Minggu, 16 November 2008
----------------------------
MAX LANE Tentang BUNG KARNO Di
Indonesia 'OPEN HOUSE'- nya Pak MIN
Kalau bukan karena undangan yang disampaikan kepadaku oleh Gogol (Amsterdam) dan Mintardjo (Oestgeest) mengenai rencana pertemuan di Indonesia 'Open House'-nya Mintardjo, sungguh Rabu malam yang lalu, aku tak akan keluar rumah. Soalnya, . . . angin dingin terus saja bertiup keras menyasar pepohonan, yang dedaunannya sudah banyak rontok. Sebagian lagi menguning kemerah-merahan. Belum lagi hujan rintik-rintik tak henti-hentinya. Tapi, mau bilang apa. Begitulah cuaca dan suasana musim gugur di Belanda. Bisa diperkirakan bila aku memenuhi undangan itu, pulangnya pasti hari sudah malam dan mungkin akan turun hujan lebih deras lagi.
.
Namun, biasanya, jika ada 'kumpul-kumpul' di rumah 'Pak Min' (sapaan akrab para mahasiswa Indonesia yang kenal Mintardjo) dengan yang datang dari Indonesia dan kawan-kawan PPI, jarang undangan itu kutolak. Rumah Mintardjo di Korenbloemlaan 59, Oestgeest – Leiden, sudah lama menjadi 'INDONESIA OPEN HOUSE'. Mohon jangan salah tafsir. Nama 'Indonesia Open House'-nya Pak Min, itu aku sendiri yang memberikan. Sebelumnya, tak ada orang lain yang menyebutnya begitu. Bukan apa-apa! Tapi, ini penting dijelaskan. Jangan sampai fihak KBRI Den Haag menjadi salah faham. Bukankah bagi setiap orang Indonesia, KBRI-ah yang merupakan 'Indonesia House', yang selalu 'open'?
Namun, kenyataanya rumah Mintardjo itu sudah bertahun-tahun lamanya praktis adalah 'INDONESIA OPEN HOUSE'. Dalam arti dan makna yang sesungguhnya. Dari rumah Mintardjo itu berhembus angin dan semangat segar patriotisme, motivasi dan jiwa serta rasa kepedulian terhadap nasib bangsa Indonesia dan haridepannya.
Lebih-lebih lagi kali ini, undangan Mintardjo
* * *
Begitulah jadinya! Rabu malam tanggal 12 November itu, sekitar tujuhpuluhan mahasiswa (S-1 dan S-2 -- banyak diantaranya sibuk dengan program kandidat PhD, -- bersama teman-teman Indonesia lainnya dari Eindhoven, Woerden, Zeist, Amsterdam dan lain-lain tempat berkumpul di rumah Mintardjo. Mereka berkumpul di situ untuk mendengarkan uraian Max Lane, penulis buku barunya 'Unfinished Nation: Indonesia Before adn After Suharto'.
Max Lane adalah seorang sarjana Australia , aktivis 'prodem' dan budayawan. Ketika Indonesia masih di bawah Orba, Max Lane yang ketika itu adalah seorang diplomat di Kedutaan Besar Australia di Indonesia, membikin 'kejutan diplomatik'. Didorong oleh kepeduliannya terhadap Indonesia, dan keinginan memperkenalkan sastra modern Indonesia yang maju kepada publik mancanegara, Max Lane telah menterjemahkan novel 'Bumi Manusia' kedalam bahasa Inggris. 'Bumi Manusia' adalah jilid satu dari tetralogi terkenal Pramudya Ananta Tur (terkenal dengan nama roman pulau Buru). Bayangkan betapa marahnya Orba. Bukankah 'Bumi Manusia' ketika itu dilarang Orba beredar di Indonesia. Tak lama kemudian Max Lane digeser dari Kedutaan Australia di Jakarta.
Tapi, yang ingin sedikit kuceriterakan ialah mengenai pertemuan di 'Indonesia Open House-nya' Mintardjo. Diajukan sebagai tema malam itu, uraian dan tanya jawab: Politik, Ingatan sejarah, dan Gerakan Pembaruan.
Kiranya fihak PPI Leiden dan Yayasan Sapu Lidi, adalah yang sebaiknya membuat laporan yg agak lengkap mengenai pertemuan malam yang penuh isi dan berarti, penuh kepedulian dengan nasib bangsa kita di masa lampau, masa kini dan hari depannya. Dan catatan tsb agar disimpan sebagai dokumentasi!
* * *
Yang ingin kukemukakan ialah hal-hal yang memberikan kesan-kesan mendalam padaku pada hari itu. Max Lane dengan keyakinan menjelaskan, bahwa, meskipun Reformasi boleh dikatakan berhenti di tengah jalan, merajelalnya 'money-politics' yang melibat semua parpol menjelang pemilu dan pilpres, namun Max Lane tidak pesimis sedikitpun mengenai haridepan Indonesia.
Sebaliknya, Max Lane penuh optimisme sehubungan dengan situasi dan perkembangan kegiatan, gerakan dan fikiran maju di kalangan generasi muda kita.
Dengan tegas dikemukakan Max, bahwa, anak-anak muda Indonesia yang dewasa ini terlibat dalam gerakan dan kegiatan prodem dan fikiran maju, secara kwantitatif jauh lebih besar terbanding masa sebelumnya, ketika gerakan tsb dimulai sejak tahun 1970-an sampai jatuhnya Presiden Suharto oleh gelombang besar gerakan Reformasi. Namun, keadaan mereka masih terpencar-pencar. Diperlukan waktu yang cukup panjang bagi generasi ini untuk bisa mencapai taraf kesatuan dan persatuan yang benar-benar tangguh.
Ketika meninjau sejarah Indonesia, lahir dan berkembangnya nasion Indonesia, dalam proses perjuangan melawan kolonialisme untuk kemerdekaan bangsa dan negeri, Max menekankan arti penting pendidikan politik yang diberikan Bung Karno sebagai salah seorang pemimpin nasional yang terkemuka. Sementara pakar Indonesianis dan lain-lain sejarawan, pernah berucap, bahwa peranan Bung Karno di masa perjuangan kemerdekaan terbatas sekadar pada demagogi dan orasi mengenai persatuan.
Tidak demikian, kata Max. Tidak benar Bung Karno hanya berdemagogi, berorasi mengenai perlunya persatuan dalam perjuangan melawan kolonialisme. Bung Karno jelas sekali bersikap. Beliau amat kritis dalam usaha mempersatukan bangsa. Pertama-tama beliau melakukan analisis, pemisahan antara mana yang benar dan mana yang salah dalam sikap masing-masing aliran politik utama ketika itu, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Dalam karya klasiknya pada masa awal gerakan melawan kolonialisem Belanda, berjudul 'Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme' (Suluh Indonesia Muda, 1926), Bung Karno mengeritik sementara sikap yang tidak punya political wil dan kemampuan ketiga gerakan nasional tsb. Bung Karno mengecam kaum Marxis yang sektarian dan tidak bisa dan tidak mau bersatu dengan kaum nasionalis dan Islam. Bung Karno juga mengeritik kaum nasionalis sempit yang tidak bisa bersatu dengan kaum Muslim dan kaum Marxis. Juga dikecam sikap kaum Islamis yang tidak mau bersatu dengan kaum Marxis dan kaum Nasionalis, dalam perjuangan bersama untuk kemerdekaan nasional.
* * *
Seperti pernah diuraikan waktu ceramah yang diberikannya di KITLV, 24 September 2008, sekitar benang merah yang menjelujuri bukunya “UNIFINISHED NATION: INDONESIA BEFORE AND AFTER SUHARTO”
Sehubungan dengan uraian Max Lane mengenai ajaran-ajaran Bung Karno, Joesoef Isak, pemimpin penerbit Hasta Mitra, pernah menyebut Max Lane itu sesungguhnya adalah seorang SUKARNOIS.
Max Lane: Aksi massa istimewa krusial, karena struktur otoriterisme Suharto dibangun justru disekitar penindasan terhadap cara perjuangan ini. Tujuan Orba adalah menghancurkan samasekali semua aksi-massa politik. Untuk mencegah adanya aksi-aksi politik massa, diberlakukan konsep 'massa mengambang'. Akibatnya a.l -- dalam waktu panjang di Indonesia tak ada perspektif bagi suatu ideolgi nasional. Sebagai akibat dari otoriterisme Orba, terjadilah situasi 'pembodohan' bangsa, khususnya di kalangan kaum terpelajar, yaitu ketiadaan keberanian berfikir sendiri, takut berfikir secara berdikari. Mereka tidak mengenal budaya dan kesusasteraan Indonesia.
Dimenangkannya kembali metode perjuangan aksi-massa, punya arti spesifik dalam dinamika sejarah Indonesia masa panjang. Bersamaan dengan itu, Max Lane menunjukkan betapa pentingnya memenangkan kembali aksi-massa sebagai metode aksi politik, dengan memenangkan kembali ideologi politik progresif yang terkait dengan revolusi nasional.
Max Lane memberikan penekanan istimewa pada saling hubungan antara kesadaran untuk mengadakan aksi massa politik dengan pemahaman dan pengertian kaum progresif terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa. Pemahaman dan pengertian amat perlu, karena dalam waktu panjang periode Orba, hanyalah penguasa yang punya monopoli untuk menentukan sendiri, apa itu dan bagaimana yang dimaksudkan dengan sejarah dan kebudayaan nasional.
Ketiadaan kesadaran dan pemahaman hakiki terhadap sejarah dan kebudayaan bangsa yang sebenarnya, menyebabkan ketiadaan kesadaran tentang arti penting dan perlunya aksi massa politik untuk mengubah Indonesia menjadi suatu bangsa yang benar-benar sedar akan identitasnya sebagai bangsa dan negara yang bebas dan demokratis. Sebagai contoh kelangkaan pemahaman dan pengertian sejarah, dewasa ini, menurut Max sedikit sekali kaum intelektuil Indonesia, khususnya para pelajar dan mahasiswa yanusasteraan Indonesia dalam periode Orba, Max a.l mengungkapkan sedikitnya yang pernah membaca buku SURAT-SURAT KARTINI.
Ketiadaan kesadaran itu pula yang menyebabkan fragmentasi di kalangan kaum progresif sehingga kekuatan mereka terpencar-pencar dan ketiadaan persatuan dan kesatuan aksi politik, yang bertujuan suatu solusi yang fundamental. Ketiadaan suatu ideologi nasional yang progresif menjelaskan tentang ketiadaan resistensi terhadap neo-liberalisme. Menjelaskan pula, mengapa semua parpol-parpol mainstream di DPR, boleh dikatakan samasekali tidak menentang masuk dan berdominasinya neo-liberalisme di Indonesia. Parpol-parpol tsb samasekali tidak punya prinsip politik yang mengutamakan kepentingan nasional. Demi mencapai kekuasaan parpol atau golongannya sendiri, mereka tidak segan-segan berkoalisi dengan siapa saja. Ini ditunjukkan dalam pilkada yang berlangsung selama ini. Untuk melihat sampai dimana semangat Reformasi parpol mainstream seperti Golkar dan PKS, baca saja pernyataan mereka yang mengusulkan agar Suharto dinobatkan sebagai 'pahlawan nasional' dan 'guru bangsa'.
Max Lane: Suatu konsep (dan gerakan) sosial-demokrasi yang tegas dan jelas, dewasa ini tidak ada di Indonesia. Sebabnya: Lagi-lagi karena fragmentasi di kalangan aktivis dan kekuatan progresif.
Di lain fihak, berkembangnya kesadaran untuk memiliki pemahaman dan pengertian yang benar dan obyektif mengenai sejarah bangsa, tampak pada kegiatan para sejarawan muda seperti a.l Aswi Warman Adam, Bonnie Triyana, dll. Arus ini sedang terus mengalami perkembangan, bagaimanapun lika-liku dan rintangan yang harus dilaluinya. Ini bisa disaksikan antara lain dari banyaknya penulisan-penulisan baru mengenai peristiwa sejarah dan budaya Indonesia sebelum dan sejak Reformasi, yang jumlahnya mencapai 2000 lebih.
* * *
Demikian sedikit ceriteraku yang hendak kubagikan pada pembaca mengenai pertemuan kami
di 'Open Indonesia House' -nya Mintardjo di Korenbloemlaan 59, Oestgeest, Leiden.
Ketika kembali ke Amsterdam, Francisca Pattipilohy yang pulang dengan keretapi bersama aku
malam itu, mengatakan: Sayang Indonesia House di Amsterdam sudah ditutup. Tidak tahu apa akan dibuka yang baru !
Segera aku merespons:
Nyatanya sudah lama ada 'Open Indonesia House'. Itu kan, yang di rumahnya Mintardjo.
Oh iya, reaksi Pattipilohy. Benar, benar! Suatu 'Indonesia House' yang selalu OPEN sudah ada sejak lama di Korenbloemlaan 59, Oestgeest, Leiden.!
* * *