Saturday, January 18, 2014

DEMOKRASI INDONESIA BERSYARAT ??

Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 03  Januari 2014
---------------------------------


DEMOKRASI INDONESIA BERSYARAT ??

Menjelang berakhirnya tahun 2013,  atas prakarsa Prof Salim Said, mantan Dubes RI d Praha di media internet ini ,telah berlangsung suatu tukar-fikiran, ya suatu dikusi,  mengenai masalah DEMOKRASI di Indonesia.

Salim Said mempertanyakan apakah demokrasi di negeri kita ini  s a l a h . ..  dan apa masih perlu diteruskan.

Karena a.l. demokasi tsb telah  memarakkan lebih lanjut budaya korupsi. Dipertanyakan apakah  tingkat peradaban
bangsa Indonsia, sudah mampu untuk bisa  diberlakukannya  sistim politik  demokrasi? Pengelola mailist Gelora45 (Hongkong),  Chan CT,
memberikan tanggapannya. Juga ada respons lainnya.

*    *    *

Tigabelas tahun yang lalu, 10 Februari 2000, aku menulis  sebuah kolom, bersangkutan masalah DEMOKRASI di Indonesia. Dengan judul
"DEMOKRASI INDONESIABERSYARAT . . .?"

Di bawah ini disajukan lagi tulisan tsb sbg sumbangan ala kadarnya untuk memarakkan diskusi yang dimulai oleh Salim Said:

*    *    *


DEMOKRASI INDONESIA BERSYARAT . . . . . ?



10 Februari 2000  


Era dimana kita hidup dewasa ini adalah era demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Di Indonesia lebih populer disebut era "reformasi" dan era  "HAM"
Boleh dikata semua parpol, kiranya juga termasuk partainya Menkumdang Prof.
Yusril Ihza Mahendra, pernah menyatakan berkepedulian melaksanakan
prinsip-prinsip reformasi, demokrasi dan HAM.

Dialog dengan Pak Yusril adalah penting sekali, dan diharapkan akan lebih
banyak lagi yang akan ambil bagian dalam dialog dengan beliau. Karena
beliau adalah Menkumdang, Menteri Hukum dan Perundang-udangan. Dengan
sendirinya amat berkepedulian untuk berdialog dengan sebanyak mungkin orang
agar memperoleh input yang cukup, dalam usaha Kementerian Kumdang
memberikan sumbangannya dalam proses reformasi dan usaha besar menegakkan
negara berdasarkan hukum, yaitu suatu _ re-chtsstaat_ Seperti dinyatakan
dalam UUD-45, _Negara Indonesia berdasar atas Hukum , tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka .

Bila kita mengingat kembali dasar falsafah negara kita , maka terpampanglah
di hadapan kita Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, 1945, dan karya Bung
Karno, "Lahirnya Pancasila"_. Baik lahirnya "Pancasila" maupun UUD-45,
kedua-duanya dokumen berseja-rah negara kita itu, berlandaskan pada
azas-azas, dimana yang terpenting, antara lain, adalah prinsip-prinsip
demokrasi dan HAM. Prinsip-prinsip tsb berwatak universil. Artinya mempunyai
nilai-nilai yang bisa ditrapkan secara universil, secara prinsip tidak
terikat oleh tempat dan waktu. Kalau kita betul yakin bahwa prinsip-prinsip
demokrasi dan HAM itu adalah luhur dan unggul, dan merupakan landasan
dijalan yang hendak ditempuh oleh bangsa dan negeri ini menudju
terbangunnya suatu "rechtsstaat", yang adil dan makmur, maka kita juga
seyogianya dengan konsisten berusaha membela dan memberlakukannya.

Mengapa timbul pertanyaan seperti pada judul esai ini, _apa betul demokrasi
Indonesia bersyarat?. Pertanyaan ini sebetulnya sudah sering juga diajukan
oleh berbagai fihak sehubungan dengan masalah-masalah atau kasus-kasus yang
dihadapi sesuatu waktu. Belakangan ini ramai dibicarakan tentang _TAP MPRS
No. 25/1966". Ini berkaitan dengan masalah ratusan warganegara Indonesia
yang sedang berada di luarnegeri ketika terjadi peristiwa G30S , kemudian
tidak bisa pulang, dengan siapa Menkumdang Yusril mengadakan dialog. Saya
hadir juga dalam pertemuan dengan Menkumdang. Yang dibicarkan disitu bukan
hanya TAP MPRS N o 25/1966, tetapi juga usul untuk pencabutan Instruksi
Mendagri No. 32/81, yang isinya menghukum sekali lagi untuk seumur hidup
para eks-tapol 1965/1966 dan para keluarga mereka, dengan memberikan stempel
orang yang berbahaya, maka harus diwaspadai dan diawasi, harus melapor,
tidak boleh ini, tidak boleh itu, dsb. Pokoknya didiskriminasi seperti
orang-orang yang mengidap penyakit menular.

Sedangkan TAP MPRS No. 25/1966, adalah suatu keputusan yang _menguatkan
kebijaksanaan_ mantan presiden Suharto, untuk membubarkan PKI beserta semua ormas
yang dianggap _seasas serta berlindung/bernaung dibawahnya_, menjadikannya
keputusan MPRS. Diputuskan oleh MPRS tsb: _Setiap kegiatan di Indonesia
untuk menjebarkan atau mengembangkan paham atau adjaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinja, dan
penggunaan segala matjam aparatur serta media bagi penjebaran atau
pengembangan paham atau adjaran tsb, dilarang._ Begitulah bunyi a.l. bagian
terpenting dari TAP tsb. Melarang sesuatu parpol, seyogianya dilakukan atas
dasar hukum yang benar. Apakah PKI dilarang melalui suatu proses pengadilan
yang independen. Menurut catatan resmi, sebagaimana juga sementara parpol
lainnya pada zaman _Demokrasi Ter pim p in_,PKI seperti halnya dengan
parpol PNI, Parkindo, Partai Katolik, NU, PSII, Perti, Partindo, adalah
parpol-parpol yang legal, sah menurut undang-undang saat itu. Seperti parpol
lainnya PKI juga menerima Pancasila. Jadi bila sesuatu parpol seperti PKI
yang selain berpaham Marxisme, juga menerima Pancasila, selain itu karena
dianggap Marxisme itu bertentangan dengan Pancasila, lalu PKI dan paham
Marxismenya dilarang; maka seyogianya, PKI diberi hak dan syarat untuk
membela diri. Ajukanlah ke pengadilan agar diurus sesuai dengan ketentuan
hukum.

Mengenai tuduhan bahwa PKI, dinyatakan oleh TAP tsb, "dalam sedjarah
Kemerdekaan Republik Indonesia telah njata-njata terbukti beberapa kali
berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia jang sah dengan
djalan kekerasan", mengenai kasus inipun seyogianya PKI diberikan kesempatan
untuk membela diri.

Bicara soal "pemberontakan_"terhadap negara RI, kiranya yang pernah
memberontak terhadap RI juga tercatat gerakan DI/TII yang dipimpin oleh
Kartosuwiryo dan juga PRRI-Permesta, yang telah mendirikan negara dalam negara. Yang dimaksudkan oleh
TAP MPRS No25/1966, kiranya adalah "peristiwa Madiun 1948" dan "G30S".
Bagaimana catatan dokumentasi negara, mengenai PRRI dan Permesta serta
parpol-parpol serta kesatuan tentara yang ambil bagian dalam pemberontakan
tsb?. Untuk kepentingan pelurusan sejarah ada baiknya diteliti dan
dipelajari lagi.

Mengenai "peristiwa Madiun", ada dokumentasi pengadilan negeri bahwa DN Aidit
ketua PKI, pernah dimuka pengadilan Jakarta, menggugat tuduhan
_pemberontakan PKI di Madiun_ itu, dan menjelaskan bahwa dalam peristiwa tsb
adalah PKI yang jadi korban, akibat dari suatu politik "Red drive proposals"
AS semasa perang dingin ketika itu. Sejarah juga mencatat bahwa PKI telah
mengeluarkan "Buku Putih" mengenai peristiwa Madiun, yang isinya memperkuat
gugatan DN Aidit tsb. Tidak ada sejarah mencatat bahwa _Buku Putih_ tsb
dibantah secara terdokumentasi ataupun dengan mengemukakan saksi, oleh
siapapun.

Mengenai "Gerakan 30 September", mantan presiden Sukarno sendiri, tidak
pernah diberi kesempatan untuk, tanpa tekanan dan ancaman memberikan
keterangan beliau sendiri, mengingat bahwa , adalah mantan presiden Sukarno
sebagai kepala negara yang, katanya, dikup oleh gerakan 30 September itu.
Nyatanya, kalau tokh ketika itu ada kepala negara yang sedang memegang
kekuasaan, yang digulingkan, maka itu adalah Bung Karno. Dan yang
menggulingkannya sampai sekarang, masih hidup: S u h a r t o.

Pendek kata, yang menyangkut tuduhan-tuduhan terhadap PKI, biarlah para
mantan pemimpin-pemimpin PKI sendiri, yang saat ini masih hidup, diberi
kesempatan untuk secara leluasa tanpa tekanan dan ancaman membela diri. Bila
hal itu bisa dilaksanakan akan ada gunanya untuk pekerjaan _Komisi Kebenaran
dan Rekonsilias_ kelak, bila itu dibentuk kelak.

Tiba kita pada masalah Komunisme dan Marxisme-Leninisme yang dikatakan
bertentangan dengan Pancasila: Marxisme adalah salah satu pandangan dunia
dan ilmu sosialisme yang sudah lebih seratus tahun diciptakan dan
disebarkan oleh Marx, kemudian oleh penganut-penganutnya. Di dunia ini bukan
saja ada Marxisme, tetapi juga ada liberalisme dan sosial demokrasi, sebagai
suatu pandangan falsafah-sosial-politik-ekonomi yang diaajarkan dan
disebarkan oleh para penganutnya. Pandangan tsb diakui secara internasional
dan diperlakukan sebagai ilmu yang patut dipelajari dan diteliti.. Dengan
melarang masyarakat membaca dan mempelajari secara terbuka salah satu dari
pandangan ilmu sosial yang bernama Marxisme, langsung atau tidak langsung,
tindakan itu adalah langkah yang membodohkan rakyat kita. Tindakan itu
mencerminkan suatu pandangan yang menganggap _orang-orang biasa_ yang bukan
pejabat tinggi atau jendral, tidak punya kemampuan untuk berfikir dan
membedakan antara hal yang baik dan yang buruk. Bukankah hal itu merupakan
suatu penghinaan terhadap daya berfikir bangsa kita?

Yang paling menonjol dan memilukan dari masalah larangan tsb diatas, ialah
kenyataan bahwa dengan larangan itu, salah satu dari prinsip demokrasi dan
HAM, yaitu kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat, telah dilanggar. Hak
warganegara untuk memikirkan sendiri sesuatu hal ihwal telah direnggutkan,
atas nama "hukum" dan Pancasila. Dianggap hanyalah penguasa yang berhak dan
mampu berfikir sendiri.

Kalau pandangan yang tercantum dalam TAP MPRS/25-1966 hendak bersikeras
dipertahan-kan terus, berarti demokrasi kita itu bersyarart. Artinya
warganegara Republik Indonesia tidak boleh berfikir sendiri untuk
mempertimbangkan dan membedakan mana emas, mana loyang. Hanya penguasa yang
bisa dan boleh berfikir. Ini soal berat bagi usaha reformasi dan demokrasi.
Tapi juga merupakan suatu tantangan yang riil bagi pejuang-pejuang demokrasi
dan HAM.


Demokrasi yang bersyarat semacam itu, adalah demokrasi yang cacat, demokrasi
yang palsu, yang berbau kultur Orba!


Kita tidak berkepentingan mempertahankan demokrasi bersyarat seperti itu.

 
* * * *


No comments: