Kolom IBRAHIM ISA
Sabtu, 30 Mei 2009
----------------------------
BANGGA JADI ORANG INDONESIA
* * *
Sepuluh hari sudah berlalu, 20 Mei 2009. Ketika itu, LAKSMI PAMUNTJAK, penulis muda, budayawan Indonesia dari generasi kini, diminta bicara dalam pertemuan di Gedung Stovia lama di Jakarta. Kumpulan itu diadakan untuk memperingati 'HARI KEBANGKITAN NASIONAL'. Aku katakan Laksmi Pamuntjak dari generasi muda. Tercatat ia kelahiran tahun 1971.
Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2009. Seyogianyalah, peristiwa itu tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Apalagi di kala bangsa ini sedang bergolak, bergejolak melintasi jalan lika-liku, menuju masa dewasa.
Di media Indonesia, yang dalam batas tertentu tercermin pada puluhan mailis, maupun di berbagai 'online', luput aku membacanya. Tak kuketahui ada orasi budaya Laksmi Pamuntjak dalam kesempatan memperingati HARI KEBANGKITAN NASIONAL. Baru beberapa hari belakangan ini kujumpainya di sebuah situs.
Begitu selesai baca, aku fikir: Paling tidak, yang biasa membaca tulisanku di media internet harus juga membacanya. Maka harus disiarkan. Ditulis oleh seorang sastrawan muda Indonesia. Muda, benar masih muda. Namun, apa yang diuraikannya mencerminkan keseriusan penulisnya. Memikirkan nasib bangsa. Kepedulian serta keterlibatan yang mantap terhadap negeri. Bangsa di masa kini, lampau, lebih-lebih masa depamnya.
* * *
Salah satu yang tegas diajukannya, ialah bahwa: Ia, . . . Laksmi Pamuntjak, adalah SALAH SATU YANG BANGGA JADI ORANG INDONESIA. Jiwa dan semangat demikian dari seorang generasi muda, – – – – inilah, yang antara lain AMAT DIPERLUKAN bangsa ini.
Karena, bukankah pernyataan ini diucapkan dalam situasi dimana tidak sedikit orang mulai bosan. Selanjutnya mengambil sikap masa bodoh. Seakan-akan bersikap persetan dengan situasi yang dialami negeri dan bangsa. Berpeluk tangan terhadap kepiluan penderitaan. Merasa tak berdaya, pasif ditengah-tengah semakin ramainya kampanye pilpres 2009. Halmana dirasakan sebagai timbunan carut-marut yang semakin bertumpuk. Dari hari ke sehari semakin gawat layaknya. Bukankah tidak sekali dua, kita menjumpai cetusan perasaan seperti pernah diucapkan, ataupun tidak diucapkan: . . . AKU MALU JADI ORANG INDONESIA.
Tetapi, tidak demikian halnya dengan budayawan, penulis muda Laksmi Pamuntjak.
Orasi Laksmi Pamuncak, adalah suatu reaksi dan tanggapan positif yan berani. Tidak tunduk-runduk tetapi kepala diangkat tegak. BERTAHAN -- Bagaimanapun melelahkan dan menjengkelkannya mengikuti perkembangan situasi nasib rakyat yang semakin terbengkalai. Teguh dan mantap berpijak pada pandangan OPTIMISME REALIS. Terhadap yang sekarang, apalagi yang jauh ke depan!
* * *
Siapa Laksmi Pamuntjak?
Nama itu cukup terkenal di Indonesia. Di luar negeri, di kalangan dunia sastra mancanegara, juga begitu. Sejak April yang lalu ia diminta duduk dalam sebuah Juri Internasional dari Prince Clause Funds. Ia seorang wanita Indonesia, yang sering mewakili Indonesia di banyak negeri. Seorang penulis dari generasi baru, salah seorang yang namanya mencuat. Bukan saja karena tulisan-tulisannya, tetapi juga karena banyak tulisannya itu ditulis dalam bahasa Inggris. Tapi sebab terutama menjadi dikenal luas di luarnegeri ialah disebabkan oleh novel-novelnya, artikel, komentar dan kritiknya selama ini.
Kali ini bukan dimaksudkan untuk menulis siapa penulis LAKSMI PAMUNTJAK. Itu, kiranya pada kali dan kesempatan lain. Kali ini dimaksudkan terutama agar pemb aca dengan seksama mengikuti ORASI BUDAYA LAKSMI PAMUNTJAK, sehubungan dengan HARI KEBANGKITAN NASIONAL.
Selakan membacanya:
HARI KEBANGKITAN NASIIONAL –
SAYA SALAH SATU DARI JUTAAN YANG BANGGA MENJADI ORANG INDONESIA
* * *
Hari ini kita berkumpul di gedung bersejarah ini antara lain untuk mengenang para korban
tragedi Mei 98. Marilah kita luangkan satu menit hening untuk mengingat perjuangan mereka
demi sebuah Indonesia yang bebas, adil, terbuka dan lepas dari segala bentuk kekerasan
dan penindasan.
Saudara-saudara yang saya hormati:
Saya salah satu dari jutaan orang yang bangga menjadi orang Indonesia. Telah dicatat dengan baik
oleh sejarah bahwa Indonesia adalah sebuah republik dengan 13 ribu pulau yang tahan dalam
persatuan bukan karena kekuatan militernya. Adanya satu bahasa yang berbeda – sebuah bahasa
yang tidak dipaksakan oleh mayoritas, bahkan sebuah bahasa yang dikembangkan oleh kalangan
yang dulu disebut sebagai keturunan "asing" merupakan prestasi yang tak dapat dipungkiri.
Tapi akhir-akhir ini kata nasionalisme sering membuat saya terpekur. Setiap kali saya mendengar
kata itu, saya ingat setidaknya tiga pengalaman.
Yang pertama terjadi suatu petang di bulan Juli 2006. Saya dan sejumlah kawan sedang duduk di
sebuah restoran di puncak bukit di Ambon. Esoknya kami berniat berlayar ke Pulau Buru. Bersama
kami seorang ibu separuh baya -- ia mantan kepala Badan Urusan Logistik daerah --- dan adik laki-lakinya. Keduanya
bermata sipit, dengan tutur kata lembut. Mereka bicara tentang kekerasan antar
agama di Maluku: tentang hamparan mayat, tentang tetangga yang saling membantai, tentang kota
yang terbelah menjadi merah dan putih.
Mereka menyesali pertumpahan darah di bumi Maluku. "Nama keluarga kami Chua.” Kata
perempuan itu. "Kami berdua Muslim keturunan Cina. Keluarga besar kami menamakan diri
Marga Ambon, dan kami adalah generasi kelima. Berabad-abad kami hidup dengan perbedaan. Bhineka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan."
Pengalaman kedua: Hari Kartini, tiga bulan sebelumnya, di Jakarta. 6000 manusia, mayoritas
perempuan, berpawai dari Lapangan Monas ke Bunderan Hotel Indonesia. Meski mereka turun
ke jalan untuk menentang rancangan undang-undang pornografi yang mengancam
kebhinekaan Indonesia, ini sebuah aksi damai. Suasana karnaval sangat kental. Pakaian mereka
dari Sabang sampai Merauke. Ada tari singa Cina, ada kelompok waria, ada penari
sing-sing berbalut celana pendek. Hidup Pancasila! Hidup Bhineka Tunggal Ika! Marilah kita
kemajemukan Indonesia! Demikian mereka bersorak.
* * *
Hadirin yang saya hormati,
Tak banyak yang ingat bahwa pada suatu hari di tahun 1962, dari Hotel Indonesia
berkumandang hingar-bingar nasionalisme. Dalam acara peresmian hotel itu, Presiden Sukarno
menggelar sebuah pentas akbar berjudul Bhineka Tunggal Ika. Pagelaran 80 menit itu terdiri dari
12 tari tradisional yang masing-masing diperpendek menjadi tujuh menit dengan harapan ia akan
lebih mudah dicerna oleh penonton asing dan ibukota.
Kita tahu, Bung Karno di tahun-tahun itu mulai menjadi seorang penguasa yang otokratik.
Tapi ia tetap seorang pemersatu. Bagi Sukarno, dengan segala cacat dan musykilnya, persatuan
di atas segala-galanya.
Bagi saya, yang lebih menarik tentang retorika nasionalisme Hotel Indonesia saat itu adalah
eklektismenya. Sebuah bangsa memang lahir melalui proses (dalam tanda kutip) “melupakan”.
Di satu sisi ia mengatasi rasa ketidak-berdayaan yang ditinggalkan penjajahan Belanda.
Di sisi lain ia hasil dari "imagining" -- untuk mengikuti Benedict Anderson -- membentuk
citra, tentang sebuah identitas baru dengan melepaskan apa yang dihayati sebagai identitas
lama: Indonesia yang tidak sama dengan Jawa atau Sunda atau Minang.
Paradoks ini mengingatkan kita akan seorang tokoh lagi: Kartini. Kartini telah
mempelopori sebuah kesadaran identitas diri yang merupakan dasar nasionalisme Indonesia
kelak, yang tidak berdasarkan identitas etnik atau budaya yang permanen. Bisa jadi
Kartini mendahului pemikiran kaum nasionalis di Indonesia yang kemudian datang:
nasionalisme yang berdasarkan sifat universal manusia.
Kartini menunjukkan bahwa tuntutan untuk merdeka juga bisa datang dari seorang
perempuan Jawa, ketika perempuan itu tertindas. Tuntutan itu universal, bisa datang dari
semua bangsa di muka bumi. Dan ini semua hanya bisa dikemukakan oleh seorang seperti dia,
yang selamanya berdiri sebagai "Yang Lain", yang bukan ini dan bukan itu. Kartini yang
menghayati nilai-nilai emansipasi itu bukan sepenuhnya "Timur" tapi bukan pula "Barat".
Dengan kata lain, identitasnya tidak dikurung dalam sesuatu yang partikular.
* * *
Kartini, demikian juga semangat nasionalisme, adalah tanda bahwa identitas mengalir, berubah
dan menyerap dari sana sini. Ia tak pernah baku, atau tunggal, melainkan selalu mengelak
dari upaya-upaya untuk mendirikan batas atau menutup diri, entah lewat formalisasi,
penyeragaman, apalagi pemaksaan nilai-nilai sebuah golongan (apalagi yang belum
tentu merupakan mayoritas) ke golongan lainnya.
Beberapa tahun yang lalu ada Parade Penari Tayub di Solo untuk menentang rancangan
undang-undang pornografi. Sebagai perempuan, saya menganggap Tayub menyiratkan
eksploitasi perempuan. Namun, lewat aksi itu, para penari Tayub itu seakan hendak
mengingatkan kita tentang budaya abangan, yang kini mulai pudar. Mereka menunjukkan
bahwa ada 'Jawa' yang lain yang dicoba direpresi. Sikap orang Indonesia dari Bali dan Papua yang
menolak aturan yang anti-pluralisme itu juga menandaskan hal yang sama: bahwa menjadi
orang Indonesia adalah menjadi orang yang terbiasa hidup dengan perbedaan.
Pengalaman ketiga: Pada perayaan Hari Pancasila tanggal 1 Juni 2006, koor Universitas
Indonesia menyanyikan sejumlah lagu nasional. Mengikuti acara yang disiarkan di radio itu
banyak penonton menangis. Pada saat-saat seperti itu, kita memaknai ulang kata-kata tersebut
justru karena kita merasa kebhinekaan kita terancam, persatuan kita terlumpuhkan. Justru
karena kita tak ingin Tragedi Mei 98---sebuah horor anti-pluralisme---berulang, justru karena
kita tak ingin Kekerasan Monas.
2008 terjadi lagi, kita merasa butuh akan apa yang dibawakan Pancasila itu -- Pancasila
yang selama bertahun-tahun diculik oleh Orde Baru untuk dikuasai sendiri.
* * *
Kita layak bersyukur, kita masih merindukan persatuan dalam perbedaanitu. Semenjak
Boedi Oetomo mendirikan Jong Sumatranen Bond pada tahun1917, dan yang lalu disusul oleh
Jong Jong lainnya hingga Sumpah Pemuda, semangat inklusif itu telah terpancang bagai
batu peradaban. Saat itu, nasionalisme Indonesia, sebagaimana yang akhirnya diresmikan
setelah Reformasi -- ketika perbedaan antara "pribumi" dan "non-pribumi" ditiadakan
dalam konstitusi yang disahkan di tahun 1999 – telah mengatasi dasar-dasar etnis ini.
Sejalan dengan ini, Indonesia tak menyebut dirinya negeri sekuler, tapi negeri dengan
jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini juga tak pernah memproklamirkan dirinya
Negara Islam. Semakin tak lakunya partai-partai yang mengusung ke-Islaman adalah
testimoni bahwa Indonesia begitu besar.
* * *
Saudara-saudara yang saya hormati,
Batas senantiasa berubah, dan dengan demikian acuan-acuan kita tentang diri kita sendiri
pun berubah pula.
Dalam konteks tersebut, generasi saya acap mendengar dua pertanyaan: Benarkah,
seperti dikeluhkan orang tua, patriotisme anak muda meluntur? Dan dalam persaingan-
persaingan internasional, bisakah kita percaya ada takdir yang menentukan bahwa Indonesia
akan terpuruk selama-lamanya?
Kita tahu bahwa media massa hidup dari berita-berita tentang kejadian yang tidak lazim, tidak
rutin, dan seringkali dramatis. Tapi kita tahu bahwa dalam kenyataannya, Indonesia tidak hanya itu. Indonesia lebih dari
sekedar berita buruk.
Semenjak tahun 1999, republik ini bahkan telah merupakan negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan sekaligus sebuah
demokrasi yang hidup, di mana media massa tidak disensor, di mana perdebatan pikiran berlangsung leluasa dan kehidupan kesenian praktis
tumbuh tanpa kekangan. Pemuda-pemudi republik mencapai prestasi unggul di bidang
kegiatan ilmiah dalam perlombaan internasional; pelbagai bentuk teknologi baru diciptakan.
Dari semua itu, saya merasakan ada dua macam patriotisme: patriotisme yang menjunjung
tradisi dan nilai-nilai luhur sebuah bangsa, dan patriotisme yang senantiasa memperbaharui
dirinya. Keduanya membutuhkan kerja keras, keterbukaan, rendah hati, dialog, harap.
Dengan memperingati hari kebangkitan nasional hari ini, kita merayakan warisan sejarah
bahwa bangsa kita adalah bangsa yang bangkit dan bangga dalam pluralisme.
Laksmi Pamuntjak
Jakarta, 20 Mei 2009
* * * * *
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG - www.avg.com
Version: 8.5.339 / Virus Database: 270.12.46/2143 - Release Date: 05/30/09 05:53:00
No comments:
Post a Comment