Tuesday, November 4, 2008

Kolom IBRAHIM ISA - Senin, 15 September 2008 - JANGAN LUPAKAN SEJARAH!

*Kolom IBRAHIM ISA*

*Senin, 15 September 2008*

*---------------------------------*


*JANGAN LUPAKAN SEJARAH!*

*JANGAN LUPAKAN SEJARAH!*



JANGAN LUPAKAN SEJARAH!

Demikianlah pesan sangat berharga yang disampaikan oleh banyak historikus jujur dan obyektif, oleh pemimpin-pemimpin bangsa kita. Teristimewa oleh Bung Karno. Beliau selalu mengingatkan kita: JANGAN LUPAKAN SEJARAH! Benarlah adanya, tanpa mengenal sejarah, terutama sejarah bangsa sendiri, maka kesadaran berbangsa, rasa cintai pada rakyat dan negeri yang indah ini, kiranya sulit untuk ditegakkan. Celakanya, selama 32 tahun lebih rezim Orba telah memulas, memanipulasi dan memelintir sejarah bangsa kita.


Pada tempatnya historikus generasi muda, peneliti utama LIPI, Dr Aswi Warman Adam, mengingatkan masyarakat, sbb:

Penulisan sejarah Indonesia dalam buku-buku sejarah penuh dengan rekayasa dan upaya ini telah dilakukan pemerintah Orde Baru sejak awal berdirinya rezim sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto."Dalam hal ini Nugroho Notosusanto dan Pusat Sejarah ABRI sangat berperan besar dalam penulisan rekayasa sejarah itu," (Kompas Online, 12 Sept 2008. "Menurut hemat saya, kata Aswi, meskipun tim yang diketuai Nugroho mengerjakan penelitian kilat tersebut, inisiator atau penanggungjawab buku itu adalah Jenderal AH Nasution,"


Pada umumnya pemelintiran sejarah, rekayasa fakta-fakta kejadian, sengaja dibuat untuk mengabdi dua tujuan: 1. Memberikan legitimasi terhadap persekusi dan pembantaian masal 1965-1966 dst yang dilakukan penguasa. 2. Memberikan legimitasi atas eksistensi rezim Orba, yang dibangun atas dasar KUP MERANGKAK yang dilakukan oleh Jendral Suharto terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.


Itulah sebabnya tidak mudah untuk mengungkap peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya terjadi dalam tahun-tahun 1965-66-67 dst. Karena begitu banyak dan luasnya dari penguasa, 'aparat', birokrasi, parpol dan elite yang terlibat dalam peristiwa tsb. Mereka-mereka itu sejak 1965 sampai sekarang membenarkan, mensahkan pelanggaran HAM terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah RI, demi kepentingan kekuasaan, dan demi melanggengkan posisi mereka sebagai penguasa.



* * *



YANTI MIRDAYANTI, kenalan dan sahabat baikku, adalah seorang sarjana muda yang kini bekerja sesuai kesarjanaannya di Bonn, Jerman. Di bawah ini kusiarkan kembali kisahnya mengenai sekelumit sejarah keluarganya. Kisah dari suatu keluarga 'eks-tapol', korban persekusi Orba setelah Peristiwa 1 Oktober 1965. Kisah-kisah seperti yang diceriterakan Yanti Damayanti, merupakan puncak dari suatu 'gunung és' cerita-cerita serupa menyangkut kekejaman, kebiadaban yang berlangsung sekitar persekusi yang berlangsung sesudah peristwa G30S, terhadap sejuta sampai tiga juta warganegara yang tak bersalah.


Seperti yang dikisahkannya, ayah Yanti Mirdayanti dipenjarakan selama lima tahun, hanya karena ia seorang penyanyi yang bergabung dengan LKRA, sebuah organisasi kebudayaan rakyat Indonesia yang dituduh sebagai organisasi kebudayaan PKI. Ibu Yanti yang baru saja melahirkan putrinya (Yanti), dipaksa menghidupkan dan mendidik lima orang anaknya, tanpa kepala keluarga yang meringkuk di penjara rezim Orba.


Sekelumit kisah Yanti mengungkap kesewenang-wenangan penguasa terhadap keluarga mereka.


Silakan baca terus kisah YANTI MIRDAYANTI.


* * *


DI BALIK NAMAKU ADA CERITA . . . . . . . . . +)

Oleh YANTI MIRDAYANTI


Ayahku seorang penyanyi ulung di kota kelahiranku. Dia seorang juara tingkat kabupaten untuk jenis lagu Seriosa. Pekerjaan formal ayahku waktu itu adalah guru Sekolah Dasar. Ayahku adalah seorang pengagum Bung Karno. Panggilan ,Bung' begitu populernya saat itu, sehingga ibuku pun memanggil ayahku dengan Bung (plus nama ayah) sampai wafatnya ibu lima tahun yang lalu, percisnya: 30 September 2003.


Di tahun 60-an itu ayahku bukan seorang komunis dan tidak pernah menjadi anggota partai. Tetapi karena kegiatan tarik suaranya, ayah sempat diundang bergabung dengan institusi kesenian yang besar saat itu, Lekra. Berkat suara emasnya, ayahku sempat diundang bernyanyi di Senayan-Jakarta di hadapan Presiden Sukarno. Aku kira, dia sebagai utusan daerah dan mungkin berangkat berkat dukungan (dukungan) Lekra.


Waktu aku lahir, aku diberi nama Yanti Lekriyanti. Nama belakangku ini mungkin mendapat inspirasi dari nama Lekra, karena kepopulerannya saat itu dan karena banyak seniman daerah yang mendapat dukungan dalam memajukan bakat seninya. Namun setahuku, sampai aku kelas 6 SD nama belakangku tak pernah dipakai. Namaku di rapor SD pun hanya Yanti. Di Indonesia dulu memang lajim kalau seseorang hanya memiliki satu nama, seperti Presiden Sukarno, sehingga nama tunggalku pun di sekolah tak menjadi persoalan.


Pemakaian ketunggalan namaku secara langsung maupun tidak langsung memang ada hubungannya dengan kejadian G-30-S (Gestok) di Jakarta. Alasannya: 15 hari sejak aku dilahirkan, nama Lekriyanti seperti sebuah nama tabu, karena ada Lekri-nya. Waktu aku kecil, aku tak paham apa-apa soal ini. Tidak ada orang yang bercerita khusus soal ini kepadaku. Temanya terlalu sensitif, politis, dan tabu.


Ketika lulus SD, tahun 1977, Kepala Sekolah memanggilku. Dia berkata kepadaku bahwa untuk masuk ke SMP lebih baik aku memakai nama belakang, karena jumlah murid di SMP lebih banyak dan pasti banyak murid yang bernama Yanti. Kebetuan di SD aku berprestasi sangat cemerlang, di akhir kelas 6 menjadi juara umum. Kepala Sekolah ingin supaya namaku tak tertukar dengan Yanti-Yanti yang lain, dan supaya nilai bagusku di SMP pun nanti tidak tertukar. Demikian rayuan sang Kepala Sekolah (dia seorang Ibu Kepala Sekolah) dengan optimistis.


Dengan polos, aku berkata kepada sang Ibu Kepala Sekolah: "Sebenarnya aku mempunyai nama belakang, tetapi di rapor tidak dimasukkan.". Kepala Sekolah balik bertanya: "Pakailah kalau begitu. Apa nama belakangmu?" Kukatakan: "Lekriyanti."


Aku masih ingat sampai sekarang, bagaimana terkejutnya raut muka Ibu Kepala Sekolah mendengar nama belakangku untuk pertama kalinya itu. Kedua matanya terbuka lebar.

Langsung dia pun berkata kepadaku dengan lembut, tapi serius: "Anakku, pergilah kau temui kedua orang tuamu nanti. Mintalah kepada mereka, supaya kau diberikan nama belakang yang baru."


Hanya itu yang diminta Ibu Kepala Sekolah. Kalimatnya pun berakhir di sana. Dia tidak mungkin mengemukakan alasan panjang lebar kepadaku, karena aku hanya seorang anak yang baru berusia 12 tahun, baru tamat SD, dan bukan tandingan partner untuk diajak berbicara soal-soal yang sensitif dan agak politis. Dia kenal ayahku dan latar belakang keluargaku. Beberapa anggota keluarga Ibu Kepala Sekolah pun ada yang menjadi korban, seperti ayahku.


Sesampai di rumah, langsung permintaan Kepala Sekolah itu aku sampaikan kepada ayah dan ibu. Tanpa ada kata mengapa dan lain sebagainya, ayah dan ibu langsung menganggukkan kepala. Ayahku berkata kepadaku: "Baiklah, kau akan mendapat nama belakang yang baru. Bukan lagi Lekriyanti."


Tiga hari tiga malam ayahku bersemedi menyendiri di kamarnya. Dengan penuh konsentrasi dia mencoba menciptakan sebuah nama belakang baru untukku. Dia sebenarnya tidak merencanakan berapa lama. Tapi pokoknya akan memberitahukan kepadaku segera setelah nama baruku tercipta.


Tiga hari kemudian, memang ayahku menemuiku sambil duduk. Dia pun berkata: "Namamu mulai hari ini adalah Yanti MIRDAYANTI. Akan mulai kau pakai sejak SMP sampai seterusnya selama kau hidup. Nama Lekriyanti biarlah kita simpan saja. Nama itu tidak hilang, tetapi tidak lagi bisa kau pakai di sekolah atau pun di tempat kerja nanti."


Lalu aku bertanya kepada ayah: "Apa arti nama Mirdayanti?". Ayahku menjawab:

"Mirdayanti artinya: Seorang perempuan yang berilmu pengetahuan dalam dan luas, sedalam dan seluas lautan (das Meer)". Ayah pun melanjutkan: "Aku berharap bahwa kau suatu hari nanti akan menjadi seorang perempuan yang berilmu luas sekali. Kau harus sekolah setinggi-tingginya. Hanya ilmu yang bisa menolongmu dalam hidup. Sekolahlah yang rajin, supaya ilmumu banyak dan dalam."


Hanya itulah yang kuingat tentang proses perubahan namaku dari Yanti Lekriyanti menjadi Yanti Mirdayanti. Resmi berganti nama mulai tahun 1978, pas masuk SMP.


Sejak kejadian G-30-S (atau menurut Bung Karno: Gestok/Gerakan 1 Oktober) di Jakarta, ayahku ,dijemput' dari rumah oleh tentara (kalau tak salah, yang masuk rumah ada 2 orang). Menurut pengakuan ayah kepadaku, tentara-tentara itu tidak berlaku kasar, baik-baik saja. Ibuku masih lemah di tempat tidur setelah melahirkan aku, anak yang ke-5. Aku baru berusia 15 hari, dan ibuku pun masih muda: baru berusia 23 tahun, tetapi telah beranak lima!


Bisa aku bayangkan sekarang, ibuku, seorang perempuan muda sekali yang baru melahirkan anak dan harus mengurus kelima anaknya yang masih kecil-kecil. Lalu harus ditinggal suaminya, dan ditahan di sebuah penjara tahanan politik (di Jawa Barat) selama 5 tahun, hanya karena aktif menyanyi! Langsung dipenjarakan bersama teman-teman ayah lainnya yang juga guru-guru SD, tanpa ada proses pengadilan dan tanpa ada pembelaan. Status mereka pun sebagai guru SD langsung dicopot sejak hari itu juga. Tinggallah sang isteri-isteri dan anak-anak mereka hidup dalam kemiskinan dan tekanan jiwa untuk puluhan tahun berikutnya.


Bakat kesenian, terutama bidang olah suara dari ayah dan ibuku (ibu pernah aktif sebagai penyanyi keroncong) turun kepada kami, anak-anak mereka. Sampai sekarang kami senang menyanyi. Kakak laki-laki pernah menjadi vocalist utama di tempat kerjanya di BRI Cabang dan secara otodidak bisa memainkan berbagai instrumen musik, dari jenis tradisional (angklung dan calung), sampai yang modern: gitar dan organ. Satu kakak perempuan aktif menyanyi bersama grup Degung sekolah tempatnya mengajar. Satu kakak yang perempuan lagi bermain kecapi dan menyanyi Cianjuran di SMA tempatnya mengajar. Satu kakak perempuan agak pemalu. Sedangkan aku sampai hari ini terus menyanyi, terutama di paduan suara, dan sejak beberapa bulan tergabung dalam sebuah grup musik Latin di tempatku berdomisili sekarang.


Sekarang kembali ke masalah keluargaku. Setelah sekitar 5 tahun ditahan bersama teman-teman seprofesinya, ayahku harus pergi berkelana di Jakarta bertahun-tahun untuk menjadi seorang buruh bangunan. Tinggal di kampung bersama ibu tidak mungkin, karena tidak ada pekerjaan, dan beban mental yang terlalu berat kalau terus tinggal di kampung. Kebetulan salah seorang saudara ayah menjadi mandor di bidang bangunan di Jakarta. Jadi, ayah ditampung dia untuk bekerja bersama dan menjadi tangan kanannya.


Sebulan sekali ayah harus pulang kampung, karena harus ,apel', lapor-muka wajib ke Koramil daerah (suatu hal yang selalu ditolak mentah oleh Pramoedya Ananta Toer di Jakarta semasa hidupnya). Aku ingat, ayah harus apel setiap hari Senin pagi. Pakaiannya pun rapih sekali. Mungkin dia sekalian harus ikut upacara bendera. Siang atau sore hari ayah sudah balik lagi ke rumah. Kadang beberapa hari tinggal dulu di rumah, tetapi kadang esok harinya langsung ke Jakarta lagi.


Setelah aku SMA kelas-2, tahun 1982, jamannya Gunung Galunggung meletus, ayah dan teman-temannya mendapat ijazah ,Bersih Diri' dari Suharto. Dia mendapat pekerjaannya kembali sebagai guru SD dan gajih rapelnya pun diperoleh. Tapi banyak dari uang yang diterima ayah dan teman-temannya itu harus menghilang ke udara, dipakai untuk ,menyocok' para petugas yang mengurus, dari petugas tingkat atas sampai bawah, supaya urusan bisa selesai.


Sejak mendapat sertifikat ,Bersih Diri' itu secara pelan jati diri ayah mulai kembali. Dengan bersemangat dia kembali mengajar di SD. Tetapi dengan setiap perilaku dan kata-kata yang sangat hati-hati. Sayangnya, tekanan batin dan rasa bangga diri yang telah lepas beberapa tahun lamanya dari diri ayah telah pula menjadikan ayah kami seorang yang mudah marah. Yang paling sering kena marah adalah ibu. Kami selalu merasa kasihan sama ibu, sehingga diam-diam kami pun sering berpihak kepadanya. Tetapi kami pun mengerti mengapa ayah menjadi mudah marah begitu, yaitu karena terlalu beratnya tekanan batin dan ekonomi yang harus dipikul terlalu lama. Jati diri dan rasa bangga dia sebagai seorang ayah dan suami seperti dicabut begitu saja. Untuk bisa kembali ke normal memerlukan waktu yang cukup lama walaupun sekarang dengan sertifikat ,Bersih Diri' sudah di tangan.


Kami sama sekali tidak pernah bercerita soal politik di dalam rumah. Semua takut. Apalagi kakak-kakakku yang tiga orang semuanya Pegawai Negeri. Salah omong sekali bisa berakibat fatal, misalnya bisa dicopotnya kakak-kakakku dari tempat kerja mereka.

Keluarga kami dengan terpaksa semua memilih Golkar setiap Pemilu, supaya tidak ada masalah dengan status sebagai Pegawai Negeri. Seingat saya, hanya kakek dan beberapa anak paman yang tidak pernah memilih Golkar. Mereka dengan diam-diam selalu menusuk Kepala Banteng (PDI)!


Setamat dari kuliahku di Universitas Padjadjaran (UNPAD Bandung) tahun 1990, ayahku mengajukan diri untuk pensiun awal. Dia bilang: "Karena anak yang bungsu sudah tamat sekolah, maka aku ingin istirahat jadi guru dan ingin bertani saja, terbebas dari status sebagai Pegawai Negeri (yang banyak peraturan ini dan itu)."


Di masa pensiunnya, ayahku menjadi petani, merawat sawah yang cukup luas, milik kakek dan nenek dari ibu. Tampaknya dia lebih bahagia dan tenang sebagai petani daripada sebagai guru SD. Sedangkan ibu bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar. Dulu ketika ditinggal ayah, ibu pernah juga menjadi tukang kredit keliling dan tukang jahit baju, kemudian membuka warung kecil. Waktu jadi tukang kredit, aku sering diajak ibu berkeliling di kampung, di saat panas maupun hujan. Sering ibu sakit dan pernah tiga kali masuk rumah sakit, karena parah. Beban hidup ibu terlalu berat, harus mengurus lima anak, dan mendampingi serta mengurus kakek dan nenek sampai akhir hayatnya. Kakek adalah seorang petani tulen, sering harus menggunakan pembunuh hama semprot di sawahnya, sehingga penyakit asma yang dideritanya tambah parah. Selama itu ibu yang harus banyak mengurus kakek sampai wafatnya tahun 1985, karena nenek harus berjualan di pasar untuk mencari uang dan secara fisik

ibu masih lebih kuat untuk mengangkat-angkat kakek.


Walaupun masa kecil kami sebenarnya kalau dilihat dari kaca mata sekarang cukup mengesankan, karena lingkungan pedesaan yang begitu romantis dan subur, namun dari segi ekonomi kami sangat miskin dan berat sekali. Kehidupan kakek dan nenek boleh dibilang termasuk lumayan, karena memiliki tanah, sawah, dan kolam yang luas. Tetapi uang tunai jaman itu hanya diperoleh sehabis masa panen di sawah, setahun dua kali.


Tanpa kakek dan nenek dari pihak ibu yang turut mendampingi kami, maka hidup kami sekeluarga pasti akan sangat terlunta-lunta. Kebetulan kakek dan nenek sangat dituakan di kampung, karena hampir seluruh anggota kampung masih ada hubungan saudara, sedangkan kakek dan nenek adalah anak sulung di keluarganya masing-masing. Inilah mungkin yang telah turut melindungi ibu dan kami, sehingga tetangga sekampung semuanya tetap baik terhadap kami, walaupun ayah sempat menjadi tahanan rejim Orba.


Bahkan kakek dan nenek selalu menjaga ibu agar tidak tergoda oleh laki-laki berhidung belang. Memang ketika ayah ditahan, ada beberapa tentara sempat meminta ibuku yang masih muda dan cantik berambut hitam lebat itu untuk mengawini mereka. Tetapi ibu mendapat kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi semua godaan, karena adanya dukungan dan perlindungan kakek dan nenek yang begitu hebat.


Masa kecilku bersama kakak-kakak yang penuh perjuangan itu sebenarnya sangatlah berharga. Kami belajar banyak dari lembaran-lembaran masa lalu. Kami tidak biasa manja dan sangat menghargai pentingnya pendidikan. Untuk mendapat uang jajan, setelah sholat subuh kami berlima biasanya beriringan ke pasar menjual beberapa ikat kangkung yang kami petik langsung dari kolam kakek dan nenek. Kadang nenek juga menitipkan beberapa ikat daun pisang untuk kami jual juga.


Berkat dorongan kuat dan ketat dari kakek nenek dan orang tua, kami berlima bisa bersekolah sampai Perguruan Tinggi. Walaupun demi pendidikan kami ini, kedua orang tua kami harus gali lobang tutup lobang, minta bantuan kakek dan nenek, serta berhutang ke bank. Namun jerih payah mereka tidak sia-sia. Kami bisa menamatkan sekolah kami dengan baik dan masing-masing mendapat pekerjaan tetap setelah sekolah selesai.


Kini, 40 tahun setelah kejadian sejarah gelap September (Oktober) 1965, kami sebenarnya masih hanya mengetahui sepotong-sepotong tentang sejarah keluarga kami yang sebenarnya. Selama 32 tahun jaman Suharto kami tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang jelas dan di keluarga kami pun selalu ada ketakutan untuk membicarakannya. Sekarang di jaman Reformasi, informasi tambah banyak. Enam tahun sebelum Suharto jatuh, aku menikah dan meninggalkan Indonesia menuju Eropa (Jerman). Selama hidup di luar negeri (terutama semasa di Jerman dan Amerika Serikat) informasi yang kuperoleh soal sejarah sekitar 65 ini cukup banyak. Kukira, lebih banyak informasi yang kudapatkan daripada yang kakak-kakakku ketahui sampai sekarang.


Kadang kalau aku libur ke Indonesia, aku duduk berdua bersama ayah (waktu ibu masih hidup, ibu juga dilibatkan untuk ikut nimbrung, demi kelengkapan cerita). Kuwawancara ayah dan ibu secara informal tentu saja. Setiap bercerita, di suara mereka selalu kulihat ada kegetiran, terutama di suara ayah. Tetapi sering dia tahan dan berusaha untuk berbicara denganku senormal mungkin. Sekarang dia sudah lebih terbuka daripada jamannya Suharto masih berkuasa. Dulu dia masih sangat takut memberikan informasi kepadaku. Sekarang ayah sudah 73 tahun. Ketika diwawancara kembali di awal tahun ini, dengan alat perekam suara, masih ada potongan-potongan jawaban yang dia lupa-lupa ingat. Namun semua kurekam, untuk dokumentasi pribadiku.


(Yanti, Bonn, 15 September 2008)

+) Judul lengkap: DIBALIK NAMAKU ADA CERITA YANG SANGAT BERSEJARAH.

* * *

No comments: