*Kolom IBRAHIM ISA *
*Sabtu, 23 Agustus 2008*
-------------------------------------------------
PASPOR Bagi 'ORANG TERHALANG PULANG'
KEMARIN, aku kirim 2 e-mail. Masing-masing kepada Salim dan Gunardito, kawan-kawan lama yang berdomisili di Cuba. Email untuk Salim berisi ucapan SELAMAT berhubung diperolehnya (kembali) paspor RI yang lebih 40^th yang lalu, secara sewenang-wenang dicabut oleh KBRI. Meskipun ketika itu (1965/66) kepala negara dan kepala pemerintah formalnya adalah Presiden Sukarno, tetapi kekuasaan riil, termasuk di Deparlu RI, sudah ada di tangan militer di bawah Jendral Suharto.
Kini, semua teman-teman Indonesia yang terdampar di Havana karena paspornya dicabut Orba, semuanya sudah memperoleh (kembali) paspor mereka masing-masing.
Keistimewaan kasus Salim: Ia memperoleh kembali paspor RI, pas pada tanggal 17 Agustus 2008, Hari Nasional Indonesia. Istimewanya, hal itu berlangsung di wilayah Republik Indonesia pula. Langsung diumumkan oleh Dubes Manik sendiri, seusai upacara Upacara Peringatan 17 Agustus di KBRI Havana. Memang, peristiwa itu bagi Salim, mengandung arti simbolik.
Apakah itu suatu permulaan r e h a b i l i t a si bagi semua korban pelanggaran HAM Orba?
Siapa tau! Apakah suatu ilusi mengharapkan direhabilitasinya semua korban pelanggaran HAM oleh Orba, khususnya para korban Peristiwa 1965? Untuk mengambil satu contoh saja: Trikoyo Ramidjo, 82^th , eks tapol P. Buru, sampai detik ini, KTP-nya masih setiap kali harus diperbaharui. Padahal menurut aturan pemerintah penduduk yang berumur diatas 60^th , otomatis mendapat KTP Seumur Hidup. Tetapi Trikoyo tidak dapat, karena dia eks-Tapol. Belumlagi stigmatisasi dan diskriminasi yang berlangsung terus terhadap para korban Peristiwa 1965.
Mengharapkan REHABILITASI semua korban Peristiwa 965, bukanlah suatu ilusi! Syaratnya ialah diteruskannya tanpa kendur sedikitpun usaha dan kegiatan oleh semua kekuatan pro demokrasi dan pro HAM, agar masalah pelanggaran HAM oleh Orba di masa lalu, ditangani dan diurus sampai tuntas. Urusan tsb tidak bisa dipercayakan kepada pemerintah atau lembaga negara lainnya. Hanyalah melalui kegiatan, usaha dan perjuangan dari yang bersangkutan sendiri, plus solidaritas kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya, maka harapan REHABILITASI itu akan menjadi kenyataan.
Hanya sesudah REHABILITASI semua korban pelanggaran HAM Orba, barulah kita bisa bicara tentang REKONSILIASI NASIONAL. Insya Allah!
* * *
Salah satu warisan Orba yang menjadi beban pemerintah pasca-Suharto, kecuali kasus pembantaian masal Peristiwa 1965, utang dalam dan luarnegeri yang bertumpuk-tumpuk, budaya KKN yang masih merajalela, dan keadaan finek yang amburadul, s-- elain itu, -- adalah dosa-dosa pelanggaran HAM kasus pencabutan paspor. Ratusan Mahid (mahasiswa ikatan dinas) yang dikirim ke luarnegeri oleh pemerintah Presiden Sukarno, termasuk juga mereka-mereka yang mendapat beasiswa dari pelbagai organisasi, dsb, untuk menempuh studi pada perguruan tinggi di pelbagai negeri sosialis ketika itu, -- seperti Uni Sovyet, Republik Rakyat Tiongkok, Vietam Utara, Korea Utara, Cuba, Bulgaria, Rumania, Polandia dan Tjekoslowakia---- telah DICABUT PASPORNYA. Alasan? Karena para mahasiswa itu menolak mengutuk Presiden Sukarno yang wewenang dan kedudukannya sedang digoyang oleh fihak militer, juga karena mereka menolak menyatakan kepatuhan pada kekuasaan militer di Jakarta ketika itu.
Selain itu masih ada ratusan lagi warganegara Indonesia, --- yaitu mereka- mereka yang kebetulan sedang bertugas di luarnegeri, atau sedang mengadakan kunjungan kenegaraan, dsb, - - - - yang dicabut paspornya, tanpa alasan hukum apapun. Semata-mata karena mereka dituduh PKI atau simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno dan difitnah melakukan subversi terhadap RI di luarnegeri.
* * *
Menyampaikan percakapannya dengan Dubes RI di Cuba, Manik, Salim menulis dalam e-mailnya kepadaku: *sebelum penyerahan paspor itu de facto saya adalah wni, dan setelah penerimaan paspor de facto dan de jure wni. At last justice is restored, kata saya. Demikian Salim.*
*Sekali lagi kuucapkan SELAMAT kepada Salim dengan paspor RI yang
baru diterimanya (kembali). *Bagi teman-teman Indonesia lainnya di
Cuba seperti Gunardito, Widodo dan Kusrini, paspor RI telah lebih
dulu disampaikan. Kepada merekapun telah kusampaikan ucapan selamat.
Keadaan teman-teman di Cuba jelas berbeda dengan situasi banyak
'orang terhalang pulang' lainnya yang kemudian berdomisili di Eropah
dan sementara negeri lainnya. Karena, sejak paspor mereka dicabut
secara sewenang-wenang oleh rezim Orba (1965/1966), status
teman-teman di Cuba adalah 'stateless'. Sedangkan bagi banyak
teman-teman Indonesia lainnya, yang mengajukan permintaan dan
memperoleh suaka di Eropah dan sementara negeri lainnya, atas dasar
situasi kongkrit masing-masing, -- a.l. demi keamanan pribadi dan
perlindungan hukum dan politik sebagai pendatang di negeri-negeri
tsb , -- mereka berkesimpulan memilih kewarganegaraan negeri-negeri
dimana mereka berdomisili dan minta suaka.
* * *
Sejak pemerintah SBY memberlakukan u.u Kewarganegaraan RI, 2008, ---
kepada para 'orang terhalang pulang' diberikan 'jalan' untuk
memperoleh kembali paspor RI.
Rupanya kebijakan inilah yang ditempuh Presiden SBY sebagai cara
(tanpa menyinggung hakikat apa yang menyebabkan begitu banyak
warganegara RI yang 'terhalang pulang' sejak berdirinya Orba) --
untuk 'mengkoreksi' suatu ANOMALY dalam kehidupan Indonesia
bernegara. Suatu anomaly yang disebabkan oleh kesewenang-wenangan
rezim Orba terhadap ratusan warganegara Indonesia di luar negeri.
Ketika itu ratusan warganegara RI, yang patuh hukum, yang tak
melakukan kejahatan apapun terhadap Republik Indonesia, serta setia
kepada Presiden Sukarno dan Republik Indonesia, yang sedang studi
atau bertugas di luar negeri demi untuk mengabdi pada tanah-air dan
bangsa tercinta, Indonesia, ---- paspor dan kewarganegaraan mereka
telah dicabut. Semata-mata karena mereka menolak untuk mengutuk
Presiden Sukarno dan menolak memberikan pernyataan kepatuhan kepada
penguasa baru, golongan militer di bawah Jendral Suharto.
Sejak itu, status warganegara Indonesia yang paspornya dicabut
secara sewenang-wenang itu, menjadi tak menentu. Mereka hidup di
bawah tekanan mental karena tidak bisa pulang dan menjadi 'orang
kelayaban' di luarnegeri Dalam waktu panjang mereka jadi orang-orang
yang tidak punya negara dan tidak memperoleh perlindungan hukum
samasekali. Mereka tak berani pulang karena tak ada paspor. Lagipula
mereka amat khawatir akan mengalami nasib seperti ratusan ribu
warganegara Indonesia yang tak bersalah yang menjadi korban
persekusi dan pembantaian masal 1965/1966. Situasi tsb berlangsung
terus sampai jatuhnya Presiden Suharto.
Syukur alhamdulillah, Presiden Abdurrahman Wahid mengimbau mereka
pulang. Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1, Th. 2000
sehubungan dengan pengurusan agar 'yang terhalang pulang' memperoleh
paspor dan dapat kembali ke tanah air. Menkumdang ketika itu, Yusril
Ihza Mahendra, dikirim Presiden Wahid ke Belanda untuk temu muka
dengan 'orang-orang yang terhalang pulang' dan mengurusnya. Tetapi
Yusril samasekali tidak melaksanakan Instruksi Presiden No. 1 Th
2000 tsb. Presiden Wahid jatuh. Presiden Megawati naik, tetapi
masalah ini tetap terkatung-katung, sampai dikeluarkannya kebijakan
Presiden SBY tsb.
* * *
Tawaran pemerintah, memperoleh paspor kembali dan dengan itu
kewarganegaraan RI kembali, dengan mengikuti prosedur uu
Kewarganegaraan RI, 2008, diajukan melalui KBRI. Direncanakan
Menkumdang dan HAM ketika itu, Awaludin Hamid, datang sendiri ke
Belanda untuk bertemu dengan 'orang-orang yang terhalang pulang'.
Maksudnya memberikan penjelasan sekitar pemberlakuan uu
Kewarganegaraan RI 2008 tsb. Tetapi Awaludin Hamid menolak keras
untuk mengkaitkan masalah pencabutan paspor dengan pelanggran HAM
Orba. Ia hanya hendak melaksanakan uu Kewargenegaraan RI 2008.
Melalui uu tsb memberikan paspor RI kepada 'orang-orang yang
terhalang pulang'.
Dalam pembicaraan dengan fihak KBRI Den Haag, sebagian teman-teman
yang 'terhalang pulang' yang paspornya telah dicabut secara
wewenang-wenang oleh Orba, berpendapat sbb (Pendapat ini disampaikan
kepada KBRI Den Haag) sbb:
1>.Pertama-tama Pemerintah Indonesia harus secara terbuka mengakui
bahwa pencabutan paspor warganegara dengan sewenang-wenang oleh
rezim Orba, adalah suatu tindakan pelanggaran HAM terhadap
warganegaranya sendiri.
2>. Pemerintah harus minta maaf kepada semua warganegara RI yang
paspornya telah dicabut secara sewenang- wenang. Serta mengembalikan
paspor-paspor yang mereka telah cabut itu.
3>. Selanjutya terserah kepada setiap warganegara RI yang paspornya
telah dicabut secara wewenang-wenang oleh Orba, untuk menentukan
sendiri apakah akan mengurus perolehan paspor RI yang baru, atau
mempertahankan status mereka sebagai pemilik paspor negeri di mana
mereka berdomisili.
4>. Dari sekian banyak masalah penting yang kita hadapi dewasa ini, amat penting adalah masalah REHABILITASI para korban Peristiwa 1965, dan korban pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan Orba. Ini sebagai langkah menuju REKONSILIASI NASIONAL.
Sikap adil ini, menyebabkan Menteri Awaludin Hamid tidak jadi datang ke Belanda untuk mengadakan pertemuan dengan para 'orang terhalang pulang'.Sampai disinilah kuakhiri tulisan ini mengenai masalah PASPOR RI untuk 'ORANG TERHALANG PULANG'.
* * *
*Sabtu, 23 Agustus 2008*
-------------------------------------------------
PASPOR Bagi 'ORANG TERHALANG PULANG'
KEMARIN, aku kirim 2 e-mail. Masing-masing kepada Salim dan Gunardito, kawan-kawan lama yang berdomisili di Cuba. Email untuk Salim berisi ucapan SELAMAT berhubung diperolehnya (kembali) paspor RI yang lebih 40^th yang lalu, secara sewenang-wenang dicabut oleh KBRI. Meskipun ketika itu (1965/66) kepala negara dan kepala pemerintah formalnya adalah Presiden Sukarno, tetapi kekuasaan riil, termasuk di Deparlu RI, sudah ada di tangan militer di bawah Jendral Suharto.
Kini, semua teman-teman Indonesia yang terdampar di Havana karena paspornya dicabut Orba, semuanya sudah memperoleh (kembali) paspor mereka masing-masing.
Keistimewaan kasus Salim: Ia memperoleh kembali paspor RI, pas pada tanggal 17 Agustus 2008, Hari Nasional Indonesia. Istimewanya, hal itu berlangsung di wilayah Republik Indonesia pula. Langsung diumumkan oleh Dubes Manik sendiri, seusai upacara Upacara Peringatan 17 Agustus di KBRI Havana. Memang, peristiwa itu bagi Salim, mengandung arti simbolik.
Apakah itu suatu permulaan r e h a b i l i t a si bagi semua korban pelanggaran HAM Orba?
Siapa tau! Apakah suatu ilusi mengharapkan direhabilitasinya semua korban pelanggaran HAM oleh Orba, khususnya para korban Peristiwa 1965? Untuk mengambil satu contoh saja: Trikoyo Ramidjo, 82^th , eks tapol P. Buru, sampai detik ini, KTP-nya masih setiap kali harus diperbaharui. Padahal menurut aturan pemerintah penduduk yang berumur diatas 60^th , otomatis mendapat KTP Seumur Hidup. Tetapi Trikoyo tidak dapat, karena dia eks-Tapol. Belumlagi stigmatisasi dan diskriminasi yang berlangsung terus terhadap para korban Peristiwa 1965.
Mengharapkan REHABILITASI semua korban Peristiwa 965, bukanlah suatu ilusi! Syaratnya ialah diteruskannya tanpa kendur sedikitpun usaha dan kegiatan oleh semua kekuatan pro demokrasi dan pro HAM, agar masalah pelanggaran HAM oleh Orba di masa lalu, ditangani dan diurus sampai tuntas. Urusan tsb tidak bisa dipercayakan kepada pemerintah atau lembaga negara lainnya. Hanyalah melalui kegiatan, usaha dan perjuangan dari yang bersangkutan sendiri, plus solidaritas kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya, maka harapan REHABILITASI itu akan menjadi kenyataan.
Hanya sesudah REHABILITASI semua korban pelanggaran HAM Orba, barulah kita bisa bicara tentang REKONSILIASI NASIONAL. Insya Allah!
* * *
Salah satu warisan Orba yang menjadi beban pemerintah pasca-Suharto, kecuali kasus pembantaian masal Peristiwa 1965, utang dalam dan luarnegeri yang bertumpuk-tumpuk, budaya KKN yang masih merajalela, dan keadaan finek yang amburadul, s-- elain itu, -- adalah dosa-dosa pelanggaran HAM kasus pencabutan paspor. Ratusan Mahid (mahasiswa ikatan dinas) yang dikirim ke luarnegeri oleh pemerintah Presiden Sukarno, termasuk juga mereka-mereka yang mendapat beasiswa dari pelbagai organisasi, dsb, untuk menempuh studi pada perguruan tinggi di pelbagai negeri sosialis ketika itu, -- seperti Uni Sovyet, Republik Rakyat Tiongkok, Vietam Utara, Korea Utara, Cuba, Bulgaria, Rumania, Polandia dan Tjekoslowakia---- telah DICABUT PASPORNYA. Alasan? Karena para mahasiswa itu menolak mengutuk Presiden Sukarno yang wewenang dan kedudukannya sedang digoyang oleh fihak militer, juga karena mereka menolak menyatakan kepatuhan pada kekuasaan militer di Jakarta ketika itu.
Selain itu masih ada ratusan lagi warganegara Indonesia, --- yaitu mereka- mereka yang kebetulan sedang bertugas di luarnegeri, atau sedang mengadakan kunjungan kenegaraan, dsb, - - - - yang dicabut paspornya, tanpa alasan hukum apapun. Semata-mata karena mereka dituduh PKI atau simpatisan PKI, pendukung Presiden Sukarno dan difitnah melakukan subversi terhadap RI di luarnegeri.
* * *
Menyampaikan percakapannya dengan Dubes RI di Cuba, Manik, Salim menulis dalam e-mailnya kepadaku: *sebelum penyerahan paspor itu de facto saya adalah wni, dan setelah penerimaan paspor de facto dan de jure wni. At last justice is restored, kata saya. Demikian Salim.*
*Sekali lagi kuucapkan SELAMAT kepada Salim dengan paspor RI yang
baru diterimanya (kembali). *Bagi teman-teman Indonesia lainnya di
Cuba seperti Gunardito, Widodo dan Kusrini, paspor RI telah lebih
dulu disampaikan. Kepada merekapun telah kusampaikan ucapan selamat.
Keadaan teman-teman di Cuba jelas berbeda dengan situasi banyak
'orang terhalang pulang' lainnya yang kemudian berdomisili di Eropah
dan sementara negeri lainnya. Karena, sejak paspor mereka dicabut
secara sewenang-wenang oleh rezim Orba (1965/1966), status
teman-teman di Cuba adalah 'stateless'. Sedangkan bagi banyak
teman-teman Indonesia lainnya, yang mengajukan permintaan dan
memperoleh suaka di Eropah dan sementara negeri lainnya, atas dasar
situasi kongkrit masing-masing, -- a.l. demi keamanan pribadi dan
perlindungan hukum dan politik sebagai pendatang di negeri-negeri
tsb , -- mereka berkesimpulan memilih kewarganegaraan negeri-negeri
dimana mereka berdomisili dan minta suaka.
* * *
Sejak pemerintah SBY memberlakukan u.u Kewarganegaraan RI, 2008, ---
kepada para 'orang terhalang pulang' diberikan 'jalan' untuk
memperoleh kembali paspor RI.
Rupanya kebijakan inilah yang ditempuh Presiden SBY sebagai cara
(tanpa menyinggung hakikat apa yang menyebabkan begitu banyak
warganegara RI yang 'terhalang pulang' sejak berdirinya Orba) --
untuk 'mengkoreksi' suatu ANOMALY dalam kehidupan Indonesia
bernegara. Suatu anomaly yang disebabkan oleh kesewenang-wenangan
rezim Orba terhadap ratusan warganegara Indonesia di luar negeri.
Ketika itu ratusan warganegara RI, yang patuh hukum, yang tak
melakukan kejahatan apapun terhadap Republik Indonesia, serta setia
kepada Presiden Sukarno dan Republik Indonesia, yang sedang studi
atau bertugas di luar negeri demi untuk mengabdi pada tanah-air dan
bangsa tercinta, Indonesia, ---- paspor dan kewarganegaraan mereka
telah dicabut. Semata-mata karena mereka menolak untuk mengutuk
Presiden Sukarno dan menolak memberikan pernyataan kepatuhan kepada
penguasa baru, golongan militer di bawah Jendral Suharto.
Sejak itu, status warganegara Indonesia yang paspornya dicabut
secara sewenang-wenang itu, menjadi tak menentu. Mereka hidup di
bawah tekanan mental karena tidak bisa pulang dan menjadi 'orang
kelayaban' di luarnegeri Dalam waktu panjang mereka jadi orang-orang
yang tidak punya negara dan tidak memperoleh perlindungan hukum
samasekali. Mereka tak berani pulang karena tak ada paspor. Lagipula
mereka amat khawatir akan mengalami nasib seperti ratusan ribu
warganegara Indonesia yang tak bersalah yang menjadi korban
persekusi dan pembantaian masal 1965/1966. Situasi tsb berlangsung
terus sampai jatuhnya Presiden Suharto.
Syukur alhamdulillah, Presiden Abdurrahman Wahid mengimbau mereka
pulang. Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1, Th. 2000
sehubungan dengan pengurusan agar 'yang terhalang pulang' memperoleh
paspor dan dapat kembali ke tanah air. Menkumdang ketika itu, Yusril
Ihza Mahendra, dikirim Presiden Wahid ke Belanda untuk temu muka
dengan 'orang-orang yang terhalang pulang' dan mengurusnya. Tetapi
Yusril samasekali tidak melaksanakan Instruksi Presiden No. 1 Th
2000 tsb. Presiden Wahid jatuh. Presiden Megawati naik, tetapi
masalah ini tetap terkatung-katung, sampai dikeluarkannya kebijakan
Presiden SBY tsb.
* * *
Tawaran pemerintah, memperoleh paspor kembali dan dengan itu
kewarganegaraan RI kembali, dengan mengikuti prosedur uu
Kewarganegaraan RI, 2008, diajukan melalui KBRI. Direncanakan
Menkumdang dan HAM ketika itu, Awaludin Hamid, datang sendiri ke
Belanda untuk bertemu dengan 'orang-orang yang terhalang pulang'.
Maksudnya memberikan penjelasan sekitar pemberlakuan uu
Kewarganegaraan RI 2008 tsb. Tetapi Awaludin Hamid menolak keras
untuk mengkaitkan masalah pencabutan paspor dengan pelanggran HAM
Orba. Ia hanya hendak melaksanakan uu Kewargenegaraan RI 2008.
Melalui uu tsb memberikan paspor RI kepada 'orang-orang yang
terhalang pulang'.
Dalam pembicaraan dengan fihak KBRI Den Haag, sebagian teman-teman
yang 'terhalang pulang' yang paspornya telah dicabut secara
wewenang-wenang oleh Orba, berpendapat sbb (Pendapat ini disampaikan
kepada KBRI Den Haag) sbb:
1>.Pertama-tama Pemerintah Indonesia harus secara terbuka mengakui
bahwa pencabutan paspor warganegara dengan sewenang-wenang oleh
rezim Orba, adalah suatu tindakan pelanggaran HAM terhadap
warganegaranya sendiri.
2>. Pemerintah harus minta maaf kepada semua warganegara RI yang
paspornya telah dicabut secara sewenang- wenang. Serta mengembalikan
paspor-paspor yang mereka telah cabut itu.
3>. Selanjutya terserah kepada setiap warganegara RI yang paspornya
telah dicabut secara wewenang-wenang oleh Orba, untuk menentukan
sendiri apakah akan mengurus perolehan paspor RI yang baru, atau
mempertahankan status mereka sebagai pemilik paspor negeri di mana
mereka berdomisili.
4>. Dari sekian banyak masalah penting yang kita hadapi dewasa ini, amat penting adalah masalah REHABILITASI para korban Peristiwa 1965, dan korban pelanggaran HAM lainnya yang dilakukan Orba. Ini sebagai langkah menuju REKONSILIASI NASIONAL.
Sikap adil ini, menyebabkan Menteri Awaludin Hamid tidak jadi datang ke Belanda untuk mengadakan pertemuan dengan para 'orang terhalang pulang'.Sampai disinilah kuakhiri tulisan ini mengenai masalah PASPOR RI untuk 'ORANG TERHALANG PULANG'.
* * *
No comments:
Post a Comment