IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA
Sabtu, 05 Januari 2008
---------------------------------------
INTERMEZ0 (3)
Hari ini aku menerima e-mail panjang dari T R I R A M I D J O ---- . Itu nama sahabat- kentalku di Jakarta.
Ketika aku berkunjung ke Jakarta beberapa tahun yang lalu, kami berjumpa lagi, setelah puluhan tahun pisah. Aku mengenal Tri Ramidjo sejak tahun 50-an abad lalu. Ia pernah studi di sebuah Universitas di Tokyo.
Tamat, ia pulang ke Indonesia untuk mengabdikan pengetahuan yang diperolehnya di perguruan tinggi Jepang, demi kemajuan dan kebesaran bangsa dan tanah air Indonesia. Namun, oleh rezim Jendral Suharto Tri Ramidjo dijebloskan di penjara. Disiksa sampai babak-belur. Kemudian dibuang ke P. Buru. Kesalahannya? Dosanya? Wallahualam bissawaab! Semata-mata karena fitnah dan tuduhan tanpa bukti dan alasan, rezim Orba itulah Tri Ramidjo menderita begitu lama, sebagaimana jutaan rakyat kita (para eks tapol dan keluarganya), didiskriminasi, difitnah, dimarginalkan, dicap sebagai ORANG BERMASALAH.
Padahal orang BERMASALAH PALING TOP di Indonesia, adalah mantan Presiden Suharto sendiri.
Umur Tri Ramidjo sudah mencapai (kalau tak salah) --- 82th. Ia ANAK DIGUL. 'Digulis', kata orang dulu. Bapaknya Ramidjo, panggilan akrabnya Mbah Ramidjo, juga kukenal baik. Sudah meninggal dunia.
Bapak dan putranya itu dua-duanya pejuang. Pejuang kemerdekaan dan juga pejuang untuk kebenaran dan keadilan, kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyat Indonesia. Dua-duanya anggota PKI (Perintis Kemerdekaan Indonesia).
Meskipun umurnya sudah lanjut dan kesehatan kurang baik - pernah diserang stroke -- tetapi semangatnya ----- bukan main! Patut diteladani kita semua, dan oleh kaum muda. Baca saja CERKAT-nya di bawah ini berjudul TRAUMA.
Tri Ramidjo sudah berkali-kali menulis dan menyiarkan cerpen atau cerkatnya. Tajam, lugu dan menyegarkan semangat!. Silakan baca sendiri.
* * *
Tri Ramidjo
--------------
T R A U M A
CERKAT (cerita singkat) 010408
Hari Senin 1 Oktober 2007. Anakku pulang dari kantor membawa majalah TEMPO. Jarang dia membeli majalah itu sebab harganya cukup mahal. Harga sejilid majalah TEMPO bisa untuk membeli dua kilogram telur ayam negeri dan cukup untuk lauk makan beberapa hari. Harga Koran dan majalah memang tidak terjangkau untuk rumah tangga kami yang hidupnya pas-pasan.
Mengapa hari itu anakku membeli majalah TEMPO yang harganya duapuluh-dua-ribu-lima-ratus rupiah lebih? Mengapa uang sebanyak itu diboroskan untuk beli majalah? Biar bapak baca, katanya. Biar tahu apa peranan Aidit orang nomor satu PKI itu yang mengakibatkan bapak masuk penjara puluhan tahun, katanya.
Mulailah hari itu aku membaca majalah TEMPO, halaman demi halaman. Di halaman 50 tertera potret Aidit sedang menginspeksi pasukan wanita saat HUT PKI ke 45. Di sebelah kanan bawah halaman 51 ada tulisan putih dan kuning dengan huruf yang cukup besar berbunyi DUA WAJAH DIPA NUSANTARA. Aku tidak mengerti apa yang dimaksud “dua wajah” dan “Dipa Nusantara” adalah nama Aidit yang singkatannya DN.
Di halaman 52 dan 53 yang terdiri kurang lebih 26 alenia mengisahkan peran Aidit yang memimpin partai pada usia 31 tahun dan dalam waktu setahun melambungkan partai PKI ke dalam karegori empat besar di Indonesia dan mengklaim memiliki 3.5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok. Aidit memimipikan masyarakat Indonesia yang tanpa klas tetapi akhirnya terhemas dalam prahara 1965. “Seperti juga peristiwa G.30-S, kisah tentangnya dipenuhi mitos dan pelbagai takhyul.” Di enam baris alenia terakhir tulisan itu berbunyi “Apa yang disajikan dalam Liputan Khusus TEMPO kali ini adalah upaya mengetengahkan versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos D.N.Aidit. Bahwa ia bukan sepenuhnya “si brengsek” , sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan”, demikian Tempo.
Di halaman 54 dan 55 berjudul Anak Belantu Jadi Kumunis. Kemudian di bawahnya di atas strep kuning dengan tulisan hitam berbunyi : “Datang dari keluarga terhormat, bibit komunisme tumbuh dalam diri Aidit ketika menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah di Belitung”. Potret Aidit setengah badan dan potret keluarga besar Aidit.
Ketika aku sedang asyik membalik-balik halaman majalah Tempo itu, isteriku datang mendekati. Ya, aku membaca majalah itu di kamarku.
Isteriku tanya itu gambar bintang film mana? Biasanya kan gambar wanita yang dipajang di halaman depan majalah. Tapi itu kok itu potret pria. Warnanya merah menantang lagi. Bintang film India, ya.
“Aidit? Aidit kan pemberontak komunis itu tokh. Yang bikin bapak ditahan puluhan tahun dan keluarga kita jadi berantakan? Udah, bakar aja majalah itu. Buat apa baca-baca majalah gituan, Aku gak mau menderita lagi. Fitnah-fitnah dilemparkan paman sendiri, gara-gara komunis. Apa sih enaknya komuis itu? Digul, Madiun, G30S semuanya gara-gara komunis. E, paman bapak itu lho kok ya tega-teganya keponakan sendiri difitnah anak Digul dan akibatnya puluhaan tahun dibuang di Buru. Waktu kecil masih bayi ikut dibuang ke Digul, sudah tua masih dibuag lagi ke Pulau Buru. Sudah pak, sini majalahnya, akan kubakar.” Kata isteriku sewot.
“Gak usah traumalah. Itu semua kan sudah masa lalu, buat apa dikenang lagi. Coba, kalau gak ada pejuang-pejuang Perintis Kemerdekaan Indonesia (PKI) yang berani berkorban sampai dibuang ke Digul, Manokwari, Bengkulu, Endeh dll. Apa Indonesia bisa merdeka seperti sekarang ini. Apa ada orang-orang Indonesia yang jadi Jendral pimpinan TNI. Apa ada tentara nasionsl Indonesia? Apa ada the smiling general? Semua itu kan hasil dari revolusi Agustus ’45. Dan semuanya itu didahului perjuangan perintis-perintis kemededekaan Indonesia. Jelas belum. PKI adalah singkatan dari Perintis Kemerdekaan Indonesia. Tanpa PKI tidak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang sayangnya negeri kita sekarang ini dikuasai oleh maling-maling dan para koruptor. Semoga saja bapak kita Presiden SBY yang sekaran ini bisa membasmi kotuptor-koruptor yang merugikan Negara dan rakyat. Sini majalahnya, aku belum selesai membacanya. ” Kataku menimpali ocehan isteriku.
Isteriku meninggalkanku dan langsung ke dapur. Dan aku meneruskan membaca majalah Tempo. Aku merasa sangat sedih, begitu besarnya akibat trauma yang diderita isteriku dan mungkin juga keluarga lainnya. Benar-benar hebat propaganda orde baru Suharto selama puluhan tahun. Rakyat menjadi semakin AHO (goblok – bahasa Jepang) dan cara berfikirnya mundur puluhan tahun.
Indonesia akan bisa maju lagi kalau penerangan dan agitasi politik lebih gencar sampai ke desa-desa. Koran, perlu Koran masuk desa. Musik ngak-ngik-ngok dan pameran dada telanjang mememenuhi tayangan TV selama 24 jam. Bagaimana budaya rakyat desa gak makin amblek. Apa gak prihatin? Jangan harap menteri PDK kita akan turun tangan, mungkin malahan angkat tangan dan tepuk tangan kegirangan. * * *
Tangerang, Jum’at Legi 04 Januari 2008.-
--------------------------------------------------
Tuesday, January 8, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment