Kolom
IBRAHIM
ISA
Kemis, 3 Juli 2014----------------------------
Buku Terbaru MAY SWAN, Novelis SINGAPUR –
*
* *
Buku terbaru penulis MAY SWAN,
asal etnikTionghoa Indonesia, yang sekarang warga dan
berdomisili di Singapur, SITI NURBAYA BRIDGE, sudah
sejak tahun lalu bisa dibeli di toko-toko buku. Novelnya yang
menarik, ditulis dalam bahasa Inggris --- lancar dan enak
dibaca, bukan buku pertamanya.
Antara lain yang sudah terbit
adalah “Montmartre In Bondowoso“, “Fragrand Deception”*,
dan “Hidayat”.
* * *
Seperti novel-novel May Swan
sebelumnya --- “Siti Nurbaya Bridge”, juga berlatar belakang
kejadian sejarah. Sekitar Konferensi Asia-Afrika, 1955, di
Bandung,
Dengan mengambil latar belakang
peristiwa sejarah itu, May Swan menunjukkan kepeduliannya
pada peristiwa sejarah terpenting yuag terjadi di
Asia-Afrika di abad ke-20. Untuk pertama kalinya wakil-wakil
bangsa Asia-Afrika yang baru merdeka, duduk bersama di
sekeliling meja musyawarah, dimana terdapat wakil-wakil
bangsa-bangsa yang negrinya menempuh sistim sosialis,
seperti Republik Rakyat Tiongkok dan Republik Demokrasi
Vietnam.
Meskipun bukan seorang pengamat
politik, tetapi May Swan dengan tepat menilai bahwa
Konferensi Bandung yang sukses itu, merupakan suatu
pertemuan untuk memajukan kerjasama ekonomi dan kebudayaan
diantara megara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, untuk
menentang kolonialisme dan neo-kolonalisme oleh bangsa
manapun.
May Swan mengemukakan bahwa
Konferensi Asia-Afrika di Bandung itu, merupakan langkah
pertama dan embryo dari Gerakan Non Aligned sedunia di
tengah-tengah berkecamuknya Perang Dingin.
* * *
Juga seperti noval sebelumnya,
cerita May Swan banyak berkisasr pada hubungan
antar-manusia, khususya hubungan cinta. Dengan segala
problim-problimnya.
Seorang warga Singapura, Koon
Seng, yang mengepalai (kantor) Lee Rubber Company di
Jakarta, diundang untuk hadir pada hari ultah sekolah itu.
Di Jakarta. Ia memenuhi undangan tsb. Dengan harapan bisa
menemui PM Chou Enlai dari RRT yang juga akan ke Bandung
lewat Jakarta. Diberitakan bahwa PM Chou akan hadir sebagai
tamu kehormatan di sekolah itu. Tetapi ternyata harapan Koon
Seng gagal, karena PM Chou tidak hadir di sekolah itu.
Di situ Koon Seng berkenalan
dengan guru-sekolah Swee Lan. wanita muda yang atraktif.
Koon Seng jatuh cinta pada Swee Lan dan sebaliknya. Mereka
melalui kehidupan saling mencinta yang wajar.
Suatu ketika Koon Seng berlibur
ke kampung halamannya di Singapur. Ia akan menyampaikan
kepada ibunya bahwa ia sudah punya pacar di Indonesia, dan
sekembalinya dari berlibur nanti, ia akan melamar Swee Lan.
Sayang, ketika Koon Seng
kemballi ke Indonesia, ia dihadapkan pada situasi yang tidak
terduga samasekali. Ternyata Ibunya Swee Lan sudah mengatur
pertunangan Swee Lan dengan pemuda Wang, anak orang kaya.
Itu dilakukannya demi menyelamatkan keadaan ekonomi
perusahaan bapaknya Swee Lan dari kebangkrutan.
Swee Lan juga akhirnya
menyetujui bertunangan dengan seorang pemuda yang tidak
dikenalnya lebih dulu, semata-mata, demi untuk menyelamatkan
bapaknya yang perusahaannya sudah ditepi kebangkutan. Tapi
bagi Koon Seng, masih saja merupakan tanda tanya besar,
bagaimana ia bisa diperlakukan demikian oleh pacar yang
dicintainya itu.
* * *
Untuk kedua kalinya Koon Seng
menemui kekandasan dalam jalan hidup cintanya ketika ia
jatuh hati pada seorang teman sekerjanya, yang kemudian juga
ternyata 'sudah ada yang punya'.
Namun Koon Seng
terus melanjutkn hidupnya, karena betapapun 'life must go
on'
* * *
Novel May Swan juga
menggambarkan sekitar 'vulnerability' – mudah kena serang –
'kepekaan' – yang diidap oleh masyarakat minoritas Tionghoa
di Indonesia. Yang merupakan bahaya laten bila ada hasutan
sosial atau religius yang disebabkan oleh suatu motif
politik. Namun dengan jatuhnya rezim Orde Baru Jendral
Suharto, dan proses reformasi dimulai, posisi orang-orang
Tionghoa di Indonesia, mengalami sedikit kemajuan. <
Nyatanya – – Wakil Gubernur Jakarta, AHOK , hasil pemilihan
langsung, adalah seorang warga Indonesia asal etnik Tionghoa
– >
* * *
Setelah pukulan kegagalan dalam
cinta, Koon Seng, tulis May Swan pada penutup ceritanya,
merenungkan:
“Bisakah, masalahnya bahwa, kendatipun dirinya
sendiri, ia masih terlibat di jaring hubungan emosi yang
merupakan penjara-manusia (human prison), sebuah penjara
yang sudah terbiasa terjadi dalam hidupnya.
“Tetapi, lalu siapa yang mengatakan bahwa hidup itu
harus seperti mercon, harus mengarungi segala sesuatunya
yang sulit. Adalah tidak salah samasekali, untuk hidup
dengan damai dan tenang. Betapapun keindahan itu datang
dalam segala bentuknya, dan kebahagiaan muncul dari dalam.
“Adalah suatu kenyataan, bahwa, pada akhirnya segala
sesuatu akan menghilang ditelan oleh samudra kehidupan,
bagaikan air sunyi dan hening yang mengalir di bawah Siti
Nurbaya Bridge -- Jembatan Siti Nurbaya.
* * *
Orang akan menyimpulkan, bahwa,
itulah falsafah hidup penulisnya
sendiri, May Swan.
Pada awal bukunya May Swan
memuat kutipan kata-kata Johan Wolfgang von GOETHE, sebagai
berikut:
“ Setiap penulis dengan satu
atau lain cara, menunjukkan dirinya sendiri di dalam
karya-karyanya, meskipun itu berlawanan dengan kemauannya”.
* * *
Silakan pembaca menikmati
sendiri novel May Swan itu, yang diterbitkan oleh Penerbit
ULTIMUS, Bandung. 2013. * * *
No comments:
Post a Comment