IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita
Jum'at, 09 April 2010
-------------------------------------------
KEBEBASAN PERS Dengan ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA Di Rumah MINTARDJO
Dua minggu lalu kami kumpul-kumpul di Korenbloemenlaan 59, Oestgeest, Leiden. Di rumah siapa lagi. Kalau bukan rumahnya MINTARDJO. Diantara teman-teman terdekat dia disapa akrab: Bung MIN. Di kalangan mahasiswa dan para postgraduates Indonesia di Belanda ini, -- boleh dibilang tidak ada yang tak kenal 'Pak Min'. Belum lama jurnalis Alpha yang sedang studi tambahan di Belanda, menulis tentang Mintardjo, dengan judul “INDONESIAN AT HEART”. Laporan dalam bahasa Inggris itu ditulis untuk The Jakarta Post.
Kali ini kumpul-kumpul di rumah Pak Min, atas undangan PPI Leiden. Untuk bercengkerama, berbincang-bincang santai dengan ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA. Ia datang dari Indonesia bersama istrinya. Putranya, Tri, yang sedang belajar di Leiden juga ada di situ.
Penuh sesak rumah Pak Min hari itu.
Acara hari itu: masalah “KEBEBASAN PERS”. Kongkritnya mendengarkan uraian Atmakusumah Astraatmadja, yang baru kembali dari suatu sidang UNESCO di Paris.
* * *
Tentu harus diperkenalkan lebih dulu: Siapa itu Atmakusumah Astraatmadja?
Ini dia: --- Mengenal sesorang, bisa dari riwayatnya yang diketahui. Atau dari apa yang ditulis orang lain tentang dia. Coba ikuti suatu tulisan tentang Atmakasumah a.l sbb: Indonesia mulai mengeyam udara nyaman 'kebebasan pers' sesudah Presiden Suharto digulingkan oleh gerakan massa menuntut Reformasi. Muncul seribu-satu macam penerbitan, termasuk koran, majalah, siaran radio dan TV. Semua leluasa memanfaatkan kebebasan ini. Tak terhindarkan muncul juga yang bisa dianggap tidak bertanggung-jawab atau 'berkelebihan'. Saat itu, timbul fikiran apakah kebebasan yang dicapai ini, tidak akan berakibat buruk?
Nyatanya memang ada petinggi Indonesia yang nyeletuk; Wah, demokrasi ini sudah 'kebablasan'. Aneh juga suara yang begini ini. Demokrasi di negeri kita masih pada tahap permulaan, sudah ada yang khawair akan timbul suasana 'anarkisme'! Suara konservatif begini, sering juga disebut keluhan dari jurusan 'the established forces'. Atau orang-orang yang sudah 'mapan' pada kekuasaan dan kekayaannya.
Pada saat itu Atmakusumah meyakinkan mereka-mereka yang ragu dan khawatir menyaksikan menggebu-gebunya 'kebebasan pers'. Ia menegaskan bahwa meskipun diakui adanya ekses, tetapi harus dipertahankan hak penerbit untuk melanggar disana-sini, sebagaimana halnya mereka dengan kuat mempertahankan hak wartawan untuk melakukan investigasi berita-berita yang disiarkan.
Namun, Atmakusumah menganjurkan rekan-rekannya untuk memelihara disiplin dan mematuhi kode etik-jurnalistik. Atmakusumah juga terlibat dalam merencanakan 'kode etik' yang dimaksudkan itu. Demikianlah, Dewan Pers dewasa ini dibimbing oleh kode tsb. Tanpa kompas moral, pers seakan-akan kapal yang kehilangan arah di tengah kabut tebal. Demikian Atmakusumah.
* * *
Atmakusumah amat peduli dengan generasi muda jurnalis. Ia getol bertukar fikiran dengan mereka, bersikap tenang dan bijaksana. Ia beranggapan Indonesia tetap berada dalam gejolak transisi politik yang bergelora. PERJUANGAN UNTUK KEBEBASAN MEDIA BELUM SELESAI.
Ketika memilih Atmakusumah Astraatmadja sebagai pemenang Award Ramon Magsaysay Th. 2000, atas pertimbangan pengakuan peranan Atmakusumah meletakkan dasar institusional dan profesional untuk era baru kebebasan pers di Indonesia.
* * *
Atmakasumah Astraatmadja meramalkan, bahwa pembaca-pembaca Indonesia, yang dewasa ini menikmati besar-kecilnya 'kebebasan pers' Indonesia, -- akan bisa menyimpulkan sendiri, mana yang benar dan mana yang tidak benar mengenai apa-apa yang disiarkan oleh media.
* * *
Dalam diskusi di Paris, Atmakusumah dihadapkan pada pertanyaan, orang harus mengambil sikap yang bagaimana, bila muncul seorang diktator baru yang kembali memberangus kebebasan pers. Atmakusumah: Kita harus mendidik generasi kini dan mendatang bagaimana berjuang demi membela kebebasan pers. Saya sendiri terlibat dalam perjuangan ini lebih dari setengah abad, jawab Atmakusumah.
Menurut saya, kata Atmakusumah, akan sulit sekali bagi seorang diktator baru untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Karena rakyat telah menikmati dan menghargai manfaatnya kemerdekaan pers. Di Indonesia sekarang setiap orang bisa menyatakan pendapatnya, pandangan dan keluhan-keluhannya. Hal ini dilakukan bukan saja oleh para aktivis politik dan hak-hak manusia, tetapi juga oleh kaum pekerja dan buruh industri, petani dan para nelayan.
Di segi lain, media harus terus menerus memperbaiki kwalitasnya untuk menjamin, tak akan ada alasan bagi pemerintah dan publik melakukan penindasan terhadap kebebasan berekspresi.
Namun, adalah penting bagi penegak hukum, untuk pertama-tama, melindungi lembaga media bila mereka diancam dalam suatu demonstrasi yang menentang media, dan bukan 'bertekuk-lutut' dimuka kaum demostran itu. Undang-undang, para penegak hukum, politisi dan para pejabat tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pekerjaan jurnalistik, pernyataan-pernyataan kritis dalam demonstrasi dan dalam pandangan-pandangan yang kritis yang dinyatakan di dalam konferensi-konferensi, seminar, workshops dsb. Bila mereka melanggar hukum mereka harus diadili di bawah hukum perdata, tetapi jangan sekali-kali menggunakan hukum kriminil yang bisa menyebabkan mereka dihukum penjara.
Atmakusumah mengakhiri pendapatnya sbb:
Di Indonesia kami memiliki pelajaran baik dari media yang buruk pada tahun-tahun awal era Reformasi dikala separuh dari kira-kira 1.200 media cetak – harian dan mingguan, tabloid dan majalah – harus tutup hanya dalam jangka waktu dua tahun saja. Hukuman yang dijatuhkan oleh publik melek-media sangat menentukan terhadap media buruk dan tak jujur.
Dewasa ini terdapat banyak laporan yang bisa disiarkan oleh media termasuk kasus korupsi oleh anggota-anggota parlemen, yang mantan maupun yang masih berfungsi, gubernur, kepala badan-badan dan menteri-menteri kabinet. Tetapi, menurut pemahaman saya, kata Atmakusumah, tidak ada impact berlawanan dari pers kami yang bebas yang dapat membahayakan stabilitas negeri ini.
Sebaliknya, saya kira, laporan media yang jujur dan komprehensif mengenai pandangan dan sikap kaum pemberontak Aceh, telah memberikan sumbangan bagi persetujuan perdamaian antara pemerintah pusat dan GAM yang telah mengakhiri 30 tahun konflik bersenjata di daerah Sumatra Utara dalam tahun 2005.
Baik media cetak maupun siaran telah menyiarkan a.l., sebuah wawancara dengan komandan militer GAM, halmana tidak mungkin dilakukan di bawah Orde Baru Suharto. Arus terbuka informasi dari kaum pemberontak tampaknya telah menciptakan kesadaran dan pengertian mengenai aspirasi mereka di kalangan pera pemimpin pemerintahan. Demikianlah singkat-padat mengenai siapa Atmaksumah Astraatmadja, fikiran dan pandangannya. Patut jadi pertimbangan dan pelajaran bagi kaum jurnalis muda dan mendatang!
Yang paling mengesankan padaku mengenai tokoh wartawan senior Atmakusumah ialah keyakinannya yang mantap. Atmakusumah Astraatmadja optimis mengenai hari depan KEBEBASN PERS DI INDONESIA.
Demikian pulalah, kesan tak terlupakan cakap-cakap santai dengan Atmakusumah Astraatmadja, di rumah Bung Min. Banyak terima kasih kepada beliau atas intisiatif mengadakan 'kumpul-kumpul' ini dengan segala keramahan Ibu Min, dan . . . . . hidangan sop buntut yang sedap!
* * *
Friday, April 9, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment