akan memusnahkan lima atau enam orang suami, seorang dukun atau yang semacam itu selalu siap dengan suatu pengobatan; ia akan tampilkan lima atau enam orang yang dipahat dari pohon persik, lalu menggambarkan ornamen khasiat pada patung-patung tsb dan setelah 'mengawinkan' (patung-patung) tsb dengan wanita itu, akan membakarnya. Lalu laki-laki yang sesungguhnya mengawini wanita itu, dihitung sebagai suami yang ketujuh, tidak lagi ada dalam bahaya.
Orang Tionghoa percaya pada nasib, tetapi pada nasib yang bisa dicegah. Mengatakan 'tak ada jalan keluar' kadang-kadang merupakan cara untuk mencoba cari jalan keluar lain – suatu cara untuk menhindari nasib. Bila seseorang benar-benar percaya bahwa ini adalah “nasib” dan 'tidak ada jalan keluar' – itulah sesungguhnya saatnya jika semua cara gagal dan ia nyaris musnah. Bagi orang Tionghoa, nasib itu bukanlah sesuatu yang menentukan kejadian tetapi, suatu keterangan sederhana yang diberikan setelah sesuatu terjadi.
Tentu, orang Tionghoa punya takhayul, mereka juga punya “kepercayaan” mereka, tetapi rupanya 'kepercayaan teguh' yang sedikit sekali. Dulu kita menghormati raja diatas segala-galanya, tetapi dalam waktu yang bersamaan mencoba mengendalikannya. Kita juga menghormati ratu-ratu, tetapi beberapa orang dari kita memcoba merayunya. Kita takut pada tuhan-tuhan, tetapi membakar uang dari kertas untuk menyuap (nyogok) tuhan-tuhan itu. Kita mengagumi pahlawan-pahlawan, tetapi tidak mau mengorbankan jiwa kita untuk pahlawan-pahlawan itu. Para sarjana Konghucu menyembah Budha juga; pejuang yang sekarang percaya A besok percaya pada B. Tiongkok tidak pernah melakukan perang religi, dan meski sejak Wei Utara sampai pada akhir Dinasti Tang Budisme dan Taoisme berkembang dan menurun silih berganti, itu semua disebabkan oleh kata-kata madu beberapa orang yang berbisik di telinga sang raja. Geomency, magic, jampean, doa-doa . . . . . betapa gawatnyapun nasib itu, mengeluaran sedikit uang atau menyembah-menyembah, akan membuatnya lain samasekali terbanding apa yang sudah dinasibkan itu – dengan kata lain, hal itu hakikatnya tidak ditentukan sebelumnya.
Diantara nenek-moyang kita yang bijaksana ada beberapa yang mengetahui bahwa ketidakpastian “sesuatu nasib” tidak cukup untuk memberikan orang suatu perasaan kepastian, oleh karena itu mereka mengatakan bahwa hasil dari semua cara yang telah dicoba adalah ''nasib” yang sesungguhnya dan bahwa penggunaan pelbagai cara untuk menghindar dari nasib juga telah ditentukan. Tetapi nyatanya orang-orang biasa tidak sefaham dengan pandangan tsb.
Mungkin tidak baik bagi orang-orang bila kekurangan “kepercayaan teguh” dan bimbang, karena ini menunjukkan bahwa mereka “tidak punya kemauan sendiri”. Tetapi menurut fikiran saya adalah baik bahwa orang-orang Tionghoa yang percaya pada nasib itu juga percaya bahwa nasib itu bisa diubah. Hanya sebegitu jauh kita telah menggunakan takhayul untuk melawan takhayul lainnya, sehingga hasilnya akhirnya sama saja. Bila andaikata dimasa datang kita menggunakan ide-ide dan tingkah laku rasional – menggnakan ilmu bukannya takhayul – orang-orang Tionghoa akan mencampakkan pandangan mereka yang fatalistik itu.
Bila tiba saat seperti itu, memang, mahkota-mahkota yang ada pada biksu Budhis, pendeta-pendeta Tao, para dukun, astrolog-astrolog, para jururafsir nasib, dan semua orang-orang seperti itu, akan jatuh pada para sarjana, dan kita akan mampu mencampakkan segala omong kosong itu sepanjang tahun.
23 Oktober 1934.
* * *
Sunday, February 14, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment