Jum'at, 30 April 2010
---------------------------------------
“Mijn Vriend SUKARNO” – Willem Oltmans
Tulisan ini -- Juga hendak memberikan gambaran yang ' l a i n ' kepada 'kita-kita' orang-orang Indonesia, -- mengenai orang-orang Belanda. Khususnya bersangkutan dengan pertanyaan: Bagaimana sebenarnya sikap Belanda sekarang ini, terhadap Indonesia? Apakah memperlakukan Indonesia, masih seperti dulu? Ataukah sudah berubah? Menganggap Indonesia sebagai suatu bangsa merdeka. Yang setara dan sederajat dengan Belanda?
Untuk menghindari sikap 'main-pukul-rata', maka dikemukakan dalam tulisan ini kasus kongkrit. Ia seorang Belanda. Wartawan kawakan. Ia meninggal dunia enam tahun yang lalu. Namanya WILLEM OLTMANS. Berbeda dengan banyak rekan-wartawan Belanda lainnya, ia punya penilaian tersendiri mengenai Sukarno. Baginya, Sukarno adalah seorang pemimpin nasional bangsa Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia, telah memerdekakan bangsanya. Oltmans hormat dan mengaguminya. Wartawan Belanda itu, paling tidak selama sepuluh tahun, menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Presiden Sukarno begitu dihormati, dicintai dan punya pengaruh amat besar di kalangan rakyatnya. Teristimewa di kalangan 'wong cilik', di kalangan kaum 'Marhaen'.
Dalam salah satu tulisannya, Willem Oltmans, menjelaskan bahwa di kalangan penguasa dan lapisan tertentu masyarakat Belanda, ketika itu, i.e dalam periode sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sampai periode setelah 1949, --- Sukarno adalah “Musuh-negara kita nomor satu”. Hij is “ Onze Staatsvijand nummer een”.
Tokh -- 'musuh negara nomor satu” itu, kepala negara dan kepala pemerintah Indonesia tsb, bagi Willem Oltmans, adalah “Mijn Vriend Sukarno”. Adalah “Sahabatku Sukarno”.
Kata Oltmans: Sikap dan pelbagai cerita tentang Sukarno yang begitu sering dan paling suka dimamah-biak di Belanda dan di Barat, bahkan di kalangan Indonesia tertentu , -- didasarkan pada 'reka-rekaan' saja. Muncul dari emosi yang disebabkan, akhirnya oleh kenyataan yang sulit mereka cernakan. Yaitu: “Dia itu, Sukarno, adalah pemenang yang tak diragukan lagi, dan bahwa kita orang-orang Belanda, telah bertindak sebagai orang-orang kalah yang menyedihkan (miserabel).
* * *
Bagaimana bisa begitu?
Bukankah tidak sulit mencari di Belanda, (ketika itu dan sampai sekarangpun) -- tokoh-tokoh politik, pemimpin-pemimpin masyarakat, termasuk dari kalangan gereja, apalagi di kalangan penulis, pakar dan media, di kalangan para mantan 'KNIL' dan 'KL', --- yang 'tidak suka' dan 'membenci' Sukarno. Pandangan mereka-mereka itu sama dengan pandangan penguasa Belanda zaman kolonial. Menilai bahwa Sukarno adalah “musuh negara kita nomor satu”. Menemukan orang-orang sinis yang 'anti-Sukarno' di Belanda samasekali TIDAK SULIT!!!
Dewasa ini, baik yang terang-terangan maupun yang terselubung, masih terdapat orang-orang Belanda yang 'benci setengah mati' kepada Sukarno.
Begitu mendengar nama Sukarno, maka cepat saja berkomentar: 'Oh itu, si kolaborator Jepang itu! 'Oh itu, yang beristri lebih dari empat itu'. 'Oh itu, promotor konsep 'Demokrasi Terpimpin' yang 'telah gagal total' dan telah 'menjerumuskan' Indonesia'. 'Oh, itu, si 'diktator otoritér' yang berhubungan erat dengan Peking dan Moskow! Yang kerjasama dan Pro-PKI itu!'
Membantah fitnahan bahwa 'Sukarno kolaborator Jepang', Willem Oltmans mengingatkan pada buku-studi Prof. George McTurnan Kahin berjudul Nationalism and Revolution (1952). Di situ, (halaman 104 – 106) G.T Kahin menulis a.l.
“. . . . bahwa Sukarno menganggap Jepang sepenuhnya adalah fasis. Sukarno beranggapan bahwa ia dan kawan-kawan seperjuangannya harus menempuh cara perjuangan yang paling halu (subtiel), untuk menghindar dari berbentrokan dengan kekuatan (pendudukan militer) Jepang. Maka mereka bertindak sedemikian rupa sehingga Jepang menganggap mereka berkolaborasi”.
Seperti apa yang saya lakukan, kata Oltmans, Prof G.T. Kahin mengambil kesimpulan demikian itu, melalui proses penelitian terhadap Bung Karno, Hatta, Sjahrir dan banyak orang Indonesia lainnya.
* * *
Tidak sekali-dua kutulis, bahwa, masih ada, --- bahkan tidak sedikit jumlahnya orang-orang Belanda yang berpandangan w a j a r mengenai Sukarno dan Indonesia. Mereka mampu melihat realita dan menilai bahwa Sukarno, pertama-tama, adalah seorang pemimpin terkemuka perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Seorang pahlawan bangsa yang dicintai rakyatnya. Bahwa Sukarno adalah salah seorang terpenting pembangun NASION INDONESIA. Bahwa Sukarno adalah pejuang nasional yang telah memberikan segala-galanya yang terbaik dari hidupnya demi kepentingan bangsa dan tanah air Indonesia. Bahwa, --- adalah Sukarno yang menggali dari bumi Indonesia, dasar falsafah kenegaraan bangsa Indonesia. Serta dengan populer dan sistimatis merumuskannya, dalam pidatonya ( 1 Juni 1945) “LAHIRMYA PANCASILA”. Bahwa Sukarno adalah penggali falsafah PANCASILA yang kemudian menjadi dasar falsafah NEGARA REPUBLIK INDONESIA.
Orang-orang Belanda yang demikian itu, --- mampu melihat kenyataan sejarah, bahwa Sukarno termasuk salah seorang tokoh Asia-Afrika terpenting. Bersama tokoh-tokoh Asia-Afrika lainnya, seperti Nehru dan Gamal Abdul Nasser, yang telah mencetuskan Konferensi Asia-Afrika pertama. Bahwa visi pokok Sukarno mengenai kedudukan di dunia internsional dari bangsa-bangsa yang baru melepaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme, adalah berdiri sendiri sebagai kekuatan politik yang BERDIKARI. Yang tidak berfihak ke blok-Barat maupun ke blok-Timur. Visi Sukarno: – Hanya dengan demikian negeri-negeri yang baru merdeka, bisa mempertahankan kemerdekaannya. Serta berkembang secara independen. Memainkan peranan sebagai kekuatan 'penyeimbang' antara blok-blok raksasa yang bertentangan di dunia. Dengan demikian bisa memainkan peranan positif dalam usaha perdamaian dunia di tengah-tengah berkecamuknya “Perang Dingin”.
Orang-orang Belanda tsb bisa menghargai kenyataan sejarah bahwa Sukarno adalah pembela dan pendukung kuat gerakan kemerdekaan nasional di Asia dan Afrika melawan kolonialisme dan imperialisme. Bahwa Sukarno adalah promotor persatuan Asia-Afrika, demi kemerdekaan nasional dan perdamaian dunia.
Selain tokoh-tokoh cendekiawan seperti, Prof. Bob Hering, Prof W.F. Wertheim dan banyak lainnya, WILLEM OTLMANS adalah salah satu dari oran-orang Belanda yang bisa melihat dengan obyektif peranan, pengaruh dan arti penting Sukarno bagi bangsa Indonesia. Bagi Asia-Afrika dan bagi Dunia Ketiga serta bagi dunia internasional.
Demikianlah, tulisan ini hendak mensosialisasikan pandangan yang realis, yang wajar, mengenai orang-orang Belanda. Agar 'kita-kita' ini, jangan memandang Belanda dengan 'kaca-mata' “HITAM-PUTIH” belaka.
* * *
Willem Oltmans bisa memahami dan mengagumi konsep politik kenegaraan yang dirumuskan Bung Karao dalam konsep “DEMOKRASI TERPIMPIN”. Hakikat Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno, menurut Oltmans, seperti yang disampaikan oleh Bung Karno kepadanya, adalah – SEMANGAT GOTONGROYONG. Adalah konsep politik kenegaraan MUSYAWARAH DAN MUFAKAT!
Dalam pecakapannya dengan Sukmawati Sukarnoputri (1995), Oltmans menyatakan: “Selangkah-demi-selangkah Pesiden Sukarno menjelaskan:
Betapa sejak kemerdekaan tahun 1945 Presiden harus bermanuver di suatu sistim politik yang diimpor dari Barat. Suatu sistim politik yang mengakibatkan suatu 'situasi-Italia', dengan munculnya tiap tahun kabinet koalisi yang baru. Yang punya rencana lain dan tuntutan lain. Warisan kolonial antara lain terdiri dari suatu pemerintahan (birokrasi) model politik Westminster – yang terdiri dari 40 parpol yang dikepalai oleh wanita-wanita dan priya-priya yang saling-sirik dan selalu cekcok. “Sampai tahun 1955 Negara tak bisa dipimpin disebabkan oleh percekcokan politik”.
Willem Oltmans menjelaskan kepada Sukmawati, bahwa dalam tahun 1957 Sukarno menerangkan kepadanya, bagaimana beliau masih saja tidak bisa memberikan pimpinan politik, yang amat diperlukan Indonesia sebagai sebuah negeri berkembang yang prominen. Itulah sebabnya mengapa Bung Karno, melakukan segala sesuatu yang mungkin, untuk membalikkan suatu 'demokrasi-dimana mayoritas- selalu benar' – ke suatu cara pengambilan keputusan yang sesuai cara otentik-Jawa, yaitu suatu demokrasi dimana keputusan diambil melalui cara 'musyawarah-mufakat'.
Sukarno menjelaskan, seperti yang didengar sendiri oleh Oltmans, bagaimana selama ratusan tahun bangsa Indonesia mengatur kehidupan bermasyarakat, dengan mentrapkan cara 'musyawarh dan mufakat' – – – sampai tercapainya kesimpulan bersama.
Beribu-ribu tahun lamanya, seperti yang dijelaskan oleh Bung Karno kepada Cindy Adams, para kepala desa kami, memimpin pemerintahan setempat, dengan cara duduk berunding bersama, masing-masing memberikan pendapatnya dan masing-masing mendengarkan pendapat yang lain.
Willem Oltmans: Presiden Sukarno telah mengakhiri sistim demokrasi Barat, dimana sering terjadi SATU SUARA SAJA bisa menentukan. Kata Presiden Sukarno, 'pada kami tidak seorangpun sepenuhnya benar, dan bersamaan dengan itu, juga tidak seorangpun yang samasekali salah.
“Kami memilih suatu sistim dimana masing-masing merasa lega”.
* * *
No comments:
Post a Comment