Sabtu, 18 Januari 2014
------------------------------
Semoga film ini
dan nominasinya mengingatkan kita semua bahwa semua hal
tersebut dibuat agar rakyat menjadi lumpuh dalam
ketakutannya, sehingga rakyat banyak tak berani dan tak bisa
berbuat banyak untuk menggugat korupsi yang menjalar ke
seluruh penjuru di segala bidang.
Kami berharap nominasi ini akan mengingatkan kita, umat manusia di dunia, untuk selalu melawan lupa.
“Menjawab pertanyaan ini ( . .
bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri
seperti Indonesia?) mungkin pekerjaan yang akan digarap di
film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh
semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di
Indonesia.
* * *
Di bawah ini, adalah artikel Max Lane selengkapnya:
Film JAGAL (THE ACT OF KILLING)
Oleh Max Lane, 17 Jan 2014
Tiap
hari
Kemis, salah satu s.k nasional Belanda yang terbesar, “de
Volkskrant”, memuat resensi film-film baru.
“Begitu PKI dibubarkan oleh TNI tahun 1965, Anwar
Congo dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri
pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh.
Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang
dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu
kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan
pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah
membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.
“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.
“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.
“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.
“Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.
“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.
“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”
“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.
“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
* * *
------------------------------
Sekitar
“NOMINASI
OSCAR” Film
"THE ACT O F KILLING” –
“JAGAL”
Tadi malam aku “share”
artikel yang ditulis sahabat karibku Max Lane di
“Facebook”, sekitar nominasi Oscar Award untuk film karya Joshua
Oppenheimer:”The Act of Killing”. Pada bulan Mei
tahun lalu telah kutulis lagi kolom sekitar film “The Act Of
Killing”, bagaimana tanggapan a.l media Belanda (De Volkskrant).
Tulisan tsb dikutip kembali di bawah ini.
Respons
Sutradara/Produser film, Joshua Oppenheimer, terhadap nominasi
a.l. Sbb:
“Diplihnya film
Jagal dalam nominasi piala Oscar adalah sebuah kehormatan
besar bagi kami, para awak film Indonesia karena hal ini
adalah sebuah pengingat atas segala yang terlupakan dan
disembunyikan sepanjang sejarah gelap kemanusiaan.
“Di Indonesia, kami berharap bahwa nominasi ini menjadi pengingat bagi khalayak luas bahwa kebenaran belum lagi diungkapkan, keadilan belum lagi ditegakkan, permintaan maaf belum lagi dikatakan, korban belum direhabilitasi--apalagi mendapatkan kompensasi. Diskriminasi terhadap para penyintas dan keluarga korban masih berjalan, sementara sejarah yang diajarkan di sekolah masih bungkam mengenai kekejaman--bahkan menggambarkan pembantaian yang kejam terhadap mereka yang dituduh komunis itu sebagai perjuangan heroik. Semoga nominasi ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu arsitek pembantaian massal masih mungkin akan diangkat sebagai pahlawan nasional tahun ini.
“Di Indonesia, kami berharap bahwa nominasi ini menjadi pengingat bagi khalayak luas bahwa kebenaran belum lagi diungkapkan, keadilan belum lagi ditegakkan, permintaan maaf belum lagi dikatakan, korban belum direhabilitasi--apalagi mendapatkan kompensasi. Diskriminasi terhadap para penyintas dan keluarga korban masih berjalan, sementara sejarah yang diajarkan di sekolah masih bungkam mengenai kekejaman--bahkan menggambarkan pembantaian yang kejam terhadap mereka yang dituduh komunis itu sebagai perjuangan heroik. Semoga nominasi ini mengingatkan kita semua bahwa salah satu arsitek pembantaian massal masih mungkin akan diangkat sebagai pahlawan nasional tahun ini.
Kami berharap nominasi ini akan mengingatkan kita, umat manusia di dunia, untuk selalu melawan lupa.
* * *
Max Lane menutup
artikelnya dengan analisis dan anjuran penting bagi pembca sbb:
“Menjawab pertanyaan ini ( . .
bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri
seperti Indonesia?) mungkin pekerjaan yang akan digarap di
film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh
semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di
Indonesia.
“Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING),
menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah
dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia - jangan lupa,
kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden
Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya
Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..
* * *
Di bawah ini, adalah artikel Max Lane selengkapnya:
Film JAGAL (THE ACT OF KILLING)
Oleh Max Lane, 17 Jan 2014
Film JAGAL (THE ACT OF
KILLING) yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer bersama
Anonymous sudah masuk daftar nominasi untuk Academy Award. Saya
tidak percaya kepada penghargaan-penghargaan seperti itu, tetapi
saya berharap fim ini akan menang. Kalau menang profil film ini
dan pesan-pesannya akan lebih membesar dan akan menjangkau
penonton lebih luas.
Film ini memperlihatkan dengan sangat tajam dan hidup, serta tepat dan benar, sifat lumpen dari elit yang berkuasa di Indonesia sejak kontra-revolusi 1965. Secara meyakinkan film ini membuktikan kebenaran berbagai kesaksian dari korban kekerasan 1965-68 tentang pembunuhan, banjir darah dan kekejaman yang mereka alami. Film ini membuktikannya dengan cara menyajikan pengakuan dari para pembunuh itu sendiri. Orang-orang yang bersolidaritas dan bersimpatipun dengan para korban mungkin terkadang berpikiran bahwa para korban melebih-lebihkan ceritanya – ternyata tidak.
Tetapi mungkin yang lebih penting ialah bahwa film ini dengan tajam menggambarkan betapa majoritas elit yang berkuasa sejak 1965 sampai hari ini bersifat lumpen. Gambaran realitas ini adalah sangat penting karena membuat semakin jelas bagi kita bahwa perubahan progresif di Indonesia harus datang dari luar elit ini, dan justeru akan bertentangan dengan mereka. Perubahan harus dimotori oleh kekuatan baru dan segar dari bawah. Dahsyatnya sifat lumpen – kebrutalan dangkal dan ketiadaan-kemanusiaan – kadang-kadang tampil seolah-olah “surreal” (seolah-olah dari sebuah dunia ghaib) tetapi yang digambarkan bukan adegan dari dunia ghaib melainkan dari atas bumi ini. Ini adalah kehebatan dari film ini: sutradaranya bisa menemui dan kemudian menggambarkan keghaiban yang nyata ini dengan menyakinkan. Kehebatan kedua dari film dan sutradaranya ialah bahwa mereka bisa menemukan dan kemudian bisa merebut sebuah kedekatan dengan para penjagal-penjagal di film ini – ini sebuah kesanggupan antropologis yang harus sangat dihargai.
Kelemahan atau keterbatasan dari filmnya ialah bahwa tidak ada penjelasan ataupun petunjuk simbolispun tentang bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri seperti Indonesia? Asal-usul, sebab atau ‘bagaimana’nya juga merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas dalam menggambarkannya. Tetapi keterbatasan ini mungkin juga adalah hasil tak terhindarkan dari proyek film yang memang fokus secara mendalam dalam menggambarkan satu aspek dari semua proses, yaitu mentalitasnya manusia yang menjadi alat dari elit lumpen yang sedang dan sudah merebut kekuasaan.
Tak apa. Menjawab pertanyaan ini mungkin pekerjaan yang akan digarap di film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di Indonesia.
Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING), menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia - jangan lupa, kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..
Film ini memperlihatkan dengan sangat tajam dan hidup, serta tepat dan benar, sifat lumpen dari elit yang berkuasa di Indonesia sejak kontra-revolusi 1965. Secara meyakinkan film ini membuktikan kebenaran berbagai kesaksian dari korban kekerasan 1965-68 tentang pembunuhan, banjir darah dan kekejaman yang mereka alami. Film ini membuktikannya dengan cara menyajikan pengakuan dari para pembunuh itu sendiri. Orang-orang yang bersolidaritas dan bersimpatipun dengan para korban mungkin terkadang berpikiran bahwa para korban melebih-lebihkan ceritanya – ternyata tidak.
Tetapi mungkin yang lebih penting ialah bahwa film ini dengan tajam menggambarkan betapa majoritas elit yang berkuasa sejak 1965 sampai hari ini bersifat lumpen. Gambaran realitas ini adalah sangat penting karena membuat semakin jelas bagi kita bahwa perubahan progresif di Indonesia harus datang dari luar elit ini, dan justeru akan bertentangan dengan mereka. Perubahan harus dimotori oleh kekuatan baru dan segar dari bawah. Dahsyatnya sifat lumpen – kebrutalan dangkal dan ketiadaan-kemanusiaan – kadang-kadang tampil seolah-olah “surreal” (seolah-olah dari sebuah dunia ghaib) tetapi yang digambarkan bukan adegan dari dunia ghaib melainkan dari atas bumi ini. Ini adalah kehebatan dari film ini: sutradaranya bisa menemui dan kemudian menggambarkan keghaiban yang nyata ini dengan menyakinkan. Kehebatan kedua dari film dan sutradaranya ialah bahwa mereka bisa menemukan dan kemudian bisa merebut sebuah kedekatan dengan para penjagal-penjagal di film ini – ini sebuah kesanggupan antropologis yang harus sangat dihargai.
Kelemahan atau keterbatasan dari filmnya ialah bahwa tidak ada penjelasan ataupun petunjuk simbolispun tentang bagaimana mungkin sebuah elit lumpen bisa menguasai negeri seperti Indonesia? Asal-usul, sebab atau ‘bagaimana’nya juga merupakan bagian tak terpisahkan dari realitas dalam menggambarkannya. Tetapi keterbatasan ini mungkin juga adalah hasil tak terhindarkan dari proyek film yang memang fokus secara mendalam dalam menggambarkan satu aspek dari semua proses, yaitu mentalitasnya manusia yang menjadi alat dari elit lumpen yang sedang dan sudah merebut kekuasaan.
Tak apa. Menjawab pertanyaan ini mungkin pekerjaan yang akan digarap di film-film berikutnya atau, kalau tidak, akan digarap oleh semua kita yang ingin terjadi perubahan progresif di Indonesia.
Kalau anda belum menonton film JAGAL (THE ACT OF KILLING), menontonlah! Ajak orang lain juga untuk menonton. Kalau marah dan kecewa tentang dimana kemanusiaan Indonesia - jangan lupa, kalau begitu, membaca (atau membaca kembali) Kartini, Raden Mas Tirto Adhisuryo, Sukarno dan novel-novel sejarah Pramoedya Ananta Toer. Namun, tentu saja, membaca saja tidak cukup..
* * *
Di bawah ini a.l di Kolom
Ibrahim Isa yang ditulis pada 23 Mei 2013, sbb:
Film
Dokumenter
“THE ACT OF KILLING”
*
* *
Terdapat
enam
halaman penuh rubrik resensi film tsb. Antara lain megomentari
film thrilleryang dibintangi a.l oleh Robert Redford, “The
Company You Keep”. Film itu diberi nilai 3 bintang. Tapi, film
cerita-dokumentar produksi Joshua Oppenheimer, “The Act of
Killing”, diberi nilai lima bintang. Dan jumlah ruangan
bioskop yang mentayangkannya ada – 75. Film dengan Robert
Redford sebagai peran utama itu diputar hanya di 5 ruangan zaal
(ruangan cinema).
Penulis
resensi
“The Act of Killing”: Bor Beekman, memberitakan bahwa film “The
Act of Killing” sudah dipertunjukkan awal tahun ini di sebuah
festival film international “Movies That Matter”” , “Film yang
berbobot”. Resensi yang ditulisnya singkat saja. “Not bad”, kata
orang Inggris.
*
* *
Film
“The
Act of Killing” telah menggondol banyak Award international
. Antara lain: “Panorama Audience Award” dan “Prize of the
Ecumenical Jury” di Festival Film International Berlin.
Di
Festival
Dokumenter Madrid baru-baru ini “The Act of Killing”
merebut kemenangan ganda, memperoleh “Jury Award” dan “Audience
Award” sebagai film cerita-dokumenter terbaik.
Menarik
untuk
mengetahui bahwa film “The Act of Killing” diputar sedikitnya di
13 kota Belanda, seperti Amsterdam, Breda, Den Bosch, Den Haag,
Deventer, Groningen, Haarlem, Hoorn, Maastricht, Nijmegen,
Rotterdam, Tilburg dan Utrecht. Dan itu semua di bioksop umum.
Coba
bandingkan
dengan negeri kita, Indonesia. “The Act of Killing”, yang telah
menjadi buah bibir (pujian) publik internasional . . . . di
Indonesia masih belum bisa diputar terbuka untuk umum. Menurut
infornasi yang bisa diandalkan, untuk mempertunjukkannya terbuka
dimuka umum, harus melewati PANITIA SENSOR. Bisa dipastikan bila
diajukan kepada Panitia Sensor, permintaan izin merilis film
“The Act of Killing”, itu bisa nyangkut di situ. Dan entah
berapa lama harus menanti sampai izinnya keluar.
*
* *
Kiranya
banyak
yang sudah mendengar, meliha sendiri atau membaca bagaimana isi
ceritera film dokumenter “The Act of Killing”.
Baik
kita
baca ringkasan yang dimuat oleh salah sebuah media mancanegara.
Dokumenter ini adalah wawancara dari sejumlah pelaku pembunuhan
orang-orang PKI, diduga atau sipatisan PKI. Kejadian itu
berlangsung di tahun 1965-1966 di Sumatera Utara.
*
* *
“Hari ini, Anwar Congo dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.
“Dalam “Jagal”, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh.
“Tidak seperti para pelaku genosida Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP.
“Jagal” adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.
“Pada masa mudanya, Anwar Congo dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius.
“Di tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar Congo dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Holywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.”
“Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar Congo lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
“Dalam Jagal, Anwar Congo dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari di masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop.
“Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
“Kemudian sutradara film menantang Anwar Congo dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
“Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu. Beberapa teman Anwar Congo menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
“Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar Congo, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar Congo yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.
* * *