-------------------------------------
Minggu, 13 Januari 2008
INTERMEZO (6)
Kemarin, Sabtu, 12 Januari 2008, Radio Nederland Wereldomroep (RNW), yang dikenal dan disebut orang 'Radio Hilversum', Seksi Indonesia-nya (RANESI), menyelenggarakan semacam 'talkshow' atau 'cakap-cakap' bebas sekitar keadaan kesehatan mantan Presiden Suharto yang sedang dalam keadaan KRISIS. Diasumsikan umurnya sudah tak lama lagi.
Jum'at sore , aku ditilpun sahabatku Bari Muchtar, jurnalis RNW.
Pak Isa, katanya, bagaimana kalau kita cakap-cakap di studio Ranesi, Hilversum. Topiknya sekitar keadaan mantan Presiden Suharto. Sewaktu-waktu, katanya, bisa saja muncul 'breaking news' yang memberitakan mantan Presiden yang sedang krisis itu, sudah meninggal dunia. Ya, kataku, itu suatu kemungkinan besar, mengingat situasinya sudah gawat begitu. Kalau demikian, kapan aku ke Hilversum, tanyaku lagi. Ya, sewaktu-waktu, katanya. Yah, kita tak tahu juga kapan, itu bisa terjadi dalam wakatu dekat ini.
Jum'at malam itu juga, Bari menilpun lagi: Beginilah, katanya, kita jadikan saja 'cakap-cakap' itu, besok hari Sabtu. Tetapi, kataku, Suharto 'kan masih belum meninggal. Ya, ndak apalah, kita adakan besok Sabtu pagi saja, tegas Bari. Sekitar jam 12.00 siang. Habis, bagaimana lagi, kita 'kan sulit untuk mengetahui kapan Suharto meninggal!
Demikianlah jadinya, Sabtu pagi itu, sekitar jam 11.30 pagi aku dijemput Bari Muchtar di stasiun Bussum Zuid. Kami langsung ke studio Radio Hilversum. Disitu aku diperkenalkan dengan kepala RANESI yang baru, Sirtjo Koolhof. Istimewanya, sebelum acara dimulai kami makan siang dulu. Makan masakan Indonesia pesanan dari sebuah afhaalcentrum di Amersfoort. Sedapnya, mak! Terutama gado-gadonya itu lho.
JACOB SAHETAPY
Cakap-cakap yang kami adakan itu adalah antara empat orang. Dua jurnaslis dari Radio Hilversum dan Yanti Mualim, yang bertindak sebagai moderator, kemudian kami dua orang undangan, yaitu Jacob Sahetapy dan aku. Bagi pendengar Radio Hilversum, agaknya menarik untuk mengetahui bagaimana pendapat Jacob Sahetapy dari St Timor Lorosa'e Solidarity.
Siapa Sahetapy? Aku juga baru kenal Sahetapy hari itu. Bari Muchtar memperkenalkan siapa Jacob Sahetapy.
Putra Ambon ini adalah salah seorang tokoh yang terlibat dalam aksi-protes keras sekitar kunjungan Suharto ke Belanda ketika itu (September 1970). Aksi ana-anak muda Ambon tsb dimaksudkan untuk memprotes kekerasan dan penindasan yang dilakukan oleh rezim Orba terhadap rakyat Maluku. Pada saat itu (31 Agustus 1970) sejumlah 33 pemuda Ambon menduduki Wisma Duta (KBRI) di Wassenaar. Sahetapy menjelaskan dalam 'cakap-cakap' kami Sabtu itu, bahwa mereka (anak-anak muda Maluku) menganggap aksi-aksi yang biasa-biasa, sudah tak mempan lagi, maka mereka mengambil kesimpulan untuk mengadakan 'aksi-keras' dengan jalan menduduki Wisma Duta KBRI di Wassenaar.
Ya, ketika itu kami kan masih muda-muda, --- maklum lah! Dewasa ini Sahetapy yang berusia kira-kira 57th , sudah berkali-kali berkunjung ke Maluku. Namun kini lebih banyak terlibat dengan aksi membantu kesulitan rakyat Timor Leste yang sedang dalam periode pasca referendum yang telah mengantar rakyat Timor Leste ke kemerdekaan nasionalnya.
Biarpun Suharto sudah mundur dan kini ia dalam keadaan sakit keras, namun proses keadilan hukum harus dilaksanakan terhadap mantan presiden Suharto, kata Sahetapy. Suharto telah begitu banyak menggunakan kekerasan yang mengakibatkan korban amat besar di kalangan rakyat yang tak bersalah, tambah Sahetapy.
SUHARTO BERJASA . . . . . . . . . . ?
Maka MAAFKAN sajalah . . . . . . . ?
Diskusi interaktif kami jadinya berlima. Satu dari Aceh dan empat di Studio Ranesi Hilversum. Itu dipancarkan langsung ke Indonesia. Yang di Aceh itu adalah mantan wartawan RANESI yang kini sudah pensiun, Aboepriyadi Santoso (Tossi).
Titik berat diskusi kami, ialah : Apakah Suharto tak ada jasanya samasekali.
Maka, apa sebaiknya Suharto dimaafkan saja?
Sebelumnya perlu disampaikan di sini hal yang menarik dari laporan Tossi langsung dari Aceh. Tossi menyatakan bahwa di kalangan rakyat biasa di Aceh, masalah krisisnya Suharto tak begitu banyak dibicarakan. Cerita ini sama seperti yang disampaikan Yanti Mirdayanti dari Jakarta kepadaku. Rakyat kecil pada pokoknya disibukkan dengan kegiatan ponting-panting untuk menyambung hidupnya yang amat sulit dan miskin, dari hari ini ke hari berikutnya.
Satu hal yang cukup menjadi perhatianku dari laporan Tossi itu, ialah mengenai sikap mantan Ketua MPR, dan pimpinan dari PAN. Ketika ramai-ramai ada tuntutan untuk memberi ampun kepada Suharto, suara Amin Rais jelas. Proses hukum terhadap mantan Presiden harus tetap dilakukan, kata Amin Rais.
Pada saat ramai lagi pers membritakan bahwa untuk Suharto akan diatur upacara pemakaman kenegaraan besar-besaran, bahkan yang akan melebihi pemakaman Presiden Sukarno, antara lain, bahwa di lapangan terbang di Jakarta jenazah Suharto akan dilepas oleh Wapres J. Kalla, dan di makam keluarga Suharto di Magadeg nanti, SBY sendiri yang akan bertindak sebagai inspektur upacara, --- maka terdengar reaksi keras Amin Rais. Apa seseorang, yang sedang ada perkara (perdata) di pengadilan, bisa diberikan perlakuan upacara pemakaman kenegaraan besar-besaran seperti itu? Jelas 'kan sikap Amin Rais? Demikian cerita Tossi dari Aceh.
* * *
Moderator dari Radio Hilversum dalam 'talkshow' kami Sabtu itu, R. Yanti Mualim dan Bari Muchtar, minta pendapat dan tanggapanku mengenai fikiran untuk memberi ampun atau maaf kepada mantan Presiden Suharto, karena beliau 'banyak jasanya' selama memimpin Orba.
Tanggapanku adalah demikian:
Aku serahkan saja masalah mengangkat Suharto sebagai pemimpin negara yang telah berjasa kepada Indonesia, kepada mereka yang selama ini, telah diuntungkan, maka menyanjung dan melimpahkan pujian kepada Suharto.
Bagiku, Suharto adalah mantan Presiden yang telah mengakibatkan kerusakan dan kerugian terbesar pada bangsa dan negara. Di satu fihak bangsa ini mengalami pelanggaran HAM terbesar dalam peristiwa pembantaian masal 1965, di bawah Suharto. Di lain fihak, nasion ini telah menjadi bangsa, termasuk kaum cendekiawannya, yang tidak lagi punya keberanian dan kemampuan untuk berfikir sendiri dengan bebas. Menjadi manusia yang takut dan manut saja pada atasan. Segala sesuatu tergantung pada atasan, pada yang memegang kekuasaan. Semangat dan fikiran kritis telah dibelenggu samasekali.
Terdapatlah situasi gawat, yang tak mudah diubah dan diperbaiki. Suatu keadaan bahwa bangsa ini tidak berani lagi dan tidak bisa berfikir sendiri dengan bebas. Secara mental dan moral ini adalah kerusakan terbesar yang diderita bangsa kita akibat kekuasaan Orba yang otoriter dan menginjak-injak hak-hak demokrasi. Segala kebijakan dan 'pengarahan' dari atasan itulah yang dianggap kebenaran.
Kesalahan lainnya yang tidak kurang besar skala dan artinya, ialah pembangkangan yang dilakukan oleh Jendral Suharto sebagai bawahan, terhadap Sukarno sebagai atasannya, Presiden dan Pangti ABRI ketika itu (1965). Setelah terjadinya pembunuhan terhadap enam jendral AD oleh G30S, Presiden Sukarno menetapkan Jendral Pranoto Reksosamudro untuk menjabat caretaker pimpinan AD. Pada saat Jendral Pranoto hendak menghadap Presiden Sukarno, hal itu DILARANG oleh Jendral Suharto yang ketika itu menjabat Panglima Kostrad. Suharto lalu menunjuk dirinya sendiri menjadi panglima TNI-AD. Ini adalah tindakan Suharto pertama membangkang terhadap Presiden dan mengoper pimpinan AD ke tangannya sendiri. Ini adalah suatu langkah perebutan kekuasaasn.
Apakah Pak Isa berpendapat tindakan ini suatu kudeta oleh Jendral Suharto?, tanya Bari Muchtar. Aku jawab tegas: YA
Langkah dan tindak perebutan kekuasaan berikutnya yang dilakukan oleh Jendral Suharto adalah penyalahgunaan Surat Perintah Sebelas Maret ( SUPERSEMAR). Sebuah surat perintah dari Presiden Pangti ABRI terhadap Jendral Suharto untuk menangani msalah keamanan dan menjaga wibawa dan ajaran Presiden Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi, dan selalu melapor kepada Presiden, telah disalahgunakan oleh Jendral Suharto untuk merebut kekuasaan atas pemerintahan dan negara. Sampai sekarangpun Suharto tidak pernah ngomong dimana disimpan SUPERSEMAR tsb. Dimana SUPERSEMAR sekarang menjadilah suatu kasus MISTERIUS.
Ini adalah tindakan pengkhiantan oleh Jendral Suhaeto terhdap Negara dan Presiden Sukarno.
Bagaimana pendapat Anda terhadap rencana pemakaman kenegaraan secara besar-besaran terhadap mantan Presiden Suharto, tanya moderator. Jawabku: Negara Republik Indonesia memiliki sejumlah undang-undang dan ketetapan yang mengatur peri kehidupan seorang mantan Presiden dan mengadakan upcara pemakaman bila yang besangkutan meninggal dunia. Bila Suharto meninggal dunia, perlakukanlah sesuai undang-undang dan peraturan yang ada. Segala sesuatu harus berlaku sesuai undang-undang dan ketentuan negara. Harus demikian adanya, bila kita benar-benar hendak menegakkan Negara Republik Indonesia sebagai NEGARA HUKUM. Berarti termasuk memberlakukan proses pengadilan terhadap mantan Presiden Suharto sampai tuntas.
* * *
Cakap-cakap kami pada diskusi Sabtu pagi di Studio Ranesi, yang makan waktu kurang lebih sejam, tidak semua kutulis disini. Hal-hal yang kusoroti adalah yang kuanggap penting dan menarik bagi pembaca. Moderator Bari Muchtar memberikan kesempatan kepada pendengar untuk ambil bagian dalam diskusi, dengan cara mengirimkan SMS ke alamat Ranesi. Sayang, karena tidak cukup waktu, tidak sempat dibacakan reaksi sementara pendengar yang telah mengirimkan pendapat mereka melalui SMS.
* * *
No comments:
Post a Comment