IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Jum'at, 07 Mei 2010.
--------------------------------------------------------
BUNG KARNO Bersikap Rasionil Tentang
“Karl MARX” & “MARXISME”
Berbagai cara orang memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei dan hari ultah ke-192 Karl Marx
Tetapi Bung Karno lain. Beliau adalah seorang pejuang dan politkus yang serius sejak masa mudanya. Bung Karno, Sang Proklamator dan Pendiri Republik Indonesia, jauh sejak masa muda dan akitf dalam gerakan kemerdekaan bangsa, telah menulis tentang MARX dan MARXISME . Tulisan beliau itu dipublikasikan <1933>, 12 tahun sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Bagi yang peduli, silakan membacanya sendiri tulisan Bung Karno tsb dengan cermat, kritis dan analitis. Namun seyogianya dengan lapang dada. Dengan demikian bisa menangkap makna dan maksud tulisan tsb.
Seorang penulis di Facebook, Darwin ISKANDAR, --- menyajikan kepada pembaca Facebook artikel Bung Karno tsb selengkapnya:
* * *
Dalam tulisannya tsb Bung Karno memulai dengan kalimat-kalimat bersejarah berikut ini:
“Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang ”geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama ”datuk” pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx”.
Artikelnya tentang Marxismt itu beliau akhiri dengan kelimat-kalimat berikut ini.
“Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya-seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.
Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela Rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya Rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, -- Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun Rakyat adanya!
(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Suluh Indonesia Muda, 1926.)
* * *
Beberapa puluh tahun sesudah meninggalnya Karl Marx, pada tanggal 07 November 1917, dimulai dari kota Petrograd, meletaus Revolusi Sosialis Rusia di bawah pimpinan W.I Lenin, seorang Marxis Rusia. Revolusi Sosialis Rusia telah melahirkan URSS, Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis; menghapuskan sistim kapitalis/feodal otokratis dan opresif Tsar.
Setelah itu, teristimewa setelah berakhirnya Perang Dunia II, dengan dikalahkannya fasisme, di Eropah Timur maupun di Asia telah lahir negeri-negeri yang mendasarkan falsafah negara dan sistim ekonominya pada Marxisme. Disusul kemudian oleh berdirinya negara sosialis pertama di Amerika Latin --- Cuba di bawah pimpinan Fidel Casto.
Perkembangan ini menunjukkan keunggulan gerakan politik yang didasarkan atas idologi dan politik Marxisme.
* * *
Pergolakan politik dan perkembangan dunia berjalan terus. Negeri-negeri yang mendasarkan falsafah negara dan sistim ekonominya pada Marxisme seperti Uni Sovyet dan seluruh negeri-negeri Eropah Timur yang tergabung dalam blok Comecon, terbukti tidak bisa mempertahankan sistim kenegaraan dan ekonomi Marxisme. Pada awal tahun sembilan-puluhan abad lalu, tidak satupun dari negeri sosialis di Eropah Timur yang bisa bertahan terhadap gejolak dan prahara perubahan yang mengembalikan negeri-negeri 'asal sosialis' tsb ke jalan anti-pode sosialisme – SISTIM EKONOMI DAN POLITIK KAPITALIS.
Hanya Republik Rakyat Tiongkok, Korea Utara, Vietnam dan Cuba yang masih mempertahankan sistim falsafah, ekonomi dan politik pada ajaran Marx. Dengan mengadakan penyesuaian, dengan cara mentrapkannya pada kondisi kongkrit negeri masing-masing. Demikianlah seperti yang resmi formal dinyatakan oleh yang bersangkutan.
* * *
Tidak jelas apakah di negeri lain -- larangan ajaran Marx dicantumkan dalam suatu ketentuan atau keputusan sebuah lembaga negara, seperti halnya di Indonesia. Orde Baru mengeluarkan larangan ajaran Marxisme melalui keputusan – Tap MPRS No XXV, 1966. Catat – keputusan tsb diambil sesudah lembaga MPRS dibongkar-pasang oleh Jendral Suharto. Setelah semua anggota MPRS yang PKI, Kiri dan yang pendukung Presiden Sukarno, 'diamankan' dan dijebloskan dalam penjara.
Ketika Gus Dur menjadi Presiden RI yang ke-4, beliau menyatakan bahwa Tap MPRS No XXV, 1966, yang melarang faham Marxisme itu, bertentangan dengan hak-hak azasi manusia, bertentangan dengan UUD-RI. Maka harus dibatalkan! Sayang beliau tidak sampai dua tahun memegang jabatan Presiden RI. Presiden Wahid 'digulingkan' ' oleh penentang-penentangnya melalui keputusan MPRS yang notabene telah memilih dia sebagai Presiden RI.
* * *
Berikut ini tulisan Bung Kanno yang disiarkan kembali oleh DARWIN ISKANDA, di FaceboOk.
BUNG KARNO :
“MARX DAN MARXISME”
Mendengar perkataan ini, -begitulah dulu pernah saya menulis-, mendengar perkataan ini, maka tampak sebagai suatu bayangan di penglihatan kita gambarnya berduyun-duyun kaum yang mudlarat dari segala bangsa dan negeri, pucat muka dan kurus badan, pakaian berkoyak-koyak; tampak pada angan kita dirinya pembela dan kampiun si mudlarat tadi, seorang ahli pikir yang ketetapan hatinya dan keinsyafan akan kebiasannya mengingatkan kita pada pahlawan dari dongeng-dongeng kuno Jermania yang sakti dan tiada terkalahkan itu, suatu manusia yang ”geweldig”, yang dengan sesungguh-sungguhnya bernama ”datuk” pergerakan kaum buruh, yakni Heinrich Karl Marx.
Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capainya (lelahnya, ed.) ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk diatas kursinya, dimuka meja tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883, -lima puluh tahun yang lalu (tulisan ini dimuat pada tahun 1933, ed.)-, melepaskan nafasnya yang penghabisan.
Seolah-olah mendengarkanlah kita dimana-mana negeri suaranya mendengung sebagai guntur, tatkala ia dalam tahun 1847 berseru: ”E, Kaum Proletar semua negeri, kumpullah menjadi satu.” Dan sesungguhnya! Riwayat dunia belum pernah menemui ilmu dari satu manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinannya satu golongan di dalam pergaulan hidup, sebagai ilmunya kampiun kaum buruh ini. Dari puluhan menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan dari ribuan menjadi laksaan, ketian, jutaan... begitulah jumlah pengikutnya bertambah-tambah. Sebab, walaupun teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka ”amat gampanglah teorinya itu dimengerti oleh kaum yang tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu”.
Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita sosialisme itu dapat tercapai dengan cara pekerjaan bersama antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya ada suatu teriak perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali memakai kata kasih atau kata cinta, membeberkanlah paham pertentangan klas: paham klassentrijd, paham perlawanan zonder (tanpa, ed.) damai sampai habis-habisan. Dan bukan itu saja! Ilmu Dialektik Materialisme, ilmu statika dan dinamikanya kapitalisme, ilmu Verelendung, -semua itu adalah ”jasanya” Marx. Dan meskipun musuh-musuhnya, terutama kaum anarkis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, di dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui sudah ”menjawil-jawil” ilmu Historis Materialisme itu, meskipun teori harga lebih itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir sebagai Sismondi dan Thompson, -maka toh tak dapat disangkal, bahwa dirinya Karl Marx lah yang lebih mendalamkan dan lebih menjalarkan teori-teori itu, sehingga ”kaum melarat kepandaian yang berkeluh kesah itu” dengan gampang segera mengertinya.
Maka dengan gampang mengerti, seolah-olah suatu soal yang ”sudah mustinya begitu”-, segala seluk-beluknya harga lebih: bahwa kaum borjuis lekas menjadi kaya karena kaum proletar punya tenaga yang tak terbayar. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya Historis Materialisme: bahwa urusan rezekilah yang menentukan segala akal pikiran dan budi pekertinya riwayat dan manusia. Mereka dengan gampang mengerti seluk-beluknya dialektika: bahwa perlawanan klas adalah suatu keharusan riwayat, dan bahwa oleh karenanya, kapitalisme adalah ”menggali sendiri liang kuburnya”.
Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu dengan gampang saja masuk di dalam keyakinan kaum yang merasakan stelsel (sistem, ed.) yang ”diteorikan” itu, yakni di dalam keyakinannya kaum yang perutnya senantiasa keroncongan. sebagai tebaran benih yang ditebarkan oleh angin kemana-mana dan tumbuh pula dimana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan subur bersulur dimana-mana. Benih yang ditebar-tebarkan di Eropa itu sebagian telah diterbangkan pula oleh taufan jaman ke arah khatulistiwa, terus ke Timur, jatuh di kanan kirinya sungai Sindu dan Gangga dan Yang Tse dan Hoang Ho, dan di kepulauan yang bernama kepulauan Indonesia.
Nasionalisme di dunia Timur itu lantas “berkawinlah” dengan Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru. Nasionalisme baru inilah yang kini hidup di kalangan Rakyat Marhaen Indonesia.
(Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx, Dibawah Bendera Revolusi, I hal. 219-221)
* * *
Walaupun pembaca tentunya sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pula lah agaknya, jikalau kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini lah, -ia mengadakan suatu pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada perbedaan (Materialistische Dialektiek); -ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknya ”kerja” untuk membikin barang-barang itu sehingga ”kerja” ini ialah ”wertbildende substanz”, dari barang-barang itu (arbeids-waade-leer); -ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya dari pada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasar perikebendaan, yang mengajarkan, bahwa ”bukan budi akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya berhubung dengan pergaulan hiduplah yang menentukan budi akalnya” (materialistische geschiedenisopvatting); ia mengadakan teori, bahwa oleh karena meewaarde itu dijadikan kapital (modal, ed.) pula, maka kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (capitaalsconcentratie).
Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dahulu dilahirkan oleh ahli pikir lain, dirinya Marx lah, yang meski ”bahasa”nya itu untuk kaum merasakan sangat berat dansukarnya, dengan terang benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum ”tertindas dan sengsara yang melarat pikiran” itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang benderang.
Dengan gampang saja, sebagai suatu soal yang ”sudah mestinya begitu”, mereka lalu mengerti teorinya atas meewaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena itu tidak memberikan semua hasil pekerjaan padanya; mereka lalu saja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia itu: erist wa er iszt; mereka lantas saja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya binasa, pastilah lenyap diganti dengan susunan pergaulan –hidup yang lebih adil-, bahwa kaum ”borjuasi” itu ”teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya”.
Dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menyenangkan dan menimbulkan dendam hati yang makin lama makin sangat (verlendungstheorie / teori penyengsaraan, ed.); -teori-teori mana, berhubung dengan ekuarangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya, diantara mana kaum anarkis, menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan di atas ini, meskipun lebih dahulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara Historis Materialistis sudah mengatakan, bahwa riwayat itu ”menetapkan kejadian-kejadiannya” sedang ilmu ekonomi ”sebab apa kejadian-kejadian itu terjadi”; meskipun teori meewaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain, meskipun pula teori konsentrasi modal atau atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tidak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; -meskipun begitu, maka tetaplah bahwa stelsel-nya (sistemnya, ed.) Karl Marx itu mempunyai pengertian yang tidak kecil dalam sifatnya, dan mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya.
Berlainan dengan sosialis-sosialis lain, yang mengira bahwa cita-cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya: Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak-perdamaian, maka Karl Marx, yang dalam tulisan-tulisannya tidak satu kali mempersoalkan kata kasih atau kata cinta, membeberkan pula paham pertentangan golongan; paham klassenstrijd, dan mengajarkan pula, bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan-zonder (tanpa, ed.)-damai terhadap pada kaum “burjuasi“, satu perlawanan yang tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis itu adanya. Walaupun pembaca tentunya semua sudah sedikit-sedikit mengetahui apa yang telah diajarkan oleh Karl Marx itu, maka berguna pulalah agaknya jikalau kita disini mengingatkan, bahwa jasanja ahli-pikir ini ialah: -- ia mengadakan suatu pelajaran gerakan pikiran yang bersandar pada perbendaan (Materialistische Dialectiek); -- ia membentangkan teori, bahwa harganya barang-barang itu ditentukan oleh banyaknja “kerdja“ untuk membikin barang-barang itu, sehingga “kedja“ ini ialah “wertbildende Substanz“, dari barang-barang itu (arbeids-waarde-leer); -- ia membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia terima sebagai upah (meerwaarde); -- ia mengadakan suatu pelajaran riwayat yang berdasarkan perikebendaan, yang mengajarkan, bahwa “bukan budi-akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya keadaannya yang berhubungan dengan pergaulan-hiduplah yang menentukan budi-akalnya“ (materialistische geschiedenisopvatting); -- ia mengadakan teori, bahwa oleh karena “meerwaarde“ itu dijadikan kapital pula, maka kapital itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang kapital-kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan, perusahaan-perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan-perusahaan yang besar, sehingga oleh desakan-desakan ini akhirnya cuma tinggal beberapa perusahaan saja yang amat besarnya (kapitaalsconcentratie); --dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak menynangkan dan menimbulkan dendam-hati yang makin lama makin sangat (Verelendungstheorie); -- teori-teori mana, berhubungan dengan kekurangan tempat, kita tidak bisa menerangkan lebih lanjut pada pembaca-pembaca yang belum mengetahuinya.
Meskipun musuh-musuhnya, diantara mana kaum anarkis, sama menyangkal jasa-jasanya Marx yang kita sebutkan diatas ini, meskipun lebih dulu, dalam tahun 1825, Adolphe Blanqui dengan cara historis-materialistis sudah mengatakan, bahwa riwajat itu “menetapkan kejadian-kejadiannya“ sedang ilmu ekonomi “menerangkan sebab-apa kejadian-kejadian itu terjadi“; meskipun teori meerwaarde itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli-ahli pikir seperti Sismondi, Thompson dan lain-lain; meskipun pula teori konsentrasi-modal atau arbeidswaardeleer itu ada bagian-bagiannya yang tak bisa mempertahankan diri terhadap kritik musuh-musuhnya yang tak jemu-jemu mencari-cari salahnya; -- meskipun begitu, maka tetaplah, bahwa stelsel-nya (sistemnya, ed.) Karl Marx itu mempunyai pengertian yang penting dalam sifat bagian-bagiannya . Tetaplah pula, bahwa, walaupun teori-teori itu sudah lebih dulu dilahirkan oleh ahli pikir lain, dirinya Marx-lah, yang meski “bahasa“-nya itu untuk kaum “atasan“ sangat berat dan sukarnya, dengan terang-benderang menguraikan teori-teori itu bagi kaum “tertindas dan sengsara yang melarat pikiran“ itu dengan pahlawan-pahlawannya, sehingga mengerti dengan terang-benderang.
Dengan gampang saja, sebagai suatu soal yang “sudah-mustinya-begitu“, mereka lalu mengerti teorinya atas meerwaarde, lalu mengerti, bahwa si majikan itu lekas menjadi kaya oleh karena ia tidak memberikan semua hasil-pekerdjaan padanya; mereka lalu saja mengerti, bahwa keadaan dan susunan ekonomilah yang menetapkan keadaan manusia tentang budi, akal, agama , dan lain-lainnya, -- bahwa manusia itu: er ist was er ist; mereka lantas saja mengerti, bahwa kapitalisme itu akhirnya pastilah binasa, pastilah lenyap diganti oleh susunan pergaulan-hidup yang lebih adil, -- bahwa kaum “burjuasi“ itu “teristimewa mengadakan tukang-tukang penggali liang kuburnya“. Begitulah teori-teori yang dalam dan berat itu masuk tulang-sumsumnya kaum buruh di Eropa, masuk pula tulang-sumsumnya kaum buruh di Amerika. Dan “tidaklah sebagai suatu hal yang ajaib, bahwa kepercayaan ini telah masuk dalam berjuta-juta hati dan tiada suatu kekuasaan juapun dimuka bumi ini yang dapat mencabut lagi dari padanya“. Sebagai tebaran benih yang ditiup angin kemana-mana tempat, dan tumbuh pula dimana-mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini berakar dan bersulur; dimana-mana pula, maka kaum “burjuasi“ sama menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh-tumbuhan “bahaya proletar“ yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebarkan-tebarkan di Eropa itu, sebagian telah diterbangkan oleh taufan-jaman kearah khatulistiwa, terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh diantara bukit-bukit dan gunung-gunung yang tersebar di segenap kepulauan “sabuk-zamrud“, yang bernama Indonesia. Dengungnya nyanyian “Internasionale“, yang dari sehari-kesehari menggetarkan udara Barat, sampai-kuatlah hebatnya bergaung dan berkumandang di udara Timur. . .
Pergerakan Marxistis di Indonesia ini, ingkarlah sifatnya kepada pergerakan yang berhaluan Nasionalistis, ingkarlah kepada pergerakan yang berasas ke-Islam-an. Malah beberapa tahun yang lalu, keingkaran ini sudah mendjadi suatu pertengkaran perselisihan paham dan pertengkaran sikap, menjadi suatu pertengkaran saudara, yang, sebagai yang sudah kita terangkan dimuka, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa yang mengutamakan perdamaian, menyuramkan dan menggelapkan hati siapa saja yang mengerti, bahwa dalam pertengkaran yang demikian itulah letaknya kekalahan kita.
Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah-air, dan lenyapkanlah politik-keagamaan, -- begitulah seakan-akan lagu-perjuangan yang kita dengar. Sebab katanya: Bukankah Marx dan Engels telah mengatakan, bahwa “kaum buruh itu tak mempunjai tanah-air“? Katanja: Bukankah dalam “Manifes Komunis“ ada tertulis, bahwa “komunisme itu melepaskan agama“? Katanya: Bukankah Bebel telah mengatakan, bahwa “bukanlah Allah yang membikin manusia, tetapi manusialah yang membikin-bikin Tuhan“? Dan sebaliknya! Pihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti pula mencaci-maki pihak Marxis, mencaci-maki pergerakan yang “bersekutuan“ dengan orang asing itu, dan mencaci-maki pergerakan yang “mungkir“ akan Tuhan. Mencaci pergerakan yang mengambil teladan akan negeri Rusia yang menurut pendapatnya: asasnya sudah palit dan terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi, bahkan mendatangkan “kalang kabutnja negeri“ dan bahaya-kelaparan dan hawar-penyakit yang mengorbankan nyawa kurang-lebih limabelas juta manusia, suatu jumlah yang lebih besar dari pada jumlahnya sekalian manusia yang binasa dalam peperangan besar yang akhir itu.
Demikian dengan bertambahnya tuduh-menuduh atas dirinya masing-masing pemimpin, duduknya perselisihan beberapa tahun yang lalu: satu sama lain sudah salah mengerti dan saling tidak mengindahkan. Sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah menolak pekerjaan-bersama-sama dengan Nasionalis dan Islamis di Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh. Marxis yang masih saja bermusuhan dengan pergerakan-pergerakan Nasionalis dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti aliran jaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah berobah. Sebaliknya, Nasionalis dan Islamis yang menunjuk-nunjuk akan “faillietnya“ Marxisme itu, dan yang menunjuk-nunjuk akan bencana kekalang-kabutan dan bencana-kelaparan yang telah terjadi oleh “practijknya“ paham Marxisme itu, -- mereka menunjukkan tak mengertinya atas paham Marxisme, dan tak mengertinya atas sebab terpelesetnya “practijknya“ tadi. Sebab tidaklah Marxisme sendiri mengajarkan, bahwa sosialisme itu hanya bisa tercapai dengan sungguh-sungguh bilamana negeri-negeri yang besar-besar itu semuanja di-“sosialis“-kan?
Bukankah “kejadian“ sekarang ini jauh berlainan dari pada “voorwaarde“ (syarat) untuk terkabulnya maksud Marxisme itu? Untuk adilnya kita punya hukuman terhadap pada “practijknya“ paham Marxisme itu, maka haruslah kita ingat, bahwa “failliet“ dan “kalang-kabut“-nya negeri Rusia adalah dipercepat pula oleh penutupan atau blokkade oleh semua negeri-negeri musuhnya; dipercepat pula oleh hantaman dan serangan empatbelas tempat oleh musuh-musuhnya sebagai Inggeris, Perantjis, dan jendral-jendral Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel; dipercepat pula oleh anti-propaganda yang dilakukan oleh hampir semua surat kabar diseluruh dunia. Didalam pemandangan kita, maka musuh-musuhnya itu pula harus ikut bertanggung-jawab atas matinya limabelas juta orang yang sakit dan kelaparan itu, dimana mereka menyokong penyerangan Koltchak, Denikin, Yudenitch dan Wrangel itu dengan harta dan benda; dimana umpamanya negeri Inggeris, yang membuang-buang berjuta-juta rupiah untuk menyokong penjerangan-penjerangan atas diri sahabatnya yang dulu itu, telah “mengotorkan nama Inggeris didunia dengan menolak memberi tiap-tiap bantuan pada kerja-penolongan“ si sakit dan si lapar itu; dimana di Amerika, di Rumania, dan di Hongaria pada saat terjadinya bencana itu pula, karena terlalu banyaknya gandum, orang sudah memakai gandum untuk kayu-bakar, sedang di negeri Rusia orang-orang didistrik Samara makan daging anak-anaknya sendiri oleh karena laparnya.
Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikapnya H. G. Wells, penulis Inggeris yang masyhur itu, seorang yang bukan Komunis, dimana ia dengan tak memihak siapa juga, menulis, bahwa, umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintangi mereka barangkali bisa menyelesaikan suatu experiment (percobaan) yang maha-besar faedahnya bagi perikemanusiaan. . . . Tetapi mereka dirintang-rintangi“.
Kita yang bukan komunis pula, kita pun tak memihak siapa juga! Kita hanyalah memihak Persatuan-persatuan-Indonesia, kepada persahabatan pergerakan kita semua! Kita diatas menulis, bahwa taktik Marxisme yang sekarang adalah berlainan dengan taktik Marxisme yang dulu. Taktik Marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit anti-kaum-kebangsaan dan anti-kaum-keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti“ ini sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kita kini melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Nasionalis di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum Marxis dengan kaum Islamis di negeri Afganistan.
Adapun teori Marxisme sudah berubah pula. Memang seharusnja begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala jaman. Teori-teorinya haruslah diubah, kalau jaman itu berubah; teori-teorinya haruslah diikutkan pada perubahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perubahan paham atau perubahan tentang kejadian-kejadian pada jaman mereka masih hidup. Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung“ sebagai yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis“ dengan pendapat tentang arti perkataan itu dalam “Das Kapital“, -- maka segeralah tampak pada kita perubahan paham atau perubahan perindahan itu. Bahwasannya: benarlah pendapat sosial-demokrat Emile Vandervelde, dimana ia mengatakan, bahwa “revisionisme itu tidak mulai dengan Bernstein, akan tetapi dengan Marx dan Engels adanya“.
Perubahan taktik dan perubahan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis yang “muda“ baik “sabar“ maupun yang “keras“, terutama di Asia, sama menyokong pergerakan nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti, bahwa di negeri-negeri Asia, dimana belum ada kaum proletar dalam arti sebagai di Eropa atau Amerika itu, pergerakannya harus diubah sifatnya menurut pergaulan hidup di Asia itu pula. Mereka mengerti, bahwa pergerakan Marxistis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan Marxis di Eropa atau Amerika, dan haruslah “bekerja bersama-sama dengan partai-partai yang “klein-burgerlijk“, oleh karena disini yang pertama-tama perlu bukanlah kekuasaan tetapi ialah perlawanan terhadap pada feodalisme“.
Supaya kaum buruh di negeri-negeri Asia dengan leluasa bisa menjadi pergerakan yang sosialistis sesungguh-sungguhnya, maka perlu sekali negeri-negeri itu merdeka, perlu sekali kaum itu mempunyai nationale autonomie (otonomi nasional). “Nationale autonomie adalah suatu tujuan yang harus dituju oleh perjuangan proletar, oleh karena ia ada suatu upaya yang perlu sekali bagi politiknya“, begitulah Otto Bauer berkata. Itulah sebabnya, maka otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama-tama harus diusahakan oleh pergerakan pergerakan buruh di Asia itu. Itulah sebabnya, maka kaum buruh di Asia itu wajib bekerja bersama-sama dan menyokong segala pergerakan yang merebut otonomi nasion itu juga, dengan tidak menghitung-hitung, asas apakah pergerakan-pergerakan itu mempunyainya. Itulah sebabnya, maka pergerakan-pergerakan kita yang Nasionalistis dan Islamistis yang mengambil otonomi itu sebagai maksudnya pula.
Kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme dihati-sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum-buruhnya Rakyat di-“bawah“ terhadap pada Rakyat yang di-“atas“-nya, dan menumbuhkan suatu keinginan nationale machtspolitiek dari Rakjat sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa-internasionalisme itu di Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropa, oleh karena kaum buruh di Indonesia ini menerima paham internasionalisme itu pertama-tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu oleh “gehechtheid“ pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal, belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja dilain-lain negeri, dengan itikad: “ubi bene, ibi patria: dimana aturan-kerja bagus, disitulah tanah air saya“, -- sebagai kaum buruh di Eropa yang menjadi tidak tetap-rumah dan tidak tetap tanah-air oleh karenanya.
Dan jikalau ingat akan hal-hal ini semuanya, maka mereka niscaya ingat pula akan salahnya memerangi pergerakan bangsanya yang nasionalistis adanja. Niscaya mereka ingat pula akan teladan-teladan pemimpin-pemimpin Marxis dilain-lain negeri, yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum-kaum nasionalis atau kebangsaan. Niscaya mereka ingat pula akan teladan pemimpin-pemimpin Marxis dinegeri Tiongkok, yang dengan ridho hati sama menyokong usahanya kaum Nasionalis, oleh sebab mereka insaf bahwa negeri Tiongkok itu pertama-tama butuh persatuan nasional dan kemerdekaan nasional adanya.
Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbentusan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan, yang sebagaimana sudah kita uraikan diatas, dengan seterang-terangnya bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga dengan seterang-terangnya ialah anti-meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan seterang-terangnya mengejar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, dengan seterang-terangnya mengejar nationale autonomie. Tak pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme-baru terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme-dulu. Marxisme-baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847, yang dalam “Manifes Komunis“ mengatakan, bahwa agama itu harus di-“abschaffen“ atau dilepaskan adanya.
Kita harus membedakan Historis-Materialisme itu dari pada Wijsgerijg-Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis-Materialisme itu berlainan dari pada maksudnja Wijsgerig-Materialisme tadi. Wijsgerig-Materialisme memberi jawaban atas pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara pikiran (denken) dengan benda (materie), bagaimanakah pikiran itu terjadi, sedang Historis-Materialisme memberi jawaban atas soal: sebab apakah pikiran itu dalam suatu jaman ada begitu atau begini; wijsgerig-materialisme menanyakan adanya (wezen) pikiran itu; historis-materialisme menanyakan sebab-sebabnya pikiran itu berubah; wijsgerig-materialisme mencari asalnya pikiran, historis-materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran; wijsgerig-materialisme adalah wijsgerig, historis-materialisme adalah historis. Dua paham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarkan, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti-Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan paham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa pikiran itu hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.
Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropa terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropa terhadap kaum agama. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gereja itu memakai-makai agama untuk melindung-lindungi kapitalisme, memaka-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali. Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum Marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropa itu. Disini agama Islam adalah agama kaum yang tak merdeka; disini agama Islam adalah agama kaum yang di-“bawah“. Sedang kaum yang memeluk agama Kristen adalah kaum yang bebas; disana agama Kristen adalah agama kaum yang di-“atas“. Tak boleh tidak, suatu agama yang anti-kapitalisme, agama kaum yang tak merdeka, agama kaum yang di-“bawah“ ini; agama yang menyuruh mencari kebebasan, agama yang melarang menjadi kaum “bawahan“, -- agama yang demikian itu pastilah menimbulkan sikap yang tidak reaksioner, dan pastilah menimbulkan suatu perjuangan yang dalam beberapa bagian sesuai dengan perjuoangan Marxisme itu.
Karenanya, jikalau kaum Marxisme ingat akan perbedaan kaum gereja di Eropa dengan kaum Islam di Indonesia ini, maka niscaya mereka mengajukan tangannya, sambil berkata: saudara, marilah kita bersatu. Jikalau mereka menghargai akan contoh-contoh saudara-saudaranya-seasas yang sama bekerja bersama-sama dengan kaum Islam, sebagai yang terjadi dilain-lain negeri, maka niscayalah mereka mengikuti contoh-contoh itu pula. Dan jikalau mereka dalam pada itu juga bekerja bersama-sama dengan kaum Nasionalis atau kaum kebangsaan, maka mereka dengan tenteram-hati boleh berkata: kewajiban kita sudah kita penuhi.
Dan dengan memenuhi segala kewajiban Marxis-muda tadi itu, dengan memperlihatkan segala perubahan teori asasnya, dengan menjalankan segala perubahan taktik pergerakannya itu, mereka boleh menyebutkan diri pembela Rakyat yang tulus-hati, mereka boleh menyebutkan diri garamnya Rakyat.
Tetapi Marxis yang ingkar akan persatuan, Marxis yang kolot-teori dan kuno-taktiknya, Marxis yang memusuhi pergerakan kita Nasionalis dan Islamis yang sungguh-sungguh, -- Marxis yang demikian itu janganlah merasa terlanggar kehormatannya jikalau dinamakan racun Rakyat adanya!
(Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, Suluh Indonesia Muda, 1926.)
* * *
No comments:
Post a Comment