Kolom IBRAHIM ISA
Senin, 06 April 2009
GOENAWAN Ttg HERMAN Yang 'HILANG' Kemarin aku baca di 'Facebook', sebuah kiriman 'Catatan Pinggir' (Mingguan Tempo), dari sahabatku Goenawan Mohammad. Tulisannya itu mengenai Herman Hendarwan, aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik). Dia hilang sejak 12 Maret 1998. Jelas kiranya, 'hilangnya' Herman termasuk tanggungjawab Jendral Suharto yang Presiden dan Jendral Wiranto yang Menhankam ketika itu. 'Hilang' pada periode Orba, bukan hilang, tetapi 'DIHILANGKAN'. Goenawan mengingatkan: Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Tulisan Goenawan difokuskan pada Herman Hendarwan. Minta perhatian pembaca terhadap nasib Herman yang jadi korban penculikan (aparat keamanan!?). Nasibnya sama seperti 'orang-hilang' lainnya. Sebut saja a.l penyair WIJI THUKUL, yang pernah dapat penghargaan dari Wertheim Foundation, Amsterdam. Dan banyak lagi 'orang-hilang' lainnya. Tentu kasus mereka itu tercatat rapi dalam daftar 'orang-hilang' pada IKOHI. Orang-orang yang dalam pelacakan dan penelitian IKOHI. Supaya akhirnya keluarganya, masyarakat tau bagaimana nasib mereka-mereka itu. Isi tulisan Goenawan lebih jauh dari kasus HERMAN semata! Orang-orang terkenal, banyak uang ataupun erat dengan penguasa – – atau dirinya sedang kuasa, sering disorot dan dibicarakan di media. Mereka dapat perhatian orang banyak. Menjelang pemilu 2009 banyak dari mereka-mereka itu punya ambisi merebut perhatian pemilih. Tetapi 'wong cilik' seperti Herman, yang hilang tak menentu rimbanya, siapa peduli? Di sinilah pentingnya cerita seperti yang diungkapkan Goenawan Mohammad dalam Catatn Pinggir-nya. Apalagi menjelang pemilu, para elite dan tokoh (lokal dan nasional) berlomba-lomba agar dapat sorotan dan perhatian. Tujuan mereka: Sebanyak mungkin merebut suara pemilih. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya bukan sesuatu yang aneh atau terlarang. Namun, yang harus diperhatikan dari kegiatan mereka-mereka yang ambil bagian dalam kampanye pemilu, ialah isi pesan atau janji-janjinya. Berkampanye, menyebar program dan seribu janji, -- itu semua SERATUS PERSEN WAJAR dan sah-sah saja. Ada u.u yang mengaturnya. Itulah praktek kehidupan demokrasi parlementer. Bangsa ini, kalau bukan hendak mencetuskan REVOLUSI – tidak mesti 'revolusi kekerasan, atau revolusi yang berdarah dengan ribuan korban', maka, jalannya adalah demokrasi parlementer yang ditempuh untuk merealisasi perubahan ke arah perbaikan dan kemajuan. Yang merupakan pelengkap terhadap aksi-aksi massa langsung, dalam rangka perbaikan syarat hidup (pendidikan, kesehatan, perumahan, kesempatan kerja dan upah minim, dll) dan membela hak-hak demokrasi serta HAM. Penting ialah mengikuti terus, ulah dan perangai para caleg dan capres itu, SESUDAH pemilu. Lebih-lebih setelah mereka-terpilih dan duduk di DPR atau bahkan jadi Presiden atau Wakil Presiden. Jangan mereka diberi peluang untuk 'LUPA' pada seribu janji yang dilontarkannya ke tengah-tengah masyarakat selagi berkampanye. Tak peduli betapa besar ketokohan mereka: Mereka-mereka itu harus dipaksa ingat pada janji-janji pemilu mereka. Harus dipaksa mengerti bahwa janji-janji indah itu harus dipenuhi! Bahwa pemilu itu telah menelan ongkos uang pajak rakyat begitu besar! Bahwa pemilu itu bukanlah 'pesta demokrasi' tok - – – Bukanlah sebagai jalan untuk cari pengaruh, kedudukan, kekuasaan dan kekayaan semata. Bukan pula sebagai kesempatan untuk melestarikan haridepan yang nyaman bagi diri sendiri, di atas kemiskinan dan penderitaan rakyat. Pemilih punya hak menuntut pertanggugan jawab dari mereka. Lebih baik lagi bila ada lembaga atau badan khusus yang deng siapa saja yang merasa dirinya w a k i l r a k y a t! * * * 'Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman. Padahal Herman Hendrawan, seperti ditulisnya sendiri pada ayahnya: adalah “Herman (yang) sudah memilih untuk hidup di gerakan”. Tulis Goenawan sebagai penutup: Sebab Indonesia, tanahairnya, membutuhkan itu. Silakan baca sendiri CATATAN PINGGIR Goenawan Mohammad, di bawah ini: Dari Catatan Pinggir <>, pekan ini: Herman
'Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal', kata Goenawan. Aku 'share' kegundahan fikiran Goenawan Mohammad, yang mengimbau pembaca agar peduli pada orang-orang seperti Herman, sebagaimana yang ia (Goenawan) tulis. :
Potret itu dipajang berderat-deret, hampir di tiap pohon. Tapi di manakah Herman? Tiba-tiba saya ingat dia. Ia tak pernah kembali. Sepuluh tahun lebih, sejak ia hilang 12 Maret 1998. Orang banyak sudah lupa akan kejadian itu, orang mungkin bahkan lupa ada nama itu, nama seorang yang diculik, terutama karena Herman tak dikenal luas. Saya juga tak mengenalnya betul – dan memang tak harus mengenalnya betul.
Baru kemudian saya ketahui aktivis Partai Rakyat Demorasi (PRD) itu bernama lengkap Herman Hendarwan, lahir 29 Mei 1971 di Pangkal Pinang, Bangka. Selebihnya tak banyak lagi informasi. Wilson, aktivis PRD yang juga sejarawan, menulis kenangan tentang kawannya ini dan mengakui: “Menulis… tentang Herman Hendrawan bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali aktivitas politiknya yang dilakukan secara rahasia dan tersembunyi …”
Rahasia dan tersembunyi: saya dan Herman saling bertemu dalam beberapa rapat seperti itu. Itu tahun 1998, di hari-hari ketika tentara Suharto menangkap dan memburu para anggota PRD, setelah rezim itu memenjarakan anggota-anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen), setelah orang-orangnya menduduki dengan kekerasan Kantor PDI-P…. Beberapa orang sudah dilenyapkan. Dan Herman salah satu buron, seperti halnya Andi Arif , Nezar Patria, Bimo Petrus, dan lain-lain…
Dari bangunan di Jalan Utan Kayu 68-H, saya dan teman-teman aktivis lain, tahu kami dimata-matai. Di tempat yang kini dikenal sebagai “Komunitas Utan Kayu”, kami belajar bagaimana mengamankan diri, setelah markas AJI, organissai kami, digrebeg polisi dan tiga anggota ditangkap. Satu tim dari kami -- Irawan Saptono, Ging Ginanjar, Stanley Adi Prasetya, Tedjobayu -- mengatur cara pengamanan itu, yang kadang membingungkan karena tiap kali diubah.
Itu tak bertambah gampang ketika kami harus berhubungan dengan lingkaran yang lebih luas. Tapi waktu itu kalangan pergerakan perlu membentuk jaringan, bahkan front bersama, secara pelan-pelan. Suharto terlampau kuat, dan kami hanya sekelompok aktivis dengan jangkauan terbatas. Di luar pelbagai gerakan pro-demokrasi bergerak, diam-diam atau terbuka, dan kami saling mendukung, tapi tak ada front persatuan untuk perlawanan.
Selebihnya gagu. Suharto berhasil menundukkan Indonesia dengan cara yang efisien: menyebarkan ketakutan. Rezim itu punya modal teror yang amat cukup, setelah di tahun 1965-66 puluhan ribu orang dibunuh, dibui dan dibuang. Dalam keadaan itu, membentuk kerja sama dengan kalangan lain dalam pergerakan pro-demokrasi perlu didahului dengan mematahkan teror itu. Dengan menjajal keberanian..
PRD ada di garis depan keberanian itu. Saya mulai bekerja sama dengan mereka secara lebih dekat sejak saya mengetuai Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) – sebuah langkah ke arah pembentukan front bersama dan sekaligus sebuah siasat untuk mendeligitimasi pemilihan umum Suharto (“kami pura-pura memantau pemilu, karena rezim ini juga pura-pura mengadakan pemilu”). Harus saya katakan sekarang: para anggota PRD – mereka umumnya sadar arti gerakan politik, bersemangat, dan tak gentar -- adalah sayap yang paling saya andalkan dalam KIPP.
Tapi sebelum KIPP bekerja penuh, PRD digrebek. Pimpinan mereka, antara lain Budiman Sudjatmiko, kemudian tertangkap. Kami terpukul, tentu: seluruh daya harus dibagi. Sebagian untuk meningkatkan perlawanan == “la lutta continua!” -- dan sebagian menggagalkan usaha tentara Suharto mematahkan bagian gerakan yang tersisa. Langkah baru harus diatur.
Sejak itu hubungan kami berlangsung makin berahasia, termasuk membangun kontak ke tempat tahanan. Dari Utan Kayu 68-H, operasi seperti ini, termasuk operasi penyebaran informasi dan disinformasi, dikerjakan oleh yang kami sebut “Tim Blok M”. Lewat jaringan yang dibentuk Irawan kami secara periodik bertemu dengan link PRD”: Andi Arif dan Bambang Ekalaya. Kemudian Herman -- meskipun saya tak mengenalnya betul sebagiamana ia tak akan mengenal saya betul. Ada yang harus dijaga, karena bisa saja suatu hari kami tertangkap dan dipaksa buka mulut.
Dan benar: di bulan Maret itu Herman tertangkap. Atau lebih tepat, diculik. Tak hanya dia; Andi Arief, Faisol Reza, Waluyo Jati, Mugianto, Nezar Patria, Aan Rusdianto -- semua aktivis PRD yang diangkut dengan paksa, dalam mobil yang tertutup rapat, dengan mata yang diikat dan kepala yang dislelubungi seibo, dan dimasukkan ke dalam yang oleh Nezar Patria disebut, dalam testimoninya kemudian, sebagai “kuil penyiksaan Orde Baru”.
Sebagian mereka kemudian dilepas. Tapi Herman tidak. Ia hilang. Juga dua nama lain Bimo Petrus dan Suyat . Wiji Thukul, yang untuk beberapa lama berhasil disembunyikan satu tim teman-teman, juga kemudian lenyap.
Tak ada alasan untuk tak menduga mereka dibunuh. Setidaknya mati dalam penyiksaan. Nezar pernah menggambarkan bagaimana tentara Suharto menganiaya mereka: pada satu bagian dari interogasi, kepalanya dijungkirkan. Listrik pun menyengat dari paha sampai dada. “Allahu akbar!”, ia berteriak. Tapi mulutnya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu setruman di dada membuat napasnya putus. Tersengal-sengal.
Saya bayangkan Herman di ruang itu. Mungkin ia lelap selamanya setelah tesengal-sengal. Mungkin ia langsung dibunuh. Yang pasti, ia tak pernah pulang. Para pejuang dalam sajak Hr. Bandaharo berkata “tak berniat pulang, walau mati menanti”. Dan Herman pernah menulis surat ke orang tanya: “Herman sudah memilih untuk hidup di gerakan”, sebab Indonesia, tanahairnya, membutuhkan itu. Tapi haruskah kekejian itu?
Saya memandang potret-potret pemilihan umum itu, ada orang-orang keji yang saya kenal. Tak ada Herman. < Goenawan Mohamad>
No comments:
Post a Comment