*IBRAHIM ISA – Catatan Partikeliran*
*Rabu, 12 Mei 2010*
*-------------------------------------------------*
*Merasa PERLU BELAJAR BAHASA JAWA! *
Belajar bahasa Jawa?
Dalam usia yang sedemikian lanjut ini? Jelas ini bukan didorong oleh
'sukuisne'.
Lalu, bagaimana persis maksudnya? Ya, itu sudah lama menjadi keinginan
pribadi. Sebentar-sebentar semangat untuk belajar bahasa Jawa itu
mencuat. Sebentar lagi lenyap. Terlupakan karena kesibukan. Atau, memang
karena tidak segera dikerjakan. Mestinya seperti kata kalimat-kalimat
yang banyak digunakan sekarang ini: JUST DO IT!
Alasan terdekat mengapa ingin belajar bahasa Jawa, sesungguhnya ini: Kan
teman-hidupku – Murtniningrum; dia itu orang Jawa. Salah seorang menantu
kami orang Jawa. Dua orang kakak iparku juga asal Jawa. Belakangan ini
kami, suami-isatri, selang-seling berbahasa Jawa di rumah. Itu atas
permintaanku. Kufikir dengan cara ini bisa jugalah belajar bahasa Jawa.
Yang paling sering berbahasa Jawa dengan aku (dulu) ialah almarhum
mertuaku. Selain itu adiknya Murti. Kalau tidak berbahasa Belanda,
mereka begitu saja berbahasa Jawa padaku. Apa boleh buat! Ngerti tak
ngerti aku ikut berbahasa Jawa satu dua kalimat. Begitulah.
Ketika mengajar di Peguruan KRIS pada tahun 50-an abad lalu, aku banyak
bergaul dengan para “Kawanua”. Putra-putri Minahasa, Sulawesi. Tadinya
kurasa anéh. Salah seorang dari guru KRIS yang Kawanua itu, Ticoalu
namanya. Ia seringkali berbahasa Jawa dengan aku. Termasuk bila memaki
selalu dalam bahasa Jawa. Ternyata Ticoalu dibesarkan di Jogyakarta.
Lingkungannya selalu Jawa. Nah, demikianlah si Kawanua itu fasih
berbahasa Jawa. Lebih fasih ketimbang bicara dalam bahasa daerahnya
'sendiri'.
Tahun lalu kami suami istri berkunjung ke Indonesia. Memerlukan ke
Jogyakarta nengok para kemenakan. Dua orang wanita, masing-masing sudah
berkeluarga dan dosen di Gajah Mada. Ketika berkunjung dan bermalam
dirumah mereka. Semua berbahasa Jawa. Medog banget bahasa Jawanya.
Sahabat kami suami-istri orang Tapanuli. Biasa disebut orang Batak.
Tetapi istrinya bukan main lancarnya berbahasa Jawa. Tetangga dan
teman-teman sang istri ternyata semua orang Jawa. Dari situlah ia
belajar bahasa Jawa. Itu bukan di Jogya atau Solo. Tetapi di KEBAYORAN,
Jakarta.
* * *
Jadi sesungguhnya, aku bukan samasekali tidak mengerti bahasa Jawa.
Kalau orang Jawa 'ngerasani' aku, jangan dikira aku tak mengerti.
Sedikit-sedikit mengerti bahasa Jawa, memang ada latar belakang
sejarahnya. Pada tahun-tahun 1946-47, kesatuanku ditempatkan di Pingit,
Jogyakarta. Lingkungan teman-teman seperjuangan kebanyakan orang Jawa.
Masyarakat setempat, ya 'Jowo kabéh'. Itu semua yang secara alamiah,
membikin aku mengerti dan sedikit-sedikit bisa berbahasa JAWA.
Tetapi, itu kan puluhan tahun yang lalu. Sudah banyak yang lupa.
Ketika masih bermukim di tanah air dulu, belajar bahasa Jawa tak usah
direncanakan kongkrit. Begitu fikirku. Karena, mayoritas teman-teman
sekerja dan seorganisasi adalah orang-orang asal Jawa. Mereka sering tak
peduli, ada kawan lainnya yang tidak atau kurang mengerti bahawa Jawa.
Kalau bicara sehari-hari, ngobrol, bahkan di tengah rapat, pun, bahasa
Jawa yang digunakan. Karena bahasa itu dirasakan bahasa yang paling
wajar dan mampu mereka gunakan.
* * *
Bila bercerita tentang rakyat kita dan tanah air tercinta kepada
teman-teman asing – ketika melakukan “PR”, begitu -- yang tak lupa
selalu kuceriterakan ialah semangat “BHINNEKA TUNGGAL IKA” yang kukuh
pada bangsa kita. Jelas dasarnya adalah semangat “SUMPAH PEMUDA, 28
OKTOBER 1928”. Kukisahkan tentang BAHASA INDONESIA. Tahukah Anda,
kataku: Bahasa Indonesia itu asalnya terutama dari bahasa salah satu
suku-bangsa minoritas Indonesia di Sumatera, Riau. Dulunya disebut
bahasa Melayu.
Suku-bangsa terbesar dari nasion Indonesia, adalah suku-bangsa Jawa.
Tetapi ketika ditentukan bersama, 28 Oktober 1928, yang disetujui
sebagai bahasa nasional, “lingua-franca”-nya bangsa Indonesia, adalah
BAHASA yang asalnya dari bahasa SUKU-MINORITAS MELAYU.
Semua wakil pemuda Indonesia yang berasal dari berbagai suku, termasuk
Jawa, SEPAKAT. Mereka yang asal suku-bangsa Jawa samasekali tidak
menuntut agar bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional. Padahal bahasa
Jawa dipakai oleh mayoritas bangsa Indonesia. Suku Jawa. Dari salah satu
sumber dicatat bahwa dewasa ini ditaksir sekitar 85 juta penduduk
Indonesia menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pergaulan.
Kita tau bahwa di sementara negeri masalah penggunaan bahasa sebagai
bahasa nasional, bukan soal kecil. Lihat saja di Sri Langka dan India.
Bahkan di Eropah dewasa ini soal bahasa masih jadi soal pelik. Seperti
halnya di Belgia, antara etnis Vlaming yang menggunakan bahasa Belanda,
dan etnis Walonia yang berbahasa Perancis.
*Tidakkah kita harus berbesar hati bahwa SEMANGAT PERSATUAN , jiwa “”
“BHINNEKA TUNGGAL IKA” bangsa kita ternyata memang solid dan cukup besar?*
* * *
Namun, meski kita memiliki bahasa nasional yang diterima dengan lega
oleh seluruh bangsa, bukanlah berarti BAHASA DAERAH boleh
diterlantarkan. Pembakuan dan pemeliharaan bahasa daerah harus tetap
jadi perhatian serius.
Baru-baru ini atas permintaanku, sahabatku yang di Achen, Jerman,
mengirimkan sebuah buku “BAHASA JAWA Masa Kini”. Penulisnya Wukir Adi.
Sayang tak kujumpai kapan persis buku ini diterbitkan dan dimana.
Ada yang patut diperhatikan apa yang ditulis oleh Wukir Adi dalam kata
pengantarnya, a.l sbb:
“Dewasa ini sudah menjadi kenyataan sejarah, bahwa bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan kedudukannya semakin mapan. Namun, demikian
tidak berarti bahasa-bahasa daerah, di antaranya termasuk bahasa Jawa,
sudah kehilangan vitalitas pemakaiannya. Kenyataannya menunjukkan bahwa
bagi lapisan masarakat luas di daerah-daerah, bahasa Indonesia masih
belum bisa menggantikan peran populis bahasa-bahasa setempat.
Bagamanapun juga sebuah bahasa yang masih memiliki vitalitas untuk
dipakai, selalu memerlukan penyesuaian dengan perkembangan masarakat,
apalagi jika bahasa itu sebagai pewaris sejarah budaya berkekuatan besar
dalam menjiwai kehidupan orang banyak”.
“. . . Dari dasar kenyataan di atas terungkap keprihatinan yang dalam
untuk menulis tentang bahasa Jawa yang dalam kenyataan pasarannya masih
cukup luas. Eksistensi pamakai bahasa Jawa tak mengenal batas daerah dan
negeri. Tidak saja di pulau Jawa dan di dearah-daerah tertentu dari
kepulauan Indonesia, tetapi sampai juga menjangkau ke negeri-negeri lain
di dunia seperti Suriname, Kaleddonia Baru, Eropa dll. Pemakai-pemakai
bahasa Jawa di Indonesia meliputi segala lapisan masarakat, mulai dari
golongan terbawah sampai pada yang teratas. Di samping itu dilihat dari
valensi keilmuan sebagai bahasa dan dari kwantita luas kosa katanya,
bahasa Jawa tak terluput dari sasaran para pakar bahasa, yang
menjadikannya sumber pemantapan dan pengembangan bahasa Indonesia
kontemporer, di celah-celah bahasa-bahasa asing dan bahasa-bahasa daerah
lainnya yang banyak ragam dan jumlahnya”.
Demikian a.l hal-hal penting yang dikemukakan oleh penulis buku BAHASA
JAWA Semasa Kini, Wukir Adi. Yang kiranya perlu mendapat perhatian kita
semua, khususnya para pakar bahasa Indonesia dalam hubungannya dengan
bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Dari seorang kawan yang berasal dari
Sumatra Utara disampaikan bahwa di Sumatra Utara juga digunakan bahasa
Jawa. Khususnya oleh orang-orang yang sering disebut 'Jawa Deli'. Yaitu
orang-orang Jawa yang bertransmigrasi ke Sumatra Utara. Demikian pula
halnya dengan orang-orang Jawa yang di Lampung.
* * *
Sering kutanyakan keada teman-teman yang bersuku-bangsa Jawa, apakah
mereka memiliki literatur dalam bahasa Jawa 'ngoko'. Boleh percaya atau
tidak: Kebanyakan 'orang-orang Jawa' itu samasekali tak memiliki satupun
buku yang ditulis dalam bahasa Jawa. Satu dua teman memang ada yang
memilikinya!
Untuk pasti tau apa arti sesungguhnya dari kata 'ngoko', aku cari dalam
'Google.com'. Tau-tahu kutemui bahwa ada satu situs yang bernama
SALINDO. Itu bisa diakses di
<*http://www.salindo.com/bahasa/jawa/javaans_woordenschat.htm>. *
Situs tsb ternyata menyiarkan pelajaran bahasa Jawa. Sehingga sejak ini
aku tinggal membuka situs SALINDO untuk belajar bahasa Jawa. Yang
penting tentu mempraktekkan berbahasa Jawa di rumah sendiri.
* * *
Lucu juga, ketika memperkenalkan salah satu lagu Jawa, situs SALINDO
mempublikasikan sebuah syair dalam bahasa 'ngoko' berikut ini:
Bojo loro
Kroso sepet impline minjo
Sirah mumet nduwe bojo loro
Mikir sing enom, mikir sing tuwo
Lo karone podo le tresno
Cekat-cekat mumet temenan
Ati bingung dik le mbagi ketresnan
Butuh e akeh duit pas pasan
Tanggal enom wis kebingungan
Reff:
Mrono mrene sak mbedino
Iki mrene sisuk e mrono
Bojo enom mung sedelok
Bojo tuwo nggondeli celono
* * *
Wednesday, May 12, 2010
Merasa PERLU BELAJAR BAHASA JAWA!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment