Kolom IBRAHIM ISA
Rabu, 26 September 2007
--------------------------------
SUDAH WAKTUNYA AMNESTY INTERNATIONAL, Komisi HAM PBB dan Lembaga HAM lainnya , Tangani Sampai Tuntas Kasus 'KORBAN PERISTIWA 1965'
Sudah Empatpuluh dua tahun berlalu sejak terjadinya peristiwa berdarah, pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah kehidupan Republik Indonesia, ---- bahkan dalam s e l u r u h sejarah nasion Indonesia, --- ketika aparat kekuasaan negara RI di bawah Jendral Suharto melakukan suatu kampanye pembunuhan massal, penangkapan besar-besaran, pemenjaraan dan penindasan terhadap kurang lebih tiga juta rakyat Indonesia yang tak bersalah.
Sudah lebih dari empatpuluh tahun pula, -- lebih dari duapuluh juta keluarga korban KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN rezim Orba, sampai detik ini, masih menderita secara mental, politik dan sosial. Karena terhadap mereka-mereka itu, --- aparat kekuasaan dan birokrasi negara, didukung oleh ketetapan , peraturan dan ketentuan, serta kebijaksanaan pemerintah warisan rezim Orba, masih meberlakukan diskriminasi, stigmatisasi dan pengucilan.
Sudah hampir sepuluh tahun rezim Orba yang dikepalai oleh Presiden Suharto formal 'lengser'. Namun, -- birokrasi dan aparatur kekuasaan negara pasca Suharto , termasuk lembaga-lembaga legeslatif dan judisial masih terus melakukan politik dan kebijakan rezim Orba terhadap para korban Peristiwa Pelanggaran HAM 1965.
Hak-hak politik dan kewarganegaraan korban Peristiwa 1965, masih saja belum direhabilitasi. Nama baik mereka yang telah dirusak dan dihitamkan oleh rezim Orba masih belum dipulihkan.
* * *
Pelanggaran HAM besar-besaran yang menjadi tanggungjawab rezim Orba, tak terbatas hanya pada orang-orang PKI, yang dianggap simpatisan dan pendukung PKI, orang-orang Partindo, PNI, Baperki, pelbagai ormas, serta orang-orang non-partai yang dianggap Kiri dan simpatisan serta pendukung Presiden Sukarno. Dimulai dari situ berlangsung serentetan Pelanggaran HAM besar-besaran, yaitu ketika militer Indonesia melakukan invasi serta pendudukan, 'anchlus' dan 'referendum' di Timor-Timur, --- dalam Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Mei 1998, ---- yang menyangkut sejumlah kasus 'orang hilang' , antara lain 'hilangnya' penyair muda dan aktivis demokrasi dan HAM Widji Thukul, kemudian kasus-kasus konflik kekerasan di Aceh, Papua, Maluku dan tempat-tempat lainnya.
Terakchir bangsa kita menyaksikan pembunuhan keji terhadap pejuang demokrasi dan aktivis HAM Munir, dimana terdapat indikasi kuat terlibatnya aparatur intelijen kekuasaan.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa di Indonesia dewasa ini 'ketiadaan hukum' masih berlangsung terus. Di Indonesia masih belum ada perubahan mendasar terhadap situasi 'impunity'. Hal itu terjadi meskipun sudah hampir sepuluh tahun Reformasi dan Demokratisasi diproklamasikan dan didengung-dengungkan . Walaupun --- negara Republik Indonesia yang diasumsikan sebagai suatu negara hukum karena sejak berdirinya didasarkan pada suatu UUD. Meskipun negara ini berfalsah PANCASILA yang berperikemanusiaan . Meskipun sejak Reformasi dan Demokratisasi telah ditambahkan pula fasal-fasal HAM yang universil ke dalam UUD-RI. Nyatanya, pelanggaran-pelanggaran HAM masih tetap tidak ditangani sebagaimana mestinya. Baik oleh pemerintahan Presiden Habibie yang lahir dari pilihan dan restu Presiden Suharto yang lengser, maupun oleh pemerintahan pasca Reformasi, di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang digulinggkan semasa masih dalam jabatan, demikian pula oleh pemerintahan Presiden Megawati dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerima jabatannya langsung dari para pemilih.
* * *
Betapapun, Gerakan dan Kegiatan demi HAM dan perjuangan untuk Demokrasi dan Keadilan dalam masyrakat Indonesia tak pernah berhenti. Ia berlangsung terus. Terkadang vokal dan bergelora, terkadang tak terasa dan seperti hilang tenggelam di bawah pemberitaan-pemberitaan lainnya. Di lain fihak, tanggapan dan reaksi dari jurusan yang berwewenang, sama saja. Mereka tetap membisu dan membuta terhadap pelanggran-pelanggaran HAM di masa 'lampau''. Sikap yang berwewenang dan kaum polistisi yang berucap membela HAM, tetapi bertindak lain, adalah seperti orang yang terjangkit penyakit 'hilang ingatan', layaknya
Terlebih-lebih lagi terhadap kasus pelanggaran HAM terbesar, kasus Kejahatan terhadap Kemanusiaan, dalam Peristiwa Pembunuhan Masal 1965.
Kepada pelbagai lembaga HAM mancanegara telah berkali-kali diajukan seruan, petisi, imbauan, bahkan tuntutan agar organisasi-organisasi HAM internasional seperti AMNESTY INERNATIONAL. dan Komisi HAM PBB, agar memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap situasi HAM di Indonesia.
Untuk keperluan itu, beberapa tahun yang lalu, suatu delegasi korban Peristiwa 1965, dipimpin oleh Dr Ciptaning dan Ir Stiadai dari Pakorba, khusus berkunjung ke Jenewa menghadiri Sidang Komisi HAM PBB, dengan tujuan minta perhatian mancanegara dan PBB, atas situasi pelanggaran HAM di Indonesia. Selanjutnya, sepucuk Surat Terbuka dikirimkan kepada Sekjen PBB Koffi Anan, juga dengan maksud minta perhatian badan dunia tsb atas situasi HAM di Indonesia. Namun seruan-seruan dan imbauan tsb sampai sekarang masih belum mendapat tanggapan yang diharapkan.
Amnesty Inernational sebagai suatu badan HAM non-pemerintah terbesar di dunia dewasa ini, pernah melakukan aksi-aksi tertentu minta perhatian dunia serta pemerintah Indonesia dan dunia terhadap pelanggaran HAM terbesar 1965. Baru-baru ini ( di Utrecht, 13 Sept 2007) Amnesty Internatioanl (Belanda) bersama Universitas Utrecht, SIM dan ICCO dalam kesempatan diselenggarakannya 'Munir Memorial Lecture', minta perhatian dunia khusus terhadap kasus pemubunuhan keji terhadap MUNIR , aktivis dan pejuang demokrasi dan HAM Indonesia. Menuntut keadilan untuk Munir. Juga Keadilan untuk semua.
Kegiatan tsb merupakan dukungan atas usaha dan kegiatan aktivis HAM diIndonesia, yang perlu disambut. Agar dimasa mendatang Amnesty International dengan lebih teratur serta berrencana melakukan kampanye mancanegara untuk mendesak pemerintah Indonesia dan PBB secara nyata menanganai kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Sehubungan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM tsb, bagaimana sikap dan konsistensi Komnasham Indonesia dalam menangani kasus Munir dan kasus Peristiwa 1965 masih harus dilihat lebih lanjut.
* * *
Apakah organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga HAM internasional khususnya Amnesty Interntional dan Komisi HAM PBB serta organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga internasional lainnya sudah cukup memberikan perhatiannya terhadap pelanggaran HAM terbesar di Indonesia, khususnya perhatian terhadap para korban Peristiwa 1965 yang sampai dewasa ini hak-hak kemanusiaan dan hak-hak politiknya masih belum direhabilitasi oleh yang bertanggung jawab dan berwewenang di Indonesia?
Kiranya masih belum cukup.
Tidak seharusnya organisasi dan lembaga-lembaga HAM internasional maupun nasional, baru mulai bergerak dan bertindak serta melakukan aksi-aksi, h a n y a , apabila ada seruan, imbauan dan desakan masyarakat dan para korban serta keluarganya.
Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi naional dan internasional peduli HAM di manapun di dunia ini, diharapkan, bahkan perlu ditandaskan bahwa adalah tugas mereka, sejak semula memegang inisatif di tangannya sendiri, lebih tanggap lagi terhadap setiap pelanggaran HAM. Bertindak dan melancarkan aksi-aksi, tanpa membeda-bedakan di negeri mana pelanggaran HAM itu terjadi, dan siapapun yang menjadi korban akibat pelanggaran HAM tsb., apapun keyakinan dan aliran kepercyaan serta pandangan politik para korban tsb.
Sudah tiba waktunya organisasi-organsasi ornop dan LSM-LSM di seluruh dunia, khususnya organisasi HAM seperti Amnesty International dan organisasi dunia yang beranggotakan mayoritas negeri di dunia ini, seperti Komisi HAM PBB, menyadari kewajibannya, serta mengkhahayati misinya, ----
Tampil kemuka, membela para korban pelanggaran HAM di Indonesia, mengambil inisiatif di tangannya sendiri dalam pengurusan pelanggaran HAM dan menanganinya sampai tuntas.
* * *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment