Senin, 29 September 2008
--------------------
*JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA*
Ditengah-tengah berita yang bertubi-tubi berasal dari Wallstreet, New York dan Capital Hill Washington, mengenai krisis struktur finansil AS, yang dimulai dengan failitnya bank-bank kredit raksasa, - - - syukur alhamdulillah, literatur progresif Indonesia diperkaya dengan sebuah buku karya Prof Wim F Wertheim: JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA (Jakarta, Agustus 2008). Buku berbahasa Inggris dengan judul asli 'Third World Whence and Wither', terbit dalam tahun 1996 (Het Spinhuis, Amsterdam).
Sebelum ia meninggal dunia, Oei Hai Djoen, sempat menyelesaikan penterjemahannya ke dalam bahasa Indonesia. Sayang Oei tidak ikut hadir dalam peluncuran JALAN SOSIALISME DUNIA-KETIGA. Namun istri beliau Jane serta putrinya, Mado, dan cucunya ikut hadir. Perhatian dari publik cukup besar. Penerbit resmi berbahasa Indonesia adalah De Wertheim Stichting, Institut Studi Arus Informasi dan Pusat Data dan Analisa Tempo dengan ISBN: 978-979-8933-56-1.
Peluncuran buku berlangsung di Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 28
Agustus , bertepatan dengan 100 hari meninggalnya Oey Hay Djoen.
Hadir lebih dari seratus orang, sehingga kursi yang disediakan tidak
cukup. Banyak hadirin yang duduk di lantai. Mungkin karena diskusi
bertema 'Kiri' sudah lama tidak ada di Jakarta. Goenawan Mohamad dan
Toriq Hadad (Pemred TEMPO) memberi sambutan. Pembahasan dibawakan
oleh Romo Dr I Wibowo (Fakultas Ilmu Budaya UI) dan Ari Perdana
(pengajar UI dan peneliti CSIS).
* * *
Mengapa judul edisi Indonesia lain dengan judul aslinya? Tejabayu dari Institut Studi Arus Informasi- (ISAI), dalam suratnya kepadaku memberikan keterangan sbb:
'Kami sepakat untuk mengganti judul buku yang diterjemahkan Pak Oey karena buat kami agak terlalu kaku dan sulit ditangkap anak-anak sekarang. Jadi judul edisi Indonesianya kami ganti yang tidak letterlijk dari judul asli, JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA'.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah resensi tentang buku Wertheim tsb, sekadar memberitakan tentang sudah terbitnya edisi Indonesia. Dan sedikit gambaran tentang apa yang dibicarakan Wertheim dalam bukunya itu.
Maka, baik juga sekaligus saja diberitakan disini bahwa JALAN SOSIALISME DUNIA KETIGA, terdiri dari:
Pendahuluan, 4 Bagian, berisi VII Bab, kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
Bagian 1 berjudul: Utara Versus Selatan. Bab I, Nomor Satu, Amerika: Monopoli Merkantilis. Bagian 2: Kaum Tani 40 Abad. Bab II: Kelebihan Penduduk di Asia Tenggara: Kemacetan Agraria. Bab III, Makna Abadi, Model Mao Bagi Dunia Ketiga. Bagian 3: Syarat-syarat Politik Bagi Suatu Terobosan. Bab IV, Negara dan Dialektika Emansipasi. Bagian 4: Strategi-Strategi Emansipasitoris Negara. BabV, Bertaruh Pada Elit, Atau Bertaruh Pada Massa. Bab VII, Legislasi Versus Pendidikan Di Dunia Ketiga.
Dan Kesimpulan – Tamatnya Mitos Dasawarsa 1970-an: Kemenangan Mammon yang Terlalu Mahal.
* * *
Menarik untuk mengikuti semacam kata pengantar yang ditulis untuk buku Wertheim ini oleh Irawan Saptono, Direktur Eksekutif ISAI, sbb:
DARI UTAN KAYU:
Apakah menjadi sosialis masih relevan sekarang ini? Setelah Uni Sovyet bubar dan Tembok Berlin roboh, Sosialisme dianggap ikut roboh. Francis Fukuyama, salah seorang 'rasul' ajaran Neo Liberalisme dari Jepang menyebut 'kehancuran Sosialisme' sebagai 'The End of history', sejarah yang berakhir. Kapitalisme dianggap sebagai sistem yang paling benar. Wertheim mengejeknya sebagai sebuah impian gila Fukuyama. Peperangan belum usai. Kapitalisme memenangi pertempuran besar karena didukung oleh kekuatan yang besar – termasuk kekuatan-kekuatan negara, tetapi belum tentu yang paling benar. Sejarah Sosialisme tidak berakhir. Ia bergerak terus dan mencari kebenaran sendiri.
Sekarang, satu setengah dekade setelah Fukuyama berteriak 'Sejarah (Sosialisme) sudah tamat', Kapitalisme bahkan tidak mampu mengendalikan 'mekanisme pasar' harga minyak dunia yang menyengsarakan banyak orang. 'Mekanisme pasar' telah menjadi bumerang yang menyulitkan.
Sosialisme belum tamat, bahkan memberi alternatif di tengah ketidakpastian 'mekanisme pasar'. Cina adalah contohnya. Di Amerika Latin, muncul pemimpin-pemimpin baru berhaluan Sosialis. Evo Morales dari Bolivia adalah contoh yang paling baru negara dari Dunia Ketiga yang mengadopsi Sosialisme untuk menyejahterakan rakyatnya. Sejauh ini Morales yakin pilihan menjadi Sosialis tidak akan sia-sia. Ia yakin campur tangan negara akan memberi dampak yang baik terhadap kesejahteraan ekonomi rakyatnya.
Wertheim menjelaskan tentang kekuatan Sosialisme, sekaliguys kelemahan-kelemahannya. Ia juga menunjukkan bahwa demokrasi parlementer ala Barat yang dipraktekkan di Dunia Ketiga tidak selalu menjawab masalah-masalah kemiskinan, bahkan seringkali menjerumuskan. Demokrasi tidak selalu menghasilkan kesejahteraan rakyat. Sesuatu yang sekarang ini menjadi bahan diskusi di Indonesia. Sosialisme mungkin cocok untuk menyejaghterakan Dunia Ketiga. Tetapi demokrasi harus menjadi pendampingnya.
Yayasan Wertheim di Amsterdam menawarkan penterjemahan dan penerbitan kepada ISAI pada 2005. Penerjemahan dan editing buku ini sudah selesai dua tahun lalu, namun karena sesuatu dan lain hal penerbitannya tertunda. Wiratmo Probo, Direktur Program ISAI dan Tedjabayu, Deputi Direktur ISAI ditunjuk untuk menjadwalkan ulang penerbitannya.
Penerjemahan buku ini, dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia adalah Oey Hay Djoen yang meninggal pada 17 Mei 2008 ketika buku ini sedang disiapkan untuk diterbitkan. Hay Djoen adalah mantan pengurus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjalani pengkucilan di Pulau Buru selama belasan tahun. Ia lahir di Malang pada 18 April 1929.
Ia juga menerjemahkan buku Wertheim berjudul Evolution and Revolution: The Rising Waves Emancipation (Gelombang Pasang Emansipasi), terbitan Garba Budaya, 1999, dengan nama samaran Ira Iramanto. Waktu itu ia masih enggan menggunakan nama aslinya. Di hari-hari akhir menjelang kematiannya, Hay Djoen rajin sekali menelpon agar kami segera menerbitkan buku ini. Ia mungkin sangat terkesan dengan buku yang diterjemahkannya. Kami berusaha keras, namun Hay Djoen tidak sempat menyaksikan terbitnya buku ini. Ia meninggal sehari setelah telepon terkahirnya kami terima.
Kami dantang ke rumah duka di Cibubur. Di depan peti mati, Ny Oey Hay Djoen, yang bernama kecil Jane Luyke, menyambut kami. 'Dia stress menunggu buku Wertheim diterbitkan,'katanya.
Kami meminta maaf dan berdoa di depan jenazah Hay Djoen. Upacara kematiannya meriah. Ia dimakamkan di Pondok Rangon, Jakartra Timur secara Katolik, diiringi lagu-lagu perjuangan yang dinyanyikan para handai taulan. Romo Sandyawan Sumardi SJ ikut hadir di pemakaman, juga sejumlah seniman terkenal dan aktivis hak asasi manusia, Joesoef Isak, penulis dan seorang wartawan senior, sahabat Hay Djoen dari masa muda hingga masa senja, duduk dikursi yang disediakan di sisi makam. Ia sangat berduka.
Yayasan Wertheim tidak hanya mengizinkan ISAI menerbitkan buku ini, namun juga mendonasikan 1.000 Euro (sekitar Rp 14 juta) untuk pencetakannya. Dana ini tidak cukup untuk mencetak beberapa ribu eksemplar yang direncanakan. Melalui Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi majalahTempo (Ia juga Ketua Yayasan ISAI), Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) bersedia menutup kekurangannya.
Terima kasih kepada siapa saja yang membantu penerbitan buku ini, terutama tentu saya kepada mendiang Prof Wim Frederik Wertheim, mendiang Oey Hay Djoen, Jaap Erkelens pensiunan Koninklijke Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), yang puluhan tahun bekerja di Indonesia, dan kini bermukim di Belanda. Dialah yang membantu menkontak kembali Yayasan Wertheim (De Wertheim Stichting) dan mengirim salinan sejumlah lembar halaman buku asli yang tercecer untuk melengkapi buku terjemahan ini. Ketua Yayasan Wertheim Dr C.J.G. Holtzappel yang berkenan meluangkan wakunya menuntaskan hal-hal akhir penerbitan buku ini di tengah kerepotannya pindah rumah ke sebuah desa di wilayah Timur Laut Belanda, dan Goenawan Mohammad yang naskah pidatonya dibacakan ketika ia menerima Wertheim Award pada December 2005 di Amsterdam, digunakan sebagai pengantar buku ini.
* * *
Sungguh serba kebetulan!
Buku ini terbit, justru ketika para protagonis neo-liberalisme, yang dengan menabuh genderang, hiruk-pikuk memproklamasikan dua dekade yang lalu, kapitalisme sebagai pemenang mutlak atas sosialisme < ini pernyataan terbuka mantan Presiden Ronald Reagan dan F Fukuyama dari Amerika>, -- tak diduga, saat ini seperti merengek minta-minta kepada negara (yang selama ini mati-matian ditentang campur tangan negara dalam urusan ekonomi), -- agar dibantu dengan suatu plan-pertolongan, supaya bisa keluar dari krisis finansil, yang diakibatkan sendiri oleh sistim ekonomi 'persaingan bebas', 'pasar bebas' dan 'hands-off campur tangan negara'.
* * *
No comments:
Post a Comment