Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 29 Agustus 2008
BERTELADAN Dari KEULETAN ARGENTINA
Perkembangan yang menggembirakan dan menggugah lebih lanjut perjuangan demi HAM dan keadilan, yang diberitakan pers dunia hari ini, ialah yang berasal dari Buenos Aires. Pengadilan di Argentina telah memvonis hukuman seumur hidup pada dua orang jendral, yaitu Antonio Dominggu Bussi dan Luciano Benjamin Menendez. Mereka adalah pejabat-pejabat dari rezim junta militer Argentina yang dikepalai oleh Jendral Jorge Rafael Vadela (1976-1983). Mereka bertanggung jawab atas 'hilang' dan dibunuhnya Senator *Guillermo Vargas Aignasse, ** serta ratusan lagi dari golongan Kiri Argentina*. Catat ini: Barulah di bawah pemerintahan aliran Peronis Tengah- Kiri, Presiden Cristina Fernandez de Krichner, presiden perempuan pertama di Argentina, dimungkinkan secara sungguh-sungguh dituntut, diadili dan divonisnya jendral-jendral pelanggar HAM yang terjadi selama rezim militer Vadela. Sebelumnya, yaitu pada periode pemerintahan presiden Menem, militer-milier pelanggar Ham malah dibebaskan dari tuntutan hukum melalui suatu amnesty.
*Dibawah mantan Presiden Nestor Kirchner -- suami dari presiden Argentina yang sekarang ini-- , pengadilan dan Congres telah membatalkan pengampunan yang diberikan terhadap kaum militer yang terlibat dalam kejahatan terhadap HAM selama rezim junta militer Jendral Vadela. Sejak itu pengadilan-pengadilan negeri telah mengadili dan memvonis beberapa pemimpin militer yang melakukan pelanggaran HAM.*
Bagi bangsa Argentina, sejarah itu adalah sejarah. Adalah fakta-fakta yang mencatat perilaku nasion Argentina. Maka tak boleh ada yang dihapuskan, sekalipun itu oleh suatu rezim militer. Bahwa fakta sejarah tak boleh 'dilupakan' apapun dalihnya. Bisa disaksikan bahwa putra-putri Argentina akan selalu mencatat serta menuntut keadilan bagi korban-korban 'The Dirty War' di Argentina (1976-1983)
Keberanian membela dan menuntut keadilan itulah yang ditunjukkan oleh ibu-ibu 'Madres de la Plaza de Mayo', yang menuntut keadilan bagi ibu-ibu dan keluarga yang bayinya dicuri, bagi suami, anak dan sanak keluarga mereka yang dibunuh atau 'dihilangkan' oleh rezim junta militer Vadela. LSM-Perempuan pro-Ham di Argentina tsb, sesungguhnya asal muasalnya adalah organisasi nenek-nenek dan ibu-ibu, yang berkembang dan meluas menjadi organisasi aktivis-aktivis hak-hak manusia. Dengan berani, teguh, sabar dan tekun mereka melakukan kampanye dan kegiatan setiap Kemis sore. Selama setengah jam, dengan mengenakan selendang putih, mereka berkumpul dan berdemo di muka istana presiden Casa Rosada, di Plaza de Mayo. Itu mereka lakukan terus menerus selama lebih dari 30 tahun. Secara internasional gerakan tsb dikenal sebagai gerakan THE GRANDMOTHERS of the PLAZA de MAYO. Yaitu organisasi nenek-nenek dan ibu-ibu para korban 'The Dirty War of Argentina'. Organisasi tsb didirikan dalam tahun 1977, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan bayi-bayi dan anak-anak yang diculik penguasa selama rezim junta militer Vadela, serta selanjutnya mengembalikan anak-anak yang diculik kepada keluarga biologis mereka.
Para anggota aktivis HAM 'Madres de la Plaza de Mayo' meneruskan kegiatan mereka untuk hak-hak manusia, dengan tujuan untuk membangun sebuah universitas yang berdiri sendiri, toko-toko buku, perustakaan dan pusat-pusat kebudayaan serta balai-balai kesehatan. Dengan tujuan utama agar jangan sekali-kali melupakan bayi-bayi, anak-anak, putra-putri dan sanak keluarga mereka yang jadi korban 'pengilangan' dan pembantaian masal yang dilakukan oleh rezim militer jendral Vadela.
* * *
Rasa keadilan dan kemanusiaan yang hidup dalam jiwa setiap putera dan putri Argentina yang jujur serta berani bicara dan bertindak, sesuai suara hati sanubarinya, tidak akan mengizinkan dilupakannya bagian-bagian penting dari sejarah bangsa dan tanah air mereka. Apalagi fakta sejarah yang menyangkut, 'hilangnya' dibunuhnya secara ekstra-judisial puluhan ribu warganegara yang tak bersalah. Atas nama apapun itu dilakukan. Termasuk atas nama melakukan 'perang suci' untuk membasmi Komunisme di Argentina.
Justru itulah yang dilakukan oleh junta militer yang dikepalai oleh Jendral Vadela yang merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta militer dalam tahun 1976. Itu terjadi setahun sesudah Jendral Pinochet menumbangkan pemerintah Sosialis Allende di Tjili dalam suatu kup militer berdarah. Yang diteruskan dengan kampanue persekusi dan pembantaian masal terhadap warganegara tak bersalah, yang dituduh Kiri dan Komunis.
Argentina memasuki periode 'The Dirty War', sejak perebutan kekuasaaan negara oleh kaum militer yang dikepalai oleh Jendral Vadela.
Sejak saat itu, puluhan ribu warganegara Argentian yang tak bersalah, dituduh Komunis atau Kiri, dipersekusi, ditangkap, sisiksa dan 'dihilangkan'. Dibunuh dan mayatnya dibuang kelaut. Bahkan tidak sedikit yang hidup-hidup dilemparkan ke laut dari pesawat udara militer. Demikianlah sejarah Argentina mencatat suatu periode dalam sejarahnya dalam abad ke-21, periode 'THE DIRTY WAR'. Suatu periode 'Perang Kotor'.
Untuk Indonesia, juga berlangsung kejadian serupa, biasa disebut 'MELAPETAKA 1965' yang terjadi sejak kekuasaan politik dan pemerintahan negara di rebut oleh Jendral Suharto. Sejak kekuasaan riil ada ditangan kaum militer yang dikepalai oleh Jendral Suharto, panglima KOSTRAD ketika itu, dimulailah suatu pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah bangsa ini -- Pembantaian dan perskusi masal terhadap warganegara tak bersalah yang dituduh dan difitnah sebagai terlibat dalam "kudeta" yang dilakukan oleh Gerakan Tigapuluh September, atau 'G30S'.
* * *
Dari persitiwa di Argentina dan Indonesia, bisa dicatat, bahwa prebutan kekuasaan negara oleh fihak tentara dilakukan atas nama 'perang terhadap Komunisme'. Juga tercatat, bahwa pengatasnamaan itu, adalah dalih belaka, untuk menegakkan kekuasaan militer, demi kepentingan kaum militer dan segolongan elite penguasa. Bahwa tujuan fihak militer itu direalisasi dengan melancarkan kampanye besar-besaran persekusi, 'penghilangan' serta pembunuhan masal terhadap warganegara yang tak beraslah. Tuduhan Komunis dan Kiri menjadi alasan utama untuk melakukan kejahatan kemanusiaan seperti apa yang mereka lakukan
Dari pegalaman Argentina juga bisa dicatat bahwa lahir dan tumbuhnya kekuatan pro demokrasi dan HAM, berlangsung dengan kaum perempuan sebagai pelopor, berada di depan, berani, sabar, teguh dan konsisten sampai tujuan merebut keadilan beangsur-angsur mencapai hasil yang diharapkan. Dan bahwa kegiatan dan perjuangan adil ini tidak berhenti sebelum tujuan akhir tercapai seluruhnya. Dari pengalaman Argentina, gerakan dengan tujuan hak-hak demokrasi dan HAM di Indonesia, seyogianya bisa menjadikan Argentina sebagai teladan dan inspirasi. * * *
Jum'at, 29 Agustus 2008
BERTELADAN Dari KEULETAN ARGENTINA
Perkembangan yang menggembirakan dan menggugah lebih lanjut perjuangan demi HAM dan keadilan, yang diberitakan pers dunia hari ini, ialah yang berasal dari Buenos Aires. Pengadilan di Argentina telah memvonis hukuman seumur hidup pada dua orang jendral, yaitu Antonio Dominggu Bussi dan Luciano Benjamin Menendez. Mereka adalah pejabat-pejabat dari rezim junta militer Argentina yang dikepalai oleh Jendral Jorge Rafael Vadela (1976-1983). Mereka bertanggung jawab atas 'hilang' dan dibunuhnya Senator *Guillermo Vargas Aignasse, ** serta ratusan lagi dari golongan Kiri Argentina*. Catat ini: Barulah di bawah pemerintahan aliran Peronis Tengah- Kiri, Presiden Cristina Fernandez de Krichner, presiden perempuan pertama di Argentina, dimungkinkan secara sungguh-sungguh dituntut, diadili dan divonisnya jendral-jendral pelanggar HAM yang terjadi selama rezim militer Vadela. Sebelumnya, yaitu pada periode pemerintahan presiden Menem, militer-milier pelanggar Ham malah dibebaskan dari tuntutan hukum melalui suatu amnesty.
*Dibawah mantan Presiden Nestor Kirchner -- suami dari presiden Argentina yang sekarang ini-- , pengadilan dan Congres telah membatalkan pengampunan yang diberikan terhadap kaum militer yang terlibat dalam kejahatan terhadap HAM selama rezim junta militer Jendral Vadela. Sejak itu pengadilan-pengadilan negeri telah mengadili dan memvonis beberapa pemimpin militer yang melakukan pelanggaran HAM.*
Bagi bangsa Argentina, sejarah itu adalah sejarah. Adalah fakta-fakta yang mencatat perilaku nasion Argentina. Maka tak boleh ada yang dihapuskan, sekalipun itu oleh suatu rezim militer. Bahwa fakta sejarah tak boleh 'dilupakan' apapun dalihnya. Bisa disaksikan bahwa putra-putri Argentina akan selalu mencatat serta menuntut keadilan bagi korban-korban 'The Dirty War' di Argentina (1976-1983)
Keberanian membela dan menuntut keadilan itulah yang ditunjukkan oleh ibu-ibu 'Madres de la Plaza de Mayo', yang menuntut keadilan bagi ibu-ibu dan keluarga yang bayinya dicuri, bagi suami, anak dan sanak keluarga mereka yang dibunuh atau 'dihilangkan' oleh rezim junta militer Vadela. LSM-Perempuan pro-Ham di Argentina tsb, sesungguhnya asal muasalnya adalah organisasi nenek-nenek dan ibu-ibu, yang berkembang dan meluas menjadi organisasi aktivis-aktivis hak-hak manusia. Dengan berani, teguh, sabar dan tekun mereka melakukan kampanye dan kegiatan setiap Kemis sore. Selama setengah jam, dengan mengenakan selendang putih, mereka berkumpul dan berdemo di muka istana presiden Casa Rosada, di Plaza de Mayo. Itu mereka lakukan terus menerus selama lebih dari 30 tahun. Secara internasional gerakan tsb dikenal sebagai gerakan THE GRANDMOTHERS of the PLAZA de MAYO. Yaitu organisasi nenek-nenek dan ibu-ibu para korban 'The Dirty War of Argentina'. Organisasi tsb didirikan dalam tahun 1977, dengan tujuan untuk mencari dan menemukan bayi-bayi dan anak-anak yang diculik penguasa selama rezim junta militer Vadela, serta selanjutnya mengembalikan anak-anak yang diculik kepada keluarga biologis mereka.
Para anggota aktivis HAM 'Madres de la Plaza de Mayo' meneruskan kegiatan mereka untuk hak-hak manusia, dengan tujuan untuk membangun sebuah universitas yang berdiri sendiri, toko-toko buku, perustakaan dan pusat-pusat kebudayaan serta balai-balai kesehatan. Dengan tujuan utama agar jangan sekali-kali melupakan bayi-bayi, anak-anak, putra-putri dan sanak keluarga mereka yang jadi korban 'pengilangan' dan pembantaian masal yang dilakukan oleh rezim militer jendral Vadela.
* * *
Rasa keadilan dan kemanusiaan yang hidup dalam jiwa setiap putera dan putri Argentina yang jujur serta berani bicara dan bertindak, sesuai suara hati sanubarinya, tidak akan mengizinkan dilupakannya bagian-bagian penting dari sejarah bangsa dan tanah air mereka. Apalagi fakta sejarah yang menyangkut, 'hilangnya' dibunuhnya secara ekstra-judisial puluhan ribu warganegara yang tak bersalah. Atas nama apapun itu dilakukan. Termasuk atas nama melakukan 'perang suci' untuk membasmi Komunisme di Argentina.
Justru itulah yang dilakukan oleh junta militer yang dikepalai oleh Jendral Vadela yang merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta militer dalam tahun 1976. Itu terjadi setahun sesudah Jendral Pinochet menumbangkan pemerintah Sosialis Allende di Tjili dalam suatu kup militer berdarah. Yang diteruskan dengan kampanue persekusi dan pembantaian masal terhadap warganegara tak bersalah, yang dituduh Kiri dan Komunis.
Argentina memasuki periode 'The Dirty War', sejak perebutan kekuasaaan negara oleh kaum militer yang dikepalai oleh Jendral Vadela.
Sejak saat itu, puluhan ribu warganegara Argentian yang tak bersalah, dituduh Komunis atau Kiri, dipersekusi, ditangkap, sisiksa dan 'dihilangkan'. Dibunuh dan mayatnya dibuang kelaut. Bahkan tidak sedikit yang hidup-hidup dilemparkan ke laut dari pesawat udara militer. Demikianlah sejarah Argentina mencatat suatu periode dalam sejarahnya dalam abad ke-21, periode 'THE DIRTY WAR'. Suatu periode 'Perang Kotor'.
Untuk Indonesia, juga berlangsung kejadian serupa, biasa disebut 'MELAPETAKA 1965' yang terjadi sejak kekuasaan politik dan pemerintahan negara di rebut oleh Jendral Suharto. Sejak kekuasaan riil ada ditangan kaum militer yang dikepalai oleh Jendral Suharto, panglima KOSTRAD ketika itu, dimulailah suatu pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah bangsa ini -- Pembantaian dan perskusi masal terhadap warganegara tak bersalah yang dituduh dan difitnah sebagai terlibat dalam "kudeta" yang dilakukan oleh Gerakan Tigapuluh September, atau 'G30S'.
* * *
Dari persitiwa di Argentina dan Indonesia, bisa dicatat, bahwa prebutan kekuasaan negara oleh fihak tentara dilakukan atas nama 'perang terhadap Komunisme'. Juga tercatat, bahwa pengatasnamaan itu, adalah dalih belaka, untuk menegakkan kekuasaan militer, demi kepentingan kaum militer dan segolongan elite penguasa. Bahwa tujuan fihak militer itu direalisasi dengan melancarkan kampanye besar-besaran persekusi, 'penghilangan' serta pembunuhan masal terhadap warganegara yang tak beraslah. Tuduhan Komunis dan Kiri menjadi alasan utama untuk melakukan kejahatan kemanusiaan seperti apa yang mereka lakukan
Dari pegalaman Argentina juga bisa dicatat bahwa lahir dan tumbuhnya kekuatan pro demokrasi dan HAM, berlangsung dengan kaum perempuan sebagai pelopor, berada di depan, berani, sabar, teguh dan konsisten sampai tujuan merebut keadilan beangsur-angsur mencapai hasil yang diharapkan. Dan bahwa kegiatan dan perjuangan adil ini tidak berhenti sebelum tujuan akhir tercapai seluruhnya. Dari pengalaman Argentina, gerakan dengan tujuan hak-hak demokrasi dan HAM di Indonesia, seyogianya bisa menjadikan Argentina sebagai teladan dan inspirasi. * * *
No comments:
Post a Comment