*Kolom IBRAHIM ISA
-
Senin, 14 November 2005.
ETNIK-TIONGHOA dalam PEMBANGUNAN NASION
================================================================
*
Beberapa hari belakangan ini bisa dibaca lagi siaran mengenai masalah
etnik-Tionghoa dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Ambillah peristiwa terakhir. Wartawan Kompas, Semarang, hari ini
memberitakan, bahwa: Sejumlah tokoh etnis Tionghoa Jawa Tengah, Jumat
pekan lalu, bertemu dengan para tokoh Nahdlatul Ulama Jateng, guna
mengantisipasi ancaman teror via layanan pesan singkat atau SMS yang
ditujukan kepada warga etnis Tionghoa akhir-akhir ini, yang intinya
mempertentangkan antara etnis Tionghoa dan umat Islam. Teror SMS yang
bernada ancaman kepada warga Tionghoa akhir-akhir tsb, dikatakan mungkin
dilakukan orang-orang yang tak ingin Indonesia bersatu dan tak berharap
adanya kerukunan antarumat beragama
KH Masruri Mughni (NU) mengatakan, kaum Islam harus melindungi warga
Tionghoa dari ancaman apa pun. Sesuai dengan pesan Rasulullah SAW, kaum
minoritas yang terikat perjanjian dengan warga Muslim harus dilindungi.
Saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa itu sudah terikat perjanjian
dengan warga Islam sebagai satu bangsa dan negara. Oleh karena itu,
warga Islam juga wajib melindungi etnis Tionghoa dan agama lain, paparnya.
Pertemuan lintas etnis dan agama itu dilaksanakan di rumah dinas Wakil
Gubernur Jateng Ali Mufiz. *Fikir penulis: Yang paling bertanggungjawab
melindungi warganegaranya, adalah pemerintah, adalah aparat keamanan
negara.*
Selanjutnya silakan ikuti beberapa cuplikan sajak-sajak di bawah ini
(lengkapnya bisa dibaca di media inernet), yang jelas mencerminkan masih
adanya hal-hal yang perlu dijernihkan dan dipecahkan bersama oleh
seluruh masyrakat, khususnya oleh pemerintah. Fajar, micalnya menulis:
/-- kasian makluk yang bernama tionghoa
ingat, ingat hanya di Indonesia/
Sedangkan "Kang Becak" menulis dalam sajaknya a.l.:
--/Selama etnis Tionghoa masih mau diperalat para pejabat,
Maka ia adalah kaum penindas,
Sekaligus kaum tertindas./
/Atau cuplikan sajak "Myt Pr":-- Bertanyalah pada para pedagang,
Mereka akan jawab,
Tionghoa adalah konglomerat, penindas.
-- Tapi,
Bertanyalah pada para konglomerat,
Mereka akan jawab,
Tionghoa adalah sapi perah para pejabat, tertindas.
Selama etnis Tionghoa masih mau diperalat para pejabat,
Maka ia adalah kaum penindas,
Sekaligus kaum tertindas.
/Yang dikutip dari sajak-sajak diatas, kiranya bukan yang tipikal
mencerminkan masih adanya pemikiran dan perasaan, bahkan pengalaman
langsung, bahwa terhadap warganegara Indonesia asal etnik-Tionghoa masih
didiskriminasi.
Sesungguhnya problim yang dihadapi oleh warganegara Indonesia etnik-
Tionghoa, adalah bagian tak terpisahkan dari masalah pembangunan nasion
Indonesia. Historis, sudah menjadi pemikiran kebangsaan, bahwa
warganegara Indonesia asal etnik-Tionghoa, adalah bagian tak terpisahkan
dari nasion Indonesia, bagian dari bangsa Indonesia.
Oleh karena itu dalam mencari jalan keluar dari problim yang dihadapi
oleh w.n Indonesia asal etnik-Tionghoa, seyogianya memandangnya sebagai
problim yang dihadapi oleh seluruh nasion. Kelirulah bila beranggapan
bahwa problim tsb semata-mata problim yang dihadapi oleh w.n. Indonesia
asal etnik-Tionghoa. Oleh karena itu pemecahannya harus dicari dan
ditemukan pada keseluruhan kebijakan dan langkah-langkah kongkrit
(terutama oleh pemerintah) yang harus diambil dalam menangani masalah
pembangunan lebih lanjut dan pengokohan kesatuan dan persatuan nasion
Indonesia.
Sehubungan dengan ini penulis mengajukan sekali lagi pokok-pokok
fikiran dalam bertukar fikiran mengenai masalah tsb. yang pernah
disiarkan lima tahun yang lalu dalam kesempatan TAHUN BARU IMLEK, sbb:
*Kolom IBRAHIM ISA
Selamat Hari Raya IMLEK! <*4 Februari 2000>
. . . . . Bukankah bangsa kita terdiri dari begitu banyak etnik atau
suku-bangsa? Terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan ataupun
keyakinan? Ada yang Islam. Jumlah ummat Islam Indonesia adalah yang
mayoritas mutlak. Syukur Alhamdulillah, yang beragama Islam di
Indonesia bukan penganut Islam "fundamentalis" seperti yang dikenal
dengan nama Thaliban ala Afghanistan. Ummat Islam kita bisa dengan
harmonis hidup berdampingan dengan ummat berbagai agama dan
kepercayaan lainnya. Kalau tokh ada perselisihan yang sampai kepada
pertumpahan darah antara Islam dengan yang lain-lainnya, maka hal
itu terjadi biasanya akibat provokasi fihak-fihak yang ingin menarik
keuntungan dengan cara "menangguk di air keruh". Kemungkinan lainnya
ada fihak-fihak jahat yang ingin mengalihkan sasaran pada dirinya
sendiri, yang disebabkan oleh kejahatan-kejahatannya sendiri, lalu
mencari kambing hitam, dengan cara mencetuskan peristiwa dengan
menggunakan isu sara. Perselisihan atau bentrokan itu juga mungkin
karena salah-faham semata-mata. Bisa juga benar-benar disebabkan
oleh individu yang "keblinger". . . . . . .
Pada bangsa kita semua itu ada. Ada yang Islam, ada yang Kristen,
ada yang Hindu Bali, ada yang Budis, ada yang etnik Tionghoa, yang
menganut Konghucuisme. Maka untuk bisa hidup harmonis dan bersatu
sebagai satu bangsa, para "founding fathers" nasion kita ini
meletakkan dasar dan prinsip yang dipakukan dalam tiga kata
"Bhinneka Tunggal Ika", "Berbeda-beda tapi satu". Harmonis.
Kecuali menjungkir balikkan dan menyalahgunakan prinsip-prinsip
hukum dan keadilan, Orba telah membikin prinsip dan dasar Bhinneka
Tunggal Ika hanyalah tinggal kata-kata belaka yang tertera pada
lambang negara Republik Indonesia, Sang Garuda Pancasila. Di zaman
mantan presiden Suharto, segala yang "berbau" Tionghoa diwas-padai,
diawasi, didiskriminasi dan "digencet". Yang kaya, yang berada,
bahkan yang kekayaannya biasa-biasa saja, diperas, "digorok"..
Diskriminasi yang paling kejam adalah diskriminasi politik dan
diskriminasi kultural. Orang-orang Indonesia yang berasal etnik
Tionghoa praktis direnggutkan dari kepribadian asal usul kulturnya.
Nama Tionghoa diganti dengan nama "Cina". Tujuannya tidak lain untuk
menghina kaum etnik Tionghoa dan menyerang Republik Rakyat Tiongkok.
Sudahlah ngaku saja, jangan cari macam-macam dalih yang tak masuk
akal , untuk memulas politik rasialis dan diskriminasi dari Orba.
Politik rasialis dan diskriminasi Orba itu diberlakukan a.l. dengan
melarang sekolah-sekolah berbahasa Tingohoa, menghapuskan nama-nama
Tionghoa pada toko-toko dsb. Sampai-sampai nama orang etnik Tionghoa
itupun ditekan agar diganti dengan nama yang kedengarannya
"pribumi", dengan dalih demi "asimiliasi". Demi tujuan politik
asimiliasinya, berbahasa Tionghoa tidak boleh. Dan yang paling kejam
dan biadab adalah dipasangnya pagar politik dan administratif untuk
memaksa bangsa Indonesia yang berasal etnik Tionghoa itu, berada
diluar kehidupan ilmu, kebudayaan, pengetahuan, birokrasi serta
keamanan dan pertahanan. Tidak heran, selama rezim Orba, hanyalah
dalam kabinet terakhir Suharto ada menteri yang berasal etnik
Tionghoa. Itupun "tokoh" macam apa pula beliau itu. Dalam angkatan
bersenjata maupun kepolisian saya tidak ingat ada seorang jendral
yang "non-pri".
Syukur Alhamdulillah, pemerintah Gus Dur/Megawati telah secara f o r
m a l menghentikan politik dan praktek diskriminasi rasial
anti-etnik-Tionghoa tsb. Peraturan-peraturan dan instruksi yang
menghalalkan praktek diskriminasi rasial itu telah dicabut. Apakah
masih ada undang-undang, ketetapan, peraturan ataupun instruksi yang
rasialis dan diskriminatif yang dikeluarkan oleh pemerintah Orba,
atau bahkan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya, itu perlu
diteliti dan dipelajari bila kita berniat sungguh-sungguh hendak
mengakhiri politik dan praktek diskriminasi rasial di Indonesia.
Bagaimana kongkritnya dalam praktek keadaan sesudah secara resmi
semua yang diskriminatif dan rasialis itu dihapuskan, hal itu
merupakan suatu proses. Suatu proses perjuangan yang harus dilalui
dengan konsisten. Kita tahu antara teori dengan praktek selalu ada
jarak. Terkadang itu sesuatu yang wajar, tapi pun tidak jarang
terjadi keseretan dalam proses tsb, karena memang ada kekuatan yang
hendak merintangi penghapusan kultur diskriminasi dan rasialisme,
yang motifnya adalah kepentingan golongan atau individu semata..
Ada satu soal besar yang harus ditarik ke depan, dalam rangka kita
dengan kesungguh-sungguhan yang maksimal hendak melanjutkan membina
nasion Indonesia serta memperkokoh dan menguatkan persatuan dan
kesatuan bangsa dan negeri. Disini harus secara jujur dan terbuka
kita buka hati sanubari kita semua, apakah itu suku Aceh, Batak,
Minang, Bengkulu, Melayu, Palembang, Lampung, Sunda, Jawa, Madura,
Bali, Dayak, Kalimantan, Bugis, Menado, Gorontalo, Maluku, Papua,
Timor, Lombok, keturunan etnik Arab, Eropah dan Tionghoa, dan masih
banyak lagi. Apakah kita, dalam praktek kehidupan sehari-hari sudah
benar-benar masing-masing saling memperlakukan suku lainnya atas
dasar prinsip sama derajat, tidak peduli itu suku apa? Kalau belum,
maka soalnya masih tetap besar.
. . . . . .saya ingin mengambil contoh-soal masalah, yaitu sikap
kita, yang asalnya bukan etnik Tionghoa, sikap pemerintah Indonesia
secara umum, terhadap peranan etnik Tionghoa dalam perjuangan
pembinaan nasion Indonesia, dalam perjuangan untuk kemerdekaan
nasional dan dalam perjuangan untuk menegakkan demokrasi dan negara
hukum? Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa dari kalangan etnik
Tionghoa, juga terdapat pejuang-pejuang yang tangguh, seperti
mendiang Siauw Giok Tjhan yang sejak mudanya telah memberikan
segala-galanya demi kemerdekaan dan keadilan sosial di Indonesia.
Beliau adalah tokoh patriotik yang sampai akhir hidupnya berjuang
untuk Indonesia, bangsa dan negerinya. Dengan sepenuh jiwa raganya
Siauw berjuang untuk membina bangsa kita, sebagai suatu nasion,
membangun suatu kesatuan Indonesia yang non-rasialis dan demokratis,
antara lain dalam kegiatannya sebagai pemimpin Baperki. Beliau
pernah menjabat menteri negara dalam kabinet Indonesia zaman
Republik Indonesia masih terlibat dalam perjuangan politik dan fisik
melawan Belanda. Pernah menjadi anggota DPR, dan sering masuk keluar
penjara karena kegiatan politiknya membela yang benar. Terakhir
dipenjarakan oleh Orba tanpa proses pengadilan apapun. Akhirnya
terpaksa hidjrah ke Eropah dan meninggal di Belanda.
Seyogianya bangsa dan negara kita dalam era reformasi dan demokrasi
dewasa ini, sudah siap dan mampu memberikan tempat yang sewajarnya
kepada salah seorang pejuangnya yang terkemuka, seperti Siauw Giok
Tjhan. Siauw Giok Tjhan, pejuang sejati yang tanpa pamrih apapun
tidak pernah absen dalam perjuangan. Kita seharusnya sudah dewasa
untuk bisa memberikan tempat yang terhormat kepada seorang pejuang
seperti Siauw Giok Tjhan, sebagai salah seorang pahlawan bangsa
kita. Jenazah ataupun abu beliau patut ditempatkan di Taman Pahlawan
nasional di Kalibata. Bisakah bangsa dan negeri ini memberikan
perlakuan yang wajar demikian itu kepada almarhum Siauw Giok Tjhan?
Sudah tiba masanya untuk menyelami hati nurani kita, dan mengambil
sikap yang adil dan luhur mengenai masalah tsb. Hanyalah nasion yang
berjiwa besar yang bisa menghargai pahlawan-pahlawan nasionalnya
sendiri.
Tidak hanya mendiang Siauw Giok Tjhan. Kita masih ingat Mr. Yap
Thiam Hien,advokat terkenal, patriot, pejuang dan penegak hukum yang
tanpa pamrih, berani dan ulet. Juga beliau adalah salah seorang
pahlawan nasional kita. Kita masih ingat nama-nama pejuang nasional
lainnya yang sudah tiada, seperti Lim Koen Hian "pendiri Partai
Tionghoa Indonesia, PTI, 1932" Tan Po Goan "mantan Menteri RI"; Tan
Ling Djie, mantan anggota DPR; Tjoa Sek In "mantan wakil Indonesia
di PB", Ong Eng Die "mantan Menteri Keuangan RI", Oei Tjoe Tat
mantan Menteri Negara. Kita juga masih mengingat usaha nasional di
bidang penerbitan yang dilakukan oleh Mas Agung. Pasti masih ada
yang belum disebut di sini tokoh-tokoh pejuang nasional kita yang
berasal etnik Tionghoa. Diantara pejuang-pejuang Republik Indonesia
dan yang ambil bagian aktif dalam pembinaan nasion dan negara RI,
yang masih ada diantara kita misalnya, Go Gien Tjwan, mantan
Direktur Kantor Berita Nasional ANTARA, anggota Pengurus Baperki dan
mantan anggota Konstituante RI. Kesemuanya mereka-mereka telah
memberikan sumbangan penting dalam perjuangan kita untuk membina
nasion Indonesia dan membela kemerdekaan RI.
Hanyalah dengan secara tepat memperlakukan pejuang-pejuang Indonesia
yang berasal etnik Tionghoa, barulah kita bisa mengatakan bahwa kita
adalah suatu nasion yang mendewasa, yang dengan konsisten bertindak
sesuai dengan prinsip "Bhineka Tunggal Ika". * * *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment